05 • Luka Tak Bernama
5
Luka Tak Bernama
"Dimana Cinta?" tanya Iron pada Elsa, asistennya, begitu sampai di depan ruangan direktur pemasaran dan mendapati meja Cinta masih kosong.
Mendengar suara berat dan dalam milik sang atasan, Elsa yang sejak tadi sibuk memerhatikan layar monitor itu pun mendengak, lalu buru-buru berdiri dan membukuk hormat. "Selamat pagi, Pak," sapanya. "Mmm ... Cinta tadi menelpon saya. Katanya, hari ini dia tidak enak badan."
Iron mendesah tak kentara. Kelereng cokelat terangnya ia palingkan dari Elsa dan jatuh pada pintu ganda berbahan kayu mahoni terbaik yang yang menjadi akses masuk ruangannya dengan tatapan kosong. Ia tahu bukan itu alasan Cinta izin, melainkan kejadian lamaran semalam yang berakhir kacau. Memejamkan mata sejenak, Iron menarik napas panjang, lantas kembali berujar, "Apa jadwal saya hari ini?"
Bergerak cekatan, Elsa meraih tab di atas meja dan segera membuka lock screen. Jari lincahnhya mengklik satu aplikasi agenda yang tertera di display utama.
"Pagi ini Bapak ada meeting dengan divisi marketing untuk membahas strategi baru dalam mempromosikan produk properti yang bulan ini diluncurkan HC. Siang nanti, ada pertemuan dengan Mr. Chung So Hyun guna membahas kerja sama pembangunan gedung apartemen di Seoul. Dan seharusnya jam lima belas nanti, Bapak melakukan penerbangan ke Batam untuk menghadiri peresmian hotel kita yang baru besok malam. Tapi, Tuan Hanggara menghubungi saya untuk membatalkan rencana tersebut dan mengalihkannya pada Pak Theo," jelas Elsa panjang lebar. Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyum sopan. Yang ia hadapi, bukanlah seorang bos arogan yang dingin dan kejam, melainkan atasan murah senyum tapi sangat tegas. Iron merupakan orang yang mudah bekerja sama, menerima masukan dari orang lain kendati dirinya cukup keras kepala, dan selalu bersikap ramah terhadap bawahan lebih-lebih karyawan perempuan. Namun, jangan coba-coba mencari masalah dengan pria itu, karena Iron akan buta gender terhadap siapa pun yang berusaha mengusiknya, serta akan memberi balasan setimpal.
Iron tak langsung menjawab. Ia diam sesaat. Tanpa disadari Elsa, ada senyum kecut yang terbit di bibirnya. Bahkan Subhan membatalkan penerbangannya ke Batam karena kejadian kemarin malam. "Cancel meeting dengan divisi marketing, dan hubungi Mr. Chung So Hyun. Katakan padanya, pertemuan diganti nanti saat jam makan malam. Tempatnya, kamu yang atur," perintahnya yang praktis Elsa angguki. "Hari ini, saya tidak akan kembali ke kantor. Nanti malam temani saya meeting dengan Mr. Chung So Hyun. Oke?" Lagi-lagi Elsa mengangguk.
Setelah memastikan tak ada yang perlu dipusingkan untuk hari ini, Iron berbalik badan setelah sebelumnya ia memberi senyum pada si asisten. Ada satu hal penting yang harus ia selesaikan, terkait keberlangsungan hubungan asmaranya dengan Cinta.
"Pagi, Pak," sapa Dhani, salah satu pegawai bagian keuangan, saat mereka berpapasan di lantai dasar. Iron membalasnya dengan anggukan dan senyum kecil.
"Pagi, Pak." Iren, Nesya dan Hungga, resepsionis HC yang melihatnya berjalan melewati mereka, menyapa serempak. Yang Iron balas dengan senyum manis dan satu kedipan mata. Praktis membikin pipi dua gadis itu merona. Sedang Hungga hanya bisa meringis kecil. Bos mereka memang agak genit. Andai ia seorang gadis, sama seperti Ines dan Nesya, mungkin akan sama melting-nya dengan mereka.
Pak Suryo, sekuriti penjaga pintu utama langsung sigap membuka bagian kiri dari double door kaca sebagai akses keluar bagi sang atasan. "Ada meeting di luar ya, Pak?" tanyanya.
