4. Merangkai Kebohongan
"Setelah delapan tahun ngilang, orang pertama yang dia temuin elo. Kalo emang bukan sama Ervan, mungkin jodoh lo Adi, Qi."
Kesimpulan Ribby membuat Qia
yang sedang mencuci daging ayam untuk bakar-bakaran nanti malam, tertawa ngakak. Ribby jadi jengkel sendiri ngeliatnya. Padahal kan dia lagi serius.
"Kenape tau-tau jodoh si? Gue ketemu Adi kebetulan doang," sangkal Qia dengan nada geli.
"Justru karena kebetulan, gue yakin lo berdua jodoh tau!" sahut Ribby sembari melanjutkan aktivitasnya memotong semangka. "Lagian, bisa-bisanya dia ngilang delapan tahun, terus ujuk-ujuk ketemu sama lo. AADC banget woy!"
"Harusnya kemaren gue bilang 'Apa yang kamu lakukan ke saya itu jahat!' sama dia."
"Bukan dia yang jahat, tapi elo!" koreksi Ribby telak, "Emang siapa yang bisa nolak cinta fakboynya Grafika berkali-kali selain The Queen Aqira?"
Qia ngakak lagi. Kalau nggak diingetin Ribby, mungkin dia lupa Adi termasuk f*ck boy dulu.
Gimana nggak? Ceweknya Adi dulu kalau digabungin bisa ngebentuk klub cheerleaders sendiri saking banyaknya. Padahal mah tampang Adi biasa aja. Lumayan, tapi pasaran abis. Nggak ada yang istimewa. Nggak se-charming Pandu atau Ervan, satu-satunya yang menjadi kelebihan Adi mungkin cowok itu khatam cara gaet cewek. Berbalik sama Ipank yang bego banget cara ungkapin perasaan, Adi jagonya sepik. Mulutnya manis banget kek gula. Keahliannya bikin cewek meleleh walau cuma lewat kata-kata nyaris nggak penah gagal. Terbukti, dari cewek-cewek yang deket sama Adi dulu rata-rata masih cewek cantik dan populer. Riani, Dennise, Tinka, Bianca... Qia yakin Adi punya buku absen sendiri untuk mengurutkan cewek-ceweknya dulu.
"Alesan lo nolak Adi dulu tuh apa sih, Qi?" tanya Ribby, sembari berjalan menuju wastafel dapur untuk mencuci peralatan masak yang tadi dia gunakan bareng Qia saat membuat gulai daging.
"Ya karena dia fakboy. Kurang alesannya?"
"Tapi yang dia suka beneran kan elo. Orang dia suka sama lo dari SMP, ya kan?"
"Dia nggak serius, Bi," sangkal Qia santai. "Adi suka godain gue dulu gara-gara gue adeknya Ipank aja. Dia tau kalo Ipank posesif banget sama gue, makanya dia deketin gue mulu biar abang gue marah. Kalo dia beneran suka sama gue, tu orang pasti bakal ngomong seriuslah. Bukan cuma manggil sayang-sayang sambil cengengesan doang pas ketemu di luar kelas."
Ribby manggut-manggut. Paham dengan maksud Qia. Iya sih, walau Adi selalu terang-terangan bilang suka sama Qia di sekolah, nyatanya sampai mereka lulus cowok itu nggak pernah ada pergerakan serius buat nembak Qia beneran. Adi selalu terlihat bercanda, jadi wajar kalo Qia nolak dia mulu setiap kali Adi melancarkan aksi pernyataan cintanya yang garing itu.
"Padahal ya, Qi, menurut gue Adi bisa dikategorikan oke," komentar Ribby kemudian. "Tampang lumayan, pinter juga, dia juga nggak pernah buat kasus di sekolah. Nggak kayak mantan sama abang lo dulu tuh."
"Apaan-Apaan!"
Seruan Ipank yang baru kembali dari indomaret untuk membeli beberapa krat minuman kaleng dan camilan, menginterupsi obrolan Qia dan Ribby di dapur. Melihat cowok itu, lantas Ribby melontarkan pertanyaan.
"Pank, kalau Qia sama Adi. Kamu setuju nggak?"
"Emang Adi deketin dia lagi?" tanya Ipank balik, seraya berjalan menuju dapur.
"Ya siapa tau aja!" Ribby melirik Qia yang kini menatapnya sengit. "Buktinya kemaren mereka ketemu lagi. Kamu tau kan si Adi suka banget sama Qia dulu."
Ipank tidak langsung menyahut, cowok itu berjalan menghampiri Qia, duduk di pinggir pantry, lalu menepuk-nepuk kepala adiknya sambil memberi sedikit ceramah.
"Maen yang jauh, Qi. Masa dapetnya temen gue mulu?"
Qia mendelik ke arah Ipank. "Heh! Temen-temen lo tuh yang gatel sama gue!" balas Qia dongkol. "Lagian, elo harusnya ngaca! Liat tuh siapa calon bini lo! Temen gue! Hih!"
Ipank ketawa. Perhatiannya lalu beralih pada Ribby.
"Kalau aku sih nggak setuju, Bi," katanya serius. Ribby jelas ikut serius menanggapinya. "Karena kalo mereka jadian, terus putus, nanti awkward lagi. Makin susah kita ngumpul bareng," lanjutnya lagi. Qia yang tahu itu sindiran, jelas langsung melotot dan berteriak murka.
"IPANK!!!"
Sebelum Qia mengejar lalu menjambaknya seperti kebiasaan adiknya itu, Ipank lebih dulu kabur dari dapur sambil terus ceng-cengin Qia soal dia yang bakal ketemu Ervan hari ini. Qia yang ngeliatnya cuma bisa menggeram sebal. Sumpah ya! Abangnya itu bentar lagi 28 tahun, tapi kenapa kelakuannya masih kayak anak SMP baru lulus sihhh?!
"Bi, sebelom lo nikah sama manusia itu bulan depan, mending lo pikir-pikir lagi. Gue rela kok kita nggak jadi iparan demi kesehatan mental lo," pesan Qia pada Ribby dengan nada penuh dendam.
Ribby yang dengernya cuma mengulum tawa dan menganggguk.
"Iya, Qi. Kayaknya gue butuh sholat istikharah lagi."
Selesai dengan gangguan Ipank tadi, Qia dan Ribby kembali sibuk menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan untuk acara kumpul-kumpul nanti malam. Dari mulai tikar, kipas angin, karpet, dan minuman soda yang tadi dibeli Ipank, semuanya dibawa ke halaman belakang rumah mereka.
Sejak acara kemenangan Ipank pada Sea Games sembilan tahun lalu, rumahnya emang mendadak jadi markas dadakan. Lokasi rumahnya yang dekat dari kebanyak rumah temannya, banyak pohon, halaman belakangnya yang luas, dan selalu gampang dikunjungi membuat Geng SOS betah bolak balik ke sini. Terlebih saat ibunya memutuskan tinggal bersama Mbah Uti-nya di Jogja dua tahun lalu, makin kosonglah rumah ini, makin cocok buat dijadiin tempat main sampe pagi.
"Kata Ribby cowok lo mau dateng? Kapan?" tanya Ipank, saat mereka sudah selesai beres-beres dan duduk di sofa ruang tivi.
Qia yang sejak tadi bolak-balik mengecek ponselnya untuk menunggu balasan chat dari Geo, lantas mendongak.
"Abis Maghrib juga. Barengan sama anak-anak."
Ipank manggut-manggut. "Seru nggak anaknya?"
"Emang kenapa?"
"Engggak!" Ipank mengalihkan pandangannya ke tivi lagi. "Takutnya cowok lo nggak nyambung sama kita. Entar kesannya dikacangin lagi."
Qia mengibaskan tangan. "Santai aja."
Geo emang sosok yang friendly. Dia gampang berteman dengan siapa pun. Pengalaman serta wawasannya juga luas, hingga dia nggak akan pernah kehabisan topik buat ngobrol. Qia nggak perlu khawatir Geo dikacangin, karena cowok itu pasti mudah menyesuaikan diri dengan teman-temannya.
"Temen kantor lo?"
Qia menggeleng. "Temen skripsian."
"Udah lama pacarannya?"
Qia mendecak. "Mulai deh introgasinya!"
"Kan gue mau tau cowok adek gue," jelas Ipank kalem.
"Entar lo bisa kenalan sendiri."
"Iyee!" sahut Ipank, tidak mau berdebat lebih panjang dengan Qia.
"Nanti lo jangan tanya cowok gue macem-macem ya," pesan Qia mengingatkan. Membuat Ipank kembali menatapnya dengan satu alis terangkat.
"Macem-macem gimana?"
"Ya kayak lo biasa nanyain cowok-cowok yang deketin gue dulu. Pake nanya lagi," sungut Qia, sebal dengan tingkah Ipank yang belagak lupa sama apa yang dilakukannya pada cowok-cowok yang berusaha mendekatinya. "Jangan bikin dia kabur. Gue baru sebentar sama dia."
"Kalo dia bener nggak bakal kabur lah," kata Ipank tandas. "Tadi lo minta gue kenalan sendiri, tapi lo nggak mau gue tanya-tanyain dia. Aneh. Lagian, kalau Bapak masih ada juga pasti ngelakuin—
"Senjata lo itu mulu ya?" potong Qia defensif. Ipank yang tadinya bersandar di sofa, lantas menegap dan menatap adiknya dengan alis menyatu. "Setiap kali gue nggak sepaham sama lo, pasti bawa-bawa Bapak. Pank, gue udah gede. Gue bisa nentuin apa yang terbaik buat gue sendiri."
"Terakhir kali lo bilang bisa nentuin apa yang terbaik buat lo, bapak nggak ada."
Apa yang dikatakan Ipank seperti menyiram bensin di api kemarahan yang Qia pendam semalaman. Cukup membuat Qia tidak sengaja meluncurkan kalimat-kalimat perlawanan yang tanpa sadar berpotensi menyakiti abangnya lagi.
"Enak ya jadi lo, Pank," kata Qia, sama sinisnya. "Satu kesalahan fatal gue pasti cukup menutupi kesalahan-kesalahan lo yang lain. Lo pasti tenang, dan jadi ngerasa nggak punya dosa sama Bapak."
Ipank terbungkam. Qia pun sama. Sebab cewek itu baru menyadari apa yang dikatakannya tadi sudah sangat ke lewat batas. Qia langsung dihujam rasa bersalah begitu melihat abangnya tidak marah sama sekali.
"Kak Elang—" Qia mengit bibirnya yang kaku. Kedua tangannya mencengkram rambutnya sendiri. "Sorry gue.... Maaf.... maaf.... tadi Qia... nggak maksud nomong gitu."
Ipank menghela napas berat. Berulang kali melihat pola yang sama membuat Ipank tahu alasan di balik Qia bertingkah seperti ini. Karena Ervan. Sekalipun Qia bersikeras bilang sudah melupakan cowok itu sepenuhnya, Ipank tahu adiknya ini pasti kelimpungan ketika Ervan mendadak mengumumkan berita pertunangan. Ipank sendiri sebenarnya diam-diam kecewa dengan berita itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Alasan putus keduanya yang membuat Ipank tidak bisa membenci Ervan atau menghalangi keputusan Qia yang ingin menerima cowok itu lagi sebagai teman.
Mereka cuma sudah berbeda jalan. Itu saja. Dan tidak ada yang bisa Ipank lakukan untuk mengatasi masalah satu itu.
Ipank bangkit dari sofa, berjalan menghampiri Qia, dan duduk di samping adiknya. Tanpa mengatakan apa-apa, ditepuk-tepuknya punggung Qia yang kini menatapnya dengan sorot menyesal.
"Maafin gue juga. Salah gue juga pake ungkit-ungkit Bapak," kata Ipank menyesal. "Kita hari ini nggak jadi ngumpul aja deh. Atau lo nggak usah ikut?"
Qia jelas menatapnya bingung. "Hah? Kenapa?"
"Setiap kali lo mau ketemu Ervan, pasti lo begini." Ipank menyingkirkan dua tangan Qia yang tadi tengah mencengkram rambutnya sendiri "Marah-marah. Terus ngajakin gue berantem. Hapal banget gue."
Qia menggeleng keras. "Nggak, Pank. Bukan gitu. Lanjutin aja acaranya. Nggak apa-apa. Gue tadi cuma—"
Kalimat Qia terputus. Bagaimana mungkin dia bilang sama Ipank kalau di balik sikap menyebalkannya tadi ada Geo yang tidak menjawab pesannya sama sekali? Bagaimana mungkin Qia mengatakan bahwa dia gelisah karena Ervan mungkin saja membawa pacarnya juga nanti? Bagaimana mungkin Qia mengatakan bahwa dia kebingungan harus bersikap seperti apa ketika bertemu cowok itu lagi?
"Gue tau, Qi. Gue paham situasi lo sekarang," ujar Ipank maklum. Sorot mata dan cara bicaranya yang penuh pengertian membuat Qia sedikit lebih tenang. "Kalau lo ngerasa canggung, mending nggak usah dateng."
Qia menggeleng cepat. "Nggak-nggak! Gue bakal dateng."
"Qi, nggak usah maksa--"
"Gue cuma nggak mau kelihatan kayak pecundang, Pank!" tukas Qia dengan senyum masam.
Ipank menatap Qia sangsi.
"Please! Pank, dukung gue!" pinta Qia memelas. "Dukung gue agar keliatan keren di depan dia. Oke? Kak Elang baek deh!"
Ipank bangkit dari sofa. Tanpa mengiakan atau menolak, cowok itu hanya menatap Qia dengan sorot "terserah."
"Gue baru sadar kalau lo beneran mirip gue. Batu!"
Setelah mengatakan itu, abangnya ngeloyor masuk ke dalam kamar begitu saja. Ribby yang baru kembali dari halaman belakang, jelas bingung melihat pemandangan itu. Ekspresi Ipank yang semrawut, dan Qia yang sumpek membuat cewek itu bertanya-tanya.
