🍁 11 [Ketahuan]

Aaron sontak membulatkan matanya tak percaya ke arah Ellena. Dengan gusar, dia meremas bahu sempit wanita tersebut dan membalikkan tubuh yang lebih kecil beberapa kali.

"Aku tidak terluka. Aku benar-benar baik-baik saja," kata Ellena yang mengerti maksud kekasihnya. Hatinya menghangat perih ketika melihat sepasang mata tersebut menatapnya sendu.

Ellena mengulurkan tangan untuk menggapai pipi tirus dan mengusapnya pelan. Pria muda ini pasti terkejut ketidakberadaaannya di penthouse saat dia tidak sengaja terbangun tadi. Aaron mengenggam lembut lengan wanita tersebut yang terangkat bebas. Banyak pertanyaan yang mau ditanyakan padanya.

"Insomnia. Aku memutuskan untuk jalan-jalan di taman. Aku tidak tahu kalau dia secepat itu mengetahui tempat ini."

The liar and her lie.

Ellena berucap dengan pelan, matanya berusaha menangkap arti tatapan Aaron sepeka yang dia rasakan. Sesuai dugaannya, Aaron menelepon seseorang, "Perketat keamanan penthouse. Aku mau ada tiga penjaga yang selalu mengikuti Ellena kemana saja."

Dengan sigap, Ellena menggeleng, kembali menenangkan pria yang sepertinya tersadar sepenuhnya selarut ini, "Aku tidak apa-apa, Aaron. Aku akan baik-baik saja."

Aaron mendekap wanita tersebut, kepalanya bersandar lemah di bahu sempit Ellena, dia bisa merasakan deru napas hangat pria tersebut di tengkuk, lengan panjang sang kekasih mengalung di sekitar pinggang sampai ke punggungnya. Tanpa disadari, Ellena juga membalas pelukan hangat tersebut.

"Enggak. Jangan lagi. Kemarin Clara juga mengatakan seperti ini dan berakhir terbunuh. Aku enggak sanggup untuk hidup kalau kamu juga mengikuti jejaknya, Ellena."

Suara lirih dan terdengar putus asa terdengar jelas di indera pendengaran sang wanita yang sekarang menepuk pelan punggung tegap Aaron, menenangkan pacarnya. Si laki-laki memejamkan matanya ketika merasa tenang.

"Apa yang dia katakan?" tanya Aaron yang mengangkat kepalanya, pelukan belum terlepas, malahan berbalik semakin erat, pria muda itu membenamkan kepala Ellena di dekapan dengan kepalanya yang mendarat halus di pucuk kepala sang wanita.

Giliran Ellena yang memejamkan mata, berada di pelukan sehangat ini membuatnya aman sekaligus nyaman, mendengar detak jantung Aaron yang terdengar normal, "Dia bilang aku berbeda karena mengadu padamu. Berarti selama ini semua mantanmu tidak ada yang mengatakannya padamu. Ini juga berarti kamu tidak bersalah, love."

Aaron menepuk punggung wanitanya tanpa membalas sepatah katapun.

"Dia juga bilang dia akan bertamu lain kali di tempat ini," kata Ellena, Aaron segera menjauhkan jarak mereka tanpa melepas dekapan, wanita muda itu mendongakan kepala untuk melihat pria tampan di depannya.

Tanpa Ellena duga, Aaron mencubit gemas hidung mancungnya dan terkekeh pelan ketika dia memekik pelan, reaksi yang wajar walaupun cubitan tersebut tidak sakit sama sekali. Lalu, Aaron kembali membawanya dalam dekapan sambil mengusap surai rambut Ellena.

"Itu namanya dia akan menciptakan kegaduhan bukan bertamu. Sepertinya tiga tidak akan cukup, aku akan menurunkan enam lagi di sini," kata Aaron dengan kekehan kecil, dia tidak boleh membuat Ellena ketakutan ataupun kepikiran dengan perkataan si Gyan.

Ellena menepuk punggung Aaron cukup keras, "Jangan berlebihan."

Aaron hanya memberikan senyum tipis untuk Ellena. Lalu membawa wanita tersebut untuk kembali beristirahat di lantai atas.

"There's nothing too much I do for you, love. You have to be safe."

03.00 a.m
Manhattan, New York

Aaron meletakkan gelas bekas wine di table bar dengan pelan, setelah berhasil meyakinkan Ellena kalau dia baik-baik saja dan akan tidur secepatnya, dia berdiri di depan pantry dengan gelas wine di tangannya. Dia yakin Ellena telah tertidur sekarang. Tanpa diminta, dia menjaga Ellena di kamar wanita muda tersebut. Tidak melakukan apapun, hanya duduk beralaskan dinginnya lantai marmer dan melihat anugerah Tuhan sampai memejamkan mata dengan nyaman.

