01 • Nyonya Wanna Be

Note:

Nama IRON dibaca pake aksen Inggris ya, sama kayak kalo lagi ngucapin kata IRON MAN.

Ok! Itu aja.

Happy reading, guys ;)

•••

BAB 1

Nyonya Wanna Be

Hall Jakarta Convention Center begitu ramai hari ini. Banyaknya pengunjung yang membeludak untuk menyaksikan pagelaran Indonesia Fashion Week, membuat suasana di dalam pun terasa penuh sesak. Bukan hanya masyarakat lokal, tak sedikit pula Turis ikut hadir demi menyaksikan pagelaran terbesar tahun ini, yang bahkan lebih besar dari tahun-tahun kemarin. Hal tersebut menunjukkan animo dan antusiasme masyarakat terhadap fashion yang kian membubung, menjadikan tantangan tersendiri bagi penyelenggara acara untuk menghadirkan pagelaran fashion yang berkualitas tinggi dan sebisa mungkin memberikan fasilitas terbaik yang memadai.

Lebih dari 300 booths pameran dagang tersedia, 2 fashion runaway yang sangat besar, mini stage serta fasilitas-fasilitas lain yang bisa memanjakan mata para pengunjung.

Terdapat dua panggung megah bertema konvensional dan edgy dalam hall yang tampak sombong terbentang menarik perhatian.

Lampu-lampu sorot terfokus pada panggung utama, di mana enam model kenamaan tanah air tengah memperagakan busana menawan khas Indonesia yang lahir dari tangan-tangan dingin para desainer profesional yang ikut berpartisipasi meramaikan acara.

Adalah Aluminia Lara—Lumi, salah satu model cantik yang tengah berlenggak-lenggok di atas catwalk, melangkah anggun di barisan depan. Gadis itu mengenakan kain songket berwarna dasar hitam yang disulap menjadi sebuah gaun cantik selutut dengan ekor memanjang di bagian belakang. Taburan swarovski tampak bersinar mengelilingi pinggang saat kilatan kamera mengenainya. Rambut gadis itu dicepol tinggi, menampakkan leher jenjang yang dilingkari kalung platina berbentuk rantai serta bagian bahu kuning langsat yang telanjang. Stilleto merah sewarna lipstik yang ia kenakan begitu pas menghiasi kakinya. Rona merah jambu di pipi menambah kecantikan Lumi, dan matanya yang tajam makin memukau dengan eye shadow gelap terpoles di sepasang kelopaknya.

Sederhana nan elegan, merupakan tema yang diangkat oleh desainer busana yang kini Lumi kenakan.

Berhenti di ujung depan panggung, Aluminia berpose. Mengangkat dagu, tangan kanan diletakkan di pinggang, dan tangan kiri mengibaskan ekor gaun yang ia pamerkan. Seketika, sorot kamera jatuh pada dirinya, membidik dari ujung kaki hingga kepala. Ratusan blitz yang mengabadikan gambarnya membikin rasa percaya diri gadis itu kian tinggi.

Dari ekor mata, ia mendapati seorang pemuda menggenggam sebuket bunga mawar tengah duduk di kursi VVIP dengan tatapan tak lepas dari wajah cantiknya.

Aluminia mendengus saat pandangan mereka bertemu. Memutar badan, ia bertukar posisi dengan model yang berdiri di sudut lain dan menampilkan pose berbeda. Terus begitu hingga beberapa kali, sampai akhirnya ia berbalik dan melangkah ke belakang menuju back stage bersama para model yang tadi tampil bersamanya.

"Kamu memang selalu cantik, Sayang." Suara berat dari balik punggungnya, sukses menghentikan langkah Lumi yang hendak menuju ruang ganti. Ia menoleh dan mendapati Rafdi sudah berdiri dengan membawa mawar serta dua paper bag di tangan.

Memutar bola mata, Lumi bersiap melangkah lagi. Tetapi cekalan tangan besar di pergelangan tangan kirinya, membuat ia tak bisa pergi.

"Lumi, kita harus bicara." Ada bersitan permohonan dalam nada suara pemuda itu.

