1. Kisah Cinta Absurd
Enam tahun setelahnya....
Qia tidak pernah mengerti dunia fotografi. Namun salah satu rangkaian foto dokumenter di dinding pameran yang dilihatnya sekarang cukup menghipnotis Qia hingga diam tak bergerak. Foto seorang pria paruh baya berseragam hitam oranye dengan badge "Dinas Kehutanan Bidang Pemakaman Jakarta" yang sedang memandikan jenazah membangkitkan memori Qia akan almarhum bapaknya saat sedang dimandikan dulu.
Qia memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Itu cuma foto jurnalistik. Lo nggak apa-apa, Qia. Bapak meninggal bukan salah lo. Hold on, Qia. Hold on."
Setelah dia berhasil menguasai diri, Qia kembali membuka mata untuk membaca keterangan rangkaian foto yang bertemakan "Profesi Pemulasaran Jenazah" itu.
Pekerja pemulasaran jenazah merupakan sebuah pasukan yang bertugas untuk mengurus jenazah terlantar atau tanpa identitas (tunawan) yang meninggal karena berbagai kejadian. Seperti kecelakaan, sakit menular, ditelantarkan, ditabrak kereta, dibunuh, atau terpaksa dieksekusi pihak kepolisian karena melawan saat pengejaran.
Qia tertegun. Sebaris keterangan itu cukup membuatnya paham akan arti foto-foto jenazah yang kini dia lihat. Dan alih-alih menakutkan seperti kesan pertamanya barusan, keterangan itu membuat foto-foto itu jadi tampak sangat menyedihkan.
"Pendapat lo soal foto ini gimana?"
"Getir," sahut Qia lirih. Tanpa menoleh pada si penanya, fokusnya masih terserap pada foto petugas yang tengah menyolatkan jenazah seorang tunawisma. "Tapi hangat..."
"Getir tapi hangat?"
"Getir karena gue baru tau bahwa di dunia ini banyak orang yang sampai akhir hayatnya terlantar dan dilupakan. Dan hangat karena gue juga baru tau ternyata di dunia ini masih ada sekelompok orang baik yang peduli sama nasib mereka," komentar Qia, terlontar begitu saja dari mulutnya. "Gue harus tepuk tanganin siapa pun yang ambil foto ini. Dia bikin gue yang buta seni jadi ngerti."
"Silakan tepuk tangan. Mumpung orangnya di samping lo."
Pernyataaan itu membuat Qia menoleh. Dan dia terkesiap saat mendapati seorang cowok bertampang mirip Duta Sheila on 7 dengan versi kulit lebih terang dan tanpa kumis—tengah tersenyum ramah padanya. Entah sedalam apa pengaruh foto di depannya hingga membuat Qia tidak sadar bahwa dia tengah berbicara dengan cowok ini sejak tadi.
"Hai!" sapa si Duta KW dengan nada kikuk, ikut kaget karena reaksi Qia. "Makasih udah mampir ke stan foto gue."
"Lo fotografernya?" tanya Qia, begitu kegugupannya hilang.
Duta KW mengangguk.
Qia tidak menyahut apa pun. Sebagai ganti jawabannya, cewek itu hanya tersenyum dan memberi tepuk tangan lama hingga membuat Duta jadian-jadian itu tertawa.
"Kalo bukan faktor pegel, gue bakal tepuk tanganin lo sampe ni pameran tutup," kata Qia begitu tepuk tangannya usai.
"Padahal ada yang lebih bagus dari foto gue," ujar Duta KW sangsi.
"Tapi yang memikat mata gue cuma foto lo doang," kata Qia jujur.
"Gitu ya?" sahut Duta KW belagak ragu. Padahal dengan berdirinya Qia selama hampir setengah jam di depan karyanya, sudah cukup membuatnya percaya dengan apa yang dibilang cewek itu tadi.