Setelah itu, dia mematikan saklar lampu dan kembali ke kamarnya. Segera menuju ke kamar mandi dan duduk di bathtub. Tangannya merogoh pisau silet yang baru saja bekerja tak berapa lama dari kantong piyamanya.

Suara kulit dan silet beradu memecahkan keheningan, kali ini luka tercipta lebar, memanjang vertikal, Aaron tersenyum tipis saat mencium bau anyir dari lengannya. Semakin lama dia berada di zona ini, semakin menjadi perlakuannya.

Andaikan Mark masih ada, Aaron tidak akan meliar seperti ini.

'Aku sudah menyingkirkan benda tajam dari kamarmu, tas sekolahmu, kamar mandi, bahkan, aku baru tahu kau menyimpan benda itu di dompet dan walk in closet-mu. Alvin, kalau kau membutuhkan pelampiasan amarah, kau boleh datang ke ruanganku. Aku akan mengajakmu melakukan hal yang lebih baik daripada melukai pergelangan tanganmu sendiri.'

Aaron tersenyum tipis, ocehan panjang pria berusia empat puluh tahun itu selalu terngiang di kepala seenaknya. Dan, selama sepuluh tahun juga, dia mengabaikan omelan Mark yang tertinggal satu-satunya sebagai kenangan pahit bagi Aaron sebelum semua terjadi mengenaskan.

Tangannya kembali melukai temannya yang lain dengan garis memanjang lurus ke bawah sebanyak tiga kali, selama ini korban kesakitannya hanya tangan kiri, tetapi, malam ini yang kanan juga ikut andil.

Merasa puas menyakiti bagian tubuh, pisau tersebut terlepas dari genggamannya dan tergeletak di lantai kamar mandi, badannya terasa berat hingga Aaron bersandar penuh di dalam bathtub, dan perlahan memejamkan matanya.

"Aaron!"

Bersamaan dengan suara nyaring khas wanita, pintu kamar mandi dibuka dengan kencang sampai menghasilkan suara debuman kuat ketika menabrak kaca. Aaron dengan posisi yang sama segera membuka matanya dan menyembunyikan luka darah yang masih mengalir sampai celana piyamanya memerah di beberapa tempat.

It's too late.

Ellena telah sempat melihat semuanya, apalagi dengan bukti silet terkapar di lantai kamar mandi dengan jelas, Ellena semakin yakin dengan pemikirannya.

Aaron masih membungkam bibirnya, posisi yang masih menyandar karena merasa lelah. Matanya mengerjap melihat Ellena yang menggapai silet tersebut. Dia bisa melihat dari bawah kalau Ellena memandang teliti pisau silet tersebut.

"Sudah berapa lama melakukan ini?" tanya Ellena memecahkan keheningan, pisau silet diambil oleh Ellena dan disimpan di saku celana tidurnya, mengabaikan kalau darah di mata pisau belumlah kering sepenuhnya.

"You better don't lying to me, Aaron." sambung Ellena, matanya bagai memancar kilat bagi pria tersebut.

Dia tahu wanita itu marah, terlalu marah sampai bingung harus berinteraksi seperti apa. Di ambang kesadarannya, Aaron menjawab, "From thirteen."

Ellena mengerjap, selama itu?! Dia bersama Aaron sepuluh tahun dan tidak tahu apa-apa tentang kehidupan Aaron.

Tanpa membalas, dia segera keluar dari kamar pria tersebut dan berselang beberapa menit, dia kembali dengan kotak pengobatan di tangannya. Tangannya mengangkat tangan kanan Aaron, meringis ketika melihat sayatan segar tersebut, dan mengobatinya sepelan yang dia bisa lakukan. Karena, telinga tajamnya mendengar desisan Aaron.

Dengan lihai, dia memperban luka tersebut dan mengambil tangan satunya. Semakin tersayat hatinya ketika melihat bekas luka yang telihat membekas, mengering, ada juga yang masih terlihat basah. Dari penglihatannya, Ellena merasa tangan ini lebih banyak tersakiti. Aaron hanya membiarkan Ellena melakukannya. Diam-diam, dia mengakui hatinya menghangat ketika mendapatkan perlakuan kecil dari wanita tersebut.

Mengingatkannya dengan Mark.

"You are not alone," kata Ellena sambil mengelus punggung tangan kanan Aaron. Kedua tangannya telah diperban dengan kain kassa. Aaron hanya terdiam, manik hitamnya menyelam di lautan netra Ellena yang terlihat cemas akan kondisinya.

"I'm all ears for you, Aaron."

To Be Continue

Hey, hey, hey! Yo! Whatssup!

All good, rite?

Stay healthy, okay. Yang habis kena vaksin, minum air banyak-banyak, jangan berkeliaran dulu. Itu imunnya masih lemah. Just stay at home.

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top