"Bukan. Hanya urusan kecil," jawab Iron. Ia mengangguk sekali saat melewati tubuh tinggi besar Pak Suryo. "Mari, Pak!"
"Oh. Iya, iya. Hati-hati di jalan yo, Pak," balas Pak Suryo dengan senyum semringahnya yang begitu lebar. Dari sekian atasan HC, Pak Suryo paling suka dengan Iron. Direktur pemasaran yang merupakan anak sulung dari direktur utama itu tak sombong. Selalu menyapa balik setiap karyawan, ramah, serta murah senyum. Barangkali, sikap itulah yang membuat banyak wanita klepek-klepek memujanya. Meski tak jarang Pak Suryo mendengar desas-desus miring tentang Iron yang playboy-lah, suka balap liarlah, inilah, itulah. Tapi bagi Pak Suryo, hal tersebut wajar-wajar saja selagi tak mengganggu kinerja Iron di kantor. Toh, selama ini tak pernah ada wanita berpakaian seksi yang memaksa ingin bertemu Iron atau seorang berpenampilan preman yang datang kemari karena merasa dirugikan atas tingkah lakunya. Pak Suryo berpikir logis saja. Iron masih muda dan belum beristri, wajar kalau dia masih ingin bermain-main selama masa lajang.
Sampai di lobi depan, Iron sudah disambut oleh Roni, sopir pribadi yang bekerja padanya sedari tiga tahun lalu. Setelah memberi salam hormat dengan membungkukkan sedikit badannya, Roni bergegas menuju sebuah Ferarri merah yang terparkir manis di sana demi membukakan pintu bagian penumpang. Mempersilakan Iron untuk masuk.
"Mmm ... Ron. Hari ini saya mau nyetir sendiri," katanya. "Kamu pulang naik taksi saja, ya."
"Baik, Pak," jawab Roni lugas. Ia menutup kembali pintu bagian penumpang lalu menghampiri Iron yang berdiri di sisi kiri mobilnya. Memberikan kunci.
Iron segera menghidupkan mesin dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area kantor dan mengendara dengan kecepatan sedang, membelah jalanan Ibukota yang basah, sisa-sisa air hujan yang turun subuh tadi. Gerimis kecil masih mengambang di udara, memberikan efek sejuk yang menusuk tulang Iron meski semua sisi jendela mobil tertutup rapat dan ac belum sama sekali dihidupkan.
Tujuan Iron tentulah kediaman Cinta. Masalah mereka harus segera dituntaskan. Keluarganya sendiri sudah tak memercayainya. Ia tidak tahu bagaimana kelanjutan kisah mereka, bila Cinta juga tak mau percaya.
Sampai di depan komplek perumahan Wandi Hutama, Iron menepikan mobil di bahu jalan. Ia menarik napas sejenak. Berpikir, kata apa yang akan ia pilih sebagai rangkaian penjelasan bagi Cinta agar gadis itu tak meragukannya. Mendadak, Iron merasa pening. Degub jantungnya meningkat. Memikirkan kemungkinan Cinta tak mau menemuinya.
Berusaha menenangkan diri, pemuda itu pun menyandarkan punggung pada badan kursi dengan posisi tangan mencengkeram erat roda kemudi. Pikirannya berputar-putar, melayang pada kejadian tadi malam.
"Papa memberi kamu nama Iron, agar kamu memiliki tekad dan pendirian yang kuat, tahan banting menghadapi segala ujian dan tantangan. Bukan menjadi kepala besi begini!" kecam Subhan selepas mereka sampai di rumah. Setelah melakukan perdebatan yang begitu alot dan tak berujung, Subhan Hanggara pada akhirnya memberi ultimatum untuk Iron bertanggung jawab atas kandungan Lumi, yang tentu saja Iron tolak mentah-mentah.
"Demi Tuhan, Iron nggak pernah menidurinya, Pa!" Bantah Iron keras. Nada yang digunakan sama tinggi dengan intonasi sang ayah. Steel yang sejak tadi asyik dengan stik game-nya di lantai dua, turut penasaran akan apa yang terjadi di ruang tengah keluarga mereka. Mahasiswa tingkat akhir itu pun meletakkan stiknya sembarangan dan bangkit mendekati tangga. Melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga, lalu mengambil tempat di sofa panjang. Bersebelahan dengan ibunya yang tampak begitu lelah menyaksikan si sulung dan suaminya yang tengah menjulang saling membantah.
