BAB 7: DEMAM


"Haai Pak Dani, gimana kabarnya? Eh ini sama tetangga baru ya? Namanya siapa?" sapa Viole kepada kedua orang itu.

"Nama saya Ambar Mbak." Ambar menjawab lalu berjabat tangan dengan Violet. Keduanya saling melempar senyum.

"Ambar sudah kerja?"

"Oh nggak Mbak, saya kuliah."

"Jurusan apa?"

"Komunikasi Mbak?"

"Wah hebat banget ya? Oh ya, tumben ke sini ada apa?"

"Ini mau beli kue buat Sisi sama kopi lah buat Pak Dani. Saya sering main sama Sisi, cucu Pak Dani."

"Wah. Sudah akrab ya. Oh ya, kamu kapan-kapan main ke rumah saya. Kenalan sama anak saya."

"Iya Mbak, pasti nanti saya mampir kalau sempat."

Disempetin dong. Oh ya, kalian mau duduk sama saya?" tawar Violet.

"Nggak dulu Mbak, kami mau langsung pamitan."

"Oke deh, tapi ingat ya, main ke rumah saya. Jangan lupa loh."

"Pasti."

Violet dan Ambar bercipika-cipiki. Ambar dan Dani keluar dari kafe setelah mereka mengambil pesanan. Violet curiga apakah Dani berpacaran dengan tetangga baru mereka. Ia hanya sekadar ingin tahu. Kalau pun benar, itu tidak apa-apa. Itu adalah langkah bagus, duda yang sudah tua mungkin lebih bahagia dengan gadis muda, pikirnya.

***

Wardi baru terlihat pulang dari luar kota, Violet datang menyambut suaminya dengan kecupan, lalu ia memberi isyarat kepada Wardi ingin mengobrol. "Hari ini heboh sekali, Sayang."

"Heboh gimana?"

"Aku ketemu dua orang yang gak akan kamu duga di kafe."

"Siapa?"

"Pak Dani sama Ambar. Kayaknya mereka pacaran."

"Pacaran?" Wardi mendengus.

"Mungkin kayak gitu lah. Oh ya, kamu mau ke kamar ya? Aku tunggu ya."

"Aku mandi dulu deh. Kamu tunggu saja di kamar."

Wardi merasa kesal, ia ingin menelepon Ambar karena merasa pelet Dani bekerja, namun tiba-tiba ada suara bersin. Terdengar suara anak laki-lakinya, Darel. Darel batuk-batuk.

"Kamu nggak apa-apa?" Wardi memeriksa dahi anaknya, panas. Darel terkena demam.

"Kamu demam? Untung sudah pulang sekolah, ayo, kamu ke kamar. Papa panggil mama untuk kompres kamu.

Wardi masuk ke dalam kamarnya lalu disambut kecupan lagi oleh Violet. "Darel demam, kamu kompres."

"Ah, demam? Perasaan tidak ada apa-apa tadi. Apa karena mimpi semalam ya?"
"Mimpi? Mimpi apa?"

"Ada wanita minta sajen ke aku. Aku digampar karena sajennya kurang. Ada apa ya? Kamu nulis cerita horor?"

"Nggak. Nggak kok. Mimpi kamu saja kali. Jangan terlalu takut."

Violet masuk ke kamar anaknya, Darel demam namun demamnya sangat panas, dicek suhu tubuhnya, dan ternyata suhunya sangat tinggi."

":Lebih baik kita bawa ke dokter. Aku jadi takut."

Mereka bertiga membawa Darel ke rumah sakit, mereka tidak hanya bertiga, Violet mengajak adik Darel, Wulan untuk ikut bersama mereka. Suhu Darel panas, mereka berempat menunggu antrian di rumah sakit. Violet mencoba menenangkan diri meyakinkan tidak akan terjadi apa-apa terhadap Darel.

Nama Darel pun dipanggil. Darel masuk ke dalam ruangan dokter bersama orangtuanya, ketika diperiksa tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Darel tampak baik-baik saja.

"Darel kelelahan menurut diagnosa saya." Dokter tua itu berkata.

"Nggak mungkin Dok, tadi di rumah badannya panas sekali. Sekarang?"

"Memang panas namun bukan demam." Dokter menjelaskan lebih detail lagi.

"Lalu apa Dok?"

"Sepertinya ini hanya siklus perubahan cuaca saja."

"Lalu bagaimana Dok?"

"Yang penting Darel sekarang istirahat, saya buat surat dokter selama lima hari."

Violet dan Dani mengangguk, mereka tidak mengerti dengan keadaan yang tidak normal ini. Violet dan Dani merasa ada yang janggal namun mereka mencoba berpikir positif saja.

***

"Pak Dani, tadi Mbak Violet itu udah lama tinggal di sini?"

"Lumayan sih. Dia itu teman ngobrol saya. Saya suka sekali dengan suaminya, Pak Wardi. Dia itu orang yang perhatian sekali dengan tetangga. Tapi kalau saya soal berpengalaman ya lebih berpengalaman saya dalam mengurus rumah tangga. Mereka kan si Violet dan Wardi itu baru, pasutri baru loh."

"Pak Dani bisa saja. Oh ya, Sisi sedang main di ruang tamu. Saya temani ya Pak. Saya nggak enak di kamar Pak Dani."

"Kok tidak enak, kamu bakal jadi neneknya Sisi loh."

"Masa saya jadi neneknya Sisi. Saya nggak enak."

"Tapi pengen kan? Saya tadi ajak kamu ke kamar saya pengen ngajarin kamu mendekati Sisi. Saya pengen ngobrol berdua sama kamu. Sekarang ini waktu kita."

"Saya jadi malu."

Dani tidak dapat menahan diri, ia lalu memeluk Ambar. Ambar mau meronta namun ciuman Dani seakan memaksa, Ambar seperti masuk ke dalam sebuah lembah yang bernama jatuh cinta. Imendorong tubuh Dani lalu memcium bibirnya. Dani menggulingkannya, Dani kini berada di atas tubuh Ambar.

"Pak, saya malu." Ambar tertawa sambil menutupi wajah.

"Nggak usah malu." Dani terkekeh-kekeh "Jangan tutup wajah kamu, Sayang."

"Saya malu sama tetangga."

"Nggak ada siapa-siapa hanya kita," paksa Dani.

Ambar menggelinjang, Dani membuatnya dimabuk cinta hingga percumbuan antara dua manusia dewasa itu terjadi. Suara ranjang berderit-derit. Dani melepas dahaga selama ini. Sebagai duda kesepian yang tak punya pelampiasan ia mampu menjatuhkan gadis muda sebagai saluran keinginan terpendamnya.

Suara teriakan penuh desahan terdengar di telinga Dani, Ambar meneriakan suara kegelian saat sebuah benda masuk ke dalam dirinya. Di sudut kamar, sosok Nyi Pelet menunggu. Dua orang yang sedang bersaing memperebutkan Ambar tidak menyadari kalau sesaji yang mereka beri untuk si pemberi kenikmatan, kurang banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top