08 • Ikatan yang Keliru
08
Ikatan yang Keliru
.
.
.
Pagi ini langit tak secerah biasanya. Tetes bening berjatuhan dari atas sana, membasahi bumi dengan tangisan semesta. Hujan ringan yang mengguyur Jakarta, bagai kelambu berlian yang menjuntai indah di udara. Melunturkan doa-doa serta harapan yang pernah terucap dari bibir Cinta. Membawa embusan angin dingin yang menusuk lewat celah-celah jendela ruang tengah keluarga Hutama yang akan menjadi saksi bisu kehancurannya.
Cinta. Gadis itu duduk di sudut ruangan dengan mata berembun. Tubuhnya bergeming, tak mampu melakukan pergerakan sekecil apa pun selain menghirup dan mengeluarkan napas pendek-pendek. Mencoba melawan himpitan kasatmata yang menekan kuat di dalam dada.
Pemandangan di depan sana sungguh menyakitkan hatinya, mengiris tipis tiap kulit jantungnya yang terasa tak mampu lagi mengalirkan pasokan darah ke sekujur tubuh. Ia hanya bisa membatu, duduk di antara para tamu undangan yang hadir untuk menyaksikan acara sakral yang akan berlangsung pagi ini.
Ruangan yang sejak tadi begitu ricuh, mendadak hening seketika. Semua mata menuju satu arah yang sama. Perlahan, Cinta mengangkat kepala, mengikuti arah pandang mereka. Detik berikutnya, ia terpaku pada satu sosok di ujung tangga.
Dalam balutan kebaya putih sederhana, Alumunia tampak begitu bersinar dengan diapit Bi Rahma dan Bi Sumana yang mengenakan kebaya berwarna senada—biru tua—di kanan kirinya. Langkah anggun dari sepasang kakinya yang beradu dengan lantai marmer, memacu detak jantung Cinta yang memburu. Setiap jejak yang Aluminia ambil, memicu kecepatan dentum di dalam sana. Semakin cepat ... cepat .... dan cepat, hingga Cinta tak bisa menjamin organ pemompa darah itu akan bertahan sampai esok hari.
DEG!
Lalu satu detak terakhir serasa menghentak hingga sistem pernapasannya ikut terhenti sejenak, begitu tubuh Aluminia telah terduduk di kursi berpita tepat di samping Iron. Berhadapan dengan seorang penghulu dan petugas dari KUA.
Mata Cinta tak lagi berembun. Bulir-bulir basah mulai berjatuhan di pipi. Rasa sakit yang teramat di dada, memaksanya menundukkan kepala. Suara isak kecilnya tersamarkan oleh ocehan Master of Ceremony yang mengintruksikan bahwa akad akan segera dimulai.
"Iron Hanggara," suara penghulu terdengar. Di tempatnya, Cinta gemetaran. "Anda siap?"
Gadis itu tak mendengar apa pun untuk sesaat. Barangkali Iron menjawab dengan anggkukan, karena setelahnya, suara penghulu kembali terdengar lebih tegas dan lantang dengan diawali pembacaan basmalah terlebih dahulu.
"Iron Hanggara, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Aluminia Lara ...."
Telinga Cinta berdengung, tak mampu mendengar lagi. Satu tetes keringat dingin jatuh dari pelipis, berbaur dengan air mata yang berderai-derai. Cinta megap-megap, seluruh pasokan undara seakan menghilang dari sekitar. Ia tak sanggup. Rasa sesak ini menghimpit dadanya, merambat ke atas dan mencekit tenggorokannya. Ini, lebih dari sekedar menyakitkan.
Berpegangan pada sandaran kursi tamu yang ia duduki, Cinta hendak bangkit berdiri, memaksa kedua kakinya yang mendadak berubah jeli untuk melangkah pergi. Tapi, tubuhnya kembali terhempas begitu saja kala suara berat Iron terdengar menyapa telinga.
Hati Cinta hancur saat itu juga.