"Kita?" tanya Lumi, mencemooh. Tatapan tajam ia gulir pada tangan Rafdi yang masih mencekal pergelangannya."Kan, udah putus! Dan sekonyong-konyong, gadis itu menyentak kasar cekalan Rafdi hingga terlepas.

Tentang masalah kemarin, aku minta maaf, okey?" Rafdi hendak maju selangkah lebih dekat, tapi tatapan runcing Lumi berhasil menurunkan kembali kaki kananya yang sudah terangkat.

Menarik napas, Aluminia berbalik. Menghadap Rafdi dan menatapnya lurus-lurus. "Semudah itu?" tanyanya sarkas. Ada rasa marah setiap kali ia mengingat kejadian minggu lalu. Ia jelas kecewa. Rafdi begitu mudah mengatakan putus hanya karena kalah taruhan. Lalu sekarang, pemuda itu datang untuk sebuah kata maaf dan mengajak kembali?

Lumi sakit hati. Jangan harap Rafdi bisa mendapat pengampunan semudah itu.

"Sayang ...." Tangan Rafdi terulur hendak meraih kembali tangan Lumi, tapi rupanya ia lebih cepat menghindar. Mendesah pendek, Rafdi mencoba bersabar. Toh, dirinya masih punya jurus andalan untuk meminta maaf dari Lumi. "Lihat ini," Ia mengangkat tangan kirinya yang memegang sebuket mawar dan dua paper bag sekaligus.

Memindahkan mawar ke tangan kanan, ia ulurkan bunga itu pada Lumi. "Aku bawa bunga kesukaan kamu."

Satu alis Lumi terangkat. Dilihatnya bunga yang diajukan Rafdi. Tatapannya terarah pada buku kecil yang terselip di antara kembang mawar yang terangkai cantik.

Itu bukan buku biasa, melainkan buku sertifikat deposito. Bunga kesukaan yang dimaksud Rafdi tentu bukanlah mawarnya, melainkan bunga bank yang akan Lumi terima setiap bulan dari deposito atas unjuk yang pemuda itu berikan.

"Aku juga bawa ini," tangan kiri Rafdi terangkat lebih tinggi. Memamerkan dua paper bag yang sejak tadi ia tengteng, "tas Prada keluaran terbaru, sama jam tangan limited edition yang kamu incer."

Lumi menelan ludah. Penawaran Rafdi sungguh sangat menggiurkan. Andai kesalahan pemuda itu hanya sekadar ketahuan selingkuh atau ketahuan meniduri perempuan lain, tentu saja Lumi tak akan berpikir dua kali untuk memberikan maaf. Tapi, ini masalah harga diri. Dan harga diri Lumi tak bisa dibeli dengan Rupiah atau Dollar sekali pun.

"Sorry. Gue nggak tertarik, tuh!"

Rafdi mengerjap. Spontan kedua tangannya yang terangkat, turun kembali ke sisi tubuh. Lumi biasanya tak pernah menolak jika sudah dihadapkan dengan barang-barang mewah macam yang ia bawa. "Atau, ada yang lain yang kamu mau?" Dan Rafdi tak akan pernah menyerah. "Aku akan kasih apa pun buat kamu."

"Cuma satu yang gue mau." Bersedekap, Lumi sedikit menelengkan kepala ke kiri. Tatapan remeh ia tunjukkan sebagai bentuk cemooh. "Jangan pernah ganggu gue lagi." Setegas biasanya. Begitu memastikan sang lawan bicara tak akan sanggup menjawab, ia pun memutar badan. Meninggalkan Rafdi yang tak akan bisa menariknya menggunakan dua tangan yang terisi benda-benda sogokan. Serta mengabaikan tatapan para model lain, penata rias serta para crew yang terbengong-bengong tak percaya. Melihat betapa mudahnya Lumi menolak benda-benda mahal sepaket dengan pemuda tampan.

•••

Dia bagai bidadari turun dari khayangan. Wajahnya rupawan, senyumnya menawan, serta matanya yang selalu penuh binar. Dan, si jelita itu tercipta hanya untuk dimiliki Iron Hanggara seorang.

Bagai ada ribuan kembang api bertebaran di dada saat pemikiran itu tercetus. Kebahagiaan membuncah Iron rasakan hanya dengan menatap wajah cantik di hadapannya.

Dengan bangga, Iron akan memperkenalkan gadis ini kepada seluruh dunia.

Namanya, Cinta Givana Hutama. Yang tak sampai satu tahun lagi, Iron pastikan akan menempati posisi sebagai Nyonya Hanggara. Tinggal menunggu waktu luang kedua orang tuanya untuk mendatangi kediaman keluarga Hutama dan meminta putri mereka.

"Kenapa senyum-senyum, Pak?" Ah ... bahkan dengan mendengar suaranya saja, Iron terbuai. "Apa ada yang salah dengan wajah saya?"

"Nggak, kok." Mengulum senyum, tangan Iron bergerak meraih gelas tinggi berisikan cairan oranye yang baru saja diantarkan pelayan. Meminum seteguk, rasa jeruk langsung menginvasi rongga mulutnya, menghantarkan kesegaran hingga ujung kerongkongan. "Aku cuma lagi mikir, kapan bisa benar-benar miliki kamu." Ia menambahkan begitu gelas kembali diletakkan di atas meja.

Pipi Cinta memanas. Alih-alih menimpali kata-kata manis Iron, gadis itu justru menunduk dalam-dalam sembari menggulung spageti dengan ujung garpu. Sejak pernyataan cinta Iron beberapa bulan lalu, pemuda itu selalu memperlakukannya bak ratu. Menggunakan kata-kata halus saat bicara, dan memberi banyak benda kendati dirinya tak meminta. Membuat Cinta kewalahan menolaknya.

Saat ini, mereka sedang berada di sebuah restoran berbintang usai meeting dengan calon investor dari Jepang yang ingin menanamkan modalnya di perusahaan Hanggara Company.

'Oh iya, habis ini aku nggak ada jadwal, kan? Kita jalan-jalan, ya ...."

Menelan makanan yang sudah halus dalam mulut, tangan Cinta praktis tergerak meraih tablet di atas meja—tepat di samping piring makannya. Ia mengotak-atik sesaat lalu mendengak menatap Iron. "Untuk siang ini, tidak ada," gadis itu mengembalikan tabletnya ke tempat semula, "tapi nanti sore ada janji temu dengan Pak Ramli. Perwakilan dari Firma Arsitektur, untuk membahas desain bangunan perumahan elit yang akan dibangun HC di pinggiran kota."

"Itu kan masih nanti sore, Hun." Tangan kanan Iron yang sedari tadi memegang pisau, bergerak. Hendak meraih tangan kiri Cinta yang untuk digenggamnya erat-erat. Tapi, gadis itu dengan cepat menyembunyikannya ke balik meja dengan gerakan rikuh.

Mengerti Cinta tak suka disentuh sembarangan, Iron mendesah. "Jadi siang ini kita bisa jalan, kan?" Dua alisnya tertarik ke atas, menunggu jawaban. "Kita bisa ke pantai, belanja keperluan kamu, atau nonton. Aku suntuk kerja terus."

"Tapi, Pak—"

Paham akan penolakan Cinta yang akan. segera dicetuskan, Iron buru-buru memotong, "Oke, cukup temani saya ke mal. Bisa, kan?"

Cinta mengangguk sembari tersenyum kecil. Sekretarisnya ini memang bukan perempuan sembarangan. Saat Iron menyampaikan perasaan dan memintanya sebagai kekasih, Cinta menjawab dengan satu kalimat yang sukses membikin Iron langsung bungkam.

"Kalau Bapak benar serius, datangi ayah saya," katanya.

Cinta memang berbeda. Tidak seperti sekretaris yang ia miliki sebelum-sebelumnya. Semula, Iron bahkan sama sekali tidak tertarik padanya. Tapi, cara Cinta menundukkan pandangan, caranya berbicara, cara bersikap, lama-lama membikin Iron penasaran.

"I love you." Dan setiap kalimat tersebut terucap dari bibirnya, hati pemuda itu meringis kecil. Ia selalu mengumbar kata cinta, tapi napsu binatangnya pada gadis lain tetap aktif. Terbukti, tadi malam ia masih menyewa salah seorang super model yang terlibat dalam jaringan prostitusi online demi bisa menghangatkan ranjangnya, dengan alasan ia adalah seorang lelaki normal yang memiliki kebutuhan biologis. Sedang Cinta, wanita yang ia harapkan, merupakan gadis baik-baik dari keluarga terpandang pula. Ia terlalu berharga untuk dinodai. Tapi Iron berjanji, setelah janji suci terucap teruntuk gadisnya suatu saat, Iron akan berhenti meminta kepuasan pada wanita murahan di luar sana.

