06 • (Bukan) Manusia Tak Berhati
06
(Bukan) Manusia Tak Berhati
.
.
.
Di luar dugaan, Cinta yang sudah ia khianati masih mau menemuinya. Gadis itu melangkah dengan begitu anggun. Mendatangi Iron yang sejak tadi duduk gelisah di ruang tamu Tuan Hutama.
Sejak kemunculan Cinta dari balik sekat pemisah ruang tengah, mata Iron tak pernah lepas memandangnya. Ada detak bahagia yang berbaur dengan rasa waswas di dalam dada. Iron bersukur masih bisa melihat Cinta, lengkap dengan seulas senyum simpul yang selalu berhasil membuatnya terlena.
"Maaf udah bikin kamu nunggu lama," ucapnya setelah menjatuhkan diri pada sofa panjang yang bersebrangan dengan posisi Iron. Meja rendah persegi panjang berlapis kaca yang membentang di antara mereka, bagai jarak nyata yang telah memisah keduanya begitu jauh. Ditambah satu kata dalam kalimat Cinta tadi, sukses mengusik sesuatu dalam diri Iron. Ia menunduk, memandangi asbak kosong yang bertengger manis di atas meja.
Maaf....
Lidah Iron terasa kelu saat kata pengampunan yang baru saja Cinta lontarkan terulang dalam benak. Haruskah gadis itu yang berucap maaf, saat Iron yang membuat kesalahan besar di sinidalam sudut pandang mereka.
"Kenapa minta maaf?" Iron sedikit mengangkat kepalanya, sebatas ia bisa menatap sepasang iris coklat gelap milik gadis yang telah berhasil membuatnya terpesona. "Kamu nggak salah apa-apa, Ta."
Cinta tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil. Matanya menghindari tatapan Iron. "Ada perlu apa ke sini?"
"Karena, aku ngerasa perlu ngelurusin masalah kemarin."
"Kamu mau bilang, kalau janin dalam kandungan Lumi benar-benar anak kamu?" Ada luka tersirat dalam nada suara Cinta yang dapat dengan jelas ditangkap Iron. Membikin hati pemuda itu teriris perih.
"Bukan aku ...!" sergah Iron, berusaha menahan diri untuk tak meninggikan nada suaranya. "Aku bahkan baru tiga kali ketemu dia. Tolong percayai aku kali ini, Cinta."
"Selalu." Gulir mata Cinta berhenti pada titik hitam, bekas tancapan paku payung kecil di sudut meja. Ia belum berani membalas tatapan mata Iron yang sejak tadi menyorotinya. Cinta takut, dirinya akan luluh begitu saja. "Aku selalu percaya sama kamu," ujarnya lagi. "Aku tahu ... selama ini, aku bukan satu-satunya, kan." Ia diam sesaat, memberi waktu bagi Iron untuk mencerna baik-baik setiap kata yang dilontarkannya. Dan, saat Cinta melirik dari sudut mata, hatinya beredenyut nyeri. Ekspresi pucat pasi dan mata Iron yang membeliak, sudah cukup membuktikan, bahwa pemuda itu membenarkan tuduhan asalnya.
Terpaku. Lidah Iron makin kelu. Selama ini Cinta tahu? Tapi, kenapa gadis itu diam saja?
Sebelum mereka menjalin hubungan, Cinta tahu, Iron bukan pria terpuji. Dirinya sering mendapat telepon dari beberapa wanita yang mengaku sebagai pacar Iron dan memintanya dibuatkan jadwal janji temu dengan sang atasan.
Awalnya, Cinta juga tak punya niatan meladeni setiap rayuan Iron yang kerap ia lancarkan setiap kali mereka selesai meeting di luar kantor. Ia pikir, Iron menargetkannya sebagai salah satu korban habis manis sepah dibuang. Namun, pikirannya salah. Iron serius. Bakan dia sering kali datang ke rumah ini, menemui Wandi hanya untuk bertanya tentang Cinta, serta mengutarakan keinginan untuk memilikinya. Cinta pikir, Iron akan berubah.
Iron Hanggara, pria dengan sejuta pesona. Hanya dalam kurun waktu enam bulan, sudah berhasil mencuri hati Cinta dengan segala perhatian yang selalu pria itu berikan.
Cinta terlanjur percaya bahwa kesetiaan Iron hanya miliknya. Tapi kini, saat ia mencoba mengatakan yang selama ini didengarnya untuk memancing kejujuran Iron, kenapa dia harus menampilkan ekspresi macam itu? Sejujur itu?