"Saya terima nikah dan kawinnya Cin" Detak jantung Cinta kembali menghentak. Pandangan nanarnya mengarah pada punggung Iron yang biasanya tampak kokoh, kini terlihat lesu. Cinta tahu, bukan hanya dirinya yang terluka. Iron juga.
Merasa telinganya menangkap suku kata ganjil, Aluminia menoleh ke samping. Kelopak matanya menyipit kala di dapatinya Iron mematung sesaat setelah hampir menyebutkan nama yang salah. Wanita itu baru bisa bernapas lega setelah Iron memperbaiki nama yang harus ia sebut dalam kabulnya.
"Al ... Aluminia ...."
Iron tersenyum getir. Hari ini, ia tahu arti kalah yang sebenarnya.
Jika katanya para lelaki akan deg-degan dan gugup setengah mati saat detik-detik melalui ijab kabul, maka hal itu tak berlaku bagi Iron. Ia hanya merasa ... hampa.
Dan saat jabatan tangannya serta penghulu terlepas, serta merta sesak tak berperi memenuhi paru-paru Iron. Kata 'sah' yang menggema, bagai terpantul di gendang telinga.
Pemuda itu termangu.
Andai yang ia nikahi adalah Cinta Givanna ... semua pasti jauh berbeda.
Sentuhan lembut di punggung tangan kanannya, bagai aliran listrik bertegangan tinggi yang berhasil menyentak Iron kembali ke dunia nyata. Pemuda itu menoleh ke samping kiri. Spontan, napasnya tertahan selama sepersekian detik kala menyadari tangannya kini sudah terangkat di udara dan berhenti tepat di depan pucuk hidung mancung Aluminia. Iron kesulitan menelan ludah, seakan ada biji kedongdong yang menyumbat lubang tenggorokannya.
"Dicium dong, pengantinnya." Entah siapa pemilik suara yang sudah berceletuk demikian, karena detik berikutnya Iron mendapati wajahnya maju, mendekati Lumi dan mendaratkan kecupan ringan di kening perempuan itu. Hanya sekilas, sebab batinnya meronta, jijik akan skinship mereka.
Mengakhiri kecupan di kening Lumi, tubuh Iron kembali kaku. Doa-doa mulai terurai untuk kelangsungan rumah tangga baru yang akan segera dimulai dengan sang istri, tapi hati Iron merintih yang sebaliknya.
See ....
Dia benar-benar harus menikahi Aluminia Lara. Terhitung dua minggu dari acara diskusi keluarga.
Ucapan selamat bertubi-tubi dari para tamu undangan yang hanya terdiri dari anggota keluarga dan segelintir sahabat dekat, membuat kekalahan Iron terasa lebih nyata.
Pada akhirnya Iron harus mengakui, dalam permainan ini Aluminialah pemenangnya.
Menggunakan ekor mata, Iron mencoba menjelajahi seluruh isi ruang tengah keluarga Hutama yang hari ini disulap menjadi ruang akad sekaligus resepsi pernikahan. Pesta kecil-kecilan memang, mengingat awal dari pernikahan ini adalah sebuah kekeliruan.
Dari ujung ke ujung, tak Iron temukan seraut wajah jelita bidadari yang sudah lebih setahun mewarnai harinya. Iron mendesah resah. Rasa sakit bertubi-tubi menyerang ulu hati, berbaur dengan amarah yang menggelegak di jiwa. Rahang pemuda itu mengeras kala matanya tak sengaja melirik Aluminia yang berdiri angkuh di sampingnya. Menerima ucapan selamat dari para tamu dengan senyum palsu.
Dasar penjilat!
"Iron," panggilan yang terdengar familier menarik perhatian. Iron menoleh ke samping dan menemukan Boby, sepupu dari pihak Subhan yang berjalan meniti dua anak tangga menuju panggung. Iron menyambutnya dengan senyum tipis begitu pemuda bertubuh tinggi besar dan berjambang itu tiba di hadapannya.
