Foto

Jangan lupa vote ya, kepoin ebook dan buku Bunda yes say!




Gusti Irwanda Laksmana, lelaki matang dengan segala pesona dan arogansinya yang membumbung tinggi di atas langit. Berjalan dengan angkuh menuruni tangga. Langkahnya yang panjang, membuat dirinya cepat sampai ke ruang makan. Dia duduk dengan angkuhnya, melihat beberapa hidangan yang telah tersedia di meja makan. Dia mengamati kursi di sampingnya, dan wajah arogannya berubah menjadi sendu. Sungguh dia sangat merindukan masa itu.

Diah berjalan dari arah dapur dan meletakkan secangkir kopi di samping Gusti. Dia menunduk untuk undur diri, dan berjalan menuju halaman belakang. Setiap pagi memang Diah akan berada disana, bersama perempuan itu. Ah, perempuan itu. Kata apa yang pantas untuk disebutkan, memang benar mereka telah menikah, tapi bagi Gusti, ini adalah pernikahan yang sangat terpaksa dia jalani. Dia bahkan tidak pernah menganggap perempuan itu ada di rumah ini. Bagi Gusti, ada atau tidak adanya perempuan itu di rumah ini, semuanya sama saja baginya. Tetap hampa, karena seseorang itu telah pergi.

Gusti menyeruput kopi hitam kesukaannya dengan pelan. Dia benar-benar merindukan rasa kopi hitam buatan seseorang. Seseorang yang telah meninggalkan dirinya selama itu. Selama 3 tahun adanya. Hidup menyendiri dengan kenangan yang dia tinggalkan untuknya. Dia yang telah memiliki kehidupan bahagia bersama yang lainnya.

"Tuan, ini sup kacangnya," Diah meletakkan semangkuk sup kacang merah di depan Gusti.

"Itu apa?" Tanya Gusti.

"Ini sup asparagus untuk Nona," jawab Diah.

Gusti mengangguk saja, tanpa perlu bertanya lebih lanjut lagi kemana Diah pergi. Karena seseorang yang disebut nona, ada di halaman belakang, menikmati sarapan pagi disana. Gusti bahkan masih ingat bagaimana dia mengusir Aura dari ruang makan secara tidak hormat.

Gusti beranjak dari kursinya, dan mengayunkan kakinya menuju halaman belakang. Dia berdiri di ambang pintu, mengamati interaksi antara Aura dan Diah. Gusti tahu, Aura masih terlalu muda untuk menjadi seorang istri baginya. Usianya saja masih 20 tahun, beda 10 tahun dengannya. Dia sangat ingat betul, bagaimana pernikahan yang tidak dilandasi oleh cinta itu terjadi. Gusti hanya bertanggung jawab, tidak ... Aura tidak hamil, hanya saja kecelakaan naas itu membuatnya terjebak dalam pernikahan semu.

Pernikahan yang tidak akan bisa dia lepaskan, karena kesehatan ibunya yang kian rapuh itu, telah menginginkan Gusti menikah lagi. Karena kesalahan Gusti pula, dia telah menjadi hiasan di rumah megah ini. Sebagai nyonya rumah yang tidak bisa melakukan apa-apa karena lumpuh. Syaraf di kakinya telah mengalami kelumpuhan.

"Apa aku harus selamanya terjebak bersama dia?" Gusti menggeleng, "tidak. Aku tidak ingin."

Gusti memutar langkahnya, dia harus segera pergi dari sini secepatnya. Menjauh dari Aura, karena Gusti tidak ingin jatuh cinta pada Aura. Karena cintanya masih utuh untuk seseorang itu. Dia masih ada di hati Gusti selamanya.

***

Gusti menekuri grafik penjualan produknya dengan seksama, jangan sampai ada salah angka ataupun salah huruf barang sebiji saja. Dia tidak bisa mentolerir hal ini. Bahkan semua karyawannya pun sudah sangat hafal. 

Suara ketukan pintu membuat Gusti menghentikan aksinya. "Masuk!"

Seorang lelaki dengan pakaian rapi menunduk hormat pada Gusti, dan duduk di depannya. Lelaki itu menyerahkan amplop berwarna coklat yang telah dia siapkan sebelumnya. Gusti membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Foto seorang perempuan cantik dengan pasangannya, dan dua anak bayi kembar di gendongan mereka masing-masing. Wajah mereka terlihat bahagia sekali, wajah perempuan itu tersenyum dengan tulusnya, semakin memperlihatkan kecantikannya yang alami. Gusti benar-benar dibuat berang, dia melemparkan foto itu ke meja.

"Dimana mereka sekarang?" Tanya Gusti.

"Itu ... saya bertemu mereka di kafe saudaranya, Bos," ucap lelaki didepannya.

Gusti mengusir lelaki didepannya hanya dengan isyarat tangan. Dia butuh ruang untuk sendiri, mengacak semua foto yang menampilkan perempuan cantik dengan keluarganya yang bahagia. Dia mengeluarkan sebuah foto dirinya dengan perempuan itu. Membandingkannya dengan foto yang diambil orang suruhannya tadi. Terlihat sangat jelas sekali, jika bersama Gusti ... dia tidak tersenyum. Sedangkan bersama lelaki lain, sangat sumringah sekali senyuman perempuan itu.

"Kenapa kamu harus bahagia? Kenapa aku tidak?" Monolognya.

Gusti membuang semua foto perempuan itu ke dalam tong sampah. Dia tidak ingin perempuan yang pernah ada di hatinya dulu bahagia. Perempuan itu meninggalkan Gusti karena kesalahannya sendiri, dan sekarang perempuan itu telah menemukan lelaki yang benar-benar membuatnya bahagia. Mengapa disaat Gusti baru menyadari arti cinta, perempuan itu harus pergi darinya. Mengapa harus dia yang lagi-lagi terluka? Mengapa bukan orang lain saja? Dia ingin menukar kesedihannya dengan kebahagiaan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top