"Jadi, benar?" suara Cinta tersangkut di tenggorokan. Membasahi bibir bawahnya yang mendadak kering, Cinta memberanikan diri membalas tatapan mata Iron secara terang-terangan.
"Cinta"
"Tolong berhenti main-main," sela Cinta, memotong kalimat yang siap Iron ucapkan. "Bertanggungjawablah atas kehamilan Lumi. Anak dalam kandungannya adalah keponakanku juga."
"Kamu nggak bisa nuduh aku tanpa bukti, Cinta," ucap Iron sembari mengusap kasar wajahnya. Hampir putus asa meyakinkan Cinta yang juga tak percaya. Dan, memang Iron tak patut untuk dipercaya.
"Alat tes kehamilan dan pengakuan lumi, udah cukup jadi bukti." Lidah Cinta terasa pahit kala mengucapkan kalimat ini. Ingatannya kembali pada kejadian tadi pagi.
"Tanpa mendengar pendapatku, begitu?" tanya Iron tajam. Ia mulai kesal. Sejak kapan Cinta jadi keras kepala begini? "Bagaimana kalau bayi itu nanti terbukti bukan anak aku?" Ditatapnya Cinta makin dalam. Gadis itu kembali menunduk, memandangi kuku-kuku jarinya yang berada di atas pangkuan, mencoba berpikir ulang atas kalimat masuk akal Iron barusan.
Aluminia adalah seorang model dengan pergaulan bebas. Suka pergi ke kelab dan pulang lewat tengah malam. Bahkan, saudarinya itu pernah nyaris membuat firma hukum ayah mereka mengalami kebangkrutan dengan menyebarkan foto telanjangnya dari belakang ke media sosialhanya karena Wandi mencabut semua fasilitas Lumi sebagai hukuman atas masalah yang ia buat dengan rektor kampusnya yang membuat dia di-DO, yang sukses menghebohkan masyarakat dan para netizen dua tahun lalu. Anehnya, karier Lumi bukan mengalami kemunduran, tapi justru makin menanjak. Kehebohan beritanya di media, membikin gadis yang baru meniti kariernya itu kian populer dan dikenal banyak orang.
Dengan pergaulan dan kelakuan sebebas itu, bukan tak mungkin Lumi sering melakukan one night stand dengan banyak pria. Tapi kenapa di antara banyak pria yang dikenalnya, sasaran Lumi justru Iron?
Alumia merupakan gadis yang perhitungan. Dia tak akan mengusik seseorang bila tak berbuat salah padanya.
Menarik napas panjang, Cinta mengangkat kepala. Bibir gadis itu sedikit terbuka, siap melontarkan opini, tapi disela oleh kedatangan Bi Rahma yang membawa baki berisi dua gelas teh melati.
"Kita bisa melakukan tes DNA pada kandungan Aluminia," putus Iron, setelah Bi Rahma pergi. Merasa tenggorokannya kering, ia meraih gelas berkaki tinggi yang sudah ditata Bi Rahma di atas meja, lantas meneguk separuh isinya. Bibir Cinta terkatup, lupa akan apa yang hendak ia sampaikan.
Sekalipun nanti terbukti anak dalam kandungan Lumi bukan benih Iron, Cinta tak yakin bisa menerimanya dengan mudah. Mengingat, lelaki itu ternyata masih sering bermain di belakangnya. Cinta ingin laki-laki yang benar. Yang dapat membimbing dan menjadi penyejuk hati.
"Tapi sebelumnya, kita harus membuktikan kalau dia benar hamil."
Ingar-bingar suara musik yang menghentak berbaur dengan kebisingan para pengunjung yang datang, membikin kepala Lumi tambah pening. Ditambah kerlip lampu disko yang berputar berganti warna, membuat kornea hitamnya tak lagi bisa fokus memandang sekitar. Suasana remang kelab yang biasanya ia suka, tak lagi berhasil menenangkan pikirannya.
Lantai dansa penuh dengan kerumunan orang-orang yang asyik bergoyang, mengiringi musik DJ yang diputar, saling menggesekkan tubuh dengan lawan jenis untuk bersenang-senang. Biasanya Lumi menjadi salah satu di antara mereka, menggerakkan tubuh mengikuti irama. Tapi tidak untuk malam ini, keadaannya tak memungkinkan dia ikut menari.
Baru tiga puluh menit lalu ia memijak kakinya di kelab kalangan kaum jenset yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Tempat penuh dosa yang telah mempertemukannya dengan Rafdi Zachwilli, pemuda kaya nan tampan yang sudah menemainya dua tahun terakhir.
