{Bab 4} Guru Ganteng
Nauval terus memijat mata kanannya gara-gara terkena ulat bulu. Kejadian itu berawal ketika ia berlatih silat. Saat berteduh di bawah pohon mangga, tiba-tiba matanya kejatuhan ulat bulu.
"Val..., ayo buruan! Entar guru Bahasa Inggris keburu masuk kelas." Itu suara Yusuf, teman sekelas Nauval yang menunggu di depan kamar mandi.
"Sante kali. Sama guru aja takut. Dibentak juga takut," jawab Nauval santai mengingat guru Bahasa Inggris yang baik banget. Kalau tidak mengerjakan tugas, tidak pernah diomeli. Siswa hanya diminta mengerjakan tugas di perpustakaan. Guru favorit pokoknya.
"Iya. Tapi buruan napa?!" ujar Yusuf dengan nada naik satu oktaf. "Masalahnya—"
"Ck. Banyak cingcong lo. Kena—" Nauval tidak meneruskan perkataan begitu melihat seorang guru pria berdiri penuh amarah.
Kumis hitam pria bernama Joko itu semakin menebal, padahal terakhir Nauval berhadapan dengannya, kumisnya sudah dicukur. Nauval menatap sang guru dari ujung kaki sampai ujung kepala. Kaki pendek, perut buncit, dan kepala botak.
Joko berdeham galak.
Nauval menyengir. "Eh, Pak Joko. Mau ke kamar mandi, Pak? Masuk aja, kosong kok."
"Ini jam berapa? Kenapa masih di sini?"
"Pulang sekolah, temui saya di ruang BK."
Nauval tak menanggapi. Asyik bercerita dengan Yusuf. Yusuf? Tidak seberani Nauval. Ia lebih memilih mundur jika bertemu guru seperti Joko.
Suasana koridor masih ramai. Banyak anak-anak yang balik dari kantin menuju kelas. Mata Nauval tertuju kepada dua gadis yang terburu-buru membawa tumpukan buku paket dari arah perpustakaan.
"Farah!" teriak Nauval. Ia menghampiri kedua gadis itu, diikuti Yusuf.
"Kenapa?" tanya Farah.
"Nanti pulang sekolah tungguin ya, soalnya mau latihan silat dulu."
"Iya."
"Bilangin temanmu tuh. Biasa aja ngelihatin anak ganteng. Gak usah sok buang muka." Nauval menyengir kepada Adiba yang disambut pelototan.
Semua tertawa melihat ekspresi Adiba yang seolah ingin menonjok rahang Nauval. Beberapa detik kemudian, gadis itu berlalu pergi.
"Matanya kenapa, Sayang?" tanya Farah menatap mata kanan pacarnya.
"Kena ulat bulu."
"Kok bisa sih? Hati-hati dong, kan jadi sipit sebelah. Udah sipit tambah sipit deh," omelnya sambil mengusap-usap mata Nauval.
Farah kesal dibuatnya. Kalau tidak cinta, habis Nauval. Sesampainya Nauval di kelas, guru tampak sedang menerangkan di depan. Tanpa mengetuk pintu, Nauval langsung duduk di kursinya. Yulia, guru Bahasa Inggris,
hanya mampu menggeleng lemah.
"Siapa yang mau maju ke depan untuk menjelaskan?" "Ini, Bu, Fira! Dia jago banget bahasa Inggris," sahut Indera heboh. Usut punya usut, Fira adalah gebetan baru
Indera.
Semua menyoraki mereka berdua, membuat suasana kelas menjadi gaduh.
Yulia menatap Yusuf yang tampak paling heboh. "Ada apa, Yusuf?" tanyanya.
Semua murid diam.
"Gak papa kok, Bu." Yusuf cengar-cengir sendiri.
* * *
Kepala Adiba pening seketika saat menatap lurus deretan angka-angka dan rumus di depannya. Sesekali menatap whiteboard sembari mendengarkan guru Kimia menjelaskan materi. Tangan kanan menyangga dagu runcingnya.