Qia menganggguk-angguk. "Gue tuh nggak ngerti fotografi. Gue ke pameran ini juga cuma iseng lihat-lihat doang. Tapi pas ketemu foto lo, gue langsung diem. Kayak kehipnotis. Mungkin karena foto lo ngasih informasi baru ke orang awam kayak gue kali ya jadi gue langsung terkagum-kagum. Serius deh, kalau bukan karena foto lo, seumur hidup mungkin gue nggak akan pernah tau ada profesi Pemulasaran Jenazah di dunia ini."
Si Duta KW tertawa kecil. Cara Qia memuji fotonya yang terdengar begitu tulus benar-benar menghiburnya yang seharian menjadi panitia pameran.
"Emang tujuan asli lo ke sini mau ngapain?" tanya si Duta KW seraya mengamati penampilan Qia yang seperti baru pulang kerja.
"Angkatan gue ada acara kumpul-kumpul di kantin. Karena temen yang ngajak gue masih di jalan dan gue sampe duluan, terus kebetulan komunitas fotografi kampus lagi adain pameran, gue mampir aja. Itung-itung sekalian bunuh waktu," jelas Qia panjang lebar. Entah kenapa dia bisa begitu lancar bicara dengan cowok itu. Mungkin karena vibes Duta KW ini sangat ramah dan bersahabat, Qia jadi cepat akrab.
Duta jadi-jadian itu ber-oh panjang sambil manggut-manggut. "Emang lo alumni fakultas apa?"
"FIKOM," jawab Qia, "Lo apa?"
"Antropologi."
"Pantes lo peka sama isu-isu sosial kayak gini." Qia mengalihkan pandangannya pada foto-foto di hadapannya lagi.
"Lo suka foto yang mana?"
"Yang ini," Qia menunjuk sebuah foto yang menampakan tangan jenazah yang tengah menggenggam bungku indomie yang telah lusuh. "Baru kali ini liat bungkus indomie bikin gue pengen nangis."
Duta KW tersenyum tipis. "Bukan cuma di tangannya, pas dimandikan petugas, di mulutnya juga banyak banget sampah makanan. Kalau ada orang yang bilang kalimat mati kelaparan itu sekadar hiperbola, kayaknya mereka harus liat tunawan satu ini."
Qia tercenung. Diam-diam diliriknya Duta KW yang sedang meratapi hasil karyanya sendiri. Cowok ini manis, tapi penjelasannya tadi membuatnya dua kali lebih menarik. Pandangannya terhadap jenazah-jenazah terlantar cukup membuat Qia tahu bahwa cowok itu peduli pada lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.
Cowok ini baik. Qia yakin itu.
"Qia!"
Panggilan itu datang dari arah pintu masuk pameran. Sontak Qia menoleh dan matanya melebar saat melihat Geo, teman yang ditunggunya sejak tadi muncul.
"Ayo, Qi. Udah ditunggu yang lain," ajak Geo, membuat Qia menoleh pada Duta KW dan tersenyum padanya.
"Temen gue udah dateng. Pamit ya."
Duta KW ikut tersenyum dan mengangguk. "Yap. Thanks udah mampir."
"Sip! Sukses pamerannya!"
Qia berjalan menghampiri Geo yang kini tampak memperhatikan Duta KW dengan sorot penasaran.
"Yang tadi ngomong sama lo siapa?" tanya Geo begitu Qia berada di sampingnya.
"Fotografer. Dia alumni kampus kita juga. Terus namanya..." Qia tersentak. Dia baru sadar belum sempat berkenalan dengan cowok tadi. Saat Qia menoleh ke belakang, niatnya untuk menanyakan namanya, cowok itu sudah pergi. "Gue lupa nanya."
"Bagus deh," sahut Geo enteng.
Dahi Qia berkerut heran. "Kok?"
"Bahaya," jawab Geo, sembari mengambil satu tangan Qia dan menggenggamnya. "Nanti saingan gue nambah."
Qia berdecak salting. "Flirting teroos!"
Geo terkekeh dan menggandeng Qia menuju kantin kampus, tempat teman-teman angkatan mereka berkumpul. Selama di perjalanan tak henti-hentinya Qia mengulum senyum. Geo nggak perlu merasa tersaingi oleh siapa pun, karena sejak tiga bulan terakhir, hanya cowok itu yang menjadi penghuni isi kepalanya setiap hari.