"Kalian kenapa?" tanya Ribby begitu duduk di samping Qia.
Qia tersenyum geli. "Abis perang."
"Lagi?!" sahut Ribby melotot.
Qia ngakak. "Emang sesering itu ya gue berantem sama dia?"
Ribby menatap Qia khawatir. "Kenapa lagi?"
"Nggak kok, Bi. Cuma debat biasa aja."
"Serius?"
Qia mengangguk yakin. "Serius."
"Maaf ya kalau Ipank nyebelin. Atau mungkin omongannya nyinggung lo," kata Ribby, dengan nada menyesal.
"Nggak, Bi!" tekan Qia gemas. Dia menggenggam tangan sahabatnya lalu menatapnya lurus-lurus. "Gue tarik omongan gue tadi. Lo nggak perlu mikir apa pun lagi. Lo emang harus kudu wajib nikah sama abang gue bulan depan!"
=Say Bye=
Ketika hampir semua temannya telah datang, Geo belum juga kelihatan. Nomornya juga tidak bisa dihubungi. Qia terus membombardirnya dengan ratusan chat dan panggilan, tapi semuanya tidak ada yang sampai. Pesannya hanya berakhir pada tanda centang satu.
Tidak mau terlihat panik di depan teman-temannya, Qia memaksakan sikapnya sewajar dan senormal mungkin. Seperti rencananya, sekalipun Geo memang benar-benar tidak datang, Qia harus tampak baik-baik saja malam ini.
"Lo masih di SirKel, Qi?" tanya Pandu, ketika mereka sedang membahas pekerjaan masing-masing di halaman belakang rumah.
Qia mengangguk. "Masih, Ndu."
"Lama juga ya lo di sana. Nggak capek lo? Gue denger dari temen gue, kerja di situ kayak romusha."
Qia tertawa. "Emang sih kerjaanya kadang bikin gue tipes enam bulan sekali. Tapi nggak semengerikan temen lo bilang kok. Masih wajar."
"Cuannya gede, Ndu," timpal Ipank, yang langsung kena senggol Qia. "Makanya ni anak betah."
"Emang posisi lo sekarang apaan, Qi?" tanya Pandu penasaran.
"Dulu megang medsos specialist, tapi sekarang gue udah jadi manager."
"Udah naik jabatan nih? Keren lo!" puji Pandu.
"Alah! Biasa aja! Kerenan juga elo!" puji Qia balik. "Lo kapan keluarin film baru lagi, Ndu?
"Setahun lagi kayaknya. Masih tahap produksi."
"Tentang apa tuh filmnya?"
"Nanti aja lo liat. Masih rahasia negara."
Qia mengacungkan jempolnya pada Pandu. "Gue doain box office!"
"Aminn! Thanks, Qi!"
"Kecuali Pandu, kayaknya hampir semua dari kita nggak ada yang kerja sesuai passion ya?" komentar Ribby. Yang langsung disetujui Ipank, Alvi, dan Eka yang lagi gitaran.
"Sisanya pada banting setir semua," timpal Alvi.
Eka mengangguk. "Kita cuma mengikuti takdir hidup, Bi."
Qia juga baru menyadari hal ini. Hampir semua temannya tidak ada yang bekerja sesuai cita-cita mereka. Ipank yang dulu aktif menjadi atlet taekwondo selama beberapa tahun, memutuskan berhenti dan menjadi pegawai negeri di Kemenpora. Ribby yang sempat kepengen jadi psikolog, kini malah menjadi HRD di perusahaan otomotif. Alvi yang berambisi menjadi pengusaha ikan lele, mengikuti keinginan orangtuanya untuk mengurus toko matrial milik keluarga mereka. Eka yang ingin meniti karier sebagai designer grafis, kini beralih peran menjadi youtuber horor. Adi yang dulu negebet jadi gitaris band terkenal semata-mata untuk terbar pesona sama cewek-cewek, ujung-ujungnya jadi web developper yang kerjanya duduk di depan laptop. Ervan yang bermimpi menjadi pitcher bisbol di klub nasional, berakhir mendirikan agensi seperti ayahnya. Dan dia sendiri yang sempat memiliki keinginan kuat untuk berkarier sebagai MUA , ujung-ujungnya jadi cungpret juga.
Cuma Pandu yang bekerja sesuai cita-citanya. Alias sebagai sutradara muda yang film-filmnya berulang-kali menang penghargaan.
