Prolog
Halo semuanya? Apa kabar? Semoga sehat semuanya ya. Amin.
Setelah dua tahun gue menarik Say Bye dari wattpad, gue memutuskan untuk menulis ulang cerita ini dan memostingnya lagi. Akan berbeda dari versi sebelumnya yang bergenre young adult, Say Bye versi ini akan bergenre romance.
Nggak seperti Say Hi, konflik Say Bye akan lebih dewasa dan berat. Nggak dark atau angst juga tapi, cuma agak nelangsa aja. Terus main character di cerita ini bukan lagi Ipank Ribby, melainkan Qia, Ervan, dan Adi. Setting ceritanya juga bukan sekolah lagi, tapi kampus dan perkantoran.
So, selamat bertemu kembali dengan Qia, Ervan, Adi, Ipank, Ribby, Pandu versi lebih dewasa, ribet, dan menyebalkan.
Salam, Inggrid Sonya.
=Say Bye=
Bapaknya meninggal pagi ini. Laki-laki paruh baya itu ditemukan tergeletak di kamar mandi dengan tubuh kejang. Begitu sampai di rumah sakit, bapaknya sudah tidak sadarkan diri. Napas dan denyut nadinya sudah tidak ada lagi. Ketika para dokter mengatakan bapaknya meninggal karena serangan jantung, saat itu juga Qia yakin dialah alasan mengapa detak jantung bapaknya berhenti.
Setelah semua masalah yang dia timbulkan selama beberapa bulan terakhir, Qia percaya bahwa dialah yang membunuh bapaknya sendiri.
"Bukan salah lo, Qi. Berhenti nyalahin diri lo sendiri."
Omongan Ribby tidak menenangkan Qia sama sekali. Bukan membuatnya baik-baik saja, omongan itu justru membuat Qia mengingat seluruh perlakuan buruknya pada bapaknya sebelum laki-laki itu meninggal.
"Bapak nggak larang kamu kerja. Tapi jangan sampai berhenti kuliah. Kamu kan udah semester empat, terusin sedikit lagi apa susahnya sih? Bapak yang akan biayain kuliah kamu sampai lulus. Kamu nggak usah khawatir soal biaya," nasihat bapaknya, saat Qia mengatakan ingin berhenti kuliah dan fokus pada pekerjaannya sebagai MUA.
"Qia ngerasa salah jurusan, Pak. Qia nggak bisa ikutin pelajaran di kampus. Percuma kan kalau Qia kuliah tapi nggak ada pelajaran yang nyangkut? Mendingan Qia kerja aja."
"Iya, Bapak ngerti," sahut bapaknya sabar. "Tapi kan pekerjaanmu sekarang nggak tetap. Nggak selamanya pelangganmu banyak. Kalau kamu lulus kuliah, setidaknya kamu punya pegangan untuk ngelamar kerja sewaktu-waktu kamu butuh nanti."
"Kampus Qia swasta, Pak. Uang semesternya selalu naik setiap tahun," keluh Qia lagi. "Daripada buat kuliahin Qia, mending uangnya disimpen buat hari tua Bapak sama Ibu aja. Sebentar lagi kan Bapak mau pensiun."
"Bapak udah bilang, nggak usah pusingin soal biaya!" tekan Bapaknya.
"Pokoknya Qia mau berhenti kuliah!" seru Qia seraya bangkit dari duduknya, lalu meletakkan amplop cokelat ke meja di hadapan bapaknya. "Itu uang semester kemarin yang Bapak kasih. Qia belum bayarin."
"Qia--"
"Jadi make up artist itu mimpi Qia dari dulu, Pak," tukas Qia. "Bapak bisa kasih kebebasan Kak Elang untuk ngikutin mimpinya jadi atlet taekwondo, tapi kenapa Qia nggak?"
"Kakakmu itu juga kuliah, Qia!" bantah Bapaknya, suaranya meninggi seketika.
"Kak Elang mungkin bisa, tapi aku nggak, Pak! Aku capek kuliah!" sahut Qia sama kerasnya. Membungkam bapaknya terdiam seketka.
"Mulai besok Qia ngekost. Bapak juga nggak perlu kasih uang jajan Qia," ujar Qia setelahnya. "Qia akan buktiin sama Bapak kalau Qia mampu hidup sendiri."
Setelah mengatakan kalimat kurang ajar itu, besoknya Qia pergi dari rumah. Ibu dan abangnya datang membujuknya pulang berkali-kali, tapi Qia bersikeras menolak. Bahkan ketika Ipank mengatakan bapaknya sakit, Qia masih enggan pulang. Yang Qia tahu saat itu, dia harus membuktikan omongannya pada bapaknya bahwa dia bisa mandiri. Sama sekali tidak terpikiran oleh Qia bahwa tekad yang dia kira akan membuat bapaknya bangga justru menambah beban pikiran laki-laki itu hingga mematikan nyawanya hari ini.
Qia jatuh terjongkok di depan liang lahat bapaknya. Air mata yang sejak kemarin tidak keluar karena dia masih belum mampu menerima keadaaan, kini tumpah begitu saja. Ribby yang melihat itu lantas mengusap-usap bahunya pelan.
"Ini salah gue, Bi! Ini salah gue! Gue yang buat Bapak mati! Gue!" jerit Qia tak tertahankan, membuatnya seketika jadi pusat perhatian para nelayat yang datang.
Untuk meredam tangisnya yang menjadi-jadi, ibunya yang sejak tadi memeluk nisan almarhum suaminya, segera menghampiri Qia dan memeluknya erat. Sementara Ipank, dia yang baru saja meng-adzani mayat bapaknya, cuma menatap pemandangan itu dengan tatapan kosong. Amarah yang seharusnya dia ledakan pada Qia, lenyap begitu saja. Hilang seiring Ipank mengingat pesan bapaknya yang memintanya untuk menjaga ibu dan adik perempuannya di detik-detik sebelum laki-laki itu mengembuskan napas terakhir.
"Qia yang salah, Bu! Qia! Harusnya Qia aja yang mati!"
Mimpi buruk itu belum selesai bahkan setelah tiga hari bapaknya dimakamkan. Qia masih terus menyalahkan dirinya sendiri tanpa henti. Ibu dan abangnya juga sudah kehabisan daya untuk menenangkannya. Puncak kegetiran hidup Qia adalah saat dia menyadari bahwa sejak hari bapaknya meninggal, Ervan tidak ada. Situasi hubungannya dengan Ervan memang sedang renggang tiga bulan terakhir, tapi bukannya aneh bila di saat-saatnya terpuruk seperti ini, pacar yang diharapkan ada di sisinya itu, justru menghilang tanpa bisa dihubungi sama sekali. Dan sekalinya cowok itu menghubunginya lewat telepon, Ervan hanya memberikan ucapan duka secara singkat dan mengatakan hal yang membuat kehancuran Qia semakin tidak tertolong.
"Kita selesai aja ya, Qi. Aku nggak mau kamu susah...."
Setelah tiga tahun, di hari paling buruk sepanjang hidupnya, Ervan memutuskannya dan pergi begitu saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top