=Say Bye=
"Pasangan Hompima Alaium Gambreng kebanggan FIKOM akhirnya datang juga!"
Kedatangan Qia dan Geo langsung disambut sorak-sorai meriah oleh teman-teman angkatannya. Geo yang emang sering nongkrong bareng mereka, jelas bisa kalem-kalem aja. Tapi Qia yang ketemu mereka cuman pas reuni atau bukber doang, tentu nggak bisa menahan salah tingkah. Apalagi pas Qia tau kebanyakan temannya yang dateng itu cowok-cowok, sementara yang cewek cuma Risma, Santi, dan Dewi doang--tiga orang yang gak deket-deket amat sama dia pula--makin gelagapan lah Qia. Qia berasa kayak lagi masuk STM atau fakultas teknik yang isinya batangan semua.
"Bawel lo pada. Kicep nih cewek gue," sahut Geo, yang bukan cuma membludakan sorak-sorai temannya tapi juga membuat Qia menoleh ke arahnya dan menatap cowok itu dengan sorot terkejut. Bukan apa-apa, masalahnya mereka itu belom resmi pacaran. Geo pun belom pernah memintanya jadi pacarnya. Tapi kenapa cowok itu bisa begitu enteng menyebutnya "cewek gue"?
Tapi kayaknya Geo cuma asal ngomong aja. Melihat dari sikap cowok itu yang begitu santai dan langsung mengubah topik dengan mudah, pasti Geo cuma ingin membalas candaan teman-temannya doang. Jadi walau kecepatan detak jantungnya mendadak cepat gara-gara efek omongannya tadi, Qia berusaha menganggap lalu ucapan tersebut.
"Lo mau pesen makan apa, Qi? Biar gue pesenin sekalian," tanya Geo begitu mereka bergabung duduk di meja panjang kantin bareng teman-temannya yang lain.
"Kwetiau goreng deh, Ge. Minumnya apa aja," jawab Qia.
"Oke. Bentar ya."
"Dari kantor bareng Geo, Qi?" tanya Bram basa-basi, tak lama setelah Geo pergi menuju warung Bang Yunan.
Qia menggeleng. "Nggak. Jauh. Geo kan kantornya di Kemayoran. Gue di Sudirman."
"Oh, lo naik kereta ya tadi?" sambar Derry.
Qia mengangguk. "Yoi."
"Penuh nggak?"
Qia berdecak panjang. "Der, pertanyaan lo kayak nggak pernah ngampus di Depok empat tahun aja."
"Lah?! Gue kan anak UPH?" sahut Derry belagak polos, yang langsung kena toyoran Janu di sampingnya.
"Jajan masih telor gulung ajeee belagak UPEHA lo! Tuh, token listrik kosaan lo bunyi mulu! Ganggu!" seru Janu sewot, yang membuat Qia tergelak.
"Lo jangan buka kartu dong!" protes Derry pada Janu. "Reoni tuh ajang menyombongkan diri. Biarkan gue menjadi sultan sehari."
"Sombong mah boleh-boleh aja, Der," sahut Bram bijak. "Asal harus total. Lo bilang ngampus di UPH, tapi ke sini pake kaos sama sendal jepit doang. Ada inisialnya lagi tu sendal kek abis ngambil dari musolah. Gimana orang kagak sewot."
"Anjrit!" respon Derry dramatis. "Tajem bener!"
Kelakar Bram, Janu, dan Derry kembali memecah tawa teman-teman seangkatannya. Qia yang tadinya canggung pun langsung cepat bisa mengakrabkan diri.
Nggak lama kemudian Geo kembali membawa pesanan mereka. Cowok itu langsung menggeser tubuh Bram agar bisa duduk di sampingnya. Tindakan itu kontan membuat Qia kembali jadi objek ceng-cengan. Untung sekarang Qia udah kebal, jadi dia bodo amat.
"Qi, Kwetiaunya pedes nggak? Kayaknya tadi gue salah mesen," tanya Geo memastikan.
