Sayang Semuanya

Aku sayang semuanya.

Tiada dari mereka yang tidak kucinta.

Mereka pergi, aku tidak rela.

Karena mereka keluarga.

Keluarga akan selalu bersama.

***

Dalam laut, kami hidup damai.

Dalam buaian ombak, kami bermain.

Setiap hari, dilalui bersama. Membiarkan ombak membawa ekor kami selagi lautan jernih menampilkan beragam makhluk dan tumbuhan. Beberapa menyapa, beberapa pula sekadar melewati.

Aku mengintip ke luar dari air, disambut dunia atas dengan embusan angin. Pemandangan biru cerah disertai cahaya hangat menyambut. Di saat itu juga aku perlahan merasa kedinginan dan kembali ke air demi menghangatkan diri.

"Cordelia!" Seruan Kakak menyambut ketika aku kembali ke dalam. "Ayo, pulang! Nanti ditangkap bajak laut!"

Aku mengibaskan ekor menuju Kakak. Tentu saja tidak mau ditangkap bajak laut yang telah lama memburu para putri duyung seperti kami.

Kakak mengenggam tangan dan kami berenang kembali ke dasar air. Dia mrmang bertugas menjagaku dan Adik saat bermain. Tapi, sepertinya Adik sudah pulang dan tinggal aku yang tersisa.

Kami hidup di bagian gelapnya laut. Ketika makhluk atas tidak mampu menjangkau kami. Karena mereka yang selalu memburu, aku tidak tahu mengapa.

Rumah kami hanya berupa lubang yang menjorok ke bawah, lebih tepatnya berupa lorong panjang yang menyatu dengan lorong lainnya menuju satu tempat di bagian terdalam yang belum pernah kujangkau.

Semakin dekat, kulihat ekor kuning melesat ke arah kami. Ketika ekorku tercekat akibat kaget, saat itu juga kudengar seruan.

"Kakak!" Adik berenang mendekat dan menyambut kami berdua.

Aku memeluk Adik dan mencubit pelan pipinya yang tembam. "Makin gemuk saja."

"Iya dong, Adik 'kan, sehat," balasnya dengan senyuman cerah.

"Makan terus, sih, sama kayak kamu." Kakak justru mengacak rambut pirangku.

Aku mengangkat pelan tangannya dari kepala. "Ih, mana ada."

"Sudah," tegur Kakak. "Ayo, masuk. Nanti telat."

Kami pun berenang masuk ke rumah. Bergandengan selagi sesekali mengayunkan tangan untuk bermain sejenak.

Ketika memasuki rumah, Ibu menyambut kami dengan hidangan malam ini. Dia tersenyum dan menyuruhku duduk di antara mereka.

Sementara Ayah sudah duduk dan tampak menunggu kami sebelum menyantap hidangannya. Begitu kami duduk, dia menyambut kami semua.

"Bagaimana harimu?" Begitulah basa-basi yang kerab diucapkan orang tua kami, tapi kami tidak akan bosan mendengar.

"Cordelia kembali menengok daratan," lapor Kakak.

"Hanya sekali!" sanggahku.

"Tidak ada manusia, 'kan?" tanya Ibu, raut wajahnya tampak khawatir.

Selama ini, aku hanya melihat langit biru serta burung camar dari kejauhan. Rasanya sukar jika ada manusia atau makhluk dunia atas yang melihat.

"Tidak ada, seperti biasa," jawabku.

"Hati-hati ke sana," ucap Ayah. "Kita tidak tahu jika mereka bisa melihat dari jauh."

Aku mengiakan tanda patuh.

"Cordelia juga kurangi ke atas," timpal Ibu. "Takutnya kalau berjumpa dengan satu saja manusia, habislah."

Aku diam saja, memilih menunduk dan tidak bersuara sebagai jalan aman. Memang benar nasihat mereka, tapi manusia mana yang rela menempuh jarak begitu jauh hanya untuk melihat kami?

Sementara Adik dan Kakak makan, kedua orang tua kami pun menyantap makan malam.

Kami pun kembali makan bersama. Makanan kami beragam setiap hari tergantung suasana hati Ibu. Menu utama kali ini adalah ikan tentunya. Di tengah waktu, beberapa dari kami akan bercerita tentang hari ini untuk mendapat saran atau hanya sekadar bercerita.

Setelah makan malam, kami pun pergi tidur. Kamar hanya terdiri dari bebatuan penyusun gua. Dalam satu ruang ini kami isi bersama khusus tidur hingga hari esok menyambut.

Aku memejamkan mata.

***

"Pagi, Ibu! Pagi juga, Ayah!" sambutku ketika hari esok tiba. Mata biruku menyambut lembaran baru kehidupan.

Mereka sedang duduk di meja makan, tersenyum kepadaku.

"Di mana Adik dan Kakak?" tanyaku, menyadari keduanya tidak muncul juga setelah ditunggu.

"Mereka bermain," jawab Ibu. "Kamu ketiduran, jadi ditinggal, deh."

Aku tersenyum meski sedikit malu. Jarang sekali aku bangun terlambat, padahal kemarin biasa saja.

"Ya, sudah. Cordelia pergi juga, ya." Aku mendekat dan memeluk kedua orang tuaku sebagai tanda perpisahan singkat. Toh, nanti bakal kembali lagi ke sini setelah beberapa waktu.