"Selamat ya, Bro!" Boby menyalami Iron sembari menggoyangkan jabatan tangan mereka dengan sedikit hentakan ringan. "Gue nggak nyangka bakal lo langkahin," kekeh Boby saat jabatan tangan keduanya terlepas. Iron tak menyahut, tak punya mood untuk sekadar mengobrol dengan Boby yang notabene adalah salah satu sepupu terdekatnya.
Mengabaikan ocehannya yang tak mendapat tanggapan, Boby mendekatkan bibir pada telinga Iron dan berbisik, "Hebat, lo bisa naklukin model cantik macam Aluminia!" Yang Iron balas dengan dengusan pendek tak kentara. Selain keluarga inti, tidak ada yang tahu bahwa wanita yang telah sah menjadi istrinya tengah berbadan dua, hasil perbuatan mesumnya entah dengan siapa.
Usai mengucapkan selamat pada Iron, Boby beralih pada Aluminia. Ia berbasa-basi sedikit, sebelum akhirnya turun kembali dan berganti dengan tamu undangan yang lain.
Aluminia bukan tak mengerti keresahan Iron. Sejak tadi pemuda itu tiada sekata pun menyapanya. Oh, bukan hanya sejak tadi, tapi sejak dua minggu lalu. Hanya tatapan tajam yang selalu Iron arahkan. Kendati begitu, siapa peduli.
Aluminia juga tahu alasan Iron menikahinya selain karena untuk menyelamatkan nama baik serta keberlangsungan HC, juga karena Subhan memeberi keringanan. Katanya, setelah Aluminia melahirkan dan bayinya terbukti bukan anak Iron, maka lelaki itu boleh menceraikannya.
Ugh. Lumi tak pernah takut menjadi seorang janda. Toh setelah mereka bercerai, ia masih akan mendapat harta gono-gini, kan? Bonus seorang bayi cantik.
Mengingat rencana dalam otaknya, Lumi tertawa dalam hati. Memikirkan betapa liciknya ia ....
"Eh, Aluminia nggak mau nambah?" tanya Rosaline ramah. Mendengar pertanyaan ibunya, Iron menelan paksa makanan dalam mulut. Ia mendongak menatap Rosaline sejenak, yang sedang berusaha tersenyum, lalu mengalihkan tatapan pada Aluminia yang menjawab pertanyaan itu dengan gelengan pelan. Dalam hati, Iron berdecak memerhatikan tingkah Lumi yang sok kelewat anggun di meja makan.
Lihat saja dia. Duduk dengan punggung tegak. Kaki menyilang di balik meja. Gemulai tangannya saat menyendok. Juga gerakan pelan rahangnya saat mengunyah. Dan lihat isi piringnya. Hanya setengah centong nasi. Tumis kangkung serta sepotong daging ayam. Menyiksa diri sekali. Tidakkah ia kasihan pada bayi dalam kandungannya yang butuh nutrisi? Atau memang begitu cara makan seorang model untuk mempertahankan bentuk tubuh tetap ideal? Sangat berbeda dengan Cinta yang makan dengan cara apa adanya.
"Iron, tanya istrimu dong, mau makan apa?" Subhan Hutama menimpali. Walau sebenarnya ia lebih menyukai Cinta untuk dijadikan menantu, bukan berarti ia harus berlaku tak adil pada Aluminia. Mengabaikan fakta tentang jati diri ayah dari bayi yang dikandung istri dari putra sulungnya ini. "Jadi suami kok, nggak ada perhatiannya sama sekali. Kasian bayi kalian."
Iron yang sejak tadi merasa jengah duduk bersebelahan dengan Aluminia, meraih gelas kristal yang terisi penuh, lantas menandaskan isinya dalam tiga kali tegukan sebelum menanggapi ocehan Subhan tak acuh. "Kalau memang dia nggak mau makan, ya udah. Ngapain dipaksa."
"Iron!" tegur Subhan dan Rosaline serentak. Cukup heran dengan tingkah Iron yang akhir-akhir ini sering membangkang.
Tahu teguran orangtuanya merupakan awal dari ceramah panjang, cepat-cepat Iron mendorong piring makannya yang baru habis dua sendok menjauh, seiring dengan dorongan yang ia lakukan pada kursi kayu berplitur mengkilap ke belakang.
