Tarian Bulan
Diperhatikannya cermin dengan saksama. Seorang wanita yang baru saja menginjak usia dewasa dengan polesan warna di wajahnya. Pipi yang merona, mata yang tajam, dan bibir yang merekah semerah mawar. Setengah bagian atas pada rambutnya dibuat sanggul dan diberi tiara yang terbuat dari ranting dan rangkaian bunga. Mempesona.
Diusapnya cermin tersebut, sudut bibirnya naik ke atas, tetapi ujung alisnya menukik turun.
“Hei, aku tidak tahu harus bilang apa. Tapi kau pasti melihatku dan akan tertawa,” ujarnya. “Aku benar-benar jadi wanita malam ini.”
Ia menunduk lalu berdiri, kemudian berjalan ke arah pakaian yang terbentang di ranjang. Sebuah gaun tanpa lengan berwarna emas yang ketika ia pakai panjangnya hanya sebatas lutut dan akan berkerlap-kerlip saat tertimpa sinar rembulan.
Ia menunduk, sekali lagi mematut dirinya di depan cermin. Ingatannya melayang ke masa lalu. Ketika dirinya pertama kali bertemu dengan gadis itu karena tidak sengaja bersembunyi di kediamannya.
Saat itu ia tengah berlari dari kejaran para pedagang di pasar kawasan Bangsa Eridan. Kakinya yang dibalut celana panjang melangkah dengan gesit. Beberapa kali ia bisa melewati orang-orang yang berlalu lalang, tetapi jalannya menemui sebuah tembok. Jantungnya semakin berdetak kencang, apalagi di kanan dan kirinya hanya terlihat tumpukan kotak kayu bekas tempat sayur dan buah-buahan.
Bahkan matanya semakin terbelalak saat melihat para pedagang yang berlari semakin dekat ke arahnya. Sial! Sekarang bagaimana?
Ia merapatkan tudung dan penutup mulutnya lalu naik ke tumpukan kotak kayu. Tangannya berusaha menggapai tembok. Begitu mencapainya, ia segera naik dan melompat turun menuju tanah yang ditumbuhi ilalang. Ilalang yang cukup membuat kulit gatal-gatal.
Tanpa memedulikan rasa gatal yang terasa menggigit dan panas sehingga minta digaruk, ia segera bangun dan kembali berlari. Langkahnya membawa ke sebuah tempat tinggal Bangsa Eridan. Kemudian ia memasuki sebuah ruangan yang jendalanya terbuka.
Setelah masuk dan menutup jendela, ia mundur ke belakang hingga menyenggol sesuatu. Saat berbalik ia berteriak, bahkan yang disenggol juga ikut berteriak. Kemudian ia segera membekap mulut seseorang yang disenggolnya tadi.
Dilihatnya baik-baik seseorang yang ia bekap mulutnya itu. Seorang gadis dengan wajah bulat dan mata yang terpejam. Tubuhnya terasa bergetar dalam rengkuhannya.
Suara ketukan pintu dan sebuah panggilan menginterupsi mereka. “Nona? Anda baik-baik saja?”
Ia memandang pintu dan gadis di depannya bergantian. Keringat dingin mulai membasahi tangannya. Tiba-tiba sebuah tongkat menyodok perutnya hingga membuat ia terjatuh dan menimbulkan bunyi ‘gedubrak’ dengan keras.
“Nona!” Seorang wanita bergaun panjang dengan celemek dan penutup kepala masuk, segera menghampiri majikannya yang berdiri dengan napas memburu sambil menumpukan badannya pada sebuah tongkat.
Matanya semakin terbelalak ketika melihat seorang penyusup yang sedang mengaduh karena kepalanya terantuk meja rias di belakangnya.
“Pe-pe−”
Ia ingin segera berdiri membekap mulut pelayan itu, tetapi si pelayan sudah lebih dulu berteriak.
“Penyusup!!!”
Mampus! Ia segera membuka jendela, tetapi pelayan tadi menarik jubah cokelatnya sehingga ia terjatuh dengan kepala membentur lantai. Pandangannya mengabur hingga lama-kelamaan semuanya berubah menjadi gelap.
Ia membuka matanya perlahan, sesekali mengernyit karena bau yang menusuk hidungnya. Ternyata ia berada di istal dengan tangan dan kaki yang terikat tali yang membentuk simpul sangat erat.
Pandangannya menyapu seluruh penjuru ruangan. Istal yang cukup luas dengan tiga ekor kuda yang sedang makan di depannya. Jarak mereka cukup jauh sehingga tidak mungkin terjadi dirinya akan tersepak kaki kuda. Apalagi pintu tiap-tiap kandang tertutup rapat.
Inikah nasib Zol Si Pencuri yang dipenjara di kandang kuda? Sungguh tidak elit sekali.
Ketika ia masih berkutat dengan pemikirannya, terdengar suara pintu dibuka. Empat orang---satu perempuan dan tiga laki-laki---menghampirinya.
“Oh, jadi ini Zol Si Pencuri yang selalu lolos dalam tiap aksinya?” ucap salah satu laki-laki berbaju cokelat. Dilihat dari sabuk dan sepatunya yang terbuat dari kulit, sepertinya seorang bangsawan.
Ketiga lelaki itu melepaskan ikatan tangan dan kaki Zol. Mereka membