Say Goodbye

Sejak kapan perasaan kosong ini mengisi hatiku, perasaan kehilangan ini tidak pernah memudar sedikit pun. Bahkan, saat aku mencoba melupakan semua dengan berkumpul bersama yang lain. Tetap saja rasa rindunya makin menguat di hatiku.

Setiap tahun di bulan Agustus selalu membuatku teringat dirimu, memori yang ingin kuhapus dari ingatanku. Sayangnya, aku harus mengingatnya kenangan sedih yang tiada duanya. Yang tak mampu kuhapus dengan timbunan ratusan kenangan bahagia bersamamu.

13 agustus 2016, hari yang menyakitkan juga berupa hari kebebasanmu. Aku mengantarmu pergi, melihatmu meninggalkan diriku yang terpuruk di sini. Bayangan kepergianmu terus mengecil, aku hanya bisa menahan air mataku sambil mengantarkan perjalananmu.

Kamu pergi dengan tersenyum, tanpa menyiratkan keraguan di wajahmu. Kebersamaan kita seperti film yang berputar terus menerus bergantian di pikiranku.

Dua tahun lalu, aku selalu bersamamu. Menyiapkan semua keperluanmu, memasakkan sarapan untukmu, menyuapimu saat kamu menginginkannya.

Kamu selalu tertawa saat aku menceritakan hal-hal lucu dan kejadian yang kualami seharian. Kamu suka mendengar semua keluh kesahku. Kamu selalu menasehatiku pada keputusan yang kuambil dengan gegabah.

Kini aku hanya mampu berdiam, memendam semua emosi dan perasaanku, siapa lagi yang akan mendengarkan kegalauanku,keluhanku dan keputusanku?

Tanganku membuka lembaran album foto bersamamu, seakan aku kembali ke empat tahun yang lalu.

Empat tahun yang lalu.

Pagi yang cerah di hari senin. Dia wanita cantik dan tegas selalu membuatkanku kue manis dan selalu berada di sisiku saat aku sedih dan senang. Dia penyemangat hidupku, cahaya penunjuk arahku

"Ma, ayo kita berangkat." Ajakanku pada wanita yang berwajah pucat ini, dia mengangguk dan tersenyum tipis.

Perjalanan kami menghabiskan waktu hampir satu jam. Jujur aku sangat khawatir dengan keadaannya.Aku menggunakan sepeda motor matic membawanya dengan pelan menuju ke gedung putih yang tinggi. Di sana para pegawai rata-rata berpakaian putih.

Iya benar, sini rumah sakit. Aku membawa wanita yang kusayangi ini untuk melakukan pemeriksaan. Dia sangat keras kepala, dengan bujukan dan rayuan mautku. Akhirnya aku berhasil membawanya kemari.

Akan tetapi, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Aku bukanlah Tuhan yang mampu mengubah takdir kehidupan seseorang.

"Dokter Bobby, bagaimana hasil semua pemeriksaannya?" tanyaku dengan cemas.

"Maaf, hasil pemeriksaan Ibu …." Dokter melirik sejenak ke arahku dengan tatapan sedih, lalu kembali menatap wanita cantik yang duduk di sisiku.

Dokter Bobby menarik napasnya kuat dan menghelanya dengan perlahan, nada sedih tersirat dia berkata, "Ibu dinyatakan gagal ginjal!"

Bagaikan petir di cuaca cerah menyambar terus menerus, aku shock, bagaimana bisa wanita yang terlihat sehat selalu di mataku ini terkena penyakit yang begitu mengerikan?

Seolah tahu apa pemikiranku,  Dokter Bobby melanjutkan, "Ibu sudah sering menahan sakitnya sendiri dan perlahan kondisi tubuhnya akan makin memburuk."

Wanita yang duduk di sampingku menundukkan kepalanya, sepertinya aku yang kurang perhatian sampai melewati hal ini.

Hening, suasana di ruangan ini sangat kelam. Kembali Dokter Bobby berdehem.

"Ibu bisa dapat donor yang cocok dan melakukan operasi transplantasi ginjal–"

Belum selesai Dokter Bobby menjelaskan semua, aku memotong ucapannya. "Aku bersedia mendonorkan ginjalku untuknya."

Dokter Bobby terdiam sepertinya mencerna apa yang kusampaikan padanya, begitu juga wanita di sisiku menatapku dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.

Sesaat kemudian Dokter Bobby mengangguk dan kembali berkata, " Baiklah, mari kita lakukan crosscek. Jika cocok Ibu bisa segera jalanin operasi."

Aku mengangguk dengan semangat, perempuan di sisiku menggenggam tanganku erat. Aku menoleh dan menepuk pelan punggung tangannya sambil tersenyum tulus memintanya menunggu di ruangan ini sebentar.