Jangan katakan Iron munafik. Karena sejatinya, seberengsek apa pun laki-laki, dia tetap menginginkan perempuan baik-baik sebagai istri.

•••

"Mana barang gue!" ucap Lumi tanpa basa-basi. Belum sepuluh detik ia mendudukkan bokongnya berseberangan dengan wanita berambut burgundy bersetelan seksi ini, gestur tubuhnya sudah menyatakan ingin segera pergi.

Yang diajak bicara mengangkat satu alis. Berpikir sesaat sebelum merogoh sesuatu di dalam tas jinjing branded yang ia pangku. "Ini."  Wanita itu meletakkan satu tabung kecil ke atas meja beserta selembar kertas ukuran A4 yang dilipat tiga, lantas mendorongnya perlahan mendekat pada Lumi. "Tapi sebelumnya, mana bayaran gue?"

Mendengus, Lumi mengangkat ponselnya yang sedari tadi berada dalam genggaman. Ia memasuki satu aplikasi Elektronik Banking, mentransfer sejumlah uang dari rekeningnya, lalu memperlihatkan bukti pengiriman pada sang lawan bicara.

"Masih ragu?"

Alih-alih menjawab, Imelda tersenyum puas. Ia melepas tabung kecil berbahan beling bening itu untuk selanjutnya segera diamankan oleh Lumi. Imel selalu suka bekerja sama dengan Aluminia Lara yang tak banyak bicara. Namun sekali dia buka suara, kau harus menebalkan hati dan telinga. Karena lidah Lumi sama tajam dengan samurai yang mampu menembus jantungmu sekali tusuk.

"Dasar jalang mata duitan!"

See?

Begitulah Lumi. Andai Imel baru mengenalnya, dia tak akan segan-segan menyumpal mulut Lumi dengan kaus kaki. Tapi setelah dua tahun saling mengenal dan tergabung dalam satu agensi yang sama, sedikit banyak Imel tahu tabiat Lumi yang tak pernah mau repot-repot menjaga reputasi.

"Kalau gue mata duitan, terus sebutan yang cocok buat lo apa, Say?" tanya Imel retoris. "Matrealistis?"

Lumi tak ada minat meladeni. Mengibaskan rambut sebahunya sebagai gestur jengah, ia mendorong kursi duduknya ke belakang, menimbulkan suara decitan pelan akibat gesekan antara lantai dan kaki kursi. Tanpa salam perpisahan, ia berdiri lalu berbalik pergi begitu saja. Imel yang sama tak acuhnya hanya mengedik bahu tidak peduli. Dia justru mengangkat tangan, memanggil pelayan restoran guna memesan makan malam.

Selang beberapa menit, kursi di seberang meja Imel kembali berderit. Wanita yang tadi sibuk mengotak-atik ponsel itu mendongak. Satu alisnya tertarik ketika menemukan Lumi yang kembali duduk manis.

"Ini beneran dari dia, kan?" Selalu tanpa basa-basi. Imel mendengus, mulai merasa kesal akan sifat curiga Lumi yang berlebihan.

"Gue ada videonya juga kalo lo nggak percaya."

"Kirim ke e-mail gue, sekarang!"

Imel memutar bola mata. Ia segera melaksanakan titah si Nyonya Wanna Bejulukan yang disematkan Imel dan model satu agensi lainnya pada Lumi.

"Tapi inget, selesai lo tonton, langsung hapus!"

"Hmmm ...."

Jam 20:30 masih terlalu pagi untuk Lumi pulang. Namun karena sedang malas clubbing, ia lebih memilih kembali ke rumah. Tubuhnya lelah sekali setelah sesiangan tadi dirinya harus lenggak-lenggok memperagakan busana dalam acara IFW. Gadis setinggi 170 senti itu sangat ingin berlama-lama menenggelamkan diri dalam jacuzzi. Dan berharap kantuk bisa cepat menjempunya ke alam mimpi.