"Pelan-pelan napa kalau jelasin. Udah pelan, cepet lagi," gerutu Adiba. "Itu pake rumus yang mana?"
"Aku juga gak tahu," jawab Farah ogah-ogahan.
"Aku udah nanya tiga kali. Kalo nanya lagi ditolak mentah-mentah sama Pak Dugong, gimana dong?" Pak Dugong adalah panggilan khusus siswa XI IPA 1 untuk guru Kimia itu.
"Adiba, Farah, saya lagi menerangkan, bisa diam gak? Apa kalian mau nerangin di depan?" tegur guru Kimia.
Sontak kedua gadis itu memperhatikan dengan baik.
Setelah dua jam pelajaran, sang guru pun keluar. Entah kenapa, waktu pelajaran Kimia terasa lebih lama bagi Adiba. Begitu guru tersebut hilang di balik pintu, sebagian siswa segera bangkit dari kursi untuk melakukan aktivitas masing-masing. Ada yang berkumpul di kursi Lutfi untuk menonton drama Korea.
"Habis ini Bahasa Jawa ya, Far?"
Farah tak menanggapi. Masih fokus dengan ponsel putihnya.
"Farah!" panggil Adiba kesal. Farah mendongak. "Kenapa?"
"Pasti lagi BBM-an sama si Nauval? Sampe-sampe dipanggil teman aja gak denger!"
Farah cengengesan seperti orang yang tak punya beban hidup.
"Habis ini pelajaran Bahasa Jawa, bukan?"
"Iya." Beberapa detik kemudian, ia berubah histeris. Gadis itu meletakkan ponsel di meja lalu mendekati meja Adiba. Adiba mengerutkan dahi. "Kenapa?"
Segerombolan siswa yang ada di depan kelas berdesak-desakan masuk.
"Gurunya dateng," ucap ketua kelas.
Ekspresi para siswi yang tadi di luar kelas tidak biasa, saking senangnya.
* * *
"Assalamu'alaikum. Sugeng enjang," sapa seorang lelaki berkulit sawo matang.
Siswa-siswa tampak antusias, terutama kaum hawa. "Sugeng enjang, Pak," jawab para siswa hampir serentak dihiasi senyuman.
Sugeng enjang adalah salam dalam bahasa Jawa yang berarti 'selamat pagi'. Biasanya diucapkan untuk orang yang lebih tua, tetapi guru-guru Bahasa Jawa menggunakan untuk para muridnya supaya mereka belajar mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Pagi ini, kalian mendapat tugas dari Pak Hasno membuat pidato bahasa Jawa bertemakan Jiwa Nasionalisme."
"Loh, kok Pak Hasno? Bukannya Bapak yang menggantikan Pak Hasno?" protes seorang siswi berambut ikal.
Beberapa siswa mendengkus kecewa. Sang guru membalas dengan senyuman ala gula pasir.
"Pak, perkenalan dulu dong," pinta siswi berhijab. Name tag-nya bertulis Tika Masruroh.
"Baik. Nama saya Tito Darmawan. Kalian bisa memanggil saya Tito. Usia 23 tahun. Saya tinggal di asrama universitas negeri di kota ini."
"Kok tinggalnya di asrama, Pak?" tanya Farah kemudian.
"Saya aktivis di kampus, jadi saya menempati salah satu ruangan organisasi kampus. Aslinya berasal dari Purwokerto. Ada yang mau ditanyakan lagi? Soalnya saya mengajar kelas XI IPS 3. Saya sempatkan ke kelas ini dulu," jawabnya terburu-buru.
"Yah, di sini aja, Pak, gak usah ke sana," protes Maya yang dibalas dengan senyuman.
"Statusnya apa, Pak?" tanya Farah.
"Anak kedua dari tiga bersaudara."
