Goresan luka
Aura melamun di atas kursi rodanya, dia tidak ada semangat untuk hidup kembali. Sepulang dari rumah sakit, dia sangat lesu. Diah bahkan berkali-kali menawarinya makan, tetap tidak di gubris olehnya. Dia takut. Takut akan seseorang yang mengancam kehidupannya kembali. Bahkan dia juga tidak berani untuk keluar rumah. Mengikuti terapi pun dia enggan. Dia takut dengan lelaki itu.
Aura kembali membuka buku catatan miliknya, dia merindukan menulis. Karena hanya sekedar menulis, mampu membuatnya menghilangkan rasa sedihnya. Dia menggoreskan tinta di atas kertas berwarna putih itu. Menuliskan sebuah kisah dari pengalaman hidupnya. Entah mengapa dia ingin sekali menjadi penulis untuk mengenal dunia luar, walaupun dia tidak bisa sebebas dulu.
Dear Tuhan,
Aku duduk dan bersimpuh padamu, menanti ajalku yang telah ku pasrahkan padamu. Tapi mengapa Engkau menjauh dariku kini. Aku selalu ikhlas untuk menerima segala hal yang telah kau gariskan padaku, hingga saat ini.
Dear Tuhan,
Aku hanya perempuan yang penuh dosa, aku hanya perempuan kotor yang telah ternoda di mata-Mu. Tapi Tuhan, aku tidak melemparkan diriku padanya, dia yang telah merenggut kesucianku. Dia juga yang telah menghantui kehidupanku saat ini.
Dear Tuhan,
Angkatlah nyawaku saat ini, karena aku telah lelah mengikuti alur-Mu. Aku lelah menjadi orang yang tersakiti, aku ingin berkumpul dengan keluargaku di atas sana. Aku ingin bersama mereka, aku rindu mereka Tuhan.
Aura menutup kembali buku catatan miliknya, dia menyimpannya di laci meja. Di sana ada sebuah cutter dengan bungkusnya. Masih baru dan tentunya tajam. Aura mengambilnya dengan tangan yang bergetar. Mungkin hanya dengan menggoreskan luka pada tangan, akan membuat hidupnya tenang.
Aura menggoreskan cutter itu pada tangannya, dan rasa pedih datang bersamaan dengan aliran darah yang merembes keluar dari luka sayatan yang dia buat. Aura tersenyum dengan manis, dia merasa ada ketenangan dalam dirinya, mungkin sebentar lagi, Tuhan akan mengambil nyawanya. Dan dia telah siap.
"Tuhan, aku siap untuk pergi!" lirihnya.
***
Suara pintu terbuka, membuat Aura tetap tidak bergeming. Kesadaran diri Aura telah hilang. Diah dengan sigap mendorong kursi roda menuju kasur, meletakkan badan kurus Aura dengan hati-hati. Dia harus menghentikan darah yang mengalir di pergelangan tangan Aura.
"Mbok Nah!" teriaknya berkali-kali.
Seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh memasuki kamar Aura. Bahkan wanita yang biasa di sapa mbok itu kaget, saat melihat darah di pergelangan tangan Aura. Mbok Nah segera mengambil baskom dan kotak p3k untuk menghentikan darah yang mengalir.
"Kita harus telepon dokter Mbok!" ucap Diah.
"Kowe telepon, ben Mbok seng neruske," titah Mbok Nah.
***
Dokter keluarga sudah datang, bertepatan dengan kepulangan Gusti dari kantornya. Dia mengikuti kemana dokter itu masuk kamar Aura. Gusti memandang tajam Aura yang baru saja sadar. Benar-benar membuat nyali Aura ciut.
"Kalian semuanya keluar, saya mau bicara sama dia!" ucap Gusti lantang.
Diah dan Mbok Nah segera keluar dari kamar untuk memberikan waktu Gusti berbicara. Aura hanya menunduk, saat Gusti mengunci kamar, dan berjalan mendekati kasur Aura. Mungkin sebentar lagi dia akan di semprot amarah oleh Gusti, atau bisa jadi dia akan di cambuk. Ah, membayangkannya saja sudah membuat tubuh Aura ngilu tidak karuan. Dia benar-benar menyesal telah menggores tangannya, jika tahu seperti ini.
"Dasar bitch!" Aura membulatkan matanya tak percaya.
Bagaimana Gusti bisa menyebutkan sapaan laknat itu. Dia benar-benar membenci sapaan itu. Gusti mencengkeram pipi Aura yang tirus, dia benar-benar shock mendengar kenyataan masa lalu Aura. Gadis belia yang penuh dengan luka masa lalunya, membuat Gusti benar-benar shock. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa, setelah ini.
"Layani saya!" titahnya.
Gusti mendorong Aura ke tempat tidur dengan kasar, mengabaikan teriakan kesakitan Aura. Di pergelangan tangannya mengeluarkan darah kembali. Dia benar-benar kesakitan saat ini.
