Surat Kebahagiaan
Keadaan yang membelenggu dirinya di rumah, tidak menampakkan diri untuk bisa berjumpa dengan orang di luar sana. Menjadikannya penyendiri, dan minder. Dia bukanlah pribadi yang kuat, hanya seorang perempuan yang lemah, sesuai dengan kodratnya. Aura hanya mengandalkan keinginannya melalui tulisan-tulisannya, dia jadikan sebagai novel. Selalu berharap bisa menyeberang ke luar kota atau manapun itu, meskipun dirinya terbelenggu di atas kursi roda.
Mungkin nanti, suatu saat nanti. Batinnya.
Aura memandang Gusti yang masih terlelap di sampingnya. Lagi dan lagi, Gusti meminta haknya sebagai seorang suami. Bukan, lebih tepatnya menjadikan Aura sebagai pemuas nafsunya saja. Dia sadar diri, mungkin memang takdirnya seperti ini. Dia perlahan bangkit dan memakai kimononya yang tergeletak di kursi rodanya. Aura tersenyum, dia merasakan ngilu di bahu dan pipinya, akibat cengkraman Gusti.
"Sane ...," lirih Gusti.
Ada yang lebih sakit dari bahu dan pipinya, hatinya sakit. Perempuan mana yang tidak sakit, jika lelakinya menyebutkan nama perempuan lain, yang jelas-jelas telah meninggalkannya selama itu, namun cintanya masih tetap abadi. Aura perlahan duduk di kursi roda, dan menuju kamar mandi. Mencoba untuk melakukan semuanya sendiri, karena dia terlalu membuat Diah repot.
***
Aura keluar dari kamar mandi, dan melihat Gusti meregangkan badannya. Aura masih ingat dengan peraturan yang dibuat oleh Gusti beberapa hari yang lalu. Poin pertama adalah tidak perlu sok akrab padanya, yang jelas-jelas akan diabaikan. Dan Aura menjalankannya sekarang. Tanpa pamit dan permisi, tanpa menganggap Gusti ada, dia keluar begitu saja dari kamarnya.
"Nona," sapaan dari Diah, membuatnya terkejut, "Nona butuh sesuatu?"
"Boleh, antarkan saya ke halaman belakang ya, saya ingin menikmati teh hangat di sana," pinta Aura.
Diah mendorong kursi roda Aura menuju halaman belakang. Udara terasa sangat sejuk, membuat Aura mengingat masa lalunya yang bahagia, dan tidak akan terulang kembali, karena kedua orang tuanya telah meninggal. Aura hanya bisa berdoa pada Tuhan, dan menitipkan salam rindu pada-Nya untuk mereka.
Aura menikmati secangkir teh dan ditemani buku catatan miliknya. Menuliskan ungkapan hatinya di sana. Bahkan menuliskan kalimat harapan pada Tuhan, agar dia dapat berjalan kembali, walau itu hanya angan belaka. Namun, Aura benar-benar menginginkan hal ini.
Aura menyeruput kembali teh hangatnya, yang telah berganti rasa. Bukan dari rasanya, tetapi kedatangan Gusti yang membuat rasa teh berubah. Ketegangan ini membuat Aura tidak nyaman. Gusti menyerahkan amplop coklat tebal di depan Aura.
"Apa ini?" tanya Aura bingung.
"Uang untuk kamu. Pasang alat kontrasepsi, karena saya tidak ingin kamu hamil!" ucap Gusti tanpa dosa.
Aura benar-benar sakit hati dibuatnya, dia benar-benar kecewa. Jadi selama ini, dia hanya sebagai pajangan di rumah mewah ini. Bukan sebagai istri yang mempunyai hak lebih terhadap Gusti. Aura kembali menyadarkan dirinya sendiri, mengingat poin kedua yang diminta oleh Gusti. Gusti berhak melakukan hubungan intim dengannya, tanpa penolakan. Karena Gusti memang tidak mencintai Aura. Tidak akan pernah ada cinta diantara mereka berdua. Dan tidak akan ada anak diantara mereka.
Gusti pergi begitu saja tanpa permisi. Meninggalkan Aura yang terluka oleh kata-katanya. Benar-benar bukan lelaki idaman Aura, mengapa juga cinta Aura harus berlabuh kepada Gusti. Dia benar-benar tidak menyangka akan hal ini. Tuhan telah memberinya cinta untuk orang yang salah.
Aura menyembunyikan amplop itu di kursi rodanya, mungkin akan dia simpan saja. Dia melajukan sendiri kursi rodanya memasuki rumah. Di sana ada ibu mertuanya yang menyambut dirinya dengan hati yang riang. Aura melihat Gusti tidak berkutik.
"Ajak Aura untuk pergi ke pesta pernikahan sepupu kamu!" putus Ira.
"Enggak, dia cacat! Aku malu."
Hancur sudah hati Aura dibuatnya. Dia tidak menyangka, jika Gusti sepicik itu pemikirannya. Memandang rendah Aura yang mempunyai kekurangan. Tapi memang dari dulu Gusti seperti itu, lalu mengapa dia harus sakit hati? Karena Gusti mengatakannya secara langsung, dan membuat Aura sakit hati.
