{Bab 3} Terlambat Dapat Pacar
"Ya Allah, Nauval, Umi tahu kamu itu tampan, pintar lahir batin, tapi bandelnya bisa dihilangin gak? Kalo enggak ya dikurangin gitu. Cukup jadi siswa tertib dan taat peraturan di sekolah saja kok, gak lebih. Kamu harus sadar, kalo peraturan sekolah juga termasuk perintah Allah," komentar Umi setelah membaca surat dari BK.
Baru sehari masuk sekolah, Nauval sudah menerima surat peringatan dari BK. Surat cinta terbaik dari sekolah. "Ya Allah, Val... Val Umi heran deh, kamu ketularan sifat bandel dari siapa sih?"
Umi dan abi Nauval adalah orang baik-baik sejak lahir. Eyangnya juga. Mereka sosok religius yang menaati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Nauval sendiri terkadang heran kenapa punya sifat bandel. Padahal, dari dalam kandungan sudah dicekoki ilmu agama. Bahkan, setiap hari umi dan abinya tidak pernah absen membacakan surah Yusuf supaya ia terlahir menjadi lelaki setampan Nabi Yusuf. Memang terbukti sekarang ia tampan walaupun hatinya belum setampan Nabi Yusuf.
"Ya, kan Nauval udah ganteng dan tampan, Mi, jadi harus ada bandelnya dong."
"Ganteng aja dibanggain," omel uminya seraya menyerahkan SP kepada lelaki berumur 17 tahun itu.
"I think, nobody is perfect in the world."
"Enggak usah sok Inggris. Ngomong sing apik karo wong tua1. Kromo." Bahasa Kromo dalam bahasa Jawa adalah bahasa untuk berbicara kepada orang yang lebih tua atau dituakan.
"Yah, Umi... yang gaul dong, Mi. Gaul dunia dan akhirat gitu lo."
Pada hari kedua MPLS, Nauval memutuskan untuk terlambat lagi. Entah kenapa, ia suka terlambat. Dengan terlambat, ia akan mendapat ocehan nan nasihat yang akan melatihnya kebal dalam menghadapi berbagai perkataan.
* * *
Sandal sebelah kanan sudah berhasil dipakai, tetapi sandal sebelah kiri belum berhasil ia temukan. Beberapa santri mendorongnya hingga ia hampir terjatuh terjungkal. Adiba mendengkus agak panjang, cukup kesal dengan ulah mereka. Maklum saja, setelah jemaah salat Subuh, para santri akan buru-buru keluar masjid hanya untuk berlomba mendapatkan kamar mandi terlebih dahulu.
Sebuah sandal biru muda berselop hitam tampak di samping pembatas antara masjid santri putra dan putri. Mata Adiba melotot, khawatir jika sandalnya sampai ke area santri putra. Bisa malu mengambilnya.
Baru ingin beranjak mengambil sandal, seorang santri tanpa sengaja berhasil menggeser sandalnya ke area serambi masjid santri putra. Adiba mendengkus kesal. Ia menengok ke sana sembari berdecak. Banyak santri putra sedang duduk-duduk di sana. Aduhhh, gimana nih? Kalo aku ambil, malu sama santri putra. Kalo aku biarin, gak bisa pulang! Ah, gimana nih? Ya Allah. Pikiran Adiba kalut sendiri. Bertemu santri putra menjadi salah satu hal yang menguji nyali bagi para santri putri. Malu bukan main.
Para santri putri sudah pergi. Kini hanya ada dirinya dan satu orang santriwati yang menemani.
"Gimana dong, Neng? Sandalnya makin jauh," ucap seorang gadis bermukena putih dengan bordir bunga berwarna ungu.
"Apa minta tolong sama santri putra aja, Neng?" usul Dhyla.
"Aduh, gimana ya? Masak minta bantuan?" Adiba malah balik bertanya karena ragu. Rasa malu mengalahkan segalanya. Entah kenapa, padahal ia biasa-biasa saja dengan teman lelaki di sekolah.
