🍁 03 [No Way!]

"Jadilah pacarku," kata Ellena dengan santai.

Berbeda dengan wanita muda tersebut, Aaron langsung memberikan tatapan ragu dan penuh pemaksaan bagi wanita bermulut sendok emas itu berbicara lebih lanjut. Gadis itu bukan tidak tahu kalau Aaron tidak pernah memberikan perasaan lebih kepadanya.

"Jadilah pacarku, Aaron Theodorus." ulang Ellena dengan pelan tapi penuh kepastian. Alis mata wanita itu terangkat naik saat Aaron masih mempertahankan ekspresinya.

"Hanya itu yang bisa dilakukan kalau kau mau tahu siapa pelakunya."

Ucapan Ellena kemudian mampu membuat Aaron melunakkan ekspresinya lagi. Tanpa Aaron bertanya, Ellena tahu apa yang harus dijawab.

"Kau ingin mencari tahu pelakunya, bukan? Aku akan membantumu dengan menjadi pacarmu, hanya itu caranya-"

"Tidak." jawab Aaron memutuskan perkataan Ellena. Matanya menajam nyalang. "Tidak dengan mengorban dirimu sendiri. Resikonya besar." sambung pria tersebut kemudian.

"Aku akan selalu waspada. Kau tidak bisa mencari tahu pelakunya melalui keluarga mereka, mereka semua menutup diri darimu. Keluarga Clara juga tidak mau kamu mengunjungi acara pemakaman puteri mereka, kan? Pikirkanlah seberapa seringnya dia muncul kalau aku yang menjadi kekasihmu." balas Ellena lagi, teh panas yang mendingin tidak menyurut pergesekan antara kedua anak Adam Hawa ini.

Ellena tersenyum miring, "Kau dan aku sama-sama penerus tunggal perusahaan keluarga kita. Tidak akan mudah baginya untuk sekedar bertemu denganku. Dia akan memakai segala cara yang terlihat mustahil."

Aaron melihat tembus ke luar jendela ruangan, dia yakin untuk menolak bantuan yang diberikan oleh Ellena, tetapi keinginannya untuk menangkap pembunuh ini juga besar. Aaron memantapkan diri kalau masih ada cara lain yang lebih baik daripada membahayakan nyawa wanita di depannya ini.

"Kenapa?" tanya Aaron pelan dan terhenti menggantung, terdengar di ruangannya yang sunyi. Gantian Ellena mengerutkan dahinya.

"Kenapa kau ingin sekali menjadi pacarku?" tanya Aaron yang memutar kepalanya menghadap Ellena. Pertanyaan yang membuat kepala terasa memberat. Pertanyaan yang bisa berarti dengan 'Kenapa kau rela bertaruh dengan kematian?'

Ellena tersenyum, sedikit memperbaiki posisi duduknya sebelum melihat Aaron dengan tatapan teduh, "Karna aku tidak mau melihat temanku tersiksa lagi. Aku mau dia mendapatkan kisah cinta yang lebih baik."

"Meskipun kau akan kehilangan nyawamu?" tanya Aaron lagi. Ini pertanyaan yang utama selain pertanyaannya yang tadi.

Ellena mengangguk tanpa memerlukan waktu berpikir sedetik.

Penuh kepastian.

Tapi, anggukan kepala Ellena semakin membuat Aaron semakin pusing. Memangnya siapa dia sampai taruhan nyawa Ellena berani mengambil resiko tersebut?

Teman?

Aaron mengakui hanya Ellena temannya, tetapi mereka juga tidak sedekat itu untuk saling mengorbankan nyawa. Sekalipun dekat, Aaron juga tidak bisa membiarkannya terjadi begitu saja.

"Kamu tidak perlu menerimanya sekarang. Tapi, pikirkanlah apa yang aku katakan. Aku selalu menunggumu."

Ellena kemudian berdiri merapikan pakaiannya lalu meninggalkan ruangan tersebut. Ellena berjalan melewati dua sekretaris yang berdiri di depan pintu menunggu mereka. Sekretaris pribadi berjalan di belakang Ellena, sedangkan sekretaris satunya masuk ke dalam ruangan pribadi Aaron.

"Nona Muda, tadi Tuan Besar menelepon," kata sang sekretaris yang memegang sebuah tablet PC berisi banyak data tentang Nona Mudanya ini.

"Grandpa menelepon? Tumben sekali," kata Ellena yang berjalan ke arah mobil merah terang yang terparkir di depan gedung perusahaan temannya.

Sang sekretaris membuka pintu agar ahli waris itu bisa duduk di mobilnya, sedangkan sang sekretaris duduk di sebelah pengemudi.

"Aiden, aku tidak memiliki jadwal penting lagi, kan?" tanya Ellena yang sibuk mengutak-atik ponselnya sendiri.