***
Jendela kamar masih tertutup rapat, menghalau sinar matahari yang akan masuk ke dalam kamar. Lampu kamar pun masih setia gelap. Terdengar dengkuran halus dari tempat tidur. Kedua insan yang masih sama-sama terlelap, tertutupi oleh selimut yang membalut tubuh mereka.
Aura membuka matanya yang berat. Mencoba untuk meregangkan tubuhnya, tapi ada seseorang yang memeluknya dengan erat. Aura masih ingat siapa lelaki di sampingnya itu. Lelaki yang memaksanya untuk melayani nafsu lelaki itu. Berkali-kali Aura merintih kesakitan, namun dia selalu mendapatkan tamparan darinya.
Gusti Irwanda Laksmana, lelaki yang menikahinya karena terpaksa, dan lelaki yang memaksanya untuk melakukan hubungan intim. Kini dia terbangun, dan menatap Aura dengan tajam. Lelaki itu memungut handuk dan dililitkan ke pinggangnya, sebelum beranjak ke kamar mandi.
Aura mencoba untuk memakai bajunya sendiri, dia tidak bisa keluar kamar untuk saat ini, karena Gusti masih ada di kamar mandi. Aura mencoba meraih kursi rodanya di dekat nakas, dia harus segera pergi dan meminta Diah untuk menyiapkan baju Gusti.
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Gusti dengan tubuh tegapnya, yang mampu membuat jantung Aura berdetak kagum. Dia memang sudah jatuh cinta pada Gusti, namun dia takut untuk mengutarakan hal ini padanya, karena Aura tahu, jika di akan terluka nantinya. Lebih baik memilih diam.
"Mau saya siap --" belum sempat Aura berbicara, sudah terpotong oleh Gusti.
"Tidak perlu berlagak sok akrab. Karena kamu bukan perempuan yang saya mau!" ucap Gusti dengan penuh penekanan.
"Kalau memang saya bukan perempuan yang kamu mau, mengapa kamu ...," ucapannya terhenti.
"Karena kamu hanya sebagai pemuas nafsuku." Gusti berlalu begitu saja, setelah memakai baju lengkap.
Aura benar-benar terluka, Gusti melukainya dengan kata-kata yang luar biasa menyakitkan. Ini bukan kemauan dirinya untuk menjadi seperti ini. Tapi ini sudah menjadi takdir Tuhan.
Tuhan, mengapa Engkau tidak adil padaku?
***
Gusti menghempaskan tubuh kekarnya di atas kasur besar miliknya. Bahkan dia masih sangat-sangat sadar, apa yang dia lakukan semalam bersama Aura. Berbagi kenikmatan, layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Gusti merasa ketagihan, mungkin ini efek samping dari lamanya dia tidak menjalin hubungan dengan wanita manapun, tak terkecuali Aura.
Kemarin orang suruhannya datag ke kantor, membawa kabar berita tentang masa lalu Aura. Aura Selena, gadis berusia 20 tahun itu, pernah mengalami pelecehan seksual oleh ayah tirinya. Bahkan tidak ada kebahagiaan yang dia jalani, selepas ibu dan ayahnya bercerai. Hanya duka dan air mata yang Aura terima.
Gusti membuang napas lelah, jika membandingkan dengan Sanee ... jelas-jelas itu berbeda. Sanee yang lahir dari keluarga yang bahagia. Sedangkan Aura, terlahir dari keluarga yang broken home. Aura bahkan tidak pernah mengeluh atas hal ini.
"Mengapa kalian berbeda," ucapnya, saat melihat foto pernikahannya dengan Sanee, dan dengan Aura.
Memang keduanya hasil pemaksaan, namun Gusti lebih mengharapkan cinta Sanee saat itu. Sedangkan saat ini, dia tidak berminat menjalani hubungan pernikahan kembali. Karena keadaan yang selalu tidak menguntungkan baginya. Gusti sadar itu.
***
Aura mengetik kembali kelanjutan cerita yang dia daftarkan di sebuah platform kepenulisan. Kisah kehidupan pribadinya yang kelam, yang dia beri judul sayap kertas.
"Kenapa harus sayap kertas, Non?" pertanyaan dari Diah menghentikan aktivitas menulisnya.
"Karena tokoh utama menginginkan sebuah sayap untuk dia terbang, walau hanya sekedar angan. Karena keterbatasan waktu dan keadaan dirinya," jelas Aura.
Diah mendorong kursi roda Aura menuju teras belakang, agar nona mudanya itu bisa menghirup udara segar. Di sana Gusti berdiri dengan angkuhnya memandang Aura yang datang bersama Diah. Titah Gusti meninggalkan Aura sendirian, membuatnya harus benar-benar dilakukan Diah.
"Hai?" tanya Aura.
"Tidak perlu sok akrab. Karena kamu bukan Sanee!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top