Qia yang emang ngerasa kwetiaunya pedas, lantas mengangguk. "Lumayan sih. Tapi masih bisa gue makan."
"Serius?" Geo tampak cemas. "Nanti GERD lo kumat lagi."
Qia menggeleng. Hatinya berdesir pelan saat mendengar kalimat perhatian Geo. "Nggak kok. Masih bisa gue tahan. Kalau gue nggak abis, nanti gue kasih elo deh."
"Mau gue pesenin lagi? Atau mau tuker sama mie ayam gue nih? Belom gue sambelin," tawar Geo seraya menggeser mie ayamnya.
Qia menggeleng. "Nggak usah, Ge. Gue emang lagi ngidam kwetiau kampus kok."
Geo menghela napas. "Bilang ya kalo kepedesan."
Qia tersenyum kecil. "Iya."
"Lo deket sama Qia dari kapan sih, Ge?" tanya Derry iseng. "Kok tau-tau jadi pasangan sensasional."
Melihat mulut Geo yang masih penuh Mi, membuat Qia berinisiatif menjawab pertanyaan Derry.
"Gue satu dospem sama dia, Der."
"Oh ya? Siapa?"
"Bu Murni."
"Ohhh gue tau!" seru Derry heboh. "Itu dosen yang kalo mau bimbingan, mahasiswanya harus gambreng dulu buat nyari urutan kan?"
Qia mengangguk. "Yap betul!"
"Terjawab sudah kenapa lo berdua dibilang pasangan Hompimpa Alaium Gambreng." Derry terkekeh. "Terus kalian udah resmi nih?"
Qia terdiam. Mendadak gak bisa jawab. Hubungannya dengan Geo emang udah deket dari jaman mereka skripsian. Tapi dulu mereka murni sebatas partner sependeritaan doang. Teman-temannya saja yang terlalu melebih-lebihkan status hubungannya dengan Geo. Cuma karena perkara mereka selalu terlihat nugas bareng, sambat bareng, dimarahin dosen bareng, ngeprint skirpsi di tukang foto kopi bareng, orang-orang jadi berspekulasi kalau mereka ada apa-apa. Padahal waktu itu Geo punya cewek, dan Qia juga nggak lagi berniat naksir sama siapa pun. Boro-boro kepikiran pacaran, yang Qia tau saat itu cuma lulus kuliah secepatnya agar janjinya dengan almarhum bapaknya terpenuhi.
Qia baru benar-benar merasa dekat dengan Geo saat cowok itu mendadak menghubunginya lagi tahun lalu. Awalnya sih cowok itu hanya memberi kabar bahwa kakaknya, Mira, akan kerja di kantornya. Namun gara-gara Geo yang sering bolak-balik ke kantornya setiap weekend untuk menjemput kakaknya, Qia jadi sering ketemu dan komunikasi lagi dengan Geo. Dan beda dari situasi pas mereka masih kuliah, kali ini mereka dekat dalam arti sebenarnya. Alias jadi sering hangout bareng, nonton bareng, makan bareng, ngobrolin soal kerjaan, dan bahkan Geo pernah membantunya pindahan ke kosanya yang baru.
"Gue juga bingung kenapa Geo ujuk-ujuk deket sama Qia." celetuk Janu tiba-tiba. Omongannya membuat Qia terselamatkan dari pertanyaan Derry barusan. "Padahal gue taunya Qia itu ceweknya si anak hukum."
Garpu kwetiau yang digenggam Qia terlepas begitu saja dari tangan saat mendengar pernyataan Janu.
"Anak Hukum mana?" tanya Derry penasaran.
"Ck, si Ervan!" seru Janu gemas. "Ervan Hardian, anak Hukum. Yang waktu OSPEK ribut gila-gilaan sama Reggi."
Qia merasa telinganya berdengung ketika nama Ervan disebut. Hubungannya dengan Ervan sudah baik-baik saja, tapi kenapa dia masih kelimpungan setiap kali ada orang yang membicarakan cowok itu di depannya. Seolah-olah ketika dia mendengar nama Ervan, Qia langsung dilempar lagi ke enam tahun lalu.
"Wah gila! Iya inget gue!" seketika Derry berdecak panjang. "Sakit dia tuh. Bisa-bisanya nampol Komdis depan gedung rektorat. Depan kita!"
"Gara-gara apa sih? Heboh banget kan itu."
"Nggak tau gue lupa." Janu melirik Qia yang sejak tadi diam. "Kenapa sih itu, Qi?"
Qia tergagap. Matanya mengrjap cepat. "Hah--apa?
"Kalo nggak salah karna Reggi ngelecehin maba cewek deh pas sesi Tata Tertib. Jadi tu cowok ngamuk," sambung Dewi. Dia yang dari tadi cuman nyimak obrolan teman-temannya, ikut tertarik ketika membahas Ervan.
Keterangan Dewi membuat peristiwa itu terputar lagi di kepala Qia. Mahasiswa baru yang disebut cewek itu tadi, nggak lain nggak bukan adalah dirinya sendiri. Qia masih ingat, dulu Reggi sengaja meraba-raba dadanya dengan kedok membetulkan ikatan dasinya yang salah setiap kali mereka ada sesi pengecekan atribut seragam. Karena malu dan takut dengan Reggi, Qia tidak memberitahu soal itu pada siapa pun. Termasuk Ervan. Qia memilih diam dan menangis sendirian di toilet. Tapi entah dari mana asalnya Ervan bisa tahu kejadian tersebut, Ervan tiba-tiba saja menyeruak ke fakultasnya dan memukul Reggi yang saat itu tengah memandu para mahasiswa baru.
Perkelahian sengit itu tidak terelakkan. Ervan menghajar Reggi habis-habisan, dan Reggi yang tidak terima dipukul langsung membalas pukulan Ervan sama kerasnya. Akibatnya, semua panitia OSPEK, satpam kampus, dan dosen yang kebetulan ada di depan gedung rektorat turun tangan untuk memisahkan mereka yang sudah seperti ingin saling bunuh. Begitu keduanya berhasil dipisahkan dan diintrogasi oleh beberapa dosen, Reggi terus menerus menyalahkan Ervan dengan dakwaan penyerangan tanpa alasan. Sementara Ervan, cowok itu hanya diam alih-alih agar aib Qia tidak diketahui banyak orang. Cowok itu memilih menerima seluruh hukuman bulat-bulat dan memaksa Qia untuk tidak perlu memberikan keterangan apa pun pada pihak kampus agar dia tidak harus merasa tertekan.
"Aku aja yang tanggung, Qi. Kamu nggak perlu ngomong apa-apa."
Masih terekam jelas wajah putus asa Ervan saat mencegahnya melaporkan kasus pelecehan itu pada pihak kampus. Maksud cowok itu baik, dia ingin Qia tidak perlu mengungkit kejadian traumatik itu lagi. Qia pun awalnya sempat menuruti kata-kata Ervan sampai dia tahu Ervan dicutikan oleh pihak kampus sedangkan Reggi tidak. Marah dengan ketidakadilan tersebut membuat ketakutan Qia hilang seluruhnya dan memilih melaporkan kejadian itu pada salah satu dosen perempuan. Dan untungnya saja, Qia ternyata tidak sendirian. Ada dua mahasiswa cewek lain yang menjadi korban pelecehan Reggi. Karena itulah Reggi dikeluarkan dari kampus dan Ervan tidak jadi dicutikan.
"Setelah Reggi dikeluarin, si Ervan langsung dipretelin abis-abisan nggak ya sama senior teknik?" Janu berdecak panjang. "Kacau sih. Tu anak pas mukul Reggi tau nggak sih kalao dia anak teknik?"
"Enggak coy. Tu anak selamet. Malah dikeren-kerenin sama anak-anak teknik yang laen," sangkal Bram sambil mengembuskan rokoknya. Perkataannya jelas mencuri perhatian yang lain. "Dia backingannya kuat."
"Oh, ya? Siapa?"