"Ini sandal sampean, Neng?" tanya seorang lelaki berpeci hitam dan bersarung kotak-kotak cokelat. Tangan kanannya sudah membawa sandal Adiba.
Deg.
Adiba terkejut melihat kehadiran lelaki itu. "Iya. Itu sandal Neng Adiba," jawab Dhyla.
Lelaki itu memberikan sandal kepada Dhyla. "Ini sandalnya."
"Makasih ya, Akhi." Akhi adalah panggilan untuk santri putra.
"Te-terima kasih." Adiba gugup. "Iya," balas lelaki itu lalu berlalu.
Adiba segera memakai sandalnya lalu meninggalkan masjid.
Lelaki yang membuat Adiba gugup adalah Muhammad Andri Setiawan. Ketua santri putra. Orangnya baik, manis, bertanggung jawab, tegas, dan dewasa. Suaranya sangat mantap ketika melantunkan ayat Al-Qur'an, membuat para gadis klepek-klepek. Umurnya masih 23 tahun. Selain nyantri, ia juga mahasiswa salah satu universitas negeri. Ia adalah lelaki yang diam-diam disukai oleh Adiba.
"Adiba."
Panggilan sang umi membuat gadis itu sadar dari bayangan tentang Andri. "Iya, Umi." Adiba beristigfar dalam hati. Bagaimana bisa ia terus memikirkan lelaki yang bukan mahramnya?
"Kamu ngajar anak kelas satu ya. Kitab Safinah. Umi gak enak badan."
Adiba ingin menolak karena merasa belum pantas menjadi guru. Ilmunya belum seberapa. Tetapi, karena melihat wajah uminya yang pucat, ia pun tak kuasa menolak.
"Iya, Umi." Adiba menerima kitab yang diberikan oleh Umi. Usai mengganti mukena dengan jilbab, ia segera menuju kelas satu yang berada di lantai dua. Di pondok pesantren ini, pelajaran madrasah dibagi lima kelas. Kelas satu untuk santri pemula, kitabnya pun masih dasar, seperti Kitab Al-Ajurumiyah, Kitab Amtsilah At-Tashrifiyah, Kitab Mushtholah Al-Hadits, Kitab Arba'in Nawawi, Kitab At- Taqrib, Kitab Aqidatul Awam, dan Kitab Ta'lim Muta'allim. Sampai di kelas, para santri yang semula ramai sontak duduk diam. Mereka seolah menganggap Adiba kuntilanak yang siap menerkam siapa saja yang sudah menebang pohon tempatnya bermain dengan anak di gendongan. "Assalamu'alaikum. Di sini saya menggantikan Umi dikarenakan Umi sakit. Silakan dipimpin doanya."
"Hal yang membatalkan wudu, pertama adalah ada yang keluar dari salah satu lubang kubul atau dubur, baik berupa angin atau benda lainnya, kecuali air mani. Misalnya, air kencing, kentut, dan hajat.
"Yang kedua, hilangnya akal karena tidur atau hal lainnya, kecuali tidur yang menetapkan pantatnya ke tanah. Menetapkan pantat ke tanah itu maksudnya tidur dalam keadaan duduk."
"Jika bersujud, Neng?" tanya seorang santri yang duduk di bangku paling belakang.
"Tetap saja batal, karena dalam keadaan sujud, pantat tidak menetap di tanah."
"Kalo ketiduran gimana, Neng?" tanya santri yang lain. "Tetap saja batal. Mau disengaja atau tidak, jika sudah tidur itu tandanya wudu kita sudah batal."
Santri yang bertanya mengangguk mengerti setelah mendengarkan penjelasan Adiba.
Adiba diam beberapa detik. Siapa tahu ada yang ingin bertanya lagi. Semua diam hingga menit pertama. Itu berarti tidak ada yang ingin bertanya. Ia mulai melanjutkan penjelasan.
