07 • Lubang di Sudut Hati
07
Lubang di Sudut Hati
.
.
.
"Apa tidak terlalu lama?" tanya Subhan gusar, setelah mendengar penjelasan dari Nina tentang tes DNA yang direncanakan Iron. "Jika menunggu usia kandungan Aluminia sampai dua belas minggu, ditambah dua minggu untuk melihat hasilnya, tidakkah kandungan Lumi mulai terlihat. Bagaimana kalau media tahu?" Lelaki paruh baya itu mengedarkan pandangan pada seluruh anggota keluarga yang berada di ruang tamu, selepas memeriksa Lumi.
"Maksud Papa, apa?" Iron yang mulai mengerti arah pembicaraan Subhan tak ingin basa-basi. Nada datar yang ia gunakan menarik perhatian Cinta untuk menoleh padanya. Detak ganjal di balik dadanya, membikin mata gadis itu berkaca-kaca.
Subhan mengeluarkan napas panjang melalui mulut. Sebenarnya tak tega pada Iron, tapi sebagai laki-laki, putranya harus bertanggung jawab atas apa pun yang telah diperbuat. Bukan berarti Subhan tak percaya pada Iron, ia hanya mencoba realistis. Seorang perempuan tak akan menunjuk sembarangan ayah dari anak yang dikandungnya tanpa alasan. Dan jika menilik dari sikap Iron, Subhan mengambil kesimpulan: putranya pernah membuat masalahentah apadengan Aluminia.
Tak hanya tentang pertanggungjawaban, masa depan Hanggara Company serta firma hukum milik Wandi Hutama akan dipertaruhkan apabila kabar ini tersiar. "Nikahi Aluminia secepatnya," putus Subhan kemudian.
Semua orang kecuali Rosaline, terkejut mendengar putusan tersebut. Gustav yang tak setuju angkat bicara, "Tapi, belum tentu yang dikandung Lumi anak Iron, Om." Sekilas ia melirik Cinta yang duduk di sampingnya. Gadis itu tertunduk dalam. Gustav tahu, adiknya akan menangis sebentar lagi jika masih memaksakan diri mendengarkan diskusi keluarga ini.
"Papa nggak bisa mengambil keputusan penting segegabah ini," bantah Iron tak terima.
"Gegabah?" Subhan mengulang dengan nada mengejek. "Dalam masalah ini, kamu tidak bisa menomorsatukan perasaanmu, Iron. Pikirkan HC"
"Selalu harga saham yang menjadi alasan Papa!" Iron menyela seketika, melupakan sopan santun dan mengabaikan keberadaan keluarga Cinta yang bisa jadi berpikiran buruk akan sikapnya ini. "Seberharga itukah harga saham ketimbang aku?" tatapan nanar ia layangkan pada Subhan yang mulai berang.
"Kamu selalu berpikir pendek." Subhan membalas tatapan nanar putranya dengan lebih tajam. Deru napas lelaki paruh baya itu mulai tak beraturan. Andai kini dirinya tak berada di rumah orang, sudah pasti tak akan segan ia melempar kepala Iron dengan sepatu pantofelnya. "Jangan kamu pikir, Papa sepicik itu!" Elusan lembut Rosaline di punggungnya, cukup berhasil menurunkan kadar emosi Subhan. "Terlepas anak dalam kandungan Aluminia adalah benihmu atau bukan, pikirkan nasib nama baik keluarga kita, keluarga Cinta, dan keberlangsungan firma hukum calon mertuamu. Apakah kamu bisa menjamin semua itu akan tetap baik-baik saja, jika skandalmu dan Aluminia tercium media?" cecar Subhan, bagai lesatan anak panah yang tepat mengenai sasaran.
Iron hendak membantah lagi, tapi kata-katanya yang sudah berada di ujung lidah harus terpaksa ia telan kembali begitu otak cerdasnya berhasil mencerna. Iron pada akhirnya hanya bisa bungkam, tak pernah berpikir sampai sejauh itu.