Aku mengikuti Dokter Bobby menjalani serangkaian tes termasuk tes urin, tes darah dan tes fungsi ginjal. Memeriksa jumlah protein dalam urin selama 24 jam.

Aku bersamanya duduk di ruang tunggu, setelah berjam-jam mengikuti berbagai macam tes untuk menantikan hasil yang sesuai keinginanku. Namaku terpanggil, kami masuk kembali ke ruangan pribadi Dokter Bobby.

"Kondisi Anda sangat sehat …." Mendengar ucapan Dokter Bobby membuat senyumku mengembang.

Lalu Dokter Bobby menunduk sejenak dan berkata, "Sayangnya, ginjal Anda tidaklah cocok."

Seketika aku kehilangan semua harapan. Dia menatapku dan menggenggam tanganku, menepuk pelan punggung tanganku sambil tersenyum.

"Tidak apa-apa, mungkin ini takdirku. Aku ikhlas menerima kenyataan ini dan bersyukur ada kamu di sisiku selama ini." Dia berkata dengan bola matanya yang memerah.

"Maaf, walaupun tidak bisa segera melakukan pencangkokan. Kita bisa memasangkan cimino pada pembuluh vena di lengannya untuk melakukan cuci darah." Penjelasan Dokter Bobby membuatku mendapat pencerahan.

Apa pun caranya aku akan mencobanya, walau harapan sembuhnya sangatlah tipis, tapi aku tak ingin putus asa dan melepaskan setitik harapan begitu saja.

"Karena kondisi Ibu masih lumayan bagus, kita bisa menunggu sampai tiga bulan setelah dipasangnya cimino dan sampai alat tersebut siap digunakan. Sementara Ibu harus menjaga kondisi tubuh dan pola makan." Dokter Bobby kembali menjelaskan dengan detailnya.

Cuci darah atau hemodialisis. Menggunakan mesin yang dihubungkan dengan pembuluh darah untuk menyaring dan membuang zat yang tidak diperlukan oleh tubuh di dalam darah. Diperlukan akses di pembuluh darah untuk dihubungkan ke dalam mesin. Bila diperlukan untuk cuci darah segera, akan dipasang kateter di pembuluh darah vena di leher, yaitu selang seperti infus yang biasa dipasang di tangan, namun dipasang pada pembuluh darah besar di leher. Bila cuci darah dilakukan secara terencana dan untuk jangka waktu yang lama, akan dipasang akses di lengan atau tungkai dengan menghubungkan pembuluh darah arteri dan vena, akses ini dinamakan cimino.

Aku mengangguk mengerti. "Ini resep obat Ibu, diminum rutin dan jadwal operasi pemasangan cimino akan kita lakukan lusa."

Setelah mendapat penjelasan Dokter Bobby. Aku mengurus biaya admintrasinya dan surat rawat inapnya untuk menjalankan operasi.

Aku mengabaikan pekerjaanku, dalam mataku dan pikiranku hanya kesehatan dialah yang terpenting. Membuatku hampir lupa sebuah fakta bahwa semua itu tidaklah cuma-cuma.

Proses operasi dan pencucian darah memerlukan biaya yang sangat besar. Aku tidak mungkin meninggalkan dirinya dan bekerja. Ataupun mengabaikan pekerjaan karena biaya pengobatannya.

Beruntung atas bantuan Dokter Bobby, biaya pengobatannya mendapat dana bantuan dari pemerintah.

Perlahan aku mengubah semua pekerjaanku menjadi jenis online, menjual baju, kosmestik, alat elektronik. Apa saja asal bisa dilakukan secara online untuk memenuhi kebutuhan harian kami.

Setelah tiga bulan kemudian, hari inilah jadwalnya menjalankan proses cuci darah pertama kalinya.

Dia terbaring di atas brankar, aku menggenggam jemarinya. Perawat menyiapkan mesin dan memasang semua selang di sana.

Seketika aku terkejut melihat jarum sebesar sedotan minuman seribuan.

Perawat itu membersihkan lengan wanita yang menggenggam jemariku kuat. "Tidak sakit ya, Ibu. Tahan dikit ya?"

Tusukan pertama membuat wanita yang terbaring itu tersentak dan meringis. Hatiku sangat sakit seperti ribuan jarum menusuk bersamaan.

Rasa sesak memenuhi dadaku, aku membuang muka ke arah lain. Aku tak sanggup menahan air mataku. Kuusap air yang mengalir deras dari irisku. Menoleh kembali menatap wajah teduh wanita yang kusayangi. Dia tersenyum.

