Malam Kecelakaan

Gusti benar-benar diambang kehancuran. Dia telah ditinggalkan oleh istrinya, hanya karena memilih seorang perempuan dari masa lalunya, yang mengaku hamil anaknya. Dan ternyata itu semua hanya rekayasa saja, bukti nyata setelah anak itu lahir, dia bukanlah anak kandung Gusti. Dan dia ditinggalkan oleh Tasanee ... mantan istrinya. Mengapa harus meninggalkan dirinya?


Gusti selalu bertanya-tanya tentang hal itu selalu. Dia benar-benar tidak menyangka, jika kenyataan pahit akan dia terima dan jalani. Dia menduda, sedangkan Tasanee? Dia sudah menikah kembali dan memiliki anak kembar. Miris sekali kehidupan Gusti. Dia selalu menjadi laki-laki yang tersakiti. Dua kali harus disakiti oleh perempuan, atau dua perempuan yang tersakiti olehnya.


Gusti menenggak secara cepat minuman yang mengandung alkohol di depannya itu. Di benar-benar sudah lelah harus memasang hati baik-baik saja. Nyatanya ... dia sangat terluka. Tapi kenyataannya sudah digariskan oleh Sang Pencipta.


Gusti berjalan dengan gontai, menuju parkiran mobil. Dia sudah cukup mabuk berat. Memasuki mobil mahal miliknya, pandangan matanya tertuju pada sebuah foto yang menggantung di spion kabin. Foto Tasanee yang tersenyum dengan manisnya, makin membuat hati Gusti terasa sakit luar biasa. Dia menangis tergugu mengingat betapa bodohnya dia melukai hati Tasanee.

"Sanee ...," racaunya makin tidak terkendali. Dia benar-benar merindukan Tasanee.

Aura menekan kembali ikon telepon di handphone miliknya. Untuk kesekian kalinya dia tidak bisa menghubungi seseorang di seberang sana. Dirinya kembali gusar, seharusnya seseorang yang diseberang sana segera menjawab telepon darinya.


"Halo Nak? Ayah lagi di jalan jemput kamu dan ibumu. Kalian siap-siap ya!" 


Aura segera memasukkan pakaian miliknya dalam tas ransel, dia harus segera pergi dari rumah ini. Demi keselamatan dirinya dan ibunya juga. Aura membuka pintu kamarnya perlahan, dia mengintip dari balik pintu. Tidak siapapun di rumah ini, artinya dia bisa pergi dengan leluasa. Ibunya datang dengan jalan mengendap-endap, dan memasuki kamarnya perlahan.


"Ayo Nak!" ajak sang ibu, yang diangguki oleh Aura.


Mereka berdua keluar lewat jendela kamar Aura, yang mudah sekali untuk lolos. Tidak ada tanda-tanda kehadiran dari ayah tirinya, jadi mereka berdua aman jika kabur sekarang. Mereka berjalan di jalan sunyi dengan bergandengan tangan, selalu berharap untuk keselamatan mereka berdua pada Tuhan. Hingga akhirnya mereka sampai pada titik penjemputan oleh seorang lelaki paruh baya, ayah kandung Aura.


"Ayo cepat naik!" seru ayahnya.


Kehidupan pernikahan memang tidak pernah baik, dan tidak akan pernah bisa dipastikan. Kedua orang tua Aura, telah lama bercerai. Ayahnya tidak menikah lagi, sedangkan ibunya memilih menikah dengan seorang seniman, dan mengajak Aura untuk tinggal bersama. Namun kenyataan perih telah membelenggu kehidupan Aura. Ayah tirinya benar-benar telah merenggut kesuciannya, saat ibunya tidak ada di rumah. Hal itu membuat Aura benar-benar takut jika sendiri. Dia menceritakan segalanya kepada ayah kandungnya. Hingga memutuskan untuk mengajak Aura pergi dari rumah itu, bersama ibunya.


Gusti melajukan mobilnya dengan kencang. Terus meracaukan nama Sanee, dia menginjak pedal gas tanpa memperdulikan keadaan di sekitarnya yang untung saja terlihat sepi. Mobil Gusti melaju dalam kecepatan 120km/jam. Bahkan kesadarannya sudah mulai berkurang. Dia tertawa tanpa ada pemicunya.


"Sanee ... gue akan jemput lo balik!" kelakar Gusti.


*** 


Mobil yang ditumpangi oleh Aura, melaju dengan kecepatan standar. Bahkan di dalamnya, kedua orang tua yang sudah lama bercerai itu, mampu menghidupkan kembali kehangatan hubungan mereka. Mereka merasa sedih, atas apa yang telah menimpa anak semata wayangnya itu. Bahkan Ayahnya memberikan janji untuk Aura, bahwa dia akan memberikan kehidupan yang layak.