Gustav yang awalnya berencana ikut membantu Iron, mulai berpikir ulang. Wandi memilih diam, kelakuan Lumi cukup membuatnya tak punya muka untuk sekadar menyampaikan pendapat. Pengacara andal yang pandai mengintimidasi dan berargumen membela kliennya di depan meja hijau itu, tidak punya pembelaan untuk membuktikan dirinya cukup pantas ambil suara dalam diskusi genting ini. Di sampingnya, Resti duduk gelisah, tak terima bila akhirnya Iron harus menikahi Lumi dan meninggalkan Cinta. Sementara Cinta sendiri tertunduk kian dalam.
Nina, di balik sikap tenang yang sejak tadi ia tampilkan, tersimpan rasa bersalah yang kian menggunung melihat ekspresi putus asa Iron, juga punggung Cinta yang mulai bergetar halus menyembunyikan tangisan. Karena secara tak langsung, ia ikut andil dalam masalah pelik yang Aluminia ciptakan untuk keluarganya sendiri.
BRAAKKK ...!
Ini sudah berkas ketiga yang Iron empas pada meja luas berlapis kaca hitam di hadapannya. Pemuda itu tak bisa fokus bekerja. Otaknya terlalu aktif memikirkan ultimatum Subhan yang semalam berhasil mendapat persetujuan semua orang dalam diskusi keluarga.
Rasanya ... ini tidak adil. Memikirkan ia harus menikahi wanita yang hamil bukan benihnya, sukses membuat Iron merasa hampir gila.
Melempar pulpen yang tadi hendak dipakai untuk membubuhkan tanda tangan ke sembarang arah, pemuda itu bangkit dari kursi kerja, lantas melangkah menuju jendela. Menjulang di depan kaca besar yang membentang dari ujung ke ujung, menampilkan visualisasi kota metropolitan yang tampak terik di jam menjelang makan siang. Satu tangan, Iron susurkan ke dalam kantong celana bersamaan dengan helaan napas panjang terembus dari mulutnya.
Aluminia Lara.
Di dalam kantong, tangan Iron terkepal. Kelopak matanya bergetar penuh kebencian saat nama itu tetlintas di kepala.
Iron memang berengsek. Tapi seberengsek apa pun dirinya, ia masihlah seorang lelaki yang menginginkan gadis baik-baik untuk melahirkan anak-anaknya kelak, sebagai penerus keluarga Hanggara. Sedang Almunia Lara, demi Tuhan, tak ada kata baik untuk perempuan itu.
Sejak awal bertemu, Iron tahu, Aluminia adalah jenis wanita matrealistis dan sok cantik, setipe dengan wanita murahan yang sering Iron sewa untuk menemani malam panjangnya.
Tipe yang paling Iron hindari untuk dijadikan istri, kini harus ia nikahi. Demi nama baik dua keluarga dan demi keberlangsungan HC.
Sial! Kenapa harus Iron yang jadi korban?
Lihat saja nanti. Jika ia benar-benar menikah dengan Aluminia, jangan harap wanita itu bisa bersenang-senang dengan uangnya!
Suara ketukan pintu tak Iron acuhkan. Ia masih memandang kosong gedung-gedung pencakar langit lain yang menjulang di atas bumi Jakarta dengan pandangan kebencian, berpikir bagaimana cara membunuh bayang-bayang Lumi yang sejak semalam menari-nari dalam benak, seolah menertawakan Iron atas ketidak berdayaannya menerima hasil keputusan dari diskusi keluarga mereka.
"Demi Tuhan, Iron!" suara bariton yang sudah sangat familier, menyapa gendang telinganya. Iron memejamkan mata sejenak sembari menghirup oksigen banyak-banyak. Saat kedua kelopak matanya terbuka, saat itu pula embusan karbon dioksida keluar dari mulutnya.
"Tangan gue sampai merah gini dan lo nggak nyuruh masuk juga," gerutu suara tadi dari arah belakang. Bunyi tubrukan punggung dan sandaran sofa terdengar kemudian. "Sori kalau gue langsung nyelonong. Udah jam makan siang juga. Jadi, nggak masalah, kan?
Mengeluarkan tangan dari dalam kantong celana, Iron berbalik badan. Tanpa menyahuti ocehan sang lawan bicara, ia melangkah menuju sofa cokelat tua yang berada di tengah ruangan, lalu mengenyakkan tubuhnya di samping Damar. Suara embusan napasnya yang terdengar berat, menarik perhatian Damar untuk bertanya.