Bukannya aku yang menyemangatinya dan menenangkannya. Malahan dia yang menenangkan hatiku.

Dari senyuman tulusnya itu. Aku berjanji akan selalu menghadapi apa pun bersamanya dengan semangat.

Kembali dia meringis dan mencengkram kuat telapak tanganku, rupanya perawat tadi menusuk satu lubang lagi dengan ukuran lebih pendek, tapi besar jarum sama besarnya seperti sedotan minuman seribuan.

Selama dua tahun, kegiatan rutin berkunjung ke rumah sakit menjadi bagian hidup kami. Setiap hari selasa dan jumat pagi kami akan kemari.

Sebelum jam enam pagi, motor matic akan bergerak ke rumah sakit tersebut. Selama empat sampai lima jam, wanita yang murah senyum itu akan terbaring diam dengan tangan kirinya tertusuk dua selang. Darahnya akan berputar di dalam selang dan di saring lalu masuk kembali ke dalam tubuhnya.

Begitu terus selama empat atau lima jam. Saat pertama kali dijalankan terapi ini, tubuhnya akan seketika mengigil kadang mual dan muntah. Bahkan sampai kepalanya pusing.

Kadang sampai dia tak ingin makan. Dan setelah tiga empat bulan akhirnya sambil cuci darah dia bisa makan nasi dan buah apel. Mereka pasien gagal ginjal hanya bisa memakan buah apel. Buah yang mengandung banyak air dilarang keras.

Melihat kondisi tubuhnya makin baik, aku sangat senang. Sambil menunggu donoran yang cocok, cuci darah rutin itulah yang dapat meningkatkan kestabilan racun dalam tubuhnya.

Sayangnya, kegembiraanku hanya sebentar. Kondisinya tiba-tiba memburuk sampai masuk ke ruang ICU untuk melakukan penyedotan zat air yang masuk ke dalam paru-paru.

Dia kesusahan bernapas dan seperti orang yang berhenti bernapas. Aku bersyukur perawat ICU mengizinkan aku tetap berada di sampingnya.

Aku menjaganya selama tiga hari tiga malam tanpa istirahat. Karena jika aku lengah maka dia akan menarik selang yang berada di mulutnya dan hidungnya.

Selang itu berfungsi sebagai alat pernapasan dan selang makanan. Selama kondisinya dalam keadaan antara sadar dan tidak. Perawat yang membersihkan tubuhnya dan memberi makan melalui selang di hidungnya.

Kondisinya pulih dan tiga hari selanjutnya alat-alat di tubuhnya dilepas. Dia juga dipindahkan ke kamar rawat inap yang biasa. Seminggu kemudian dia bisa pulang ke rumah dengan merengek pada Dokter Bobby.

"Pak, saya ingin pulang. Kangen sama kasur di rumah," katanya.

Aku terkekeh mendengar alasan uniknya, ajaibnya disetujui Dokter Bobby. Entah apa alasannya.

Akhirnya aku sadar, mengetahui alasannya apa.

Hari sabtu itu paginya, kondisinya mulai melemah. Bahkan napasnya juga hanya sesekali sentak. Dan tidak kusangka menjelang siang hari, saat azan berkumandang. Dia pergi meninggalkanku.

Aku berdiri di samping ranjang, memangku kepalanya dan mengusap pelan rambutnya yang kian menipis, lalu berkata, "Ma, bangun. Jangan bercanda, kamu kan sudah sehat, sudah diperbolehkan Dokter Bobby pulang."

Tidak ada respon, jemariku bergetar mendekati di lubang hidungnya. Tidak ada wmbusan angin.

Mataku terbelalak, aku meletakkan kepalaku di dekat jantungnya. Sama tidak ada degupan juga. Aku melakukan CPR berulang kali, sambil mengusap air mataku kasar.

"Ma, bangunlah! Aku masih membutuhkanmu. Jangan tidur, Ma."

Abangku datang menarikku ke dalam pelukkannya. "Biarkan Mama pergi dengan tenang, Dik!

Air mataku tidak dapat lagi ditahan, aku menangis dan meraung dalam dekapan abangku.

Beberapa saat setelah tenang, tubuh mama sudah dibersihkan dan juga sudah berpakaian baru. Tertidur tenang dalam keranda.

Aku mengelus rambutnya dan mencium keningnya berbisik, "Selamat jalan, Mama."

Tamat

Selamat ulang tahun WWG_Publisher theWWG
Semoga makin maju ya
Maaf min padahal jam 12 belum sampai sudah post tapi ada gangguan dan akhirnya nyangkut beberapa menit.  Nurmoyz vaniandona
#giveawayanniversarywwg

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: