Resah
Aura memandang cermin di meja riasnya, dia mencoba untuk memoles make-up tipis di wajah mungilnya. Mencoba untuk menarik perhatian Gusti, dengan cara memoles wajahnya agar secantik mungkin, minimal mirip dengan Sanee. Minimal? Bahkan dalam dirinya saja tidak ada yang bisa dibandingkan dengan Sanee. Wanita cantik itu terlalu sempurna, bahkan wajahnya saja tidak berubah sama sekali, meskipun telah mempunyai anak dua. Aura? Hanya butiran debu, sekali ditiup hilang.
Kembali dia memilih pakaiannya yang terlihat anggun. Sebuah dress berwarna peach dia pilih, dan dia kenakan dengan dibantu oleh Diah. Dia pamit setelah membantu Aura, untuk segera menyiapkan makan malam, sebelum Gusti datang.
Aura keluar dari kamarnya, tepat sekali dengan Gusti yang baru saja tiba. Dia melirik Aura sekilas, lalu menghampirinya. Gusti mendorong kursi rodanya menuju kamarnya. Aura benar-benar bahagia sekali dengan perlakuan Gusti kali ini. Mungkin Gusti telah jatuh cinta padanya.
"Kamu cukup di sini, tidak perlu keluar dari kamar. Akan ada teman saya yang akan datang," Gusti menghela napas sejenak, "saya tidak suka ada yang melihat perempuan cacat sepertmu!"
Sekali lagi kata cacat harus keluar dari mulut Gusti. Oh Tuhan, beginikah rasanya menjadi orang cacat. Disaat dia mampu menerima kenyataan tentang dirinya, namun Gusti yang membuat seperti ini. Gusti meninggalkan dirinya begitu saja di kamar. Tidak ada rasa cinta dalam diri Gusti untuk Aura, lalu mengapa dia harus berharap lebih.
Aura membuka lacinya, dia kembali mengeluarkan sebuah cutter. Menggoreskan kembali di pergelangan tangannya yang pernah terluka itu. Aura tersenyum, saat darah segar mengalir pada pergelangan tangannya, namun matanya menatap sebuah foto kecil di atas sampul bukunya. Foto USG miliknya tadi siang. Aura menangis tersedu-sedu, mengingat keadaan dirinya yang memprihatinkan saat ini, dia harus berjuang untuk anak dalam kandungannya. Meskipun nantinya dia akan didepak dari rumah mewah ini, setidaknya ... masih ada anaknya yang menemani dirinya untuk tetap hidup. Aura membelai perutnya yang masih datar itu dengan penuh kasih sayang. Dia harus berjuang demi anaknya.
Dear Tuhan,
Jika nanti aku telah lelah untuk menghadapi semua cobaan yang Kau berikan, mohon ambil hidupku. Sisakan kenangan tentangku untuknya. Mungkin jika aku telah tiada, dia akan lebih bahagia. Mohon berikanlah satu sisi kebahagiaan untuk anakku kelak.
Dear Tuhan,
Berikanlah kasih sayang yang tulus untuk ankku kelak. Berikan secuil saja rasa kasih sayangnya untuk anakku kelak. Berikan rasa menyesal untuknya saat mengenangku. Karena rasa itu yang akan dia ceritakan kelak untuk anak kami.
Dear Tuhan,
Jikalau anakku tidak diinginkannya, tolong berikan anakku tempat yang layak bersamaku. Biarkan dia bersama ibunya, tanpa ada yang menyalahkan atau mengucilkan dirinya nanti. Dia akan lebih bahagia bersanding dengan ibunya selamanya.
Aura menghela napas sejenak, melepaskan rasa sesak yang ada. Dia merasa benar-benar tidak ada gunanya dia hidup. Untuk apa dia hidup? Jika hanya sebagai pemuas nafsu Gusti. Tanpa adanya cinta dalam kehidupan rumah tangga mereka. Aura memandang Gusti yang masih terlelap di kasur empuk itu. Untuk yang kesekian kalinya mereka telah menikmati malam bersama, mereguk kenikmatan berdua, sebagai suami istri.
Aura menghela napas, bagaimana keadaan janinnya di dalam sana. Apakah baik-baik saja? Dia berharap janinnya baik-baik saja. Membelai perutnya dengan lembut, dia tersenyum getir. Suatu hari nanti, kehamilannya akan ketahuan oleh Gusti dan dia akan siap-siap untuk angkat kaki dari rumah ini, beserta kenangannya yang telah lalu. Aura akan bersiap untuk hari itu, jika saatnya nanti tiba.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top