"Kenapa lo? Ada masalah sama kerjaan?" Damar meraih paper bag berlogo nama sebuah restoran terkenal yang tadi ia bawa di atas coffee table. "Noh, gue bawain makan siang buat lo!" ia menunjuk paper bag lain dengan dagu.
Iron mendengus pendek. Ia hanya melirik sekilas paper bag yang ditunjuk Damar dan memerhatikan temannya yang mulai makan.
"Aluminia hamil," ucapnya tanpa tadeng aling-aling. Membuat hasil kunyahan shusi yang masih kasar dalam mulut Damar, tertelan paksa memasuki kerongkongan.
Damar tersedak.
Tanpa merasa bersalah sama sekali, Iron mengambilkan air di dispenser yang berada di dekat sofa, lantas memberikannya pada Damar yang tampak begitu tersiksa.
Setelah menandaskan satu gelas penuh air putih, Damar memfokuskan pandangannya pada satu arah, Iron. Pria itu meletakkan sisa makanannya yang belum habis separuh, kembali ke atas meja. "Lo ngomong apa tadi?" tanyanya serius.
"Aluminia hamil," ulang Iron tanpa membalas tatapan lawan bicaranya. Damar bergeming selama sepersekian detik sebelum kemudian mengedip dua kali, berharap bisa menjernihkan pendengaran. Lalu secara perlahan, punggungnya mulai bergetar halus. Tak lama, suara tawa membahana memenuhi seluruh ruang kerja Iron.
"Buahahahaha ... lo bercanda kan, Bro?" ada nada ragu dalam pertanyaannya yang kemudian Iron jawab dengan gelengan kaku. Praktis, tawa Damar mereda. Ia menelan ludah susah payah. "Kok, bisa?" pertanyaan bodoh itu, Iron jawab dengan jitakan keras di kepala sahabatnya.
"Sakit, Bego!" Damar bersungut-sungut. Satu tangannya terangkat mengelus bekas jitakan Iron yang mulai nyut-nyutan tepat di bagian pelipis.
"Pertanyaan lo bodoh banget, sih?! Gue nggak harus ngejelasin proses pembuahan secara mendetail, kan?" tanya Iron sarkastik yang ditanggapi Damar dengan gerutuan pendek.
"Lagian, lo tau dari mana kalo si Lumi hamil?" acuh tak acuh, Damar kembali memakan shusinya, berusaha nengabaikan kabar burung yang baru saja Iron tuturkan. Toh kalau Lumi hamil sungguhan, tentulah ia akan lebih dulu tahu ketimbang Iron. "Lumi itu model, Man. Wajar kalau lo sering denger kabar miring tentang dia," ujarnya di sela-sela aktivitas mengunyah.
Iron mendengus pendek. Andai kehamilan Lumi memang hanya sekadar kabar burung ....
"Dia nuduh gue sebagai ayah dari bayinya."
Lagi. Damar tersedak. Kali ini, hasil kunyahan Damar yang sudah halus, sebagian nyasar ke tenggorokan saat hendak menelan. Pemimpin dari Zera Agency itu terbatuk keras sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Dengan ekspresi tanpa dosa, Iron kembali mengambilkan air untuk Damar yang langsung tandas dalam tiga kali tegukan.
"Lo ... serius?" suara pelan Damar, Iron sambut dengan senyum getir. Sinar mata penuh kejujuran yang terpancar dari telaga beningnya, membuat Damar mau tak mau harus percaya. Iron tidak bercanda. Dan kenyataan ini tentu memberatkan pemuda itu.
"Ini bencana!" gumamnya yang sekarang sudah berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan gestur gelisah, melupakan shusinya yang bahkan belum habis setengah. Iron yang melihatnya, menaikkan alis mata sebelah.
"Gue yang diminta pertanggungjawaban, kenapa lo yang sewot?"
"Aluminia hamil, Iron!" Damar berhenti mondar-mandir sejenak hanya untuk menyuarakan isi kepalanya. "Padahal, bulan ini dia banyak tawaran pekerjaan. Bisa lo bayangin kalau sampai tawaran itu nggak diambil, maka"
"Uang lo bakal berkurang!" lanjut Iron malas. Damar menjentikkan jari sebagai pembenaran, lalu kembali mondar-mandir tak jelas.
