Lelaki itu

Aura duduk di atas sofa berwarna coklat, dan memandang jendela di depannya, ini sudah pukul delapan malam dan orang yang dia tunggu, belum datang juga. Aura menghela napas berat, kenapa harus seperti ini? Kenapa harus setiap hari? Dia menggeleng pelan. Lalu mengecek handphone miliknya yang tergeletak di meja. Sepi dan sunyi, tidak ada panggilan atau pesan dari orang yang dia tunggu. Pesan? Bahkan sepatah katapun tidak pernah diucapkan di depan Aura. Dia diam dan berharap lelaki itu segera pulang dengan selamat.

Deru mobil dan ban yang berdecit memasuki garasi, Aura bisa tersenyum lega. Dia menata rambutnya agar rapi, membenarkan pakaiannya yang lecek, agar terlihat rapi. Langkah kaki berderap di depan pintu, rasanya jantung Aura berdetak berkali-kali lipat. Suara pintu terbuka membuat Aura menoleh ke arah pintu dan disana ada seseorang yang dia tunggu sedari tadi. Lelaki berbadan tegap dengan setelan jas berwarna biru dongker, nampak mempesona bagi Aura.

"Selamat datang," sapaan dari Aura tidak membuatnya menoleh sama sekali.

"Kamu ... mau makan?" Pertanyaan itu Aura ucapkan.

"Nggak perlu mengurusi saya, urus diri kamu sendiri yang tidak bisa apa-apa itu!" Kalimat yang selalu menusuk hati, sering sekali dia ucapkan untuk Aura.

Aura menghela napas sejenak untuk menghalau rasa sakit di dadanya. Seorang perempuan berpakaian hitam, menghampiri Aura dengan mendorong kursi roda. Aura mengangguk, dan perempuan itu membantu Aura untuk duduk ke kursi roda, dan mendorongnya masuk ke kamar. Aura sadar akan keterbatasan dirinya sendiri yang tidak mampu melakukan apa pun itu sendirian. Karena dia lumpuh.

"Nona mau makan dulu? Saya ambilkan." Pertanyaan dari seorang perempuan itu, membuat Aura mengangguk.

"Boleh Diah, terima kasih." Aura tersenyum pada Diah.

Diah mengangguk dan undur diri untuk menyiapkan makan malam Aura. Bagaimana pun perasaan Aura saat ini, dia tidak lupa untuk selalu tersenyum pada siapa pun itu. Aura sadar diri, dia sudah lumpuh dan tidak bisa apa-apa, selain mengharapkan bantuan dari Diah.

"Mungkin kamu tidak akan pernah bahagia bersamaku," ucapnya getir.

Aura sadar diri, dia lumpuh dan tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk mendapatkan sebuah cinta dari lelaki itu. Mengharapkan cinta? Secuil hati saja tidak didapatnya, apalagi cinta. Aura hanya seorang upik abu yang mengharapkan seorang pangeran berkuda putih untuk datang padanya memberikan sepatu kaca. Di dunia nyata seperti ini, dia hanya membutuhkan cinta. Cinta tulus dari seseorang untuk membuat hatinya kuat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top