"Hanya mengikuti undangan dari Mister Fredd. Anak pertamanya sudah berusia satu tahun," ujar Aiden, sang sekretaris yang memberi gestur kepada sang supir untuk menjalankan mobil.

"Siapa nama anaknya? Laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan, Nona Muda." jawab Aiden lagi, tangannya dengan lincah berselancar di website yang menjual kebutuhan anak-anak.

Ellena mengangguk, "Full set permainan boneka dengan rumah dan sebuah boneka beruang yang besar seukuran anak-anak, Aiden. Aku mau yang berkualitas bagus, Mister Fredd itu kolega yang sangat berbaik hati pada kita."

"Baik, Nona. Saya akan segera meminta kepala pelayan untuk membungkusnya ketika paket yang saya beli sudah sampai."

Ellena kembali menganggukkan kepalanya. Dia kembali mengaktifkan suara ponselnya. Dia memang mengaktifkan fitur senyap di ponselnya selama dia bertemu dengan Aaron tadi.

Dan, memang benar, Tuan Besarnya itu meneleponnya nyaris sepuluh kali dalam selang waktu yang berdekatan.

Tanpa berpikir lebih panjang lagi, wanita itu segera menelepon balik.

"Darimana saja? Aku sudah meneleponmu sepuluh kali tetapi tidak diangkat."

Suara serak khas seorang kakek berdengung di telingannya, Ellena tersenyum tanpa diketahui, "Grandpa, aku sedang bekerja. Baru saja keluar dari Mays Construction."

"Aku tahu kamu gila bekerja. Kamu tidak mungkin sedang pacaran dengan seorang pria saat ini. Malam ini, Grandpa mau kamu di rumah, Grandpa perlu bicara denganmu."

Ellena mengernyit dahi, tetapi kemudian kerutan dahi itu menghilang, "Sayangnya, tidak bisa. Aiden baru saja memberi tahuku kalau ada undangan ulang tahun anaknya Mister Fredd. Aku harus ke sana."

"Tidak bisakah besok saja, Tuan Besar Johnson?" sambung Ellena lagi. Dia ingin beristirahat di kamar apartemennya malam ini, setelah dua hari tidak pulang karena perusahaan memiliki masalah.

"Grandpa tidak mau tahu, terserah mau jam berapa cucuku ini sampai di rumah. Karena ini penting ... tentang Hills Harbor."

Ellena seketika mematung.

"Grandpa tidak bisa membicarakannya di sini. That's why you have to stay at home this night."

"Okay. Aku akan pulang, tetapi tidak secepat yang Grandpa duga. Mungkin jam sembilan atau sepuluh malam."

"Not a big problem, granddaughter. I'll hang up phone," kata Johnson lalu memutuskan komunikasi.

Ellena menyimpan kembali ponselnya sambil melihat ke luar kaca mobil dengan mata yang menyirat penuh arti.

"Aiden, kita kembali ke kantor."

"Baik, Nona Muda."

11:50 p.m
Manhattan, New York

Aaron menarik pintu balkon dengan segelas kopi dingin di tangan satunya, perlahan kakinya menginjak area balkon kamar dan bersandar pada pembatas tiang. Sambil menyesap cairan hitam pekat pahit tersebut, matanya melihat ke atas.

Sepi.

Tidak ada apapun yang menemani malamnya kali ini.

Jalanan di bawah yang telah sepi, selain rumahnya terletak di sudut kota, lokasinya memang jarang dilalui kendaraan. Komplek perumahan elit yang tidak menyukai kebisingan.

Aaron bersyukur ketika Mark mengajaknya untuk tinggal di sini bersama.

Dia tidak peduli dengan kesulitan tidur setelah meninum kopi selarut ini. Justru itu keinginannya malam itu.

Penat dengan posisi berdiri, pria muda itu mengambil tempat di bangku panjang yang dipasang oleh pelayan laki-laki di rumahnya saat dia meminta untuk memiliki tempat peristirahatan ketika dia berusia lima belas tahun.

Dengan pelan pria yang terlah berganti pakaian menjadi piyama tidur itu meletakkan gelas kopi di sebelahnya, lalu perlahan memejamkan mata, menikmati semilir angin dingin yang menerpa wajahnya.

Beberapa adegan muncul di benaknya dan yang terakhir bayangan Clara meninggal dunia menghantui dirinya lagi malam itu. Berusaha untuk mengontrol diri sembari menerjang ke arus masa lalu yang menyakitkan.

Sebelum Aaron menyakiti diri sendiri lagi ....

To Be Continue

Hi, aku kembali lagi. Sungguh sebuah kebahagiaan kecil bagiku sendiri ketika bisa update dengan sempurna sesuai jadwal minggu lalu.

Yup, minggu ini tentu saja harus dipertahanin semangatnya.

Mohon krisar dan commentnya, guys.

See ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top