***
Aura mengurung dirinya di kamar, dia tidak ingin berjumpa dengan siapapun itu. Keadaannya yang membuat dia menjadi tidak leluasa dalam bergerak. Kakinya memang sudah lumpuh, lalu buat apa dia hidup. Tidak ada gunanya sama sekali. Aura membuka laptop miliknya, hadiah ulang tahunnya, dua tahun lalu dari sang ayah. Dia kembali mengetikkan seluruh ide yang ada dalam otaknya. Berharap suatu hari nanti akan menjadi buku.
Andaikan aku punya sayap seperti peri, terbang sebentar untuk melepas lelah. Batinnya.
Pintu kamarnya diketuk, dan Aura menyuruhnya masuk. Diah berdiri di sana dengan wajah sumringah. Memberikan secangkir teh madu atas permintaan Ira. Mertuanya memang masih di sini, karena sebelum masuk ke kamar, mereka berbincang-bincang berdua.
***
Aura dilanda pening yang hebat di kepalanya, kali ini tidak bisa ditahannya. Perutnya bergejolak hebat dan memuntahkan isi perutnya di wastafel. Dirinya benar-benar lemas dan tidak nafsu makan. Dia menghampiri Aura dan memijit tengkuknya.
"Nona tidak papa?" Aura hanya mengangguk.
Dia takut hamil, karena peringatan Gusti masih terus terngiang di telinganya sampai saat ini. Jika dirinya hamil, dipastikan dia akan diusir dari rumah mewah Gusti ini. Lalu dia akan tinggal di mana jika diusir. Aura menghela napas lelah, dia benar-benar resah.
"Menikahi gadis sepertimu, bukanlah bagian dari impianku. Bahkan kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Sanee," ucapan Gusti sangat melukai hati Aura. "Dan, jangan sampai kamu hamil, ingat itu!"
Siapa yang ingin ditakdirkan lumpuh seumur hidup? Tidak ada, dirinya juga tidak ingin. Ini semua karena kecelakaan malam itu, yang telah menewaskan kedua orang tuanya, dan membuat dirinya mengalami kelumpuhan seumur hidup.
***
Diah mengantarkan Aura ke rumah sakit, atas pintanya sendiri. Selain untuk menjalani terapi, dirinya juga ingin melakukan tes kehamilan. Dia benar-benar takut jika kenyataannya memang hamil, lantas apa yang akan dia katakan pada Gusti nantinya.
Diah menggenggam tangan Aura yang dingin. Diah benar-benar tidak tega melihat Aura yang selalu mendapat tekanan batin dari Gusti. Hanya Diah dan Mbok Nah saja yang menjadi teman Aura di rumah.
"Nona, jika memang kenyataannya Nona hamil, masih ada saya dan Mbok Nah, yang akan membantu Nona," Aura memeluk Diah erat, dia benar-benar terharu.
"Terima kasih Diah, kamu memang sahabat terbaik saya," ucap Aura.
Tiba namanya dipanggil, Diah mendorong kursi roda Aura untuk masuk. Seorang wanita cantik berdarah blasteran tersenyum padanya dengan ramah. Aura seketika membeku saat melihat papan nama yang tertulis di depannya, 'dr. Tasanee, SpOG'. Aura memandang Diah, meminta penjelasannya. Hanya anggukan yang Diah berikan sebagai jawaban. Wanita cantik itu bernama Tasanee, perempuan yang masih menjadi cintanya Gusti. Meskipun telah ditinggalkan, tetapi Gusti masih mencintai wanita cantik itu hingga kini.
"Ibu Aura, usia ... dua puluh tahun? Masih muda sekali," Aura mengangguk dengan wajah lesu.
Memang benar sekali, dia bukan apa-apa dibandingkan dengan Tasanee. Wanita itu sangat sempurna sekali, dibandingkan dirinya yang seperti upik abu. Tasanee memeriksa keadaan Aura, dia benar-benar merasa iba, saat membaca rekam medis Aura.
"Selamat ya, janinnya berkembang dengan baik. Sekarang berumur 3 minggu," ucap Tasanee.
Aura menitikkan air matanya, dia benar-benar bersyukur pada Tuhan, karena menitipkan sebuah kehidupan dalam rahimnya. Diah mendapatkan telepon dari Gusti, dia segera berpamitan keluar untuk menjawab telepon. Aura memegang tangan Tasanee, saat wanita itu telah usai memeriksanya.
"Dokter, boleh saya bertanya sesuatu berdua saja? Ini ... masalah pribadi," tanya Aura, dijawab anggukan oleh Tasanee.
"Apa, Dokter mengenal Gusti?" pertanyaan itu membuat Tasanee diam sejenak, lalu membantu Aura untuk duduk kembali di kursi rodanya.
"Saya tidak ingat betul tentang masa lalu saya dengan Gusti. Hanya potongan-potongan ingatan tentang Gusti," jawab Tasanee.
"Boleh saya mendengarkan?" Tasanee mengangguk.
"Saya hanya mengingat, saat saya menikah dengan Gusti, tapi itu sangat samar. Dan potongan ingatan, saat Gusti mendorong saya, hingga saya keguguran," ucap Tasanee.
"Jika Dokter harus bertemu dengan Gusti, apa Dokter akan ... menikah dengannya kembali?" Tasanee hanya tertawa sekilas.
"Tidak mungkin dan tidak akan. Karena saya sudah memiliki kehidupan yang bahagia dengan suami dan anak-anak saya," Tasanee menunjukkan foto bahagianya bersama keluarga kecilnya. "Semoga kamu bahagia dengan Gusti."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top