Before Say Bye ( Cinta Pertama dan Terakhir Qia )
Ian added you as girlfirend, Accepted?
Qia mengabaikan notifikasi Say Hi! yang muncul di layar ponselnya, dan kembali menujukan fokusnya ke prakarya String Art yang sedang dia kerjakan. Di sampingnya, Ribby yang tak sengaja melihat notifikasi itu pun tampak keheranan dengan reaksi teman sebangkunya itu.
"Tumben nggak lo ladenin," celetuk Ribby. "Biasanya udah gempar ni kelas perkara notif."
Qia terkekeh. "Mager gue virtual mulu. Pengen pacar beneran."
Ribby meraih bahu Qia, memaksa cewek itu menoleh ke arah pintu kelas mereka yang terbuka lebar. Selain lalu-lalang siswa yang mondar-mandir di koridor, di sana juga tampak
segerombolan cowok yang tengah duduk-duduk di lantai. Dan di antara keenam cowok itu, Qia paham benar siapa sosok yang ditunjuk Ribby sekarang.
"Lo bakal pacaran kalo terima cinta doi," kata Ribby sambil memerhatikan Adi yang sedang bersenda-gurau dengan teman-teman cowok kelasnya.
"Idih! Ogah!" cebik Qia seraya mengembalikan pandangannya ke papan karyanya di meja.
Ribby terkekeh. "Kenapa si lo anti banget sama tu anak? Padahal gue liat-liat, Adi lumayan tau. Muka oke, otak oke, royal, lucu, terus—"
"Fakboy!" timpal Qia. "Rekor cewek si Alay ngalahin dua sohib lo tau!"
Ribby nggak bisa berdalih. Sebab, Qia emang benar, ngelebihin Ervan dan Pandu, faktanya "temen cewek" Adi tuh segambreng dan ada di mana-mana. Yang nggak di sekolah mereka, di SMA lain, di media sosial, dan masih banyak lagi yang nggak bisa Ribby sebutkan satu-satu.
"Ya siapa tau sama lo awet, Qi! Coba aja dulu," usul Ribby kemudian. "Buktinya Adi sering nyatronin lo! Aneh sih kalo tu cowok cuma ise—"
"Duh, Bi!" sela Qia gemas. "Daripada ngomongin tu kunyuk, mending lo beli benang String Art di tukang foto kopi deh. Lagian tuh, pangeran lo udah nungguin di pintu!"
Otomatis Ribby menoleh ke arah pintu kelas lagi. Waktu didapatinya abangnya Qia di sana, sedang memandanginya dengan posisi punggung bersandar di kusen, lalu melambai-lambai ke arahnya, buru-buru Ribby bangkit dari duduk, dan mengambil ponsel dan dompet.
"Ya—ya udah gue beli benang dulu deh!" kata Ribby gagap. Sikapnya yang menadadak salah tingkah kontan memantik niat jahil Qia.
"Warna benangnya merah ya, Bi! Biar melambangkan jodoh!" seru Qia keras-keras. Sengaja, biar Ipank juga dengar.
Ipank yang udah kebal dengan ceng-cengan adiknya lantas menyahut sama kerasnya "Oh, jelas dong! Terima kasih loh sudah memberikan abangmu ini restu!"
Sebelum kelakuan siblings error itu makin membuatnya malu, Ribby langsung menghampiri Ipank, menarik lengannya, lalu menyeretnya ke tukang foto kopi di depan.
"Lucu banget sih!" gumam Qia, gemas sekaligus iri. "Kapan coba gue begitu?"
Qia mendesah lesu. Keinginannya punya pacar mendadak muncul lagi. Tapi masalahnya gimana dia bisa dapet pacar kalau setiap cowok yang berusaha mendekatinya selalu berakhir mundur teratur alih-alih takut dengan reputasi abangnya di Grafika? Dan sekalinya ada cowok yang tidak takut dengan Ipank, pun terang-terangan mendekatinya sejak SMP, Qia malah dijadikan bahan bercandaan doang sama tu Kunyuk. Kurang sial apa coba kisah percintaanya ini?
"Cintaku tumben nggak ke kantin?"
Nah kan! Baru juga dipikirin, entah dari mana dan sejak kapan munculnya, Adi tau-tau sudah nangkring di hadapannya dengan pose bertopang dagu.
"Jam istirahat bentar lagi abis loh, Cinta!" tegur Adi lagi.
"Lo emang nggak liat gue lagi ngapain?" Qia menyahut tanpa memandang Adi sama sekali.
Adi nyengir tipis. Diamatinya Qia yang tengah serius mengerjakan prakarya String Art. "Kok ngerjain sendiri? Bukannya ini tugas bareng temen sebangku ya?"
"Ribby lagi beli benang di depan," sahut Qia pendek.
"Gue bantuin sini," tawar Adi.
"Nggak usah," tolak Qia mentah-mentah. "Cabut sana lo! Ngapain si, ke kelas orang?"
"Mau liatin elo lah," sahut Adi santai sembari melipat dua tangannya di meja, lalu merendahkan kepalanya sedikit agar bisa menatap sepasang mata kenari Qia yang kini menunduk.
Qia yang tadinya ingin memalu paku di garis desain papan String Art-nya, lantas terdiam begitu wajah Adi yang sudah bertengger di hadapannya, menatapnya dengan sorot jahil, dan seringai maut yang biasa cowok itu gunakan untuk menggaet hati cewek-cewek di sekolah.
"Gue lagi megang palu nih, Di," ancam Qia kalem, sambil menunjukkan palu yang digenggamnya pada Adi. Berharap dengan begitu cowok norak bin sableng di depannya akan berhenti mengganggunya.
Tapi, namanya juga Fauzan Rezky Dwi Handika Cap Buaya Buntung, bukannya takut, atau cepet-cepet cabut, tu cowok gila malah tambah nyengir.
"Palu jantung lo di jantung gue sini," sahut Adi seraya menepuk dada kirinya sendiri dengan gerakan ekstra dramatis. "Biar detaknya seiring."
Qia melongo. Sementara Adi ngakak parah. Sejak mereka SMP, nyatanya nggak ada yang lebih menyenangkan buat Adi daripada melihat muka shock Qia tiap kali dia menggoda cewek itu.
"Gue mau ke kantin," kata Adi begitu tawanya selesai, "Lo mau nitip makanan nggak, Cinta?"
"Nggak us—"
"Somay nggak pake pare, sama satu es teh sisri, ya, Di! Oke deh!" potong Adi, menjawab pertanyaannya sendiri untuk Qia. Dan sebelum cewek di depannya melancarkan protes, Adi lebih dulu bangkit dari duduk, lalu berjalan mendekati Qia yang kini menatapnya sengit. "Jangan nolak gue mulu bisa nggak?"
Mendadak Qia terpaku. Bukan cuma karena nada bicara Adi yang melembut, tapi juga karena cowok itu yang tahu-tahu berdiri di sampingnya, memutar tubuhnya hingga mereka berhadapan, membungkukkan tubuhnya sedikit, melepas bando yang ada di kepalanya, untuk kemudian dikenakan lagi ke posisi yang berbeda.
"Pake bandonya yang bener. Poni lo nutupin mata," ungkap Adi, seolah bisa membaca muka bingung Qia. "Kalo tangan lo nggak sengaja kepalu gimana? Ceroboh deh," ceramahnya lagi seraya mendorong bandonya sedikit ke tengah hingga poninya tidak menganggu pandangan.
Dalam hati Qia melenguh. Meski egonya mati-matian menahan diri untuk tidak memberikan reaksi, nyatanya dia tidak bisa mengabaikan fakta degup jantungnya yang bertambah cepat. Terlebih saat jemari Adi merapikan anak-anak rambutnya dengan perlahan, Qia benar-benar tidak sanggup untuk tidak menahan napas.
