Mencoba bertahan
Gusti tersenyum miris melihat seseorang yang pernah ada ah, ralat. Yang masih ada selalu dihatinya, kini terlihat sangat berbahagia sekali dengan keluarga kecil miliknya. Lengkap sudah rasa kecewa dan sakit hati yang dia alami. Dia benar-benar tidak bisa mendekati wanita itu lagi. Buang-buang tenaga, tapi kenapa hatinya seakan tidak rela dengan kenyataan yang ada.
Wanita itu adalah Tasanee, dia adalah mantan istri yang pernah di sia-siakan oleh Gusti. Wanita yang meninggalkan dirinya, sebab Gusti selingkuh dan membawa wanita lain yang mengaku hamil anaknya itu. Nyatanya itu hanya bualan semata, wanita itu bukan hamil anak Gusti, melainkan anak orang lain. Dan Gusti juga telah kehilangan calon anak dan sekaligus Tasanee. Miris sekali hidupnya, apalagi ingatan Tasanee tentang Gusti tidak ada. Alam bawah sadar Tasanee tidak menginginkan untuk mengingat Gusti seutuhnya, secuil pun tidak. Dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang, hanya bisa melihat Tasanee berbahagia dengan lelaki lain yang pernah menjadi rivalnya untuk mendapatkan Tasanee dulu.
Gusti pergi dari kafe itu, dia sudah cukup untuk menutup masa lalu. Mengingat hal yang sangat melukai dirinya adalah hal yang tidak cukup baik untuk kesehatan hati dan pikirannya. Gusti berjalan menuju mobil mewahnya, dia harus segera kembali ke rumah besar miliknya. Namun, suara handphone miliknya berbunyi dan menampilkan nama Diah.
"Ya?"
"Tuan, maaf sekali. Tapi, Nona masuk rumah sakit, Pak," ucap Diah di seberang sana.
"Hm ... saya ke sana."
Dalam hati Gusti tidak ingin, tapi jika Ibunya tahu kelakuan Gusti pada Aura seperti apa, mungkin saja dia sudah di coret dari daftar anak. Gusti sangat tahu diri, jika dirinya tidak pernah baik dalam peran seorang anak. Dia tidak pernah sebaik dan sesopan mendiang kakaknya dulu. Gusti sangat mengecewakan dengan tingkah lakunya. Gustimemutar kemudiannya menuju rumah sakit yang dikatakan oleh Diah tadi.
Dia tidak tahu-menahu mengapa Aura bisa masuk rumah sakit. Untuk berjalan saja dia tidak bisa, lantas apa yang bisa memicu perempuan itu untuk menghadiri rumah sakit. Sebenarnya Gusti tidak peduli dengan tingkah laku Aura, hanya saja dia ingin menjaga image dia di depan kedua orangtuanya.
Gusti telah berada di kamar kenanga, di sana Diah berdiri dengan cemas. Gusti mendekat, dan melongokkan kepalanya di sela-sela kaca yang ada di pintu. Seorang dokter sedang memeriksa Aura yang terbaring di bed. Gusti duduk dengan angkuhnya dan menyuruh dia menjelaskan, hanya dengan tatapan sengitnya. Diah menunduk takut, dan mencoba untuk membuka suara.
"Nona tiba-tiba berteriak tadi di kafe, Tuan. Dan tiba-tiba pingsan begitu saja," jelas Diah.
"Kafe? Kalian ke kafe berdua?" Diah mengangguk, "jadi?"
"Saya benar-benar tidak tahu pasti Tuan, yang jelas tadi ada seorang Bapak-bapak duduk di depannya, dan Nona teriak-teriak tidak jelas," jelas Diah.
Gusti mengetikkan sesuatu di handphone mahalnya. Dia butuh informasi tentang Aura. Kehidupan masa lalu Aura harus jelas sekali dan dia harus benar-benar tahu apa saja yang pernah dilakukan Aura dulu.
Dokter telah berada di depan Gusti dengan wajah gusar, sedangkan Gusti ... dia hanya memasang wajah datar. Gusti mengajak dokter bersalaman, sebelum dia akan bersiap dengan segala pertanyaan yang akan dia tanyakan di kepalanya.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Gusti.
"Pasien mengalami depresi, mungkin karena pasien bertemu pemicu depresinya."
Depresi? Perempuan itu tidak gila, 'kan?. Batin Gusti bertanya.
Gusti memandang Aura dengan tatapan datar. Sampai jam delapan malam pun, Aura belum juga sadar. Dokter pun sudah memeriksa keadaan Aura, tapi menurut dokter semuanya baik-baik saja. Namun belum ada tanda-tanda Aura sadar dari tidur lelapnya. Gusti berjalan menuju sofa dan duduk dengan angkuhnya, sungguh dia benci berada di ruangan yang ada dia dan Aura.
Suara pintu terbuka, di sana Diah menunduk saat melihat Gusti ada di sana, dan membuka pintu sedikit lebar. Seorang wanita paruh baya yang sangat dia kenal, berjalan menuju bed Aura. Gusti merasa was-was, jika dia harus dihadapkan dengan ibunya saat ini. Wanita paruh baya itu adalah ibu kandungnya, yang telah menjodohkan dirinya dengan Aura. Gadis belia yang telah lumpuh, karena kecelakaan yang menimpanya.
Ira menatap Gusti dengan perasaan penuh rasa kecewa, dia tahu anak semata wayangnya ini tidak memperlakukan Aura dengan baik. Bahkan Ira sudah memprediksikan jika suatu hari nanti Aura akan benar-benar terluka. Ira juga merasa bersalah atas apa yang menimpa Aura, dan membuat hancur segala mimpinya.
"Apa susahnya sih menerima Aura?" tanya Ira.
"Susah Bun, karena aku tidak cinta sama dia," tunjuknya pada Aura yang masih terlelap.
"Buka hatimu, Nak. Bertahan dan ikhlas, karena Sanee bukan lagi milikmu," sekali lagi Ira memperingatkan Gusti, dan menyadarkan dirinya dari obsesi.
"Bertahan? Dengan perempuan itu? Bunda cukup membuat keputusan sendiri. Karena aku akan benar-benar meninggalkan perempuan itu!" seru Gusti.
"Gusti!" bentak Ira.
"Aku nggak ingin terjebak dengan perempuan cacat seperti dia!" tunjuknya pada Aura.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top