Mengesampingkan masalah uang, tiba-tiba Damar diam. Ia menoleh pada Iron yang tampak melamun di tempat duduknya. Mata Damar menyipit, mencoba menganalisa masalah ini baik-baik sebelum mengajukan pertanyaan, "Apa bener, lo yang menghamili Lumi?"
"Nyicipin tubuhnya aja belum," tutur Iron diiringi dengan dengusan kasar. Damar kembali ke sofa dan menjatuhkan diri di tempat semula, mengambil posisi lebih merapat pada Iron yang praktis mnggeser tubuhnya mendekati lengan sofa. Risih dengan jarak mereka yang nyaris tiada batas, tapi Damar tak peduli. Tatapan menyipit yang dilayangkannya tak berhasil mengintimidasi Iron.
"Lo yakin?" Satu alis mata, Damar naikkan setinggi yang ia bisa. "Bukannya waktu lo ke kantor, kalian kelihatan mesra banget?" lanjutnya retoris.
Dengan jari telunjuk, Iron mendorong kepala Damar menjauh darinya seraya menjawab, "Dan itu awal perkenalan kami. Sebulan yang lalu." Iron memberi penekanan pada akhir kalimatnya. "Tapi sekarang, dia udah hamil lima minggu!"
Damar menuruti keinginan Iron untuk memberi space lebih di antara mereka, tapi tatapan curiganya masih tak mau lepas membidik Iron tepat di mata.
"Gue kenal Aluminia," ucap Damar seketika. "Dia emang pembangkang, tapi dia nggak akan pernah gangguin orang yang nggak punya masalah sama dia," dan pernyataan itu, terdengar serupa tuduhan di telinga Iron yang langsung membuang muka ke sudut ruangan.
"Gue yang bikin dia sama Rafdi Zachwilli putus."
Mata Damar yang sedari tadi menyipit, membulat sempurna. Dia membuka mulut lebar-lebar hanya untuk menguapkan udara saking terkejutnya. "Lo gila!" tukas pemuda itu saat tak tahu lagi harus berkomentar apa. "Pantes aja dia nunjuk lo sebagai ayah dari anak dalam kandungannya. Kalau pun gue jadi dia, gue bakal ngelakuin hal yang sama." Damar mengempaskan punggungnya pada sandaran sofa. Ikut lelah dengan permasalahan Iron, juga lelah memikirkan kehamilan salah satu modelnya yang pasti berdampak pada Zera.
"Denger Iron," Damar berkata sambil memutar bola matanya menekuri langit-langit ruang kerja Iron yang berselimutkan plafon putih polos, hanya ada lima lampu LED yang tersebar di setiap sudut serta di bagian tengahnya, "sampai mati, Lumi nggak bakal pernah balikan lagi sama Rafdi"
"Kenapa?" potong Iron. Tak terlalu tertarik pada topik pembicaraan yang dipilih Damar. Masalah percintaan Lumi, jelas bukan urusannya.
Damar mengangkat sedikit kepalanya dari sandaran sofa, kembali memusatkan arah pandang pada sang lawan bicara. Memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya meski ia sadari Iron tak terlalu ingin tahu. "Saat gue ngancem bakal ngeluarin dia dari Zera, Lumi bilang, sekali dia dilepaskan, jangan harap bisa kembali mengikatnya."
"Jadi, itu alasan kenapa dia diperlakukan sedikit lebih istimewa ketimbang model lain di Zera?" Iron tampak mulai bisa menangkap benang merah dari pembicaraan mereka. Damar mengangguk sekali sebagai bentuk jawaban.
"Dan yang gue tahu, Lumi orangnya ambisius banget. Jangan harap lo bisa lolos dari cengkeraman dia saat lo udah mengumpankan diri." Penjelasan Damar, entah mengapa berhasil membangunkan bulu roman Iron di bagian tengkuk. "Mencari masalah sama Lumi, sama aja cari mati," lanjut Damar tanpa ada niat menakuti.
"PUAS KAMU!?" suara teriakan itu menggelegar memenuhi kediaman keluarga Hutama. Resti, nyonya besar di rumah ini berkacak pinggang di samping ranjang Lumi. Objek kemarahannya sedang duduk bersandar pada kepala ranjang sambil menundukkan kepala. Berlagak takut, padahal tangannya sedang men-scroll down layar ponsel yang ia sembunyikan di balik selimut.