Menapaki langkah di ruang tengah, Lumi mendapati keluarganya yang tengah berkumpul bersama. Ada WandiAyahnya, Resti--Ibunya, Gustav--Kakaknya, dan si bungsu Cinta--kembarannya. Mereka tampak terlibat obrolan seru, sesekali diselingi kekehan geli saat berhasil menggoda Cinta yang terlihat kelewat bahagia malam ini.

Malas bergabung, Lumi melimbai begitu saja. Tak peduli.

Kakinya hendak meniti di anak tangga pertama ketika suara berat yang ia kenal sebagai milik Wandi terdengar, berhasil menarik perhatian Lumi.

"Kapan Iron Hanggara-mu mau datang ke rumah dan meminta kamu secara langsung pada Papa?"

Iron Hanggara?

Tubuh Lumi menegang seketika. Ia ingat nama yang disebut Wandi, nama lelaki brengsek penyebab putusnya ia dan Rafdi.

Gadis itu memasang telinga tajam-tajam sembari menginjakkan kaki kanannya kelewat pelan, disusul kaki kiri di anak tangga yang sama. Berhenti sejenak sebelum kembali mengambil langkah sepelan mungkin agar bisa menangkap arah pembicaraan mereka di ruang tengah tanpa dicurigai tengah menguping.

"Mungkin sekitar bulan Mei, Pa. Tiga bulan lagi," suara Cinta mencicit pelan. Tanpa menoleh pun, Lumi tahu adiknya tengah tersipu.

Sementara kening Lumi sudah berkerut-kerut dalam. Mencoba menebak-nebak, apa yang mereka bicarakan sembari mengambil satu langkah kemudian.

"Jadi, Iron beneran serius mau nikahin lo?" suara Gustav menimpaliyang tanpa sadar telah berhasil memaku langkah Lumi di anak tangga ke empat. Bahkan, tangannya mencengkeram birai erat-erat, hingga kuku kelingkingnya bengkok akibat tekanan yang terlalu kuat menusuk birai tangga berbahan dasar besi itu. Dalam kepalanya, berputar berulang-ulang satu kalimat tanya si sulung barusan.

Hening beberapa saat. Lumi yakin, Cinta menjawab peryanyaan Gustav melalui gelengan atau anggukan.

"Ah, berarti sebentar lagi Mama bakal punya mantu, dong?" Resty ikut bertanya.

Merasa cukup dapat Informasi, Lumi bergegas meneruskan langkah. Lamat-lamat, ia masih bisa mendengar percakapan seputar hubungan Cinta dan Iron dari lantai bawah.

"Tapi, lo nggak boleh ngelangkahin gue. Gue duluan yang tunangan sama Rency. Jadi, lo kudu belakangan!"

"Ye ... Kakak kan, udah tunangan satu tahun, tapi nggak nikah-nikah juga. Boleh dong, kalau aku langkahin."

"Enak aja! Di mana-mana, yang lebih tua nikah duluan."

"Aturan dari mana, tuh? Niat baik kan, nggak boleh  ditunda-tunda."

Dan perdebatan antara si sulung dengan si bungsu terus berlanjut hingga Lumi sampai di depan pintu kamar. Suara tawa selaras menyusul kemudian, lalu menghilang seiring bunyi bedebum pintu yang dibanting dari dalam.

Tanpa tadeng aling-aling, Lumi melompat ke tempat tidur. Membuat Cattykucing hitam peliharaannyayang sedang bergelung malas di ranjang terlonjak kaget. Buru-buru Lumi merengkuh tubuh kurus Catty, dielus-elus sayang hingga si kucing pulas kembali.

Iron ingin meminang Cinta. Begitulah yang dapat Lumi simpulkan untuk sementara.

Sekonyong-konyong, bibir tipisnya tertarik memebentuk satu seringai. Ia bergumam pelan, "Kayaknya, permainan ini akan sangat menyenangkan." Gadis itu mencondongkan tubuh, mendaratkan satu kecupan di kepala Catty sebelum bergerak perlahan, turun dari ranjang menuju kamar mandi untuk berendam.

•••

BERSAMBUNG

Repost, 23 Nov 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top