"Erik, sesepuh teknik." Ketika Bram menyebut nama itu, seluruh temannya langsung ternganga. "Mana ada anak yang berani nyentuh dia?"
"Paham gue paham." Derry manggut-manggut. "Pantes pamor si Ervan langsung meledak. Tamengnya modelan begitu."
"Iyalah. Reggi mah apaan? Kaga ada apa-apanya dia!"
"Terus Ervan gimana kabarnya sekarang?"
"Dia di drop out kan pas semester empat?"
"Kenapa tuh?"
"Nggak tau."
"Coba tanya Qia."
"Nggak ada bahasan lain ya?" tukas Geo tajam, membungkam seluruh omongan di meja. Dia yang sejak tadi menahan-nahan diri untuk nggak marah pada teman-temannya karena membahas Ervan, pada akhirnya pecah juga saat melihat Qia tidak memakan makanannya sama sekali.
"Lo nggak apa-apa, Qi?" tanya Geo pada Qia yang kini tampak mematung. "Qia..."
Qia terkesiap. Sontak dia menggeleng cepat dan bangkit dari duduknya. "Nggak kok! Nggak apa-apa. Gue ke toilet bentar ya."
Sebelum Geo mengejarnya, Qia lebih dulu berjalan cepat menuju toilet untuk segera memuntahkan isi perutnya ke wastafel.
=Say Bye=
Qia tidak tahu apa yang membuat perutnya mendadak mual. Entah karena kwetiaunya yang pedas hingga membuat asam lambungnya naik, atau karena dia mendadak tegang karena teman-temannya yang membahas Ervan berikut peristiwa OSPEK yang sangat ingin dia lupakan. Yang jelas Qia baru bisa keluar dari toilet setengah jam setelahnya, setelah dia benar-benar bisa menenangkan diri dan merasa dirinya tidak akan muntah lagi.
"Damn, Qi! Itu udah lama banget! Lo kenapa sih?!" gerutu Qia dalam hati.
Saat Qia berjalan keluar toilet, layar ponselnya memunculkan sederet notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari Geo.
Geo
Lo beneran nggak apa-apa?
Muka lo pucet banget tadi
Lo ada di toilet mana sih? Mau gue susulin.
Qi?
Maafin omongan anak-anak tadi ya. Harusnya gue bisa nyetopin obrolan mereka dari awal mereka bahas Ervan
I'm so sorry
Gue di parkiran
Gue anter lo pulang
Qia mengembuskan napas panjang. Apa yang dialaminya sekarang bukan salah siapa pun. Tidak Geo, tidak Ervan, tidak pula teman-temannya. Ini murni salah Qia sendiri yang mungkin belum benar-benar bisa sembuh dari traumanya saat OSPEK.
Qia berjalan menuju ke parkiran kampus dengan langkah gontai. Begitu sampai, Qia mendecak. Dia lupa kalau Geo nggak ngasih tau lokasi spesifik mobil cowok itu di mana. Parkiran kampus kan luas banget. Mobilnya banyak lagi. Masa mesti Qia periksa satu-satu?
Ketika Qia hendak menelepon Geo, suara obrolan dari arah kirinya menginterupsi niat cewek itu. Saat Qia menoleh, dia mendapati Geo dan Bram yang lagi merokok di belakanh gedung fakultas hukum. Posisi mereka yang duduk membelakangi Qia, membuat dua cowok itu tidak menyadari kehadirannya sekarang.
"Jadi hubungan lo sama Qia tuh gimana? Lo mah kalo ditanya jawabnya mencla-mencle mulu. Kan orang bingung."
Pertanyaan Bram pada Geo tadi menahan niat Qia untuk menghampiri dua cowok itu. Mendadak, dia ingin mendengar jawaban Geo juga.
"Gue suka sama dia. Tapi..."
Qia menggigit bibirnya seiring Geo menjedakan kalimatnya untuk berpikir.
"Tapi apaan?" cecar Bram tidak sabar.
"Gue belum putus sama cewek gue, Bram."