"Lalu, bagaimana dia bisa hamil?" tandas Subhan. Suaranya yang keras menggema di ruang luas berbentuk persegi tersebut. Sebelum Iron sempat menjawab, ia melanjutkan, "Jangan kamu kira Papa bodoh Iron! Jadi begini kelakuan kamu? Berganti teman kencan sesuka hati, dan meniduri mereka tanpa memikirkan risikonya! Apa itu juga alasan kamu memilih tinggal di apartemen?!"
Mendengar tuduhan Subhan yang sepenuhnya benar, Iron mengusap wajahnya kasar. Cukup frustrasi untuk meyakinkan Subhan, bahwa ia bukanlah lelaki brengsek yang telah menghamili Aluminia. "Aku selalu bemain aman, Pa!"
"Aman?! Sejak kapan seks bebas aman?" tanya Subhan sarkas. "Dan Papa sudah peringatkan kamu berkali-kali. Jauhi zina, Iron! Jauhi! Kalau kamu tidak bisa menyayangi dirimu sendiri, setidaknya sayangi mamamu yang akan ikut terseret ke neraka gara-gara kelakuan bejatmu!"
"Papa tahu sendiri laki-laki punya kebutuhan!" Iron mencoba membela diri, tak berani melirik Rosaline yang duduk muram di ujung sofa.
"Kamu tidak akan merasa butuh sebelum kamu mencicipinya," desis Subhan murka. "Dan kalau kamu memang sudah tidak bisa menahan diri, harusnya kamu menikah!"
Iron kehilangan kata-kata. Berdebat dengan Subhan Hanggara, sama saja dengan ia bermain bumerang. Setiap serangan yang ia lesatkan, pada akhirnya akan balik menyerang.
Lelah memarahi si sulung, Subhan mengambil satu langkah mundur dan menjatuhkan diri pada sofa single yang ada di belakangnya. Dadanya naik turun tak beraturan, berusaha menurunkan kadar emosi yang butuh pelampiasan.
Bukan cuma Subhan, Iron pun lelah dengan semua ini. Mengusap rambutnya ke belakang, ia bertanya, "Lalu, bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Cinta?"
"Setelah menghamili kakaknya, kamu masih bisa bertanya begitu?"
"Bagaimana caranya agar Papa percaya? Aku nggak pernah menidurinya, Pa!" erang Iron tak tahan. Pemuda itu menoleh pada Rosaline dengan tatapan nelangsa. "Mama percaya sama Iron, kan?" nadanya melembut. Ia tak akan pernah bisa menggunakan volume tinggi pada wanita bermata serupa miliknya ini.
"Turuti saja Papamu, Iron," sahut Rosaline dengan pelafalan bahasa Indonesia yang fasih. Telaga beningnya menyorot iba. Di tempatnya berdiri, mendadak tubuh Iron menggigil. Kata-kata Rosaline bagai pecahan es batu yang disiram tepat di atas kepala. Bahkan wanita yang melahirkannya juga tak percaya. Seakan mengerti kecamuk dalam benak Iron, Rosaline menambahkan, "Bukannya Mama meragukanmu, tapi pikirkanlah, Iron! Seorang wanita waras tidak akan berani mengakui dirinya hamil dari seorang laki-laki segamlang itu. Apalagi di depan seluruh keluarganya-kalau dia tidak benar-benar hamil dari benih laki-laki yang dimaksud."
"Aluminia memang bukan perempuan waras, Ma!" geram Iron sembari menutup mata, lelah.
"Jangan bilang kalau Aluminia yang kalian bicarakan adalah ... Aluminia Lara?" celetuk Steel yang sejak tadi hanya menjadi pemerhati.
"Kamu kenal?" Perhatian Subhan teralih. Tatapan intimidasinya berganti mengarah pada si bungsu Hanggara. Dalam diam, Rosaline dan Iron mengikuti arah pandang Subhan.
Mendapati beragam bentuk tatapan dari seluruh anggota keluarga, lelaki tanggung itu pun sedikit salah tingkah. Menggaruk tengkuk yang tak gatal, Steel menjawab, "Nggak kenal sih, cuma tahu aja. Dia kan, model."
Subhan mendengus pendek. Jawaban Steel sama sekali tak membantu.
"Jadi...," Steel kembali bersuara, "Bang Iron menghamili Aluminia?" Sontak, pelototan tajam Iron arahkan pada Steel. Adiknya benar-benar menambah tinggi kadar emosinya.
"Enggak!"
"Kalau Abang emang beneran yakin nggak hamilin dia, kenapa nggak dibuktiin pake tes DNA-"
"Dan menunggu sampai bayinya lahir?!" sela Subhan tak terima. "Pikirkan masa depan perusahaan kalau sampai masalah ini terendus media! Saham HC akan merosot, Steel!"
"Jadi, maksud Papa harga saham lebih penting dari perasaanku?" sergah Iron tajam. Sebelah alisnya menukik tinggi. Amarah kembali menguasai.
"Seharusnya, kamu bertanya sebelum menghamili anak orang!" desis Subhan tak kalah tajam.
"Aku belum selesai ngajuin pendapat," keluh Steel yang lagi-lagi berhasil menarik perhatian Subhan. Iron sendiri tak yakin dengan saran adiknya. Ia pun memilih menenangkan diri di sofa single yang berhadapan dengan sang ayah, yang hanya di batasi meja rendah berbentuk persegi panjang, sembari memijit pangkal hidung guna mengurangi rasa pusing yang mendera.
"Lanjutkan," pinta Rosaline.
"Dari artikel yang aku baca, penentuan profil DNA dalam kandungan itu sudah bisa ditentukan dengan cara mengambil cairan amnion atau dari villi chorialis pada saat usia kandungan berkisar antara sepuluh sampai dua belas minggu, lalu mencocokannya dengan si ayah."
Pijatan Iron pada pangkal hidungnya terhenti. Ia menurunkan tangan pada lengan sofa dan menatap adiknya penuh minat. Kendati tak mengerti akan apa yang Steel utarakan, tapi saran adiknya itu bagai oase di padang pasir. Apa pun akan Iron lakukan untuk membuktikan, anak yang dikandung Aluminia bukan benihnya.
Cinta hanya bisa menutup mulutnya sendiri saat melihat satu benda pipih panjang dengan dua garis merah itu. Tangannya gemetar memegang benda keramat tersebut.
Jadi, dia benar hamil?
Oh Tuhan! Bagaimana ini?
Apa yang selanjutnya harus Cinta lakukan?
Ia sebenarnya enggan percaya, tapi Lumi tak pernah sekalipun berbohong padanya. Meski dia sering mengelabui mama, papa dan Gustav, tapi tidak terhadap Cinta.
"Ini ...," kata-kata yang berputar di kepalanya tertahan di ujung tenggorokan. "Katakan. Bukan Iron kan, ayahnya?" Ia mendongak, menatap Lumi yang duduk santai dengan menyilang kaki di window seat sambil membaca. Tak memedulikan Cinta yang tergugu di sisi ranjang queen size-nya. Tidak sabar menunggu jawaban.
Mendapat pertanyaan membosankan yang entah keberapa kalinya dari mulut Cinta, Lumi menutup kasar buku setebal lima senti yang berada di atas pangkuannya. Gue nggak harus ngomong dua kali kan, Ta?! Lumi balik bertanya, retoris. Sepasang alisnya nyaris menyatu saat menyorot tajam pada sang lawan bicara.
"Enggak. Nggak perlu. Tapi ...," leher Cinta tercekik, "bagaimana bisa?" Gadis itu menggigit bagian bibir dalamnya, menahan tangis. Sejak semalam, ia tak bisa tidur dan menghabiskan waktu dengan menangis hingga subuh. Dan saat pagi tiba, ia langsung mengedor pintu kamar Lumi untuk meminta penjelasan, berharap Lumi hanya mengerjainya. Alih-alih memberi penjelasan, Lumi justru memperlihatkan benda pipih yang membuat hati Cinta makin perih.