"Cita-cita gue sekarang mah mau bikin kontrakan sepuluh petak aja. Biar tinggal nadahin duit doang tiap bulan, terus gue cabut deh jalan-jalan," kata Alvi penuh tekad. "Bunek gue kerja di matrial tujuh tahun. Yang diliat kalo gak pasir, semen, pasir, semen. Mana pelanggan gue kuli semua lagi, kaga pernah tuh gue liat cewek cakep mampir ke toko gua. Gimana mau laku gua! Masa lo pada mau nikah, gue masih pacaran sama gergaji?! Kaga adil anjir idup!"
Sambatan Alvi disambut ledakan tawa semua orang. Ekspresinya yang sangat mendalami peran seorang Koko-Koko Matrial, membuat Ipank sampe terpingkal-pingkal.
"Iya gua abis ini juga mau jadi vlogger pariwisata aja. Senam jantung gua bikin konten youtuber horor," sambung Eka kemudian. Gara-gara Alvi sambat, dia juga terpancing pengen ngeluh. "Selama ngeliput konten horor, ada aja gangguannya. Iya sih Adsense-nya gede, tapi kalo tarohannya gua kena tumbal, ogah dah. Monmaap sekian terima kaseh!"
"Emang gangguannya apa aja, Ka?" tanya Ipank di tengah-tengah tawanya.
"Lu pernah liat CPU melayang nggak, Pank?"
Ipank menggeleng.
"Nah itu gue pernah ngeliat!" seru Eka heboh. "Terus ban motor gue segala ilang lagi."
"Itu mah bukan setan, goblok! Mana ada setan pretelin ban motor!"
"Iya, udah gue duga itu kerjaannya Alvi!"
"Kenapa jadi gua si bangsat?!"
Di tengah ledakan tawa teman-temannya, Qia mendengar seruan salam dari arah pintu. Ketika Qia menoleh, tawanya berhenti seketika.
"Assalamuallaikum, sahabat!"
Itu Adi. Dan Ervan ada di sampingnya.
"BOCAH TOLOOOOOOOOL!!! NGAPAIN LO BALIK ANJIIIIIIIIIIIIIING!!!!!!!!"
"BRENGSEK!!! BENERAN MASIH IDUP DIA!!!!"
"INI NAJIS BANGET TAPI GUA BENERAN KANGEN BANGET GUA SAMA LU SIALAN KEPARAT GILAAAA!"
"CEBURIN!! CEBURINNN!!!"
Di antara hiruk pikuk itu tatapan Qia cuma tertuju pada Ervan yang sedang terbahak-bahak melihat Adi diarak teman-temannya ke kolam ikan.
"Here we go again! Pertunjukan segera dimulai," gumam Qia dalam hati.
=Say Bye=
Awalnya mereka cuma becanda buat cemplungin Adi ke kolam. Tapi gara-gara Eka keselimpet, Adi jadi nyemplung beneran. Dan apesnya, Ervan yang nggak sengaja ketarik Adi, ikut masuk juga ke dalam kolam. Alahsil, dua cowok itu basah kuyup sekarang.
"Kenapa gua ikutan dicemplungin sih?!" protes Ervan sengit.
"Elu yang masuk sendiri! Nyalahin gua!!!" balas Adi sama kesalnya.
Sementara Ipank, Eka, Alvi melihat itu cuma ngakak sampai terguling-guling, Ribby dan Qia langsung berkata "hadeh" dengan kompak. Keduanya nggak habis pikir sama kelakuan cowok-cowok ini. Tambah gede bukannya tambah waras, malah makin nggak jelas. Untung aja Ipank punya banyak baju ganti buat mereka berdua. Jadi Ervan dan Adi nggak harus pulang dalam kondisi basah-basahan.
"Ini baju ganti buat lo berdua."
Qia menyodorkan dua kaos dan jeans milik Ipank pada Ervan yang kini tengah menunggu giliran mandi di pantry. Karena kondisi Adi lebih kuyup, cowok itu lebih dulu masuk kamar mandi belakang tadi. Sedangkan Ervan yang cuma basah dari perut ke kaki, mengalah untuk mandi setelah cowok itu.
Waktu Qia datang, Ervan terpaku sejenak. Tapi begitu sadar, buru-buru Ervan tersenyum simpul dan mengambil baju itu dari tangan Qia.
"Thanks, Qi."
"Hape lo rusak?" tanya Qia, melirik ponsel Ervan yang basah di meja pantry.
Ervan menunjukan ponselnya yang masih menyala pada Qia. "Nggak kok. Tapi kalo nanti mendadak mati, gue rampok mereka buat gantiin."
"Bagus. Emang harus digituin anak-anak primata satu itu."
Ervan ketawa. "Adi sih yang parah. Dari ujung kepala sampe kaki basah semua."
"Oh kalau dia sih nggak apa-apa," seloroh Qia lagi. "Itung-itung perayaan delapan tahun sekali."
Tawa Ervan berganti dengan senyum tipis. "Kok bisa ketemu Adi kemaren?"
Qia menggedikan bahu. "Nggak tau tuh. Alien satu itu tiba-tiba muncul di kampus kita dulu."
Mata Ervan melebar. "UNB?"
"Iya."
"Ngapain?"
"Nyokapnya dosen di sana," jawab Qia pendek. Ervan cuma ber-ohh panjang saat menanggapinya. "Btw, cewek lo mana? Kok nggak diajak?"
Ervan terlihat diam sebentar saat Qia mengajukan pertanyaan itu. Tapi tak lama dia menjawabnya dengan mudah, "Dia lagi ada kerjaan di Bandung."
"Kapan lo nikah sama dia? Tahun ini?"
Lagi-lagi Ervan terdiam. Sama sekali tidak menyangka bila Qia akan terang-terangan menyinggung pernikahannya dengan begitu gampang.
"Iya, tahun ini. Tiga bulan lagi gue tunangan."
Qia tersenyum. "Selamat ya, Van. Semoga lancar acaranya sampai sah."
Ervan tersenyum kaku. "Makasih, Qi."
"Ya udah gue balik ke yang lain deh. Suruh Adi mandinya cepetan, nanti lo keburu masuk angin duduk di sini basah-basahan."
Ketika Qia hendak berbalik badan, tiba-tiba Ervan melontarkan pertanyaan yang membuat langkah Qia tertahan.
"Lo baik-baik aja?"
Qia menoleh dan mengangguk. "Ya dan semoga lo juga selalu baik-baik aja. Seperti sekarang."
Ketika Qia secepat kilat pergi dari hadapan Ervan setelahnya, Ervan pikir dia memang sudah benar-benar dilupakan. Cowok itu tidak pernah tahu bahwa alasan Qia mempercepat langkahnya semata-mata agar dia tidak lebih lama kepayahan karena harus merangkai banyak kebohongan dan penyamaran.
=Say Bye=
"Jadi lo nikah kapan, Van?"
Tanya Eka pada Ervan ketika cowok itu sudah kembali ngumpul dengan mereka.
"Tunangan," koreksi Ervan. "Nikahnya masih lama."
"Sama aja keles!" ledek Alvi. "Kemaren gue stalk calon lo tuh, gila, semedi berapa malem lo sampe bisa dapetin Miss Indonesia?"
Ervan tidak menanggapi ocehan Alvi, dan justru mengalihkan pandangan pada Adi dan Ipank yang lagi ngobrol berdua. "Mending kita bahas si Adi aja."
"Bener juga!" sahut Alvi. Perhatiannya kembali pada Adi. "Woy, Di! Ceritain dong! Lo ke mana aja selama ini?"
"Tau! Diem-diem aja lo! Kasih kita klarifikasi kek," sambung Pandu lagi.
Ketika semua temannya sibuk menanyai Adi, diam-diam Ervan mengalihkan pandangannya pada Qia yang sejak tadi bermain ponsel tanpa mau bergabung dengan teman-temannya. Tadinya Ribby menemani cewek itu mengobrol, tapi ketika Ribby masuk ke dalam rumah untuk mengambil sesuatu, Qia tinggal sendiri di sana.
"Di Malaysia gue."
Jawaban Adi membuat Ervan dan Qia menoleh ke arah cowok itu.
"Gue ikut bokap gue ke sana," jelas Adi singkat.
"Itu mah kita udah tau," decak Alvi, "Yang gue tanya, kenapa lo nggak hubungin kita lagi? Lo kira sekarang jaman batu apa? Kan ada hape, ada skype, ada ig, tiktok, youtube, facebook, emang lo nggak bisa sekali aja ngabarin kita gitu? Walau lo sekadar bilang, 'woy gue baru ketemu upin ipin nih di Malaysia! Lo mau liat nggak' pasti kita dengerin kok."
"Tau lo, Di! Si Ipank noh kelabakan nyariin lo," kata Pandu sambil melirik Ipank yang tidak berkata apa-apa. Cowok itu sudah dengar cerita Adi lebih dulu, makanya dia diam.
"Ortu gue bubar. Kacau banget gue waktu itu...., "Adi terdiam sejenak. Cowok itu meminta rokok Ipank sebelum kemudian dia kembali menjelaskan. "Bingung gue jelasinnya."
Adi mengatakannya dengan nada bercanda. Tapi kalimat itu cukup membuat semua temannya memilih tidak bertanya lagi. Walaupun mereka sudah lama tidak bertemu, mereka paham, bila hal-hal seperti ini bukan sesuatu yang bisa dikatakan dengan terbuka seperti sekarang. Masalah seperti ini hanya bisa diceritakan jika cowok itu ingin, bukan karena terpaksa.
"Yang penting lo sehat dan merdeka kan sekarang?" tanya Ipank sambil menepuk-nepuk bahu Adi.
"Yoi," Adi tertawa pelan. "Seneng gue ketemu lo semua lagi."
Lama mereka terdiam. Suasana mendadak canggung. Hingga satu suara memecah keheningan itu.
"Adi," panggil Qia.
Adi menoleh. Begitu pun Ervan, Ipank, dan yang lainnya.
"Makasih ya udah pulang. Kita juga seneng liat lo lagi," ujar Qia tulus dengan senyum di wajahnya.
Adi tertegun. Ketika dia hendak menanggapi, Qia keburu bangkit dari duduknya dan meraih tasnya.
"Ngomong-ngomong gue cabut duluan ya semua!"
"Lo mau ke mana, Qi? Katanya cowok lo, si Geo-Geo itu mau dateng?" tanya Ipank heran, bingung karena Qia yang mendadak mau pulang.
Qia tersenyum kikuk. "Dia jemput gue di depan. Tapi nggak mau dateng, belum siap ketemu lo katanya."
Dahi Ipank berkerut. "Lo nggak mau nginep di rumah aja? Kan besok masih minggu?"
"Ada kerjaan yang gue tinggal. Gue lupa bawa laptop."
Sebelum Ipank mencecarnya dengan banyak pertanyaan, Qia lebih dulu pamit ke semua temannya, kemudian pergi dengan meninggalkan banyak tanda tanya di kepala orang-orang yang dia tinggalkan.
Terutama Adi dan Ervan.
=Say Bye=
Tidak ada yang menjemputnya malam ini. Geo tidak datang. Tidak bisa dihubungi. Menghilang tanpa jejak. Padahal tadi siang, cowok itu bilang bahwa dia akan berangkat jam lima sore. Tapi sampai jam menunjukkan pukul sebelas malam, Geo tidak memberi tanda-tanda akan hadir.
Qia tidak kecewa. Tidak juga marah. Perasaannya pada cowok itu sudah mati sejak kemarin. Hanya saja, kalau tau Geo tidak akan muncul, dia tidak perlu bilang pada Ipank bahwa cowok itu akan hadir. Dia juga tidak perlu berbohong pada Ipank bahwa Geo menjemputnya tadi semata-mata takut dengan reaksi Ervan bila tahu pacar yang diundangnya tidak datang. Dia juga tidak perlu lari secepat kilat dari rumah, kemudian bersembunyi di tembok tumah tetangganya alih-alih takut Ipank mendadak keluar rumah dan menanyakan Geo di mana.
Qia tersenyum pahit. Dia pikir semua kebohongan ini bisa membuatnya tidak terlihat menyedihkan. Namun alih-alih demikian, kebohongan ini justru membuat hidupnya semakin lucu dan perlu ditertawakan.
"Lo baik-baik aja?" Qia mengulangi pertanyaan Ervan tadi sambil tertawa. "Lo pikir aja tolol!" makinya kemudian, membuat abang tukang bakso yang lewat di sampingnya, menatapnya horor.
"Kenapa, Neng?" tanya si Abang, ngeri dengan Qia yang tertawa-tawa sendiri di sepanjang trotoar jalan raya.
"Ditinggal nikah mantan saya, Bang," jawab Qia langsung. Persetan sama image, seharian ini dia udah cukup bertingkah sok keren cuma buat mantan sialannya doang.
Si Abang bakso yang tadinya takut sama Qia, langsung menatap cewek itu dengan pandangan nelangsa. "Mau bakso nggak, Neng?"
Qia mengangguk tanpa berpikir. "Boleh deh, Bang. Nggak pedes ya."
"Siap, Neng!"
Sementara si Abang meracik bakso, Qia duduk di bangku halte yang ada di sampingnya. Sambil menunggu pesanannya jadi, dibukanya second account instagarammnya, lalu mengecek akun Adriana, pacarnya Geo. Entah kenapa Qia punya firasat bahwa di balik ketidakhadiran Geo hari ini ada sangkut pautnya dengan cewek itu.
Dan tentu saja Qia benar. Insta story Adriana tujuh jam lalu menunjukkan Geo yang sedang mengantarnya ke klinik.
Cie yang bela-belain dateng ke bogor.
Padahal pacarnya cuma nggak enak badan ☺️
Dan insta story setelahnya, tepatnya baru satu jam lalu, menampakkan Geo yang sedang tertidur di pangkuan cewek itu.
You make me feel so loved
Makasih ya sayang 😘
Qia tidak membaca insta story cewek itu lebih lanjut. Bukannya cemburu, dia cuma nggak sanggup nahan cringe pas baca captionnya.
"Nih, Neng! Baksonya," tegur si Abang bakso sambil menyerahkan mangkoknya pada Qia.
"Makasih ya, Bang," sahut Qia sembari meraih mangkok baksonya yang mengepul.
"Sama-sama, Neng. Semoga baksonya bisa bikin Neng bahagia ya."
Qia tercenung. Senyumnya hilang seiring si Abang bakso meninggalkannya dan kembali sibuk melayani pesanan seorang pengemudi ojek online. Kata-kata yang disampaikan Abang Bakso tadi cuma kalimat sederhana yang bertujuan untuk menghiburnya. Tapi Qia malah mendengarnya seperti sindirian untuknya yang bersikeras terlihat bahagia dan baik-baik saja di mata seseorang.
Bukan untuk dirinya sendiri.
Qia menyendok baksonya. Kemudian menggigit dagingnya sedikit demi sedikit. Air matanya menetes saat dia mengunyah, tapi Qia tidak sadar. Dia terlalu sibuk menghabisi baksonya yang enak. Baksonya yang membuatnya bahagia. Baksonya yang membuatnya lupa bahwa hidupnya menyedihkan. Baksonya yang membuatnya baik-baik saja....
"Bang, saya pesen bakso satu!"
"Sip, Mas!"
Qia berhenti makan. Dia menoleh dan menatap cowok yang duduk di samping kirinya yang tampak seperti baru berlari ratusan meter.
"Kabur gitu aja setelah bilang makasih sama gue? Lo ikhlas nggak sih ngomongnya?"
Gerutuan Adi sama sekali tidak ditanggapi Qia. Dia masih bingung, mengapa Adi tiba-tiba muncul si sampingnya. Padahal Qia sudah berjalan dari komplek perumahaannya sejauh yang dia bisa.
"Qia..."
Ah, iya Qia lupa. Di antara semua orang di rumah, hanya Adi yang tahu bahwa dia tidak pacaran dengan Geo. Hanya Adi yang tau bahwa tidak ada yang menjemputnya malam ini. Pasti cowok itu langsung sadar ketika dia pamitan dengan Ipank tadi. Qia tertawa dalam hati. Kenapa juga dia sampai tidak kepikiran soal ini?
"Lo bisa pergi dari sini nggak, Di?" tanya Qia sambil memalingkan pandangannya ke baksonya lagi. "Gue malu lo di sini."
"Gue lagi mesen bakso," kata Adi beralasan, tidak peduli dengan usiran Qia tadi.
"Di!" Qia meletakkan mangkuk baksonya ke kursi di sampingnya, kemudian menatap Adi lagi yang rupanya masih menatapnya lama. Ketika Qia ingin mengusir cowok itu lagi, Adi lebih dulu mengatakan hal yang membuatnya tertegun.
"Lupain Ervan, lupain Geo, jadian sama gue, Qi."
=Say Bye=
Dengan alasan ingin membeli rokok di minimarket, dia langsung keluar dari rumah begitu Qia bilang ingin pulang dengan cowoknya. Hilangnya Qia yang mendadak, sementara tidak ada suara kendaraan sama sekali yang lewat di depan rumah, membuatnya yakin bila cewek itu belum pergi jauh. Maka dengan gencar dia mencari cewek itu di setiap jalanan komplek. Dan begitu dia menemui Qia sedang duduk di halte, dia tak kuasa mengembuskan napas lega.
Dia sampai lebih dulu. Dia menemukan Qia lebih awal. Namun langkahnya berubah mundur ketika dilihatnya cewek itu menangis. Alih-alih menghampiri Qia, dia justru kembali bersikap seperti pengecut yang memilih bersembunyi, mengamati cewek itu dari tempat tak terlihat, sampai temannya yang lain datang menyusul.
Tak jauh dari halte, di balik tembok pilar gerbang rumah orang, dalam kondisi napas ngos-ngosan, kaos basah oleh keringat, dan memakai sandal yang bahkan bukan pasangannya sebab dia terlalu buru-buru tadi, Ervan mengamati Qia yang kini sedang berbicara dengan Adi.
"Jangan sampai putus. Karena kalau iya, gue nggak akan kasih lo jalan lagi."
Ancaman Adi sembilan tahun lalu tidak memberi efek apa pun. Dia bisa tetap memperjuangan Qia dengan atau tanpa persetujuan cowok itu seperti dulu. Situasinya sekaranglah yang membuat Ervan tidak berkutik. Sadar kini dia telah memiliki hubungan dengan seseorang, membuat Ervan tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap temannya itu bisa menyudahi kesedihan Qia apa pun alasannya.
————-
Ervan duh Van kena karma ipank lo vannn!!!! Wkwkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top