Rafdi. Setiap nama itu melintas di benaknya, Lumi selalu merasa ada lubang kosong di sudut hati. Empat tahun berkenalan dan dua tahun menjalin asmara, tentu saja pemuda itu telah memiliki tempat sendiri di hati Lumi. Tapi hanya karena taruhan konyol, jalinan kasih mereka harus kandas.
Bersama Rafdi, Aluminia tak berharap banyak. Cukup rasa aman dan nyaman yang ia inginkan dari pemuda itu. Pernikahan yang pernah Rafdi tawarkan bukan suatu mahligai penuh cinta. Melainkan satu ikatan berdasarkan kompromi belaka. Aluminia tak pernah melarang Rafdi berhubungan dengan wanita lain, asal jangan sampai ia tahu saja. Lumi mengerti, Rafdi bukan tipe lelaki yang bisa setia. Kendati begitu, hanya Rafdi yang bisa mewujudkan mimpinya menjadi seorang nyonya.
Aluminia realistis saja. Ia jauh lebih butuh uang daripada cinta. Karena dengan uang, kau bisa mendapat apa saja. Sedang cinta hanya akan membuatmu mengorbankan segalanya.
Aroma alkohol yang tercampur di udara, ikut terhirup saat gadis berambut pendek itu menarik napas panjang. Mimpinya menjadi Nyonya Zachwilli selamanya akan menjadi angan. Dan semua ini dikarenakan ulah putra sulung keluarga Hanggara.
Tak menjadi istri Rafdi, bukan berarti dirinya tidak bisa menjadi nyonya kaya. Toh, masih ada Iron yang bisa ia incar. Calon penerus Hanggara Company itu harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Rasa pening yang makin mendera, memaksa Lumi menyandarkan kepalanya ke atas meja bar. Zaro, bartender yang sudah mengenal Aluminia, mendekatinya setelah selesai menyuguhkan vodka pada seorang pelanggan di sudut lain meja bar.
"Are you okay?" tanyanya khawatir.
"Hmm ... hanya sedikit pusing," gumam Lumi tanpa mengangkat kepala. Ia sudah sangat hafal suara serak seksi milik Zaro.
"Perlu gue panggilin Rafdi?"
Belum sempat Lumi menjawab, suara bass yang sangat dikenalnya hinggap di telinga.
"Lo nggak ngasih macem-macem sama cewek gue kan, Zar?"
Senyum kecil di bibir Lumi terukir. Bohong jika dirinya tak memiliki rasa terhadap pemilik suara itu.
Zaro mengangkat kedua tangannya ke udara sambil menggelengkan kepala. "Gue masih pengin hidup, jadi nggak mungkin ngasih dia alkohol." Lalu pergi setelah Rafdi mengusirnya dengan mengibaskan tangan.
Siang tadi Rafdi menunggui Lumi sampai ia selesai melakukan sesi pemotretan di studio milik Marco. Mengucap maaf berkali-kali hingga berkoar-koar menarik perhatian seluruh crew. Meski dikenal sebagai perempuan tak berhati, Lumi tak akan tega membiarkan lelaki yang pernah menjadi kekasihnya selama dua tahun, terus-terusan memohon. Lumi memaafkan Rafdi dengan syarat, dia harus membelikannya tas Chanel, sepatu Loboutine, gaun rancangan Dior, dan cincin permata dari Tiffany, yang tentu saja langsung Rafdi iyakan, meski dompetnya harus menangis sesegukan di akhir bulan.
Memaafkan, tak berarti Lumi menerima Rafdi kembali. Bukankah sudah pernah dikatakan harga diri Lumi tak pernah bisa dibeli dengan uang? Sekali ia dilepaskan, maka selamanya hubungan yang pernah terjalin hanya akan menjadi kenangan. Dan Rafdi, mau tidak mau harus menerima. Setidaknya, mereka masih bisa jadi teman.
"Sayang, kamu nggak apa-apa, kan?" Elusan ringan terasa di pundak Lumi. Yang ditanya mendongak, menatap Rafdi dengan mutiara hitamnya yang meredup.
"Gue mau pulang."
"Iya, kita pulang." Segera Rafdi membantu Lumi berdiri dan memapahnya berjalan melewati lautan manusia yang memenuhi setiap sudut kelab ini. Ada setitik kekhawatiran merambati hati Rafdi melihat keadaan Lumi. Mantan gadisnya tak pernah selemah ini. Sejak siang tadi, wajah Aluminia memang agak pucat. Awalnya Rafdi pikir itu hanya efek make up belaka. Siapa sangka jika Lumi memang benar sakit.
