Terbongkar


Hari telah berganti dengan bulan. Perut Aura terlihat sedikit menonjol, walaupun janinnya telah berusia enam bulan. Aura menghela napas berat, ini sudah tidak bisa dia tutupi lagi. Gusti pasti akan benar-benar mengusir dirinya dari rumah ini.

Diah membelai bahu Aura lembut. Diah tahu kekhawatiran yang Aura rasakan saat ini. Namun, mau bagaimana lagi, kenyataan memang harus dihadapi. Mbok Nah membuka pintu kamar Aura, dan memberikan sebuah paket. Buku dengan cover perempuan yang mempunyai sayap. 

"Buku Non Aura," ucap mbok Nah.

Buku berjudul sayap Kertas, karya Aura. Menjadi seorang penulis buku yang karyanya mampu dikenang oleh orang lain. Dan hari ini, buku pertama milik Aura, membuktikannya.

"Nona, mbok siapkan makan ya!" Aura mengangguk.

Diah dan mbok Nah meninggalkan Aura sendiri di kamarnya. Aura membelai perutnya lembut, dia akan menjaga anak dalam kandungannya ini sekuat tenaga. Aura menjalankan kursi rodanya sendiri untuk keluar dari kamar.  Di sana, Gusti baru saja pulang dari kantor. Dia berjalan menghampiri Aura yang kini menunduk takut.

Gusti menatap Aura intens, berjongkok di depannya. Indera penglihatannya menangkap sesuatu yang ganjil di tubuh Aura. Perutnya membuncit. Gusti menatap nyalang pada Aura.

"Kamu ... hamil?" Aura mengangguk.

"Gila!" teriak Gusti nyaring.

"Saya sudah pernah bilang berkali-kali sama kamu, Aura. Jangan pernah hamil, karena saya tidak menginginkan anak!" bentak Gusti pada Aura yang hanya menunduk takut.


Ini memang murni kesalahan dirinya, yang tidak mendengarkan Gusti. Lantas, mengapa harus dia saja yang disalahkan? Karena Gusti penguasa rumah ini, dengan segala aturannya. Aura tidak berhak memilih dan dipilih.


"Maaf," cicit Aura.


"Nggak ada gunanya," Gusti mengusap wajahnya gusar, "mulai sekarang, kamu pergi dari sini! Bawa anak dalam kandunganmu sekalian!"


"Diah!" teriaknya kembali menggema.


Diah berlari tergopoh-gopoh menuju ruangan tengah. Dirinya juga melihat bagaimana Gusti memarahi Aura seperti itu, bahkan mencengkeram kedua wajah Aura dengan tangannya yang besar. Dirinya sungguh tidak tega melihat Aura diperlakukan seperti ini. Memang apa salahnya hamil? Toh tuannya itu juga menikmati.


"Bereskan segala baju Aura, dia harus pergi hari ini juga!" tegas Gusti.


"Tapi Tuan, ini sudah malam. Kasihan Nona," pinta Diah.


"Jangan membantah saya, Diah. Lakukan sekarang!" Diah lari terbirit-birit.


Aura memutar kursi rodanya sendiri, dia sudah merasa cukup sakit hati. Tapi Gusti menahannya dan mencengkeram kembali kedua wajah Aura.


"Saya akan talak kamu segera!" 


"Silakan, saya pamit untuk pergi," pamitnya yang tidak dipedulikan oleh Gusti.


Diah membantu Aura mendorong kursi roda Aura sampai teras. Namun di sana, kedua orang tua Gusti telah sampai. Ira menatap heran ke arah Aura yang membawa tas besar dalam pangkuannya.


"Kamu kemana, Nak?" tanya Ira.


"Saya diusir Mas Gusti, Bu,"


***


Ira benar-benar sudah tidak tahu lagi harus seperti apa menghadapi anak semata wayangnya itu. Gusti mengusir Aura dari rumahnya, hanya karena Aura hamil. Padahal Aura hamil anaknya sendiri, bukan anak orang lain. Mengapa dia harus menderita.


Ira enggan untuk menemui Gusti hari ini. Mungkin hatinya terluka, atas perlakuan Gusti pada menantunya itu. Ira bahkan takut, jika Aura akan pergi meninggalkan Gusti, layaknya Sanee dulu. Lalu, Gusti akan bersama dengan siapa.


"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini ya, Nak," Aura mengangguk.


Ira merasa iba melihat garis takdir Aura. Disaat gadis seumuran dia masih menikmati kehidupan sebagai seorang mahasiswi, sedangkan dia harus terjebak dalam pernikahan yang membuatnya merana. Dia tidak dapat berjalan dan menemui teman-temannya, hanya bisa duduk di atas kursi roda yang malang ini. Tuhan telah menggariskan ini untuk Aura, dan dia menerimanya dengan lapang dada.


Aura menghela napas berat, dia sudah mempresentasikan hal ini, tapi mengapa rasanya sakit sekali. Dia dan calon bayinya tidak diinginkan oleh Gusti. Karena memang sedari awal, tugas dan status dia bukan istri. Rasanya Aura ingin tertawa sekeras-kerasnya, menertawakan dirinya sendiri. Mengapa kehidupan pernikahannya harus seperti ini. Disaat dia merasakan cinta, namun cinta menusuknya.


"Cintaku tulus padamu, namun dirimu menusuk cinta dan harapanku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top