Mobil yang ditumpangi Gusti mendadak oleng ke kiri, dia bahkan tidak menggubris jalur yang salah. Baginya dia berada di tempat yang tepat. Gusti kembali tertawa dan meracaukan nama Sanee, menyumpah serapahi suami Sanee yang baru.


"Ayah, awas!" teriak Aura.


Mobil yang dikendarai ayah Aura, tidak mampu menghindari mobil Gusti yang melaju dengan kencangnya. Dan tabrakan maut itu tidak dapat dihindarkan. Mobil ayah Aura terpelanting dan terbalik di sisi kiri jalan. Kaca mobilnya pecah, dan tidak ada yang sadarkan diri dari mereka bertiga.

Sebuah ambulance melaju dengan kecepatan tinggi, menuju titik di mana kecelakaan itu terjadi. Mobil polisi lalu lintas sudah menepi dan mulai membantu evakuasi korban. Evakuasi sedikit susah dilakukan, karena mobil milik ayah Aura terbalik. 


Gusti yang melihat evakuasi itu, tangannya bergetar. Dia baru saja menabrak mobil, hingga membuat para penumpang mobil itu harus mengalami luka yang serius. Tangannya bergetar untuk meraih handphone miliknya, yang dia letakkan di atas dashboard. Menekan tombol secepat yang dia hapal di luar kepala. Tangannya masih terus bergetar, dan isakan tangis lolos dari bibirnya.


"Halo?" suara di seberang sana telah terdengar.


"Yah, tolong aku ...," jawab Gusti dengan suara yang bergetar, dan isak tangis yang mengiringi. 


"Share lokasi kamu!" titah Ayahnya.


Tidak ada lagi jawaban dari seberang sana. Gusti kembali menangis tergugu, dia kembali melihat seberang sana. Polisi dan beberapa orang telah berhasil mengevakuasi korban. Tubuh mereka dipenuhi darah yang merembes dari tubuh mereka yang terluka, dan beberapa serpihan kaca mengenai tubuh mereka. Gusti benar-benar takut, dia telah menjadi penjahat. Dia telah membunuh orang hari ini.


Ambulance membawa pasien kecelakaan dengan kecepatan tinggi. Pendarahan dan luka yang serius di kepala, harus segera ditangani oleh dokter di rumah sakit. Sebelum pasien harus kehilangan nyawanya. Mobil ambulance yang dikawal beberapa mobil polisi telah sampai di rumah sakit, dan beberapa tenaga medis segera melakukan pertolongan pertama pada pasien.


"Dokter, denyut nadi si ibu menurun!" teriak salah satu suster yang bertugas.


"Ambil defribilator!" titah sang dokter.


Seorang suster membawa pacemaker menuju bed. Dia telah mengolesi gel pada lead, sebelum ditempelkan pada tubuh pasien. Pacuan pertama, belum menghasilkan apapun pada pasien. Pacuan kedua bahkan tidak memulihkan keadaan pasien. Denyut nadi pasien telah menghilang, dan berganti dengan garis lurus di monitor. Dokter berusaha untuk memompa jantung pasien menggunakan dengan kedua tangannya, namun hasilnya percuma. Pasien telah dinyatakan meninggal dunia.


Ayah Aura telah meninggal dunia sejak dalam perjalanan, dan ibu Aura baru saja meninggal. Hanya Aura yang masih bertahan hidup, dan mendapat penanganan dari tenaga medis. Namun luka yang serius terjadi pada Aura. Kecelakaan itu membuat beberapa saraf di kakinya mengalami masalah, dan akibatnya dia mengalami kelumpuhan. Aura menangis meraung-raung, menatapi kepergian kedua orang tuanya yang telah tiada. Dan dia harus menjalani kehidupan seorang diri, dengan keadaan lumpuh.


Ira maju dan memeluk Aura, dia ikut merasakan kesedihan yang dialami gadis itu. Dia tidak ingin melihat Gusti masuk penjara, bahkan dia dengan sengaja menawarkan sebuah solusi pada gadis di depannya itu. Mengabaikan hati yang akan terluka nantinya.


"Kamu tidak akan sendirian, karena kamu akan menikah dengan anak saya!" ucap Ira dengan tenang.


Aura yang menangis pun, segera diam dan mencerna baik-baik apa yang dikatakan oleh wanita paruh baya di depannya itu. Kalimat tenang dan penuh tekanan disetiap katanya. Gusti melayangkan protes pun, tidak digubris oleh Ira. Bahkan Ira langsung melayangkan tatapan tajam yang mampu membuat nyali Gusti ciut.


"Tidak ada yang bisa menolak keputusan saya!"


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top