7. Kata Selamat Tinggal Pertama


Waktu mereka masih SMP, Qia pernah tidak sengaja menghilangkan ponsel baru milik teman sebangkunya, Yuli, ketika mereka sedang mengikuti pelajaran atletik di gelanggang olahraga Rawamangun. Akibatnya, Qia dimusuhi oleh Yuli dan teman-temannya yang lain. Qia didamprat Yuli untuk segera mengembalikan ponselnya bagaimana pun caranya. Termasuk dengan menggantinya dengan yang baru, atau mencari ponselnya itu sampai ketemu. Opsi kedua jelas sangat tidak mungkin berhubung GOR Rawamangun itu luasnya seperti sepuluh kali lapangan sekolahnya yang disatukan. Belum lagi pengunjungnya yang ramai. Mustahil bila ponsel itu bisa ditemukan.

Yuli dan teman-teman sekolahnya yang lain menyarankan Qia untuk menggantinya saja alih-alih mencarinya. Tapi karena Qia keras kepala, daripada meminta orangtuanya untuk membelikan ponsel untuk Yuli, cewek berbadan kecil itu memilih mencari handphone Yuli di GOR seharian.

Saat itu Adi cuma berdecak tidak peduli. Sama seperti teman-temannnya yang lain, dia meragukan Qia bisa menemukan ponsel Yuli lagi. Makanya begitu keesokan harinya Qia membawa ponsel Yuli ke sekolah, semua anak jelas shock. Termasuk Adi. Bukan apa-apa, di antara semua temannya yang pulang siang, Adi nongkrong di GOR sampai sore karena dia mau main futsal sama anak SMP lain. Dan sampai dia selesai futsal malamnya, Adi masih melihat Qia mondar-mandir di sekitar lapangan. Adi juga sempat mengajak Qia pulang, tapi anak kecil itu bersikeras tidak mau pulang sebelum ponsel Yuli ketemu.

"Gue aja belom dibeliin hape sama Bapak gue, masa Bapak gue beliin hape buat elo, Yul. Enak aja!"

Ketika mengingat kejadian belasan tahun itu, Adi percaya bahwa Qia memang lebih kuat dari yang dia tahu. Cewek itu keras kepala, tidak gampang menyerah, dan tidak suka diremehkan. Maka begitu Adi melihat Qia masuk kantor hari ini, sekalipun kemarin dia menjadi bulan-bulanan netizen instagram, Adi tidak heran.

Dari kubikelnya, Adi memandangi Qia yang sedang mengobrol dengan cewek bertampang chinese, yang diketahui bernama Gina, di dekat  pantry kantor. Walau sorot matanya kadang suka kehilangan fokus ketika bicara, cewek itu tampak sewajar hari-hari biasanya. Jika dilihat sekilas, Qia tidak terlihat seperti orang yang habis dilabrak dan diserang di depan banyak orang.

Adi mengetikkan sederet pesan untuk Qia, setelah terkirim, cowok itu kembali bekerja.

Adi
Good luck for today.
You look so fine btw

Qia membaca pesan itu ketika Gina sedang marah-marah soal Geo. Qia langsung melihat ke arah kubikel Adi, tapi cowok itu sudah sibuk dengan laptopnya.

"Dari awal lo jalan sama Geo, gue tau tu cowok brengsek. Radar gue udah mengatakan demikian sejak dia selalu telat jemput lo kalo ke mana-mana. Karena gue menghargai Mbak Mira aja, jadi gue sok respect," cerocos Gina menggebu-gebu. "Sialan banget, gara-gara dia ngaku nggak punya cewek, elo yang jadi kena getahnya. Padahal kan elo nggak tau apa-apa. Ceweknya juga tolol banget. Ngapain juga dia ngelabrak elo? Labrak tuh cowok lo yang kek biawak!!"

Qia cuma tertawa pelan menanggapi kesewotan Gina. Temannya ini benar-benar tidak berhenti menyumpah-serapahi Geo sejak Qia membeberkan semua masalahnya kemarin.

"Langkah yang lo ambil setelah itu gimana, Qi?" tanya Gina penasaran. "Kalau lo mau, lo bisa bawa masalah ini ke jalur hukum. Ceweknya bisa dituntut pasal penyerangan tuh!"

Qia menggeleng. "Gue udah damai sama ceweknya."

Gina melotot kaget. "Hah?! Kok Oon banget sih lo?! Bisa-bisanya lo maafin manusia barbar kayak gitu?!"

Qia mengembuskan napas lelah. "Gue males perpanjang masalah."

Tadi pagi Qia memang menghubungi Adriana lewat DM Instagram. Qia menjalaskan detail hubungannya dengan Geo dan meminta maaf pada cewek itu setelahnya. Mengingat sikap Adriana kemarin, Qia pikir DM-nya akan dibalas makian atau tidak dibalas sama sekali. Namun rupanya Adriana justru menerima maafnya dengan mudah tanpa perdebatan apa pun karena Geo telah mengakui kesalahannya lebih dulu pada cewek itu. Dan belum cukup sampai di situ, Adriana juga meminta maaf padanya atas kelakuannya kemarin. Qia yang sudah terlalu lelah dengan drama ini, lantas memaafkan Adriana begitu saja.

"Ck! Kalau gue jadi elo sih, udah gue laporin ke polisi!" komentar Gina sebal.

"Ruwet, Gin. Buang waktu, buang tenaga."

Kalau yang menghadapi masalah ini adalah Qia sepuluh tahun lalu, mungkin dia akan berpikiran sama dengan Gina. Qia pasti akan membalas perlakuan Adriana dengan segala cara. Tapi untuk dirinya di umur sekarang yang gampang capek, males, dan cuma suka rebahan, Qia jadi lebih sering meng-ya-udah-kan semua masalah. Bukan apa-apa, Qia cuma tidak punya semangat lagi untuk bertentangan dengan orang-orang. Dia cuma mau hidupnya tentram agar malamnya dia bisa nonton mukbang tanpa gangguan.

"Berarti masalah lo sekarang tinggal ocehan netizen sama orang-orang kantor yang julid sama lo aja nih." Gina berdecak cemas. "Anak-anak marketing yang gak terima lo naik jabatan kemaren, pasti ngomongin lo mulu. Siap-siap tutup kuping aja deh, Qi," pesan Gina, yang cuma dibalas anggukan pasrah Qia.

Qia sudah memikirkan konsekuensi ini sejak dia memutuskan masuk ke kantor hari ini. Benar kata Gina, dia pasti akan dijadikan bahan omongan seluruh pegawai SirKel. Terutama orang-orang yang sirik atas kenaikan jabatannya yang terlampau singkat, Qia menduga mereka akan menjadikan masalah Qia kemarin sebagai senjata untuk menjatuhkannya dengan segala cara.

"Gue mau rapat dulu sama anak marketing," Qia menaruh gelasnya di wastafel dan menatap Gina yang masih menyesap kopinya. "Thanks, Gin, udah dengerin curhatan gue."

"Kayak sama siapa aja lo!" Gina mendekati Qia dan memeluk temannya singkat. "Inget pesen gue, kalau lo dijulidin mereka, julidin balik. Lo punya Anggina Widiatri di kantor ini, jadi tenang aja."

Qia mengibaskan tangan. "Jago gue mah!"

Sebelum rapat, Qia kembali ke kubikelnya untuk memastikan make up-nya telah menutupi bekas cakaran Adriana kemarin. Orang-orang sudah mencecarnya soal perselingkuhan, Qia malas menambah-nambahya lagi dengan komentar mereka soal bekas luka ini.

Begitu dirasanya siap, setelah menarik napas panjang, Qia pun berjalan menuju ke lantai dua kantornya, tempat di mana ruang rapat dan diskusi berada. Sesampainya di sana, Qia langsung disambut oleh sapaan Mas Wage, dan enam orang pegawai marketing lainnya.

"Duh yang followers instagramnya menanjak cantik. Seger amat nih kayaknya, Qi," goda Mbak Anas, senior marketing kantornya, begitu Qia telah duduk bergabung dengan mereka.

"IRame ya instagram kamu. Aku speechless loh liat ada tukang netflix nyasar di komentar postingan terakhir kamu, Qi,," sambung Ragil, bawahan Mbak Anas yang suka banget cekikikan.

Qia yang tahu bahwa ocehan mereka itu bukan pujian, cuma tersenyum manis dan membalasnya dengan nada yang sangat santai.

"Iya nih, Mbak. Aku juga bingung kenapa followerku menanjak cantik," sahut Qia belagak nggak tahu. "Aku kira sih awalnya cuma followers kepo, eh tapi malah banyak yang ngestalk feed aku sampai bawah. Terus banyak yang komen feed aku keren gitu, berkonsep dan informatif. Bukan cuma foto pamer jalan-jalan atau tas baru doang," Qia menekankan kata jalan-jalan dan tas baru pada Mbak Anas. Membuat seniornya yang selalu sirik dengan pencapaiannya itu ternganga shock.

"Kalau gitu coba jadi influencer aja, Sist? Lumayan loh gaji endorsenya," timpal Mbak Anas lagi.

"Tentu dong, Mbak. Masa followers banyak disia-siakan?" balas Qia sopan. Sama sekali tidak gentar dengan sorot julid seniornya ini. "Nanti pas campaign SirKel udah mulai, aku akan pakai akunku untuk bantu promosi."

"Tapi kalau followers dari akun gosip, kayaknya harus dipertanyakan ya kualitas penggunanya. Pasti mereka bukan target pasar SirKel yang kebanyakan kaum milenial yang pintar-pintar."

"Yang penting engangement-nya dulu, Mbak," jelas Qia langsung. . "Emang sih followers aku sekarang kebanyakan akun palsu, tapi mereka juga berguna buat tingkatin insight. Biar postinganku berpotensi masuk ke explore orang lain yang pintar-pintar kayak Mbak Anas."

Muka ramah Mbak Anas berubah keruh. Ragil pun tampak kehabisan kata-kata. Sedangkan Qia, dia masih memasang wajah ramah sekalipun dia telah diserang julidan sana-sini.

Dalam hati, Qia terkekeh puas. Dia sudah cukup jatuh kemarin. Hari ini, tidak akan dia biarkan ada orang yang menginjak-injaknya lagi.

Mas Wage berdeham keras. "Bisa kita mulai meetingnya?"

"Bisa, Mas. Silahkan!" seru Qia dengan nada kelewat bersemangat. Membuat Mbak Anak dan bawahannya diam-diam mengumpat kesal.

Mas Wage mulai menjelaskan hal-hal apa yang harus harus disiapkan untuk menjalankan campaign "Selesai di Kenang" dua bulan lagi. Dari mulai menetapkan partnership, influencer, materi iklan, dan rencana pembuatan kompetisi pencarian cerita barang terbaik.

"Design feed, materi iklan, sama influencer, lo yang pegang ya, Qi," pesan Mas Wage pada Qia.

Qia langsung mengangguk. "Oke, Mas."

"Karena campaign ini bakal gede banget, kita mutusin buat kerjasama dengan Digital Agensi. Biar lo nggak keteteran nanti."

Dahi Qia mengerut. "Nama agensinya apa tuh, Mas?"

"OnTime. Lo tau kan?"

Jawaban Mas Wage membuat Qia kehilangan kesadaran beberapa detik.

"Ap—apa, Mas?" tanya Qia tergagap. "Nama perusahannya apa?" tanyanya lagi. Siapa tahu dia salah dengar. Nggak mungkin kan kantornya bakal kerjasama dengan kantor mantannya?!

"OnTime," ulang Mas Wage lagi. "Itu loh digital agensi yang lagi naik-naiknya. Deadline mereka selalu tepat waktu. Cocok sama ritme kerja SirKel. Kemaren gue udah meeting sama Art Director mereka, dan mereka setuju. Kantor mereka juga bakal pindah ke lantai dua empat gedung ini minggu depan. Jadi lo nggak perlu meeting jauh-jauh nanti."

Seketika kepala Qia pening. Seluruh kenyataan yang dilontarkan Mas Wage benar-benar meruntuhkan pasokan energinya dalam sekejap. Apa kata Mas Wage tadi? Kantor Ervan akan pindah ke gedung ini juga?! Luar biasa sekali!!!

"Btw, sabtu besok lo ke Bandung ya, Qi. Kementrian Ketenagakerjaan lagi adain seminar buat pekerja kereatif. Lo jadi perwakilan SirKel ke acara itu ya?"

Mata Qia melotot. "Hah?! Gue, Mas?!"

Mas Wage mengangguk.

"Tap—tapi gue belom berpengalaman—"

"Acaranya gampang kok. Lo tinggal duduk dengerin doang," potong Mas Wage. "Udah pokoknya lo dateng sabtu besok."

Tentu saja Qia tidak bisa membantah permintaan orang yang telah mencalonkannya sebagai manager. Jadi, walau setengah hati, Qia pun terpaksa mengangguk.

=Say Bye=

"Makan di luar yuk!"

Qia terlonjak kaget saat Adi tahu-tahu muncul di  depan kubikelnya. Kontan, ditatapnya cowok itu kesal.

"Nggak!" tolak Qia tanpa basa-basi. "Gue bawa bekel," Qia menunjuk kotak makannya di meja.

"Makan bekelnya di luar aja. Bareng gue."

Qia mendecak malas. Ditatapnya Adi yang kini menatapnya melas. "Gue lagi nggak mood keluar, Di."

"Makanya kita keluar biar naikin mood lo," ujar Adi kalem. Dia lalu masuk ke dalam kubikel Qia lalu mengulurkan tangannya pada cewek itu. "Yuk? Please. Gue nggak ada temen makan nih."

Gara-gara kabar dari Mas Wage tadi pagi, sebenarnya Qia males ke mana-mana. Apalagi saat tahu temen makannya, Gina, lagi ada meeting di luar. Makin magerlah dia. Tapi ketika Qia mengingat Adi yang bela-belain mengantar ponsel dan totebagnya ke kosannya kemarin, otomatis Qia jadi nggak bisa nolak ajakan cowok itu.

"Nggak usah gandeng-gandeng tapi!" seru Qia sambil menepuk uluran tangan Adi.

"Siapa juga yang mau gandeng. Orang gue mau bawain bekel lo yee," balas Adi ngeles, sembari mengambil tas tupperware milik Qia.Qia cuma mencibir sebal.

"Mau makan di mana sih, Di?" tanya Qia begitu mereka sudah di mobil Adi. "Jangan jauh-jauh. Kerjaan gue banyak."

"Ke tamanbelakang kantor kita doang kok."

"Emang ada taman di belakang gedung kantor kita?"

Adi menatap Qia dengan sorot tak percaya. "Lo selama kerja di sini ngendep di kubikel mulu ya?

"Gue mager ke mana-mana," balas Qia sambil memasang seatbeltnya. "Udah cepet deh jalan. Keburu istirahatnya abis."

Taman belakang yang di maksud Adi ternyata lebih mirip hutan kota berukuran mini. Karena lokasinya ditutupi oleh gedung-gedung tinggi, dan aksesnya lumayan jauh karena harus memutari jalan, taman yang harusnya digunakan sebagai tempat para pekerja melepas penat, jadi beralih fungsi menjadi tempat mangkal ojek online.

"Sepi ya? Padahal bagus. Adem lagi. Nemu aja lo tempat beginian," komentar Qia begitu mereka sudah duduk di bangku beton yang ada di bawah pohon trembesi.

Adi yang sedang membuka bungkusan nasi padang yang dibelinya tadi tampak tersenyum puas. "Gue nemu pas abis pulang Jumat-an minggu lalu. Pertama kali gue liat, gue langsung mikir, 'wah cocok nih buat jadi tempat pacaran' makanya gue ajak lo."

Qia melongo. Adi tergelak melihatnya.

"Lo punya cewek nggak sih, Di?" tanya Qia tiba-tiba. Adi menelan makanan di mulutnya dan menatap Qia heran.

"Kenapa mendadak nanya cewek?"

Qia menggedikan bahu. "Abis lo flirtingin gue mulu. Kalo lo punya cewek, bisa-bisa gue mengulang kesalahan yang sama."

Adi tertawa. "Percaya atau nggak, tapi sejak lulus SMA, gue nggak punya cewek sama sekali."

Qia memutar mata. "Kalimat seluruh buaya darat di bumi sama semua ternyata."

Adi menghentikan makannya sejenak. Lalu memandangi Qia yang sedang memotong ayam goreng dari kotak bekalnya dengan sendok.

"Gue beneran nggak punya cewek."

"Iya gue percaya, Di," balas Qia dengan nada yang terdengar sebaliknya.

"Kalo gue bercanda, lo anggepnya serius. Kalo gue serius, lo anggep gue bercanda," komentar Adi dengan decakan panjang

Qia mendongakkan kepalanya. Menatap Adi yang tampak tidak tertawa atau nyengir sedikit pun. Ekspresinya sekarang tak kuasa membuat Qia percaya dengan pengakuan cowok itu tadi.

"Kok bisa lo nggak punya?" tanya Qia, sedikit shock mengetahui spesies fakboy macem Adi nggak punya cewek selama delapan tahun. "Emang uni-uni Malaysia nggak ada yang nyangkut sama lo?"

Adi menggeleng. "Gue sibuk kuliah sama bantuin usaha restoran bokap. Kayak anak pesantren gue di sana."

Qia mengunyah makanannya sampai habis. Matanya melotot takjub. "Tobat delapan tahun tapi bakat ngalusnya masih jago. Keren lo, Di!"

"Ck! Ngapa jadi bahas gue sih? Kan yang mesti gue tanya-tanya elo." Setelah menegak air mineralnya, Adi mengembuskan napas panjang dan memandang Qia lagi. "Kantor gimana tadi? Ada yang rese sama lo nggak?"

Pertanyaan Adi mengingatkan Qia dengan kejadian saat rapat tadi. Dia emang bisa mengatasi kejulidan Mbak Anas dan genknya, tapi setelah dia keluar ruang rapat, Qia nggak bisa menahan ketakutannya saat melihat berbagai macam tatapan orang di kantor. Tidak terang-terangan memang, tapi Qia sadar betul bahwa hari ini dia adalah topik hangat yang menjadi gibahan seluruh warga SirKel.

"Ada," jawab Qia sambil menyeringai kecut. "Tapi gue resein mereka balik."

"Qia adalah Qia! Nggak heran gue." Adi tersenyum. "Terus masalah lo sama Geo gimana?"

"Udah kelar," kata Qia setelah menelan makanannya. "Gue juga udah damai sama ceweknya. Tinggal bacotan netizen budiman aja yang belom selesai."

"Entar juga ilang sendiri," kata Adi menenangkan. "Lagian, akun gosip yang nyebarin video lo juga ilang tuh."

Mata Qia melebar kaget. "Serius lo?"

Adi mengangguk. "Emang lo belom liat?"

"Belom. Gue masih takut ngecek IG."

"Ya udah, nanti-nanti aja bukanya. Nunggu adem dulu. Kesel gue liat komenannya. Berasa pada bener aja manusia." Adi berdecak kesal. "Lo kenapa nggak ngelawan kemarin? Dulu lo selalu bisa ngelawan kakak kelas yang ngelabrak lo."

"Posisi gue itu orang ketiga. Kalo gue ngelawan, makin habislah gue dicecer."

"Tapi lecet-lecet di muka lo—"

"Udah sembuh," tukas Qia enteng.

Adi terdiam. Matanya memandangi Qia yang kini tengah menegak air dari botol minum hijaunya yang bergambar kartun pororo. Selain keras kepala, ada satu hal lain yang belum berubah dari Qia, cewek itu tidak suka terlihat lemah. Persis seperti abangnya.

"Cari gue ya, Qi."

Perkataan Adi membuat Qia menoleh pada cowok itu lagi.

"Apaan?" ulang Qia, gara-gara angin di taman yang mendadak kencang, suara Adi jadi mggak kedengeran.

Adi tersenyum, lalu menekankan kalimatnya dengan suara lebih jelas.

"Kayak yang lo kemarin bilang, kalau lo ngerasa udah nggak sanggup, cari gue."

=Say Bye=

Obrolannya dengan Adi ternyata cukup membuat Qia melupakan masalahnya sejenak. Mood-nya yang sebelumnya anjlok total, mulai kembali normal saat mendengar ocehan Adi tentang kendala bahasanya selama tinggal di Malaysia. Qia bahkan bener-bener ngakak waktu Adi bilang dia sengaja ngajarin teman-teman kampusnya bahasa Lo-Gue dengan logat Jaksel agar tu cowok berasa tinggal di Indonesia.

Namun begitu dia kembali ke kantor, mood Qia yang sudah membaik itu, mendadak bubar jalan lagi ketika orang yang paling dihindarinya setengah mati, mendadak muncul dan masuk ke dalam lift yang dinaikinya bersmaa Adi.

Ervan Hardian. Siapa lagi?

"LO NGAPAIN GILA?!" tanya Adi heboh, begitu Ervan berdiri di samping kiri lift.

Ervan yang tadinya terlihat kaget ketika melihat Qia dan Adi di dalam satu lift, buru-buru menetralkan ekspresinya dan merespon seruan Adi.

"Kantor gue di lantai dua empat. Lo sendiri ngapain di sini?" tanya Ervan balik.

Adi melirik Qia yang terdiam kikuk di tengah mereka. "Gue sekantor sama Qia."

"Oh ya?" Ervan tampak kaget. "Di SirKel juga lo?"

"Yoi."

"Bagian apa?"

"Developer. Lo?"

"Dia CEO sekarang, Di."

Jawaban Qia itu bukan cuma membuat Adi ternganga, tapi membuat Ervan refleks melihat Qia yang kini tersenyum simpul padanya. Setelah kejadian di kafe kemarin, Ervan takjub dengan cara Qia yang bisa bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

"Beneran, Van? Direktur lo sekarang?" tanya Adi, menyentak Ervan dari lamunan.

"Ya gitulah," jawab Ervan canggung.

Adi menepuk-nepuk bahu Ervan. "Salut gue. Makin tak tertandingi aja lo, Van. Gila!! Temen gue keren banget!"

"Alaaah!!! Ngomong apaan sih lu, Di!" Ervan tertawa pelan. Lalu kembali menatap Qia. "Qi."

"Ya?" sahut Qia, dengan nada yang seberusaha mungkin terdengar wajar.

"Kemaren lo nggak apa-apa?" tanya Ervan hati-hati. Qia yang sudah menduga masalahnya kemarin akan ditanyakan Ervan, hanya mengangguk tenang.

"Nggak apa-apa," jawab Qia. "Kemaren salah paham biasa doang."

"Bener?"

"Iya."

Tidak lama setelah percakapan singkat yang sangat canggung itu, pintu lift terbuka. Karena lantai kantor SirKel di bawah OnTime, Qia dan Adi keluar lebih dulu.

"Van, gue sama Qia duluan ya. Nanti kabar-kabaran aja lagi," kata Adi sebelum dia melangkah keluar lift.

Ervan mengangguk. "Whatsapp gue aja."

"Sip!"

"Bye, Van!" pamit Qia sambil melambaikan tangan singkat pada Ervan.

Ervan hanya membalasnya dengan senyum tipis. Ketika Adi dan Qia berjalan menjauh, lalu pintu lift kembali tertutup, senyumnya hilang saat itu juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top