Preambul : Spektakel
"Anak-anak yang lain udah pada ngumpul?" tanyaku dengan agak keras, berusaha mengalahkan deru angin yang mengiringi perjalanan kami menuju kampus.
Tanpa menjawab, Aes membelokkan sepeda motornya, mendekati kerumunan bermasker yang terbentuk dan memadati jalanan.
"Sudah. Tuh, mereka kayaknya semangat demo," katanya.
Mendekati lautan manusia itu, si ketua BEM ini memberhentikan motornya. Setelah yakin sepeda motor (yang sesungguhnya milik kakak Aes) tersebut terparkir dengan benar, gadis itu menarikku mendekati kumpulan mahasiswa yang telah berhasil kukumpulkan ini.
Setelah sedikit basa-basi, kami mulai beralih profesi menjadi pedemo. Aku bertugas menjadi provokator sekaligus pengawas—melihat-lihat barangkali ada mahasiswa bandel yang sengaja merusak lingkungan sekitar. Yeah, benar saja. Tak lama kemudian, ada orang sial yang hampir bertingkah.
"Heh, kalau mau tawuran jangan di sini. Gue piting lo kalau lempar-lempar batu!" ancamku dengan nada sengak. Tak ketinggalan, tudingan telunjuk khas preman juga kuluncurkan.
"Beri kami dispensasi! Kami cuma mau belajar di rumah, kalian harusnya sadar pandemi belum usai!"
Suara keras itu memberikan distraksi … dan hei, itu bukan suara Aes! Haduh, pasti ada orang bandel lain yang mengacaukan demo. Aku menoleh dengan pandangan jeri. Beberapa lelaki memanjati gerbang kampus dan menggoyangkannya seperti menggoyang pohon pisang. Bicara mereka kasar, mirip monyet saja. Rusuh.
Aku bergegas mendekati Aes lantas menepuk pundaknya. Dengan harapan mengalahkan suara toa, mulutku mengeluarkan teriakan cempreng. "Es, anak-anaknya pada gila!"
Wajahnya terlihat makin tidak mengenakkan. Aku ikut panik. Terlebih, melalui ujung mata, aku menangkap beberapa petugas kampus yang mulai berdatangan.
"Hei, jangan ricuh, tolong! Jangan bikin kekerasan di luar batas!" Dari barisan terluar gerombolan, aku berusaha memberikan peringatan—yang sayangnya tak berarti. Oh Tuhan, ini malah semakin buruk!
"Ketua BEM, siapa itu namanya?! Jawab!"
Oh tidak, Pak Jamal!
"Saya! Saya yang mengusulkan demo ini."
Astaga, bocah sableng! Buru-buru aku menerobos lautan makhluk hidup ini, mengejar Aes dari belakang.
"Es, jangan cari masalah, ya. Maaf tadi—"
"Bubarkan!" Seruan tegas Pak Jamal memotong sejenak kepanikanku.
Perempuan itu mulai beradu argumen dengan Pak Jamal. Aku berusaha menahan, tapi dia menepis tanganku.
"Udah, Es."
Permintaanku disanggah. Dengan gagah, Aes berbalik dan memulai kalimatnya lagi. Namun, belum lama, tahu-tahu kami sudah dilempari gas air mata.
-
Yap, begitulah. Demo gagal. Sisanya … entahlah. Badanku njarem. Untung kedua bola di wajah ini tak lagi perih. Dengan tatapan capek, aku menggigit bibir melihat notifikasi terbaru dari sahabatku.
Besok demo lagi.
Aku membaca pesan itu lama-lama, ragu. Jemariku berusaha mengetikkan kata-kata yang kuharap akan mencegah Aes dari tindakan bodohnya, dan lagi-lagi ditolak.
Oke, aku mengalah. Aku akan membantu si kawan sableng ini. Namun, entah kenapa, aku mendapat firasat buruk mengenai ini. Seperti merasa … adalah bantuanku yang terakhir kali. Semoga saja, ini cuma pikiran aneh yang selintas lalu.
-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top