Before Say Bye (Awal Mula Perkara)


"Belom kelar juga tu String Art?!" komentar Qia saat melihat Ervan dan Ipank masih aja bergulat dengan tugas praktek Seni Budaya mereka di ruang makan rumahnya.

"Jangan ajak gue ngobrol," sahut Ipank tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan paku di papan, "Gue lagi fokus nih. Bentar lagi kelar."

Qia berjalan ke meja makan, hendak melihat progres tugas abangnya. Saat dibilang nyaris kelar tadi, Qia kira Ipank sudah membenangi String Art-nya. Tapi boro-boro pasang benang, garis gambarnya aja masih banyak yang belom dipakuin.

"Van!" panggil Qia.

Ervan yang tengah sibuk menggetok paku, melirik Qia sekilas. "Apaan?"

"Salah lo duduk sebangku sama Ipank," kata Qia diriingi decak panjang. "Sengsara deh lo dempetan sama ni anak sampe lulus."

Ervan mengangguk lemas. "Yah gimana, Qi, udah terlanjur. Gue cuma bisa pasra—AHK!"

Ipank menepak kepala belakang Ervan sebelum cowok menyelesaikan keluhannya.

"Yang paksa gue duduk sama lo dulu siapa?" balas Ipank sengit.

Ervan meringis. "Kalo nggak dipaksa, lo pergi dari gue, Lang. Mana bisa gue menjalani hari-hari tanpa lo di sekola—AHK!"

Ipank menepak kepala Ervan lagi.

"Sekali lagi lo ngomong menjinjikan begitu, gue gebok pake palu," ancam Ipank kalem.

Ervan terbahak. Qia melihatnya cuma mendecak heran. Padahal, setelah berantem hebat dulu, Qia kira hubungan Ervan dan Ipank bakal merenggang. Tapi lihat sekarang, bukannya ngejauh, ni anak dua malah makin mirip Upin Ipin.

"Qia, ayo berangkat!"

Panggilan itu mengalihkan perhatian Qia pada ibunya yang mucul bersama bapaknya di ambang pintu ruang makan. Seperti halnya dia yang sudah tampil rapi dengan setelan kebaya, kedua orangtuanya itu juga serasi dengan tunik dan batik berwarna cokelat.

"Acara lamarannya bentar lagi mulai," lanjut Marni lagi. "Ibu sama Bapak udah ditunggu Bulik Sri nih!"

"Iya, Bu!" sahut Qia, seraya menghampiri ibunya.

Ipank dan Ervan pun mengikuti untuk sekadar menyalimi tangan Marni dan Agung.

"Elang titip salam aja ke Mas Surya ya, Bu." pesan Ipank pada Marni. "Bilang, maaf nggak bisa dateng, Elang lagi nggak enak badan. Mana dikejar tugas praktek juga tuh."

Marni manggut-manggut. "Iya, entar Ibu sampein."

"Kamu kalo capek nugas, dijeda dulu, Van," sambung Agung, kali ini memberi pesan pada Ervan. "Tidur-tiduran aja tuh di kamar Elang. Nggak usah segen-segen di sini ya."

"Iya, Om! Siap!" sahut Ervan dengan senyum lebar.

Begitu keluarganya pergi, Ervan dan Ipank kembali ke meja makan untuk mengerjakan tugas prakarya mereka yang bahkan belum setengah jadi.

"Kelarin sekarang, Van," kata Ipank menggebu-gebu, "besok gue mesti ke Pelatnas nih buat latih tanding."

Ervan memutar mata sebal. "Yang santai-santai dari kemaren juga elu."

"Ya udah cepet kerjain ayo!" sahut Ipank sewot.

"Iya, bawel!"

Tidak ada yang bicara lagi setelahnya. Keduanya sibuk pada tugas masing-masing. Ervan memotong benang, Ipank memasang paku di papan. Hingga dua jam kemudian, saat keduanya tengah menggulir benang di deretan paku, mendadak saja kegiatan mereka terhenti saat Ipank tahu-tahu menelungkupkan kepalanya di meja.

Ervan yang melihat itu kontan menghentikan kegiatannya pula dan menatap Ipank dongkol.

"Pank!" panggil Ervan. "Kerjain!"

Ipank menyahut dengan gumaman. Tapi cowok itu tidak juga tergerak untuk bangkit.

"Malah tidur bocah," gerutu Ervan. Tangannya meraih kepala Ipank, hendak memaksa sohibnya itu bangun. Tapi niatnya lantas gagal saat dirasakannya tubuh Ipank yang panas.

"Lah! Beneran sakit lo, Pank?!" tanya Ervan, sambil meletakkan telapak tangannya di jidat Ipank. "Perasan tadi nggak apa-apa."

"Kemaren gue keujanan," sahut Ipank sambil menyingkirkan tangan Ervan dari kepalanya. "Lo balik aja deh, Van. Pengen tidur gue. Puyeng banget."

Ervan berdecih. "Tadi siapa yang nyuruh cepet kelarin?"

"Udeeeehlah!" Ipank bangkit dari duduk dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah terhuyung-huyung, "sisanya biar gue kerjain nanti. Lo cabut sana."

"Oke!" Ervan bangkit dari duduk pula, lalu berjalan menuju kamar Ipank, mengecek kondisinya yang sedang meringkuk di kasur. "Gue balik nih ya."

"Iyaaa," sahut Ipank lemas.

"Lo kerjain tuh tugas sendiri!"

"Iya."

"Gue bawa pulang motor lo ya!"

"Iya."

Ervan berdecak. Boro-boro mengerjakan tugas prakaryanya, Ipank bahkan sudah terlalu teler hingga tidak memedulikan permintaan asalnya tadi.

Setelah mengambil kunci motor Ipank di atas
meja belajar, Ervan keluar dari rumah. Tapi bukan untuk dibawa pulang seperti yang dia bilang tadi, melainkan untuk membeli obat penurun panas dan bubur ayam di depan komplek. Dan begitu semuanya sudah terbeli, Ervan kembali ke rumah Ipank untuk menyodorkan obat pada cowok itu.

"Telen!" suruh Ervan, memasukkan paksa tablet paracetamol ke mulut Ipank.

Ipank terlalu lemas untuk protes atau berkomentar. Maka, setelah menelan obat dan menegak air putih yang dibawakan Ervan, cowok itu kembali memejamkan mata,mengistirahatkan kepalanya yang masih berat.

"Kalo udah mendingan, dimakan tu bubur!" pesan Ervan lagi, sebelum keluar kamar, dan menutup pintu.

=Before Say Bye=

Seusainya acara lamaran abang sepupunya, saat Ibu dan Bapaknya masih betah ngobrol dengan saudara-saudaranya dari kampung, Qia memutuskan pulang duluan menggunakan ojek onlien. Waktu dia tiba di rumah, jam masih menunjukkan pukul setengah delapan malam. Namun, anehnya suasana sudah sangat sepi. Padahal, harusnya masih ada Ervan dan Ipank di dalam. Qia meyakini itu sebab dia melihat kendaraan keduanya yang masih terparkir di halaman.

"Assalamuallaikum!"

Tidak ada yang jawab. Ruang tamu, ruang tengah, dan ruang makan kosong. Pintu kamar Ipank tertutup rapat. Tapi lubang ventilasinya terang. Tanda cowok itu ada di dalam. Qia bergegas ke sana dan mengetuk pintunya beberapa kali.

"Pank!" panggil Qia, diiringi ketukkan pintu, "Gue masuk ya!"

Begitu terdengar gumaman abangnya, Qia membuka pintu kamar dan menghampiri Ipank yang rupanya sedang meringkuk di bawah selimut.

"Lo sakit, Pank?" tanya Qia, saat menyadari muka abangnya yang pucat.

"Puyeng doang," jawab Ipank tanpa membuka matanya.

Qia mengecek suhu tubuh Ipank dengan meletakkan telapak tangan ke leher cowok itu. Tidak begitu panas. Qia menghela napas. Pasca kehujanan kemarin, abangnya emang udah mengoceh tidak enak badan. Wajar aja kalo sekarang demam.

"Udah minum obat belom?"

"Udah," Ipank berguling ke samping, membelakangi Qia, "tadi dikasih Ervan."

"Terus Ervannya mana?" tanya Qia, seketika sadar bahwa Ervan tidak terlihat di mana pun.

"Udah gue suruh balik tadi."

Dahi Qia mengerut bingung. "Emang tugas lo berdua udah kela—"

"Belom," jawab Ipank lemas. "Gue yang kelarin sendiri nanti. Udah sana keluar, gue mau tidur."

Sebenarnya Qia mau bertanya soal Xpander Ervan yang masih terparkir di depan sementara si pemilik udah pulang. Tapi abangnya keburu menarik selimutnya ke atas kepala, mengabaikannya begitu saja.

Qia keluar dari kamar Ipank, dan berjalan ke kamarnya sendiri. Ketika dia ingin membuka pintu, perhatiannya terinterupsi oleh bunyi ketokan palu yang bersumber dari belakang rumah. Otomatis Qia menoleh. Sadar bahwa mungkin saja itu Ervan, buru-buru dia berjalan ke teras belakang. Dan benar saja, sohib abangnya itu memang masih di sana, duduk di lantai teras sambil menyelesaikan tugas String Art-nya sendirian.

"Van!" panggil Qia.

Ervan tidak menyahut. Cowok itu masih asik menggulir benang di sela-sela paku dengan sepasang telinga tersumpal headset. Pantas saja salamnya nggak dijawab cowok itu tadi.

"Ervan!" panggil Qia lagi, kali ini sambil menepuk bahunya hingga cowok itu menoleh.

"Eh, Qi?!" seru Ervan kaget, seraya melepas headset dari telinganya. "Kapan pulang?"

"Baru kok," jawab Qia pendek. "Kok lo masih di sini?" Qia balik bertanya seraya memperhatikan prakarya Ervan yang nyaris selesai. "Kata Ipank, dia yang mau kelarin?"

"Ohh ini," Ervan mengalihkan pandangannya ke papan String Art-nya di lantai, "tanggung, Qi."

"Berarti dari sore lo yang ngerjain sendiri nih?" tanya Qia, sepasang matanya melebar kaget.

Ervan menggeleng. "Abang lo udah selesai pakuin, gue bagian benangin doang. Bentar lagi juga kelar nih."

"Justru benangin yang paling susah!" seru Qia sambil duduk di samping Ervan, "Ya udah sini, gue bantuin."

Ervan menoleh cepat. "Ehh, nggak usah—"

"Jangan pake nolak deh!" elak Qia sambil menarik papannya ke tengah mereka berdua, "Nggak enak gue, masa abang gue molor, lo ngerjain ni tugas sendiri?"

Tahu bahwa dia tidak bisa membantah argumen Qia, akhirnya Ervan membiarkan adik perempuan Ipank itu membantunya mengerjakan prakaryanya yang nyaris jadi.

"Abang lo mau latih tanding di Pelatnas besok," ungkap Ervan, sambil memutar-mutar benangnya di paku, "Kalo dipaksain ngerjain ni Kodok, pingsan yang ada tu anak."

Qia tertawa. "Perhatian banget lo sama Ipank."

Ervan terkekeh. "Lah! Baru sadar lo?!"

"Kalo inget lo pernah baku hantam sama dia dulu, heran gue liat lo yang begini," ceplos Qia kemudian.

Ervan terdiam. Sedangkan Qia menoleh, menatap cowok itu heran.

"Kenapa si, Van?" tanya Qia penasaran. "Masih ngerasa bersalah lo ya sama Ipank? Jadi lo repot-repot begini?"

"Ng-nggak gitu, Qi," sanggah Ervan. "Gue emang niat ngerjain sendiri aja. Lagian tangan abang lo nggak telaten bikin prakarya, ngancurin batako baru bisa dia."

Qia tidak tertawa, dan malah menatap Ervan dengan pandangan menyelidik. Membuat cowok itu mau tak mau mengaku.

"Ngerasa bersalah sih udah nggak ya, cuman...." Ervan menggaruk tengkuknya, resah. "Gue kayak dapet hikmah aja dari kasus gue sama abang lo dulu."

Mata Qia melebar. "Oh, Ya?"

Ervan nyengir getir. "Dari kejadian itu, gue sadar jelek-jeleknya gue apa. Dan sekarang gue lagi mau ubah pelan-pelan. Dengan berbaik hati begini misalnya."

"Jadi sikap perhatian lo ini bagian dari program penebusan dosa sama Ipank gitu?"

"Ya gitu kali," sahut Ervan sambil kembali menggulir-gulir benangnya, "Ervan Redemption Arc. Keren, kan?"

"Iye-iye!" sahut Qia cepat. "Tapi harus diakui ya, dulu lo emang ngeselin banget," timpalnya lagi seraya membantu Ervan menarik benang ke ujung-ujung paku.

Ervan meringis. "Lo sebel sama gue juga ya?"

"Iyalah gila!" semprot Qia langsung. "Asal lo tau, gue sama Ipank sempet ribut perkara Say Hi doang. Kalo nggak ditahan Ipank, udah gue labrak kali lo dulu!"

"Yeaa i know," aku Ervan, menyedal. "Gue bangsat banget."

Qia menghela napas. Dia mengulurkan satu tangannya untuk menepuk-nepuk bahu Ervan.

"Tapi gue sama Ipank udah maafin lo kok," katanya, menenangkan. "Langkah penebusan dosa lo cukup membuat kami terharu."

"Masa?" sahut Ervan, belagak nggak percaya.

"Kalo belom, ngapain juga kita bercengkrama sekarang, sobat?!" sahut Qia enteng.

Ervan tersenyum geli. Hampir tiga tahun mengenal cewek di sebelahnya, baru dia sadari betapa lucu dan hebohnya Qia saat mengoceh. Rumah yang tadi sunyi seketika ramai cuman karena suaranya yang cempreng doang.

"Cuma gue penasaran deh, Van," Qia kembali menatap Ervan, membuat cowok itu buru-buru mengalihkan pandangan ke papan lagi, "Lo tuh kenapa sih sampe ambil akun Ipank segala buat deketin Ribby? Kan peluang lo diterima Ribby lebih gede cuy!"

"Ribby udah suka sama Ipank duluan lewat Say Hi," jawab Ervan. Mungkin karena sudah terlalu sering ditanyakan oleh teman-temannya yang lain, cowok itu nggak kedengeran berat saat menjawab. "Gue ngerasa abang lo nyolong start. Jadi yaa... gitu deh. Gue ambil jalan cepet."

Qia mandecih. "Terus lo beneran suka nggak sih sama Ribby?"

"Beneran lah!" tandas Ervan.

"Tapi kenapa gue liat-liat lo cepet banget ya move on-nya?" tanya Qia heran. "Mana lo biasa aja lagi pas Ribby jadian sama Ipank."

Ervan bergumam panjang, tampak memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Qia.

"Mungkin karena gue baru sadar kalo perasaan gue sama Ribby nggak sejauh itu," jawab Ervan akhirnya, "Nggak cukup besar sampe bikin gue mau jauhin Ipank."

Qia mengangguk paham. Benar juga sih. Lagian waktu Ervan sama Ribby pacaran dulu, alih-alih terlihat seperti sepasang kekasih yang kasmaran, keduanya masih keliatan seperti sahabat sejoli yang ke mana-mana berdua. Alias, walau Ervan memperlakukan Ribby sebagaimana pacarnya, tatapan cowok itu ke Ribby anehnya nggak ada yang berubah. Masih sama saja seperti sebelumnya.

Tapi kalo emang Ervan nggak secinta itu sama Ribby hingga temannya itu mudah dilupakan, lalu apa kaitannya sama Ipank? Mengapa Ervan bilang nggak bisa jauh dari abangnya segala?

Mendadak Qia melotot. Terlintasnya satu kesadaran di kepala membuatnya menatap Ervan horor.

"Van!" panggil Qia takut-takut.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari prakaryanya, Ervan menyahut, "Paan?"

"Lo nggak suka sama Ipank, kan?"

Ervan terbatuk-batuk. Sontak dia menatap Qia shock. Tadinya Ervan ingin bertanya mengapa cewek itu tiba-tiba bisa berasumsi liar begitu, cuma saat dia berhasil menelaah implikasi topik pembahasan mereka sebelumnya dengan muka panik cewek itu sekarang, seketika itu juga Ervan menepok jidat.

"Van, lo nggak punya perasaan sama abang—"

"Iya," potong Ervan. Daripada mengelak, entah mengapa dia malah tergerak menjadikan kesalahpahaman ini untuk menjahili Qia. "Gue sesayang itu sama Ipank sampe relain Ribby buat dia. Gila, kan?"

"Hah?" Mata Qia makin melotot. Mulutnya manganga lebar. Di sampingnya, mati-matian Ervan menahan tawa. "SUMPAH LO?!"

Ervan menggedikan bahu. "Ya lo liat aja nih, Ipank sakit, gue yang urusin tadi. Tugas String Art-nya gue kerjain sendir—"

"Jangan sampe bapak gue tau!" usul Qia serius. "Gue mungkin bisa pelan-pelan nerima konsep hubungan lain, tapi Bapak gue masih kolot. Kalo dia sampe tau anak lanangnya ditaksir cowo—"

"Astaga, Qia!" Tawa Ervan menyembur. "Becanda gua! Kok percaya aja sih lu?"

"Jangan begitu, Van!" Qia mencengkram bahu Ervan dan menatap cowok itu lurus-lurus, "Jujur aja dari sekarang! Biar ke depannya gampang!"

"Gue masih suka cewek, Qi!" elak Ervan.

Qia menelan ludah. "Bener?"

Ervan mengangguk. "Iya!"

Qia berkedip cepat. "Tap—tapi kok gue pernah denger lo pengen jadi Rose buat Ipank?"

Ervan menyeringai. "Jangankan jadi Rose, berlutut di depan abang lo aja gue jabanin."

"Katanya tadi lo suka cewek!" seru Qia shock. "Jadi yang bener yang mana sih?! Jangan bikin gue bingung dong! Gue harus nyiapin mental!"

Tawa Ervan makin menjadi-jadi. Tubuhnya sampai terguncang ketika melihat muka absurd Qia sekarang. Akibatnya, dia jadi nggak awas dan berakhir membuat tangannya yang menggenggam papan tersenggol paku.

"AHK!!"

"Tuhkan!" seru Qia, refleks meraih tangan Ervan yang berdarah. "Kebanyakan ketawa sih lo! Luka kan tuh!"

"Nggak apa-ap—"

Belum selesai Ervan bicara, tahu-tahu Qia bangkit dan menyeretnya ke dapur. Lalu tanpa banyak omong, cewek boncel itu mengarahkan tangannya yang luka ke kucuran air keran di wastafel cuci piring.

"Biarin tangan lo begini!" kata Qia, mengingatkan. "Gue mau ambil obat merah."

Tanpa menunggu respon Ervan, Qia membuka laci buffet, mengambil kotak P3K di sana, lalu kembali ke dapur untuk meraih tangan Ervan yang luka. Begitu mematikan keran, lalu mengeringkan tangan cowok itu yang basah dengan tisu, Qia membubuhkan obat merah ke luka robek di pergelangan tangan Ervan yang untungnya tidak besar.

Saking seriusnya dengan langkah pengobatan pertamanya, Qia tidak sadar bahwa cowok di depannya tengah menatapnya lekat-lekat. Awalnya sih, Ervan cuma tertarik dengan postur tubuh Qia yang mungil ketika bersisian dengannya. Namun, ketika cewek itu meniup-niup lukanya seolah dirinya adalah balita lima tahun, Ervan jadi memperhatikan hal-hal menarik lain tentang Qia yang selama ini luput dari pandangannya. Dari mulai pipinya yang mengembung seperti ikan buntal, potongan poninya yang selalu rata, bibir merah mudanya yang berbentuk hati, sepasang matanya yang bulat bening seperti permukaan kaca, dan tentu wajahnya yang..... cantik.

Ervan memalingkkan pandangan, mendadak linglung tanpa alasan. Agar tidak berpikiran macam-macam, sengaja dia tundukkan kepala, menujukan pandangan ke lantai, lalu mengembalikan fokusnya pada topik pembahasan mereka di teras belakang.

"Pertemanan sama Ipank dan Ribby lebih penting buat gue,"ungkap Ervan, membuat Qia mendongakkan kepalanya, "itu alesan gue gampang relain mereka. Bukan karena gue suka sama si Sableng."

Qia cemberut. "Jadi lo ngerjain gue tadi?"

"Abis lo lucu. Bisa-bisanya mikir jauh begitu," sahut Ervan cengengesan. "Lagian daripada abangnya," Ervan menyandarkan tubuhnya ke dinding wastafel, menudukkan kepala, menjajarkan wajahnya ke wajah Qia, "jelas gue lebih tertarik sama adeknya."

Mata Qia kontan melotot. "Hah?! Maksud—"

"Karena lo cewek!" tekan Ervan, buru-buru mengklarifikasi kalimatnya yang terdengar ambigu. "Dan gue masih suka sama cewek, Qia!"

Qia menghela napas. "Wajar gue berasumsi macem-macem," katanya sambil melilitkan kasa di telapak tangan Ervan, "orang penjelasan lo tadi aneh banget," lanjut Qia begitu selaai mengikat perbannya. "Btw, lo laper nggak, Van?"

"Lumayan," sahut Ervan, sambil memperhatikan Qia yang kini berjalan ke arah lemari dapur.

"Gue mau masak indomie, lo mau nggak?" tanya Qia sambil mengambil dua bungkus mi instan dari sana.

Ervan mengguk senang. "Ada rasa apaan aja, Qi?"

"Kari sama Soto doang sih."

"Gue soto deh!"

"Okey," sahut Qia sambil berjalan menuju dispenser untuk mengisi air di panci masak. "Ya elah abis!" keluhnya, saat disadarinya air dispensernya tidak keluar.

Ervan berniat membantu Qia mengganti galon. Namun, alangkah ajaibnya ketika cewek boncel itu sendiri yang berjalan mengambil galon baru di ujung dapur, membopongnya di pundak, lalu meletakkannya di bolongan dispenser tanpa kesulitan sama sekali.

Ervan melongo. Dia menatap Qia seolah cewek itu baru saja melakukan aksi akrobatik dengan kesulitan tinggi. Heran, bagaimana mungkin si Minion bisa mengangkat galon berat dengan gerakan sesantai itu?! Kok bisa?

"Ngapain si lo masih di sini? Awas!" tegur Qia, saat melihat Ervan masih berdiri di samping wastafel.

"Qi!"

"Apa?"

"Lo bisa angkat galon?"

Setelah menyalakan kompor, memanaskan air di pancinya, Qia melirik Ervan yang belum beranjak ke mana pun. Wajah cowok itu yang terheran-heran, memantik cengiran di wajah Qia.

"Jangankan galon, angkat lo juga gue bisa," akunya bangga. Yang tentu saja nggak dipercaya Ervan.

"Pantes aja lo nggak tinggi-tinggi—QI!!" Ervan otomatis berseru saat cewek di depannya mendadak memeluknya kuat-kuat, lalu mengangkat tubuhnya hingga kakinya tidak berpijak di lantai. "WAH GILA LU, QI! TURUNIN!! LU KERASUKAN BUTO IJO APA GIMANA ?"

"Ngeremehin gue sih lo," kata Qia sengit. "Gue nggak bisa dtantang!"

"Iya! Kaga! Ampun dah! Turunin!" seru Ervan panik, tapi di sisi lain dia nggak bisa menahan ketawa. Demi seluruh isi bumi, nggak pernah satu kali pun dia membayangkan bahwa sosok sekecil Qia punya tenaga sesamson ini.

"Awas lo ya manggil gue boncel!"

"Iya, nggak! Udah, turunin!"

Masih tertawa-tawa Qia menurunkan tubuh Ervan. Namun, saat kaki cowok itu telah berpijak di lantai, baru Qia sadari bahwa lengan Ervan masih melingkari tubuhnya. Qia kontan mematung. Tawanya lenyap. Tubuhnya seakan tersetrum listrik jutaan volt begitu dia tahu posisinya dengan Ervan tidak berjarak sama sekali.

"Lo bilang pernah angkat monas juga gue percaya sekarang," kata Ervan takjub.

Bukannya menyahuti ocehan Ervan, Qia malah menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sepasang tangannya yang tadi melingkari tubuh cowok itu, melunglai jatuh. Dalam hati dia memaki sifat impulsifnya yang membuatnya tidak mempertimbangkan situasi canggung ini.
LAGIAN, KOK YA BISA-BISANYA DIA MENGANGKAT TUBUH ERVAN?! MIKIR APAAN DIA TADI HAA?!!!

"Qi."

Qia makin ciut. Mukanya memanas. Sepasang tangan kecilnya mencengkram ujung kaus hitam cowok itu kuat-kuat.

"Lo kenap—"

"Jangan ngomong," tukas Qia buru-buru, "lo diem dulu. Jangan liat muka gue!"

"Ya Kenapa?"

"Gue malu!" jawab Qia gemas.

Tubuh Ervan yang sempat kaku akibat pelukan Qia yang mendadak, pelan-pelan merenggang kala mendengar pekikan cewek itu. Kontan Ervan tersenyum geli. Dalam situasi ini, bisa saja dia mundur, lalu memaksa melihat muka Qia yang mungkin merah. Tapi daripada melakukan itu, dia malah membiarkan cewek itu mengkerut.

"Lo masak mie sendiri aja ya, Van," pinta Qia, suaranya sepelan embusan napas. Membuat Ervan menundukkan kepalanya sedikit.

"Apa?"

Qia menelan ludah. "Lo masak mie sendiri aja. Gue mau kabur."

"Ngapain kabur?" tanya Ervan, otak isengnya mengambil alih.

"Dibilang gue malu!" desis Qia sengit. "Udah lo merem, gue mau kab—"

"Kaget gue," kata Ervan. "Lo dateng-dateng meluk."

Qia mematung. Pernyataan frontal Ervan membuat tubuhnya mati rasa. Qia tidak tahu seberapa dekat wajah Ervan dengannya sekarang, tapi yang jelas, tengkuknya mendadak merinding saat ujung-ujung rambut cowok itu tak sengaja bersentuhan dengan kulit lehernya. Dan sumpah ya, sekalipun otaknya sudah meneriakan peringatan, menyuruhnya kabur, nyatanya harum tubuh Ervan yang seperti laut musim dingin itu lebih dulu mengungkungnya kuat-kuat. Membuatnya lumpuh, dan berakhir tidak bisa ke mana-mana.

"Diem-diem lo agresif juga ya, Qi," ujar Ervan lagi, suara berat dalamnya melembut.

Qia menggigit bibir. Jujur, akibat terlalu muak dengan segala gombalan Adi, dia tuh udah nggak mempan digoda cowok. Tapi situasinya dengan Ervan beda. Entah cowok ini memang niat flirting atau cuma ngerjain dia doang kayak di tadi, yang jelas gestur dan omongan cowok itu berhasil membuat lututnya lemas tiba-tiba.

Sialan! Bahaya! Siaga satu! Detak jantung Qia mulai berantakan!

"Kacau lo, Qi," maki Ervan pelan, "Deg-degan loh gu—"

"Jangan mikir enggak-enggak..." sangkal Qia. "ta—tadi gue cuma mau angkat—"

"Oh, ya?" sahut Ervan, belagak ragu. "Tapi kok lo masih di sini? Katanya mau kabur?"

Qia tersentak. Sontak dia mendorong tubuh Ervan. Saat dia membalikkan badan, ingin kabur dari dapur, tahu-tahu lengannya kembali dicekal Ervan. Sepasang mata Qia melotot. Saat dia ingin mengomel, sorot mata Ervan yang gelap keburu menenggelamkannya lagi. Memindahkannya ke dimensi beku yang membuat kata-kata di mulutnya tidak bisa keluar sama sekali.

"Tanggung jawab dulu dong, Aqira."

Tanggung jawab apaan?!! Dalam hati Qia berteriak. Tapi mulutnya masih terkunci rapat. Dia bahkan menahan napas saat cowok di depannya melonggarkan cekalannya dan tersenyum. Tipis. Manis. Mematikan!

Di sisi lain, mati-matian Ervan menahan tawa. Maksudnya meminta tanggung jawab adalah agar cewek itu melanjutkan memasak mie instan. Bukannya kabur. Tapi gara-gada dia suka melihat muka panik Qia yang absurd, Ervan memilih membiarkan cewek itu tenggelam pada asumsi liarnya sendiri.

"QIA!"

Itu suara Ipank. Panggilannya sukses menyadarkan Qia dari keterpanaan. Kontan cewek itu menarik lengannya dari cekalan Ervan, berniat kabur. Tapi sebelum dia ambil seribu langkah, disempatkannya untuk menghadap Ervan sekilas.

"Lo—lo masak sendiri aja Mie-nya! Bye!"

Qia beneran kabur setelahnya. Saking cepatnya cewek itu berlari, dia sampai menabrak Ipank yang baru muncul dari arah ruang makan.

"Lah! Kok lu udah pulang, Qi! Bapak Ibu mana?" tanya Ipank saat berpapasan dengan Qia.

"Masih di rumah Bulik!" sahut Qia cepat.

"Terus ngapain lo lari-lari? Ada apaan di dapur?"

"Cicek!"

"Hah?!"

Tanpa merespon abangnya lebih lanjut, Qia lebih dulu melesat masuk ke dalam kamarnya yang tak jauh dari ruang makan. Menutup pintunya rapat-rapat. Ipank jelas keheranan. Sedangkan Ervan, di dapur cowok itu hanya tertawa-tawa melihat si Boncel salah tingkah.

"Lo juga ngapain masih di rumah gua?!" seru Ipank kala melihat Ervan di dapur.

Tawa Ervan langsung terhenti. "Kelarin tugas kita lah!"

"Masa ngerjain String Art di dapur?"

"Masak Mie !" jawab Ervan buru-buru. "Laper, Pank! Gue seharian belom makan!"

Dahi Ipank mengerut. Dia menghampiri Ervan dengan sorot menyelidik. "Tadi lo sama Qia dong?"

Tubuh Ervan sontak menegap. Sesaat dia mengingat betapa protektifnya Ipank pada adik semata wayangnya, mukanya langsung kaku.

"I—iya!" jawab Ervan gagap.

"Terus kenapa tu anak kabur—"

"Ada kecoa!"

Kerutan di dahi Ipank makin dalam. "Tadi dia bilang cicek."

"Ya dua-duanya!" sahut Ervan panik. "Lo udah sembuh?" tanya Ervan, lebih kepada ingin membuat perhatian sohibnya teralih.

"Udah," Ipank menghampiri Ervan. "Lo masak mi? Buatin gue juga dong!"

"Boleh!" sahut Ervan langsung. "Mau rasa apa?"

"Kari ya."

"Sip!" sahut Ervan dengan iriingan napas lega. Hampir aja dia digebukin Ipank lagi tadi.

=Before Say Bye=

Di kamarnya, dengan wajah tertutup bantal, mati-matian Qia berusaha menghapus kejadian memalukan di dapur tadi. Tapi semakin dia berusaha lupa, wajah dan seringai Ervan malah semakin jelas teringat. Membuat Qia frustasi sendiri.

"Sadar, Qi!" Qia bangkit dari tidurnya, lalu memukul-mukul bantalnya, menjadikannya samsak atas keresahannya kini, "Tu cowok mantannya Ribby! Pernah ribut sama abang lo pula! Jangan mikir aneh-aneh!"

Percuma. Setiap peringatan itu tidak bisa mengenyahkan setiap detail ingatan tentang Ervan yang telanjur terekam.

Qia melempar tubuhnya ke kasur. Jujur-jujuran aja, sebelum insiden Say Hi, dia pun sempat naksir dengan Ervan. Tapi ya cuma sebatas itu. Sebab, bagi Qia menyukai cowok seganteng dan sepopuler Ervan itu cuma hiburan. Nggak lebih. Namun, sejak hari di mana Ervan menjemput paksa abangnya ke sekolah, gigih meminta maaf pada Ipank, berusaha memperbaiki kesalahannya pelan-pelan, tidak bisa dipungkiri, perkembangan sifat Ervan diam-diam membuat Qia kagum. Bahkan tanpa dia sadari.

"Sadar, Qi!" desah Qia frustasi. "Dia sama brengseknya kayak Adi!"

Qia meraih ponselnya. Membuka aplikasi Say Hi, lalu mengecek notifikasi terakhir yang diterimanya kemarin.

Ian added you as girlfriend. Accepted?

Qia menerima ajakan itu tanpa pikir dua kali. Untuk mendistraksi ingatannya soal Ervan, dia memang harus ambil jalan cepat. Sekalipun dengan cara berhubungan virtual lagi di Say Hi....

ya, seenggaknya itu lebih baik daripada dia kepikiran Adi atau Ervan.


















————-
Jangan lupa baca Say Bye di Karya Karsa yaaa! hehehher

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top