Qia tercenung. Dia tidak kaget, tapi entah kenapa fakta ini tetap membuatnya terkejut. Dari awal Qia dekat dengan Geo, Qia tahu Geo masih belum bisa lepas dari bayang-bayang Andriana, mantannya selama tujuh tahun itu. Hal itu yang membuat Qia menjaga jarak dan tidak berkespektasi tinggi pada Geo begitu mereka dekat. Namun tiga bulan lalu Geo mengaku padanya bila hubungannya dengan Andriana sudah benar-benar selesai. Geo bilang cuma Qia satu-satunya cewek yang dekat dengannya sekarang. Karena tau bahwa ada harapan, Qia sampai menipiskan jarak dan mulai belajar menerima Geo. Makanya ketika sekarang Geo bilang dia belum putus dengan ceweknya sedangkan Qia sudah mulai menyukai cowok itu, jelas Qia merasa dipermainkan. Apalagi ketikamengingat omongan Geo yang menyebut Qia ceweknya di depan teman-temannya tadi....
Qia tertawa getir. Dia tidak tahu bahwa kisah cintanya akan selucu ini.
"Wah gila lo! Lo belom putus sama Andriana?" sahut Bram, nada bicaranya terdengar terkejut juga.
Geo mengangguk.
"Terus Qia?"
"Dia juga belom bisa lupain mantannya." Geo tertawa mendengus. "Gila aja pertaruhin tujuh tahun gue sama Andriana buat cewek yang belom kelar sama masa lalunya."
Qia tidak mau dengar apa-apa lagi. Untuk itu dit balik badan dan berjalan secepat mungkin untuk keluar dari kampus. Namun sialnya, ketukan stiletto yang dia pakai sekarang nggak bisa berkompromi. Suara ketukkannya yang keras cukup membuat Geo menoleh dan kemudian melihatnya.
"Qia!!"
Qia mempercepat langkahnya. Dia tidak menoleh sama sekali saat Geo beberapa kali memanggilnya dan mengejarnya dari belakang. Yang Qia tahu saat ini hanya ingin keluar dari kampus secepat yang dia bisa sekalipun tumitnya perih luar biasa. Kalau tadi siang kantornya tidak mengadakan acara launching produk yang menuntutnya harus berpakaian serba formal, Qia nggak akan memakai stiletto sialan yang menyusahkan langkahnya ini.
"Qi!"
Geo menarik lengan Qia hingga cewek itu berhenti melangkah. Qia menarik tangannya, bergegas pergi lagi, tapi lagi-lagi Geo mencengkram lengannya hingga cewek itu tidak bisa beranjak ke mana pun. Tidak mau menjadi perhatian mahasiswa yang lalu-lalang di sekitar parkiran kampus, membuat Qia memilih berhenti berontak.
"Gue pulang sendiri aja, Ge," kata Qia langsung. Sekalipun cewek itu mengatakannya dengan nada normal, raut wajahnya yang tegang membuat Geo yakin bahwa Qia mendengar percakapannya dengan Bram barusan.
"Kita ngomong di mobil. Sambil jalan pulang," bujuk Geo pelan.
"Nggak deh, Ge. Rumah kita kan nggak searah. Gue naik kereta aja," tolak Qia sambil berusaha menarik tangannya dari cengkraman Geo. "Ge, lepasin..."
"Qi," Geo berdecak frustrasi. "Apa yang lo denger tadi nggak semuanya."
Qia memalingkan pandangan, mengembuskan napas panjang, kemudian kembali menatap Geo dengan emosi yang lebih terkontrol.
"Kasih waktu buat gue sendiri. Oke?" kata Qia tenang. "Sekarang lepasin. Gue mau pulang."
Geo tidak mengindahkan keinginan Qia, dan justru menarik paksa cewek itu menuju mobilnya.
"Geo!" bentak Qia. "Lepas--"
"Qia?"
Panggilan itu menginterupsi omongan Qia. Geo yang mendengarnya pun ikut berhenti melangkah, lalu menoleh bersamaan dengan Qia. Bila reaksi Geo hanya keheranan saat melihat cowok yang memanggil Qia tadi, Qia tampak terkejut bukan main.
"Adi?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top