"Kalo tidak disengaja bagaimana, Neng? Apakah wudunya tetap batal?"
Adiba mengiakan pertanyaan santri tersebut. "Dan yang terakhir, mengusap kubul atau lingkaran dubur dengan telapak tangan atau jari bagian dalam."
Kurang lebih 30 menit Adiba mengajar isi Kitab Safinah. Ia berikan waktu 5 menit untuk bertanya. Namun, tak ada satu pun pertanyaan terlontar. Adiba memutuskan menutup pelajaran subuh dengan doa.
Jam dinding menunjukkan pukul 05.12. Gadis itu segera bersiap-siap pergi ke sekolah. Ini adalah hari kedua MPLS. Sebagai panitia, ia harus berangkat lebih awal. Terlambat? Hancur nama baik OSIS.
* * *
Pukul 07.56. Pasti gue sudah terlambat. Benar saja, pintu gerbang tutup rapat. Gue parkirin saja motor gede gue di depan gerbang lalu lepas helm silver kebanggaan. Gue lihat dua orang gadis berdiri di depan peserta MPLS. Gue tahu mereka peserta MPLS karena masih memakai seragam putih biru, seragam SMP. Mata gue fokus kepada kedua gadis itu. Sepertinya tak asing lagi. Farah dan si gadis menyebalkan—tapi cantik kayak bidadari surga—yang bernama Adiba. Gue yakin, pasti itu mereka.
"Heh..., kamu!"
Suara Adiba bikin kaget. Kenapa gadis itu suka marah- marah? Apa dia enggak tahu kalau dia marah itu cantik banget?
Gue memutar bola mata malas kemudian menuntun sepeda motor ke dalam setelah si Adiba membuka pintu gerbang. Dia hanya membukakan sedikit celah, bikin gue kesusahan masukin motor segede ini. "Mak Lampir, nama gue Nauval bukan Dek. N-A-U-V-A-L."
"Udah sini! Ikut baris sama yang lain," ucapnya ketus.
Andai saja gue enggak mendapatkan SP lagi, gue enggak akan menurut.
"Kamu lagi?" tanya seorang gadis lemah.
Ahaa..., dia adalah Farah, cewek yang gue tembak kemarin. Dua puluh menit kemudian, hukuman keterlambatan pun akhirnya selesai. Gue membuntuti Adiba dan Farah yang tengah berbincang meninggalkan siswa yang dihukum. Keduanya tampak sangat akrab sesuai dengan dugaan gue. Dengan begitu, gue tidak salah sasaran buat nembak si Farah. Jangan panggil gue Nauval kalau enggak penuh taktik dalam hal perempuan.
"Kenapa kamu ngikutin kami?" tanya Adiba setelah berbalik.
Otomatis langkah gue ikut berhenti. "Siapa juga yang ngikutin lo? Jangan ke-PD-an deh jadi cewek. Gue ngikutin Farah kok."
Mendengar pertanyaan gue, Farah diam.
Adiba memandang tajam seperti tatapan kebencian dan penuh selidik.
Satu detik, 2 detik, 3 detik, 4 detik, 5 detik, hingga 10 detik. Farah masih terdiam.
"Kata orang, diam itu iya. Jadi gue anggap lo enggak nolak buat jadi pacar gue. Selagi gak ada bantahan berarti kesimpulan gue benar." Lagi-lagi dugaan gue benar, Farah tak menyangkalnya.
Yes, dengan begini taktik akan berjalan sesuai rencana. "Ok, Sayang. Gue pergi dulu ya. Sampai nanti." Sebelum
benar-benar pergi, gue lihat Adiba menatap sahabatnya seolah bertanya-tanya kenapa dia menerima gue dengan mudahnya.
"Kamu serius, Rah?"
Hanya itu pertanyaan Adiba kepada Farah yang gue dengar. Karena sekarang, gue udah jauh dari tempat mereka berdiri.
Terlambat, eh dapat pacar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top