"Yakin, nggak mau dianter ke rumah sakit?" tanya Rafdi begitu mobilnya memasuki komplek perumahan Lumi. Gadis yang ditanya menggeleng dua kali. Matanya kian terpejam erat saat pergerakan kecil itu membikin kepalanya makin berdenyut.
"Atau, aku panggilin dokter aja, ya?"
"I'm fine, Raf!" Tak ingin tambah pusing, Lumi memilih menjawab dengan suara.
Rafdi hanya bisa mendesah. Lumi memang terlalu keras kepala.
Menghentikan laju mobil di depan gerbang kediaman Hutama, Rafdi keluar lebih dulu. Ia memutari kap depan mobil, lalu menghampiri sisi bagian penumpang dan membukakan pintu bagi sang mantan. Pemuda itu hendak memapah Lumi kembali untuk memasuki rumah mewah yang sudah dua puluh tiga tahun ini dihuninya, tapi Lumi tolak.
"Lo pulang aja, gue bisa masuk sendiri," ujarnya sambil berjalan sempoyongan.
"Tapi, Sayang" kalimat Rafdi tertahan kala Lumi menganggkat tangan. Memintanya berhenti membantah.
Dengan setengah hati, Rafdi menurut. Pemuda jangkung calon penerus Zachwilli Hotel dan Resort itu berjalan gontai mendekati Range Rover putihnya. Menoleh sekali lagi pada Lumi sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam.
Setelah mobil Rafdi menghilang di tikungan, Aluminia berbalik badan. Tubuhnya nyaris ambruk saat berputar, andai Pak Yamin, satpam rumah ini tak buru-buru menghampiri dan menangkapnya.
"Non Lumi, ndak apa-apa?" tanya Pak Yamin sembari membantu Lumi berdiri tegak kembali.
"Lepas!" Lumi menepis kasar tangan Pak Yamin, satpam yang sudah bekerja selama sepuluh tahun pada ayahnya.
"Gue nggak butuh bantuan lo!" tambahnya kasar. Perempuan berambut cokelat hasil tatanan salon ternama itu memaksa tubuhnya yang lemah untuk melangkah maju, membawa kepalanya yang bagai dipukul palu godam dan badannya yang sedikit gemetar.
Tiba di ruang tengah, Aluminia dibuat bingung. Ada keluarga Iron beserta keluarganya yang sudah berkumpul di sana, juga seorang wanita yang tak asing lagi di mata Lumi.
Merasa kepalanya tambah pening, Lumi tetap meneruskan langkah, tak mau peduli. Gustav yang pertama kali melihatnya hendak melintasi ruang tengah, berseru lantang, "Ini dia yang kita tunggu."
Sontak, semua orang yang tadi tampak mengobrol ringan berhenti. Serempak mereka menoleh, mengikuti arah pandang Gustav.
Merasa yang dimaksud Gustav adalah dirinya, Lumi menghentikan langkah. Dengan berani, ia membalas tatapan orang-orang yang tampak siap menerkamnya beramai-ramai. Tak sengaja, mata Lumi bertemu dengan sepasang telaga bening milik wanita berkemeja soft pink yang duduk di samping Cinta. Wajah wanita itu memucat, dan Lumi memberinya seringai kecil.
"Ada apa?" tanya Lumi berani.
"Kami butuh bukti akurat atas kehamilan kamu."
"Dia benar-benar hamil," ucap Nina pada Iron, Cinta, dan Gustav yang ikut masuk ke kamar Lumi saat proses pemeriksaan berlangsung. "Usia kandungannya berkisar lima minggu."
"Dasar jalang!" Gustav mengumpat keras. Kehamilan Lumi yang tanpa suami, jelas merupakan aib bagi kelurga. "Gue percaya, bayi itu bukan anak lo, Iron." Kendati bicara pada Iron, Matanya tak lepas menatap begis Lumi yang berbaring sambil memainkan ponsel di ranjang.
"Karena anak itu emang bukan milik gue," sahut Iron yang juga menatap Lumi, sengit. Nina, dokter kandungan yang juga merupakan teman semasa SMA pemuda itu menggigit bibir. Sesekali, ia melirik Lumi yang tampak tak peduli dengan omongan dua lelaki di kamar ini. Sementara Cinta tetap diam, suasana hatinya tambah kacau.
"Tapi, orang tua gue nggak percaya," Tambah Iron gusar.
"Ta ...." Gustav mengalihkan perhatian dari Lumi pada adiknya yang sejak tadi tak bersuara. Cinta menoleh, mata sayunya menampakkan banyak spekulasi. "Kamu jangan sampai termakan omongan Lumi."
"Tapi"
"Aku akan membuktikannya dengan tes DNA," potong Iron. Ia tahu, Cinta masih meragukannya.
Gustav mengangguk setuju. Sementara Nina menegang di tempatnya.
"Mmm ...." Dokter kandungan itu membasahi bibir bawahnya sebelum turut buka suara. "Bisa kalian keluar? Aluminia butuh istirahat lebih. Jangan ganggu pikirannya dengan perkataan kalian, karena itu bisa berpengaruh terhadap kandungannya yang masih rentan."
Gustav mendengus kasar. "Orang yang nggak punya otak, nggak akan pernah mikirin omongan orang lain."
"Nina," panggil Iron pada sahabat SMA-nya. Yang dipanggil menoleh. "Kapan tes DNA bisa kita lakukan?"
Menelan ludah, Nina menatap Iron gamang. "Kita harus menunggu sampai usia kandungan mencapai sepuluh sampai dua belas minggu."
"Apa nggak bisa dipercepat?" Gustav menimbrung, yang dijawab Nina dengan gelengan kepala.
"Dan harus menunggu selama dua minggu untuk melihat hasilnya," tambah Nina. "Jadi, bisa kalian keluar? Biarkan Aluminia istirahat."
"Oke," sahut Iron jengah. Ia sempat melirik tajam pada Lumi yang masih asyik sendiri dengan ponselnya, sekilas, sebelum berbalik. Diikuti Cinta dan Gustav di belakangnya.
Setelah menutup pintu, Nina menghampiri Aluminia yang kini meletakkan ponselnya di nakas dan bersiap tidur, tak mempedulikan sorot nanar di mata Nina yang memandanginya lekat.
"Aku akan mengatakan semuanya pada Iron!" ucap Nina sungguh-sunguh. Ia menarik napas panjang, sedikit gentar berhadapan dan mencari masalah dengan manusia macam Lumi.
"Kalau lo udah siap kehilangan anak lo!" Aluminia bergidik acuh. Mata hitamnya membundar polos pada Nina yang langsung memucat. Raut wajah yang Lumi tampilkan, seolah ancaman yang dikatakannya serupa dengan: Aku tidak akan mentraktirmu makan siang.
"Kamu ...." Nina kehilangan kata-kata. Suaranya yang gemetar terdengar menyenangkan di telinga Lumi. "Jangan pernah mengusik putriku!"
"Selama lo bisa diajak bekerja sama."
Bibir Nina bergetar halus, berusaha sekuat tenaga menelan segala umpatan yang sudah bersiap di ujung tenggorokan. Dan sebagai pertahanan diri, dokter muda itu hanya bisa mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya.
Tak yakin bisa menjaga pertahanan diri tetap stabil, Nina memilih keluar. Dibantingnya daun pintu kamar Lumi sekuat tenaga sebagai pelampiasan. Nina tak habis pikir, bagaimana bisa ada manusia tak berhati macam Lumi. Bahkan dalam keadaan sakit seperti saat ini pun, wanita itu masih bisa bersikap menyebalkan.
Nina bukan tidak tahu keadaan Aluminia sekarang. Wajahnya pucat, kulitnya panas, dan suaranya yang sudah mulai serak. Hati kecil Nina menolak merasa iba. Aluminia tak pantas dikasihani.
Di dalam kamar, Lumi mendesah panjang. Susah payah ia mencoba menarik selimut yang berada di bawah kakinya. Udara malam yang masuk melewati ventilasi kamar, bagai siraman air es yang menumpahi tubuhnya, membikin seluruh persendian tulang Lumi bagai ditusuk ribuat jarum kasat mata. Ia kedinginan, pusing dan mual. Sungguh, butuh perjuangan keras menghadapi mereka-mereka, yang barang kali kini heboh di bawah sana mendengar kabar nyata mengenai kehamilannya. Lumi tak peduli.
Tinggal sedikit lagi, tangan Lumi akan bisa mencapai bed cover yang hendak deraihnya. Namun, rasa pusing di kepala yang teramat sangat, menyerang tiba-tiba. Ia mengerang, tubuhhnya terpental kembali ke belakang. Matanya tak sanggup lagi bertahan.
Aluminia pingsan.
•••
Buat yang nggak sabar baca fullnya sekaligus, bisa ke ebook playstore ya ^^
Yang di sini bertahap ...
Repost, 10 Des 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top