Nina bilang, kandungannya cukup lemah. Katanya, selama trimester pertama, diharapkan Lumi untuk bedrest total dan jangan bekerja dulu, karena bisa membahayakan janinnya bila ia terlalu banyak beraktivitas. Pesan itu Nina sampaikan lewat Bi Sumana, yang kemarin mengetahui kalau ia pingsan. Sial! Beruntung kabar pingsannya tak ia sebar kepada penghuni rumah yang lain.
"Apa kamu benar-benar tidak punya hati, Lumi?" nada suara Resti berubah lebih pelan. Satu tangan, ia turunkan dari pinggang. "Apa kamu tidak kasihan pada adikmu yang sejak kemarin tidak mau keluar kamar?"
Lumi tak menyahut. Netra hitamnya masih fokus membaca deretan huruf artikel yang menerangkan 'Cara Mengatasi Mual pada Ibu Hamil', enggan mengindahkan perkataan Resti yang numpang lewat di telinganya.
Sentuhan lembut di pundak, menghentikan aktivitas Lumi. Perempuan itu tertegun merasai tangan dingin memegangi pundaknya yang hanya dihiasi tali spageti dari gaun tidur tipis yang biasa ia kenakan saat lelap. Ketika menoleh, kelopaknya bergetar mendapati posisi Resti yang kini belutut di samping ranjang.
Tubuh Lumi melemas, genggamamannya pada ponsel di balik selimut terlepas, benda pipih itu menelusup ke dalam celah kedua pahanya yang berselonjor.
"Mama mohon ...." Resti menarik tangannya dari pundak Lumi, meraih tangan sang putri yang melemas dari dalam selimut dan meremas pelan jemarinya.
Aluminia bergeming, menatap Resti dengan pandangan yang sulit diartikan. Detak jantungnya meningkat tajam. Perempuan itu bahkan sampai menahan napas menikmati rasa hangat tangan Resti yang melingkupi tangan kirinya. "Lepaskan Iron. Kasihani adikmu, Lumi."
Susah payah Lumi menelan salivanya sendiri. Satu suara dalam kepala menertawai keterpakuannya.
Demi Cinta, ya?
Bodoh!
Kenapa otak tololnya sempat berpikir, yang dilakukan Resti murni dari hati, karena ingin menyentuhnya?
Tentu saja, hal itu tak mungkin.
Resti hanya akan berlutut karena Cinta, demi Cinta dan untuk Cinta. Tak akan pernah ada kata 'karena Lumi, demi Lumi dan untuk Lumi', sampai kapan pun.
"Maaf." Ia menarik paksa tangannya dari genggaman Resti. Hampa kembali terasa kala tautan mereka terlepas. Lubang dalam di sudut hati, kembali berdenyut nyeri menyadari skinship mereka tadi hanya sandiwara Resti. Berusaha menyembunyikan sinar luka dari matanya, Lumi melarikan pandangan pada sudut kamar. "Aku nggak bisa," sengaja ia memelankan suara agar getar dalam nadanya tak kentara.
"Kenapa?" Resti mendongak. Setan dalam dirinya merongrong kembali ingin membentak, tapi sekuat tenaga ia tahan untuk meluluhkan keras hati Lumi. Jika dengan cara kasar tidak mempan, tak ada salahnya mencoba cara halus, bukan?
"Sekeras apa pun Mama memohon sama aku, aku akan tetap sama keputusan awal." Lumi yang sudah bisa menguasai emosi, melayangkan tatapan berani pada Resti.
Wanita paruh baya itu tak mampu lagi menutupi amarahnya. Mati-matian ia menahan sabar, tapi tak mendapat hasil yang diharapkan. Ia pun bangkit berdiri, lalu melayangkan satu tamparan keras pada Lumi. Alih-alih mngaduh, Lumi justru tertawa setan. Perubahan ekspresi Resti yang begitu drastis cukup menghiburnya.
"Lihat saja nanti, kamu akan membayar semua kelakuan busuk kamu ini, Lumi!" kecam Resti murka sebelum akhirnya memilih untuk pergi. Meninggalkan Lumi dengan suara tawa yang makin lama kian melirih. Dan mereda sepenuhnya begitu pintu kamar dibanting dari luar.
°°°
Repost, 13 Des 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top