"Pacar, Pak, maksudnya." Terdengar suara kaum Adam yang entah siapa. Mungkin gemas dengan sang guru yang tak mengerti alur pertanyaan Farah.
"Pacaran itu apa? Saya enggak pernah pacaran."
Para murid melongo, termasuk Adiba. Guru ganteng itu menatap jam tangan, tak menghiraukan ekspresi anak-anak. "Sudah, ya? Saya harus mengajar. Selamat mengerjakan
"Pin BB, Pak!" teriak Nabila.
Awalnya sang guru keberatan. Atas desakan anak-anak, akhirnya ia menuliskan pin BB yang langsung di-invite beberapa siswi. Kemudian, ia berlalu meninggalkan pesona yang membuat para siswi kelabakan, kecuali Adiba.
* * *
Tiga orang gadis duduk di bangku kafe sebelah kanan kasir. Mereka masih memakai seragam putih abu-abu. Salah satu rambutnya dikucir kuda dan yang lain berkerudung.
Kafe itu tampak klasik dan tertata sangat artistik. Ada lukisan tangan Menara Eiffel yang indah. Tempelan quotes ala remaja menjadi pemanis. Di dekat kasir, terpajang foto keluarga pemilik kafe. Satu berlatar belakang Ka'bah. Satunya lagi berlatar belakang Candi Borobudur, Jawa Tengah.
Sementara itu, di seberang jalan berdiri seorang gadis berseragam SMA. Kerudung gadis berhidung mancung itu lebih lebar daripada kerudung kedua siswi yang tengah duduk di kafe. Setelah menyeberang, gadis pemilik tinggi 160 cm itu menghampiri ketiga gadis yang sedang asyik mengobrol.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, Adiba. Duduklah, kami sudah menunggumu dari tadi." Tsania mempersilakan Adiba duduk di sampingnya.
Sepuluh menit kemudian, pelayan datang membawa minuman. Keempat gadis itu segera menyeruput minuman masing-masing.
"Makasih ya, Adiba, udah dateng ke sini. Jadi tujuan aku ngundang kamu, yaitu buat tanya-tanya tentang Islam yang lebih dalam. Soalnya, aku dan kedua temanku ini ingin mengetahui tentang hukum berjilbab, lagian kalo konsultasi sama kamu lebih nyaman daripada sama guru agama di sekolah. Oh, iya, kenalin ini temanku namanya Dini dan Laila."
Adiba mengamati kedua gadis itu. Ia baru sadar bahwa lambang sekolah di bagian lengan sebelah kanan kedua gadis itu dan dirinya berbeda.
"Salam kenal ya, Din, Lai. Makasih sebelumnya udah percaya sama aku, tapi pengetahuanku juga masih sedikit, jadi kita sharing aja. Sama-sama belajar," jelas Adiba yang dibalas anggukan oleh Dini, Tsania, dan Laila.
"Kan aku belum berhijab nih, Adiba. Jadi, hukum berhijab itu apa?" tanya Tsania to the point.
"Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nur ayat 31 yang artinya, 'Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan auratnya, kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.'
Adiba menghela napas sejenak lalu meneruskan perkataannya. "Di dalam Hadis Riwayat Abu Daud bahwa saat Asma binti Abu Bakar bertemu Nabi Saw dalam keadaan pakaiannya yang tipis, Rasulullah bersabda, 'Wahai, Asma, seorang perempuan yang telah balig tidak boleh terlihat tubuhnya, kecuali ini dan ini.' Nabi menunjuk ke arah wajah dan kedua telapak tangannya."
Drett... drettt... drett....
Ponsel Adiba bergetar. "Kenapa?" tanya Tsania.
"Umi minta ditemani pengajian nanti malam," jawab Adiba sembari tersenyum. Ia segera membalas pesan uminya, tak enak memotong penjelasan lebih lama. Setelah pesan berhasil terkirim, ia membenarkan posisi duduknya kembali. "Berdasarkan ayat-ayat dan hadis yang saya sebut tadi, kita bisa menyimpulkan bahwa wanita muslimah yang sudah balig harus menutupkan hijab ke seluruh tubuhnya, kecuali bagian yang biasa terlihat, yaitu wajah dan telapak tangan. Itu artinya semua anggota tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Hijab yang dimaksud adalah baju terusan yang longgar dan tidak transparan, serta kerudung
yang menutupi dada.
Ketiga gadis itu mengangguk paham mendengar penjelasan Adiba.
Sebuah pemikiran tiba-tiba muncul di pikiran Tsania. "Tapi tuh kadang teman-teman ada yang bilang gini, 'Kerudungan sih, tapi kelakuannya lenjeh banget. Dasar kerdus, kerudung dusta.'"
"Ini pola pikir yang salah di sebagian kalangan masyarakat. Padahal sebenarnya hijab dan akhlak merupakan dua hal yang berbeda. Berhijab itu murni perintah Allah, sedangkan akhlak adalah budi pekerti yang tergantung pada pribadi masing-masing. Jadi, jika ada muslimah berhijab melakukan perbuatan tidak baik, salahkan akhlaknya, bukan jilbabnya yang disebut-sebut.
"Lagi pula, berhijab memang bukan untuk mengklaim sudah baik atau belumnya, tapi berhijab itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Allah itu Maha Baik, maka menaati-Nya merupakan sebuah kebaikan. Logikanya, wanita berhijab belum tentu baik, tapi wanita yang baik sudah pasti berhijab.
"Tapi, Adiba, banyak orang berkata, 'Hijabin hati dulu aja, setelah itu baru jilbabin fisik.'"
Adiba tersenyum kepada Dini yang barusan bertanya.
Laila dan Tsania masih menyimak baik-baik.
"Justru menghijab hati jauh lebih sulit dan bukan suatu kewajiban, sedangkan menghijab diri itu mudah dan merupakan sebuah kewajiban."
"Mendingan mana, berhijab tapi jarang salat atau nggak berhijab tapi salat terus?" tanya Laila.
Adiba yang tengah minum tersedak. Dengan susah payah, ia kembali menjawab, "Huk huk—itu sama saja—huk huk—dengan bertanya—huk huk—seperti, 'Mendingan mana—huk huk—salat tapi nggak puasa atau nggak salat tapi berpuasa?' Jawabannya... tidak ada yang mendingan." Tsania memberikan air putih kepada Adiba. Dini dan Laila juga tampak khawatir dengan Adiba yang terbatuk-batuk. Setelah batuknya berhenti, ia kembali meneruskan perkataannya. "Karena berhijab kedudukannya sama wajib
dengan puasa, sama wajib juga dengan salat."
"Kadang kalau kita lewat jalan terus ada cowok-cowok nongkrong pasti digodain, dicolek, malah kadang sampai dihadang. Tapi, kalau kita menggunakan hijab, paling cuma diberi salam. Mereka justru mendoakan kita, kan?"
"Iya, sekarang aku mengerti," ucap Tsania sembari mengambil garpu dan sendok. "InsyaAllah mulai besok aku akan berhijab." Ia pun mulai melahap sup dan nasi putih.
"Alhamdulillah," balas Adiba, Laila, dan Dini bersamaan. Siapa yang tidak bahagia mendengar teman bilang begitu? Rasanya tenteram.
"Eh, tadi aku foto sama guru baru loh. Ganteng, manis, masih muda lagi. Namanya Pak Tito. Nih..., lihat fotonya." Entah ada angin apa, tiba-tiba Tsania membahas si guru ganteng. Pesonanya sulit dilupakan. Dua orang yang melihat foto di ponsel Tsania ikut terkagum-kagum.
Adiba berasa hidup di dalam novel-novel karena ada tokoh yang menjadi pujaan satu sekolah. Tapi yang ini beda, kalau biasanya yang jadi pujaan itu anak hit, ganteng, tajir, atau bad boy, kali ini adalah guru muda Bahasa Jawa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top