"Lo nggak mungkin mikir kalau Iron itu cowok baik-baik, kan?" lagi-lagi sarkas. Ia meletakkan bukunya ke atas meja, lalu melipat tangan di dada tanpa melepas tatapan dari Cinta.
"Kamu yakin, bayimu bukan ... anak Rafdi?" Cinta membalas tatapan Lumi takut-takut. Di balik lengan kirinya, tangan kanan Lumi terkepal erat, gerahamnya yang mengatup rapat membikin rahangnya makin tegas.
"Kami putus sejak tiga bulan lalu," jawabnya tanpa ekspresi berarti. Merasa ada perubahan pada aura Lumi, Cinta meliarkan gulir mata. Memandangi setiap sudut kamar Lumi yang tampak sepi. Nuansa warna abu-abu mendominasi cat dinding dengan sedikit sentuhan warna hitam di beberapa sisi. Ranjang queen size yang sekarang didudukinya membentang di tengah ruangan dengan kepala ranjang menempel pada tembok bagian utara. Ada jendela luas yang ditutupi kelambu tipis di sisi timur, serta sebuah sofa putih dan meja kecil di sampingnya yang kini di tempati Lumi. Lemari panjang berada di sisi barat, sejajar dengan pintu kamar mandi. Hanya itu, tak ada lagi. Bahkan meja rias, jam dinding, maupun hiasan tembok berupa foto, tak ada. Membikin kamar seluas 7x7 meter ini tampak dingin dan hampa. Padahal dulu, sepuluh tahun lalu, kamar Lumi sama persis dengan kamarnya yang penuh dengan pernak-pernik lucu.
Mengingat itu, perasaan Cinta mencelos. Satu air matanya lolos, tapi segera ia hapus. Kalau memang bayi yang dikandung Lumi benar anak Iron, Cinta bisa apa. Walau ia mencintai Ironsangatbukan berarti ia dapat berlaku egois. Masalah ini menyangkut masa depan serta jati diri dari seorang anak yang tak lain adalah calon keponakannya sendiri.
Meletakkan testpack yang dipegangnya ke atas kasur Lumi, Cinta bangkit berdiri. Tanpa pamit, gadis itu menyeret kakinya pergi dengan membawa luka yang tergores di hati sejak kemarin. Pelan Cinta menutup pintu kamar Lumi, lalu satu per satu air matanya berjatuhan lagi. Dadanya yang terasa sesak, menyulitkannya mengambil napas. Dikhianati kekasih dan saudara sendiri, lebih dari sekadar menyakitkan. Lebih sakit lagi, Cinta tak bisa marah. Salahnya yang tak pernah memberitahu Iron tentang saudarinya. Ah, dan salah Iron yang ternyata mata keranjang. Satu sisi Cinta bersyukur Tuhan menunjukkan siapa sebenarnya laki-laki itu sebelum semua terlambat. Tapi, di sisi lain hatinya hancur. Cinta terlanjur menaruh harap pada Iron. Dan harapannya kini pupus sudah.
"Non ...." Suara Bi Rahma yang terdengar, berhasil menghentikan tangis Cinta. Cepat-cepat ia menghapus air matanya sebelum menoleh. Tak ingin orang lain tahu, bahwa ia tengah terluka.
"Iya, Bi?" sahutnya dengan suara serak. Melihat keadaan nona majikannya yang satu ini, Bi Rahma jadi iba. Tak habis pikir, betapa teganya Lumi menyakiti orang sebaik Cinta. "Ada Den Iron di bawah. Mau ketemu Non Cinta, katanya."
Bibir Cinta bergetar. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tak menangis, nyatanya cairan bening itu kembali menusuk-nusuk telaga beningnya. Mendesak minta di keluarkan.
Kenapa?
Kenapa Iron masih mencarinya setelah penghianatan yang pemuda itu lakukan? Tak tahukah Iron, Cinta masih ingin sendiri.
Tak ingin menampakkan wajahnya yang menyedihkan, Cinta mengedip beberapa kali, berharap air matanya kembali surut. "Nanti saya temui," ucapnya seraya berlalu. Tak kuasa menahan sakit lebih lama. Ia butuh menangislagi.
°°°
Repost, 07 Des 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top