Sialan. Padahal, selama ini Qia sudah kelewat muak dengan gombalan sampah Adi. Tapi, tidak bisa dipungkiri, ketika Qia mendapatkan perlakuan begini dari cowok itu, mendadak dia ingin berhenti menyangkal perasaanya, dan bertanya pada cowok itu apakah Adi benar-benar menyukainya atau tidak.....
Qia menggigit bibir. Menahan mulutnya untuk tidak mencetuskan pertanyaan-pertanyaan yang bisa saja disesalinya nanti. Sebab, bilapun Adi perhatian padanya sekarang, nyatanya cowok itu juga perhatian ke sepuluh ceweknya yang lain pula.
"Nah gini!" kata Adi tiba-tiba, begitu selesai merapikan rambut Qia, "Gue ke kantin bentar. Entar gue ke sini lagi. Tunggu."
Saat Adi beranjak dari hadapannya, tanpa sadar arah mata Qia masih mengikuti cowok itu yang berjalan keluar kelas. Diam-diam, direkamnya figur tubuh Adi yang tinggi kurus. Rambut lurus undercut-nya yang tidak pernah luput dari gel. Lesung pipinya yang selalu muncul setiap kali cowok itu tersenyum. Deretan gelang anyaman di lengan kirinya. Dan sorot matanya yang jahil tapi bisa tampak begitu menenangkan di waktu-waktu tertentu. Seperti saat cowok itu merapikan bandonya tadi misalnya....
Senyum Qia mengembang tipis. Tangan kanannya refleks meraih tempat pensil, mengambil cermin untuk melihat penampakan posisi bandonya yang diubah Adi barusan.
"Gue jadi jenong gini!" omel Qia, tapi di saat yang sama senyum semringahnya tidak hilang dari wajahnya. Bahkan sampai seseorang menghampirinya, memanggilnya, Qia masih betah bercermin sambil senyum-senyum sendiri.
"Woy, Qi!"
Qia tersentak. Otomatis dia memasukan cerminnya ke tempat pensil, lalu menoleh kepada orang yang tadi memanggilnya. Matanya melebar saat dilihatnya Ervan tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya dengan membawa papan String Art.
"Ngap—ngapin lo, Van?" tanya Qia gagap. Bukan apa-apa, dia cuman malu kalo-kalo Ervan melihat tingkah absurdnya tadi.
Di sisi lain, walau dia agak heran dengan gelagat Qia tadi, Ervan memilih untuk nggak peduli.
"Tadi abang lo ke sini, nggak?" tanya Ervan langsung.
"Oh-ituu tadi—" Qia berdeham, menetralkan cara bicaranya yang gagap, "lagi beli benang sama Ribby."
"Barusan banget?"
Qia mengangguk. "Kenapa emang, Van?"
"Tadinya gue sama abang lo pengen ngerjain ini di sini," Ervan menaruh papan String Art-nya di meja Qia. "Biar dibantuin Ribby juga. Eh, tu anak dua malah pacaran!"
Qia terkekeh. "Masih sentimen aja lo sama Ipank."
"Gedeg doang," sanggah Ervan seraya menduduki kursi yang dipakai Adi tadi, "Abang lo kalo bucin gak inget waktu."
Qia memutar mata. "Yaelah! Kayak lo nggak aja."
Saat Ervan hendak mendalih, perhatiannya keburu teralih pada tugas String Art milik Qia yang sudah setengah jadi. Bentuknya yang rumit namun rapi, dan tentunya berbanding terbalik dengan prakaryanya yang bahkan belum keliatan bentuknya sama sekali, berhasil menyita fokus Ervan seluruhnya.
"Keren juga punya lo, Qi," komentar Ervan, memandang kagum barisan paku yang membentuk bunga teratai di papan karya Qia.
Qia nyengir bangga. "Lumayan! Demi hurup A sebiji di rapot."
"Gue sih, dapet C aja udah sukur," kaluh Ervan seraya melirik papan karyanya sendiri.
Qia ngakak. "Lagian lo bikin desain apa sih ini? Kodok?" tebaknya saat melihat desain kodok mirip kartun Keropi di papan karya Ervan.
"Itu Gamabunta," jawab Ervan pendek.
"Itu apaan, Njir?"
"Kodoknya Naruto," terang Ervan, "Masa lo nggak tau?"
"Hah?"
Ervan meletakkan ponselnya ke meja, menunjukan gambar siluman kodok raksasa berwarna oranye yang ada di anime Naruto pada Qia. "Itu namanya Gamabunta."
Qia melongo. Tapi di detik kemudian tawanya menyembur. Bukan apa-apa, masalahnya bentuk kodok yang ditunjukan Ervan dengan hasil prakarya cowok itu jauh banget! Bayangin, dari tampilan Gamabunta si kodok ninja yang sangar, berubah jadi kayak kodok imut. Mana mulutnya dibikin nyengir pula. Ajaib emang!
"Abang lo yang gambar tuh. Gue bagian pakuin doang!!" kata Ervan, buru-buru mengklarifikasi.
"Mantep! Gue yakin karya lo sama Ipank dapet A!" cerocos Qia, mengacungkan jempol pada Ervan.
Ervan merengut. "Daripada ngecengin gue, mending lo bantuin gue nih! Setres gue, masang paku bengkok semua!"
"Makanya getok palunya jangan pake tenaga kuli!" omel Qia sambil menarik papan milik Ervan.
"Iye-iye, contohin aja dulu tuh!"
Qia meraih paku kecil miliknya sendiri, lalu memalunya perlahan di ujung garis gambar prakarya milik Ervan.
"Sisain celah sedikit buat kaitin benangnya nanti," tutur Qia, "pelan-pelan aja malunya. Yang lo palu itu triplek bukan batako!"
Ervan mengangguk paham. Sepasang matanya mengamati Qia yang tengah memalu paku kedua di samping paku pertama yang sudah cewek itu tancapkan sebelumnya.
"Gue pasangin paku disudut-sudut sikunya sekalian deh," usul Qia lagi, "biar lo sama Ipank tinggal ikutin alurnya nanti."
Ervan nyengir lebar. "Thanks, Qi!"
Beberapa menit kemudian, keduanya tenggelam pada tugas String Art. Awalnya, fokus Ervan hanya tertuju pada prakaryanya saja. Tapi seiring lamanya dia memperhatikan telapak tangan Qia yang kecil, dan melihat kondisinya kini, cowok itu tergerak untuk melakukan sesuatu.
"Qia,"
"Ya?" Qia menghentikan aktifitasnya sejenak untuk melihat Ervan yang tahu-tahu melepas ikatan dasinya.
Tanpa mengatakan apa pun, Ervan meraih palu yang digenggam Qia, meletakkannya di meja, melilitkan dasinya di keempat jari kanan cewek itu, lalu membebatnya erat.
"Jari lo lecet," kata Ervan, menjelaskan niatnya.
Qia temangu. Takjub dengan kepedulian Ervan. Bukan apa-apa, selama dia mengenal cowok itu di sekolah, baru kali ini dia melihat sisi Ervan yang begini. Dan jujur, untuk citra Ervan yang selalu dinilainya licik dan suka menang sendiri, tingkahnya sekarang jelas sangat mengejutkan.
"Oo—ohh! Thanks!" sahut Qia, canggung.
"Besok ngerjainnya pake sarung tangan aja, Qi," pesan Ervan selagi menaruh palunya lagi ke telapak tangan kanan Qia yang sudah dibebat dengan dasinya tadi. "Kasian tangan lo yang mirip kartun larva itu."
Qia kontan melotot. "Nggak jadi gue terharu!"
Ervan tertawa. "Lagian tangan lo mini banget kek cimol. Nggak tega kan gue liatnya."
"Kenapa Anda jadi body shaming saya ya?" omel Qia, belagak tersinggung. "Nggak jadi gue bantuin!"
Muka Ervan berubah panik. "Kok gitu si, Qi?"
"Terserah gue dong yee!" sahut Qia, masih belagak acuh. Bukan karena dia marah sama Ervan beneran. Dia senang saja melihat muka panik si Mr.Popular ini. Hitung-hitung balas dendam atas kelakuan liciknya pada abangnya dulu. Ya walau hubungan mereka udah damai juga si, tapi tetep aja Qia masih suka sebel.
"Qi, udah terlanjur itu!" sahut Ervan, melas. "Lanjuti—"
"Gue pengen ngerjain tugas gue sendri! Udah sana lo cabut!"
"Qi! Please—"
"CINTAKU! LIHAT APA YANG AKU BAWA UNTUKMU!!!"
Seruan itu menginterupsi percakapan keduanya. Qia yang mengenali suaranya, berikut derap langkahnya yang kini menghampiri bangkunya lagi, langsung memalingkan wajah jengah.
"Somay dataaang!!!" Adi meletakkan somay dan es teh yang dibelinya tadi ke meja Qia. "Silakan dinikma—LAH! NGAPAIN LO DI SINI, VAN?!" seru Adi begitu sadar ada Ervan di depan Qia.
"Minta Qia ajarin bikin String Art," sahut Ervan enteng, sambil menggedikan dagu ke papan prakaryanya di meja.
"Kenapa juga mesti sama Qia?!" balas Adi sewot. Dia bener-bener nggak suka dengan kedekatan Ervan dan Qia. Bukan apa-apa, masalahnya ni cowok bahaya banget efeknya. Semua cewek yang dia suka rata-rata ketikung sama Ervan. Jelas Adi nggak bisa tenang!
"Ya orang si Ribby dibawa kabur Ipank!" jawab Ervan dongkol. "Kebetulan juga si Qia lagi ngerjain, ya gue sekalian minta ajari—"
"NGGAK BISA!" tukas Adi langsung, seraya menarik paksa Ervan hingga berdiri. "Udah ayok keluar! Nggak bisa lo di sini!"
"Kenapa jadi lo yang repot si, Di!" semprot Ervan nggak terima, "Tugas gua belom kelar—"
"Lo berdua mending cabut dari kelas gue!" potong Qia, menyelak perdebatan keduanya, "Pala gue puyeng!"
"Nah! Betul itu cinta—"
"Diem lo, Kadal!" sembur Qia, membungkam Adi.
"Adi yang bacot, kenapa gue ikut diusir—"
"Lo juga!" Qia memelototi Ervan, lalu mengembalikan papan prakarya milik cowok itu, "kerjain tugas lo sendiri!"
Omelan Qia pada akhirnya berhasil membuat kedua cowok itu pergi. Saat berjalan menuju pintu, Adi menyempatkan diri untuk melambai-lambaikan tangan pada Qia yang kini bertolak pinggang. Sedangkan Ervan, cowok itu cuma berkali-berkali mencibir jengkel.
"Lo kalo naksir Qia, jadiin kenapa! Jangan grecokin doang!" sungut Ervan, begitu dia dan Adi sudah berjalan di koridor.
"Nanti ajalah, pas gue sama dia udah gedean dikit," jawab Adi cengengesn. "Percintaan ABG nggak pernah awet, Van. Rentan putus!"
Ervan memutar mata. "Ya jangan sampe putuslah geblek!"
"Ahh! Gue masih seneng kelayapan," sahut Adi sambil mengedipkan satu matanya pada Via, mantan gebetannya, yang kebetulan lewat. Ervan yang melihat tingkah sohibnya itu cuma mendecak panjang. "Qia bagian serius-seriusnya aja," lanjut Adi, "Biar nggak ada acara asing di tengah jalan."
"Halah! Alesan!" Ervan mendengus. "Gue sama Ribby jadian terus putus, masih temenan tuh sampe sekarang."
"Beda kasus lah!" sanggah Adi. "Lo kan nggak serius cinta sama Ribby. Cuman takut doi diambil Ipank doang."
"Sotoy!" Ervan tergelak. "Kayak lo beneran cinta aja sama Qia."
"Lah serius gua!"
Lagi-lagi Ervan mendengus. Gimana omongan Adi barusan bisa dipercaya kalo cowok itu ujug-ujug nyamperin Windi—gebetannya yang entah ke berapa—di depan koperasi.
"Jangan mau sama Adi, Win!" seru Ervan saat melewati keduanya. "Dia kalo ngincer cewek langsung empat!"
"Yee bangsat! Ngaca lu bego!" seru Adi sewot.
Ervan cengengesan. Tanpa menyahuti omelan Adi, cowok itu berjalan menuju lantai dua, tempat kelasnya dan Ipank berada. Namun ketika dia hendak melewati tangga, tahu-tahu Ervan diperlihatkan pemandangan guru piketnya, Pak Darman, yang sedang mengecek atribut siswa. Otomatis, Ervan mengecek kelengkapan seragamnya sendiri, dan dia kontan mendecak panik kala sadas dasinya masih ada di Qia.
"Ervan!" panggil Pak Darman. Membuat Ervan melotot seketika. "Mana dasi kamu?!"
"Haa?" Ervan tergegap. Langkahnya berubah mundur. "Ketinggalan di kelas temen, Pak. Saya ambil dulu bentar!"
Sebelum Pak Darman menghampirinya, buru-buru dia berbalik arah, hendak kembali ke kelas Qia. Namun, belum jauh dia berlari, langkah Ervan lagi-lagi terhentk saat cewek yang dicarinya rupanya sudah berdiri tak jauh dari koperasi.
Situasi ini sebenarnya menguntungkan Ervan. Dia bisa saja langsung menghampiri Qia, lalu meminta dasi yang terlilit di tangan kanan cewek itu kini. Cuma, gara-gara Ervan mendapati sorot mata Qia yang meredupnsaat memandangi Adi dan Windi di koperasi, entah mengapa Ervan jadi segan untuk memanggil cewek itu.
"Mana dasi kamu?!"
Ervan mengumpat pelan. Takut-takut, dia menoleh pada Pak Darman yang sudah berdiri di sampingnya dengan posisi bertolak pinggang.
"Itu—itu, Pak!" Ervan menelan ludah. Dia menoleh ke depan lagi. Hendak menunjuk Qia yang berdiri tak jauh di belakang Adi dan Windi. Namun, kala dilihatnya cewek boncel itu balik badan dengan dua tangan terkepal, suara Ervan mendadak tidak mau keluar.
"Mana?!" tagih Pak Darman tidak sabar.
"Ketinggalan di rumah, Pak," jawab Ervan akhirnya.
"Kebiasaan!" damprat Pak Darman. Suara baritonnya mengagetkan Ervan. "Kalo mau begaya jangan di sini! Sekolah itu punya aturan, Ervan! Ngerti?!"
"I—iya, Pak."
"Lari sepuluh putaran di lapangan sana!" perintah Pak Darman garang.
Ervan sontak melotot. "Yah, Pak! Banyak amat! Kurangin kenapa, lagi panas banget ini—"
"Udah sana lari!"
Meski ogah-ogahan, pada akhirnya cowok itu tetap mengiakan perintah Pak Darman. Saat dia meletakkan papan karyanya di beton pembatas taman, dan mulai berlari mengitari lapangan, anehnya Ervan masih kepikiran wajah muram Qia barusan. Dia bertanya-tanya, apa tadi Qia sedang cemburu? Tapi bukannya cewek itu nggak suka sama Adi? Tapi kenapa tu cewek kelihatan marah?
"Ngapain gue peduli si?" maki Ervan dalam hati. "Ngapain juga gue mesti lari?!"
Tidak ada jawaban dari semua pertanyaanya. Tapi meskipun demikian, Ervan tetap berlari memutari lapangan, menembus teriknya matahari siang.
sebenernya cerpennya ada dua part. bakal gue tulis kalo rame yang baca dan komen wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top