"Hati-hati," ucap Ibu.

"Jangan sampai tertangkap," timpal Ayah.

"Baik." Aku berenang menjauh. "Cordelia pergi, ya!"

Aku pun pergi meninggalkan mereka dengan semangat membara, tidak sabar kembali menyambut daratan dan desiran angin pantai yang segar.

***

Ketika pandangan laut biru gelap semakin terang, aku melesat ke atas dan berniat melompat.

"Halo, daratan!" seruku.

Langit tersenyum cerah hari ini, tanda akan menjadi hari yang baik seperti kemarin. Aku melompat dan merasakan angin membelai wajah dan kembali dipeluk lautan.

Kembali melompat, aku menatap lautan luas seakan melihat dari sudut pandang burung camar, belum setinggi itu sudah membuatku terkesima.

Hari ini begitu damai, begitu sunyi.

Tiada suara, tiada interupsi.

Sepertinya memang aku harus sendirian saat ini. Kenapa gerangan?

Aku kembali menyelam ke dalam, menatap lautan yang masih hening. Sejauh mata memandang, tiada suara melainkan gelombang air.

"Kakak? Adik?" panggilku. Biasanya mereka yang terlebih dahulu menyeru namaku. Tapi, ini sudah lebih lama dari biasanya.

Aku menyelam semakin dalam, menuju daerah terpencil, lebih tepatnya rumahku.

Masih saja hening.

"Ibu? Ayah?" panggilku. "Adik? Kakak?"

Lagi-lagi, tiada sahutan.

Tetapi, aku dapat melihat secara samar warna gua yang berubah menjadi lebih gelap dan bau aneh.

Aku diam, mencoba mencerna apa gerangan yang terjadi. Namun, tidak ada yang baik. Tidak ingin semakin menjadi, aku memberanikan diri masuk ke rumah.

"Ibu! Ayah!" seruku semakin kencang. "Adik! Kakak!"

Terdengar bunyi geraman, di saat itu juga gua bergetar hebat menciptakan guncangan. Aku yang tidak sempat berpikir langsung berlari menyelamatkan diri. Tidak peduli makhluk jenis apa yang mencoba merisak rumahku.

Ekorku kini terasa berat. Sesuatu seakan mencoba menarik.

Aku berhasil menebas hingga ekorku terlepas. Bergegas pergi sebelum makhluk itu memangsa.

Makhluk itu berbentuk bulat besar serta dipenuhi tentakel. Begitu besar hingga gua tempatku tinggal terasa begitu sempit. Dia menyelinap ke sana tanpa memedulikan ukuran.

Aku menelan ludah, menatapnya tanpa gerakan. Seakan melihat makhluk ini sukses membuatku gentar hingga pasrah.

Namun, makhluk itu berlalu. Meninggalkanku seakan aku makhluk tiada daya tariknya.

Menyadari ada kesempatan, aku berenang kembali ke dalam gua dan menyeru nama keluargaku.

"Ibu! Ayah!" seruku lagi dan lagi. "Adik! Kakak!"

Namun, tiada balasan.

Ekorku yang lelah mulai melamban. Aku berenang begitu pelan hingga berhenti tepat di ruang makan tempat terakhir aku menjumpai mereka.

Mereka di sana.

Ekor terpisah dari raga, sementara beberapa bagian telah dimangsa makhluk itu. Menyiksakan tulang dan beberapa daging yang tidak tergigit.

Mereka di sana.

Tidak mampu bergerak maupun bicara padaku lagi.

Terlelap dalam keabadian.

Tidak akan ada yang menyambutku pulang.

Tidak akan ada yang menemaniku.

Tiada lagi ...

Mereka yang kusayangi telah pergi.

Aku dekati mereka. Terdiam selagi ekorku yang masih menyatu dengan raga mencoba menyeimbangkan diriku yang mulai lunglai.

Keluargaku.

Aku baringkan badan. Membiarkan raga menyentuh bagian bawah gua yang dingin, menatap langit-langit yang tersusun dari bebatuan.

Membiarkan ini menjadi momen kebersamaan kami.

Aku tersenyum selagi mata terasa berat. Dunia terasa berputar.

Perlahan, menginggat kembali.

Andai aku pulang lebih dahulu.

Andai pula aku lebih waspada.

Andai saja ...

Kegelapan perlahan menyambut. Membawaku ke dunia mimpi, satu-satunya tempatku bisa melihat mereka kembali.

Aku sayang Ibu.

Juga sayang Ayah.

Sayang Adik dan Kakak.

Aku sayang semuanya.

TAMAT

Jadi, barusan dengar lagu "satu, satu, aku sayang ibu" dan seterusnya. Lalu, pikiranku tertuju pada sesuatu.

Apa jadinya jika lagu itu sebenarnya menceritakan tentang seorang anak yang satu-satunya selamat dalam bencana? Ketika seluruh keluarganya tewas, sementara dia tengah meratapi kematian keluarganya?

Yah, kira-kira beginilah hasil cerpen dari buah pikiran gabutku di tengah malam saat jogging sambil menonton TikTok. Bagaimana menurut kalian? Kuharap tulisanku improve setelah sekian lama tidak menulis wkwkwk

Sampai jumpa di karya lainnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top