"Aku udah kenyang!" Pemuda itu bangkit berdiri. Dan sebelum Subhan sempat mencegah, tubuhnya berbalik pergi dari ruang makan yang penuh dengan aura kecanggungan karena kehadiran anggota keluarga baru yang tak diharapkan.
Usai acara pernikahan siang tadi, Iron memutuskan untuk pulang ke rumah seorang diri. Persetan dengan Aluminia, toh yang diperlukan hanya status. Namun, ternyata pemikirannya tak sejalan dengan sang ibu. Rosaline justru mengajak serta Aluminia menuju kediaman mereka. Iron kesal, tapi ia tak mungkin mendebat Rosaline.
"Maafkan Iron ya, Lumi. Dia nggak biasanya bersikap begitu." Rosaline berucap tak enak hati. Menatap Lumi dengan sorot lembut sarat ketulusan yang tak dibuat-buat.
"Nggak apa-apa kok, Tante," balas Lumi setelah menghabiskan suapan terakhir. Ia tak begitu peduli dengan perdebatan kecil yang sempat terjadi beberapa saat lalu. Aluminia sudah biasa menghabiskan waktu makan dengan perdebatan yang lebih parah dari ini.
Meneguk setengah gelas air mineral yang tersisa dalam gelasnya, ia undur diri.
Pintu bercat putih dengan ukiran burung elang yang berada di ujung lantai dua, merupakan kamar suaminya. Aluminia melangkah tanpa ragu menuju pintu tersebut. Senyumnya mengembang kala mengetahui pintu kamar Iron tak terkunci.
Suara gemericik air dari kamar mandi langsung menyapa telinganya begitu ia masuk. Lumi mengedarkan pupil mata, memindai seluruh isi ruangan. Seperti halnya kamar para pria pada umumnya, tak ada yang istimewa dari kamar Iron. Hanya sebuah kotak persegi berukuran 7x7 meter dengan perpaduan warna abu dan hitam. Pada dinding tempat kepala ranjang bersandar, tertempel lukisan abstrak dengan sentuhan banyak warna yang tak Lumi pahami maknanya. Smart TV berlayar empat puluh dua inchi menempel manis pada tembok yang berhadapan dengan ranjang berukuran king yang sejak tadi menggoda Lumi untuk melelapkan diri. Lemari pakaian dengan empat pintu berdiri kokoh di bagian selatandua koper bawaan Lumi teronggok di sampingnyasejajar dengan pintu kamar mandi. Gorden tipis berwarna hitam melambai-lambai dari jendela pemisah antara kamar dan balkon yang berada di sisi utara.
Pandangan Lumi berhenti beredar pada meja nakas di samping ranjang.
Mengabaikan apa pun yang berada di kamar ini, Aluminia merebahkan diri ke atas kasur empuk. Ia menempati sisi kiri ranjang dan mulai berselancar di dunia maya. Membuka akun twitter, path dan instagram, hingga akhirnya jatuh terlelap.
Iron keluar dari kamar mandi tak lama kemudian. Rahanganya otomatis mengetat mendapati pemandangan yang sukses membuat kemarahan yang sempat mereda menggelegak kembali ke permukaan. Ia tak suka seseorangselain keluargamemasuki teritorinya tanpa izin. Tapi, untuk membangunkan dan menyeret perempuan ular itu keluar dari kamar ini pun, Iron tak sudi. Ia enggan melakukan komunikasi dalam bentuk apa pun dengan seorang Aluminia. Cukup tadi pagi ia mencium keningnya sebagai formalitas pernikahan, meski sesudahnya Iron harus berjengit jijik dalam hati.
Maka setelah berganti pakaian, Iron segera pergi dari kamar. Malam ini ia akan tidur di kamar Steel saja sembari memikirkan cara membalas wanita ular itu. Jangan harap dia bisa bersenang-senang selama menjadi istri Iron.
***
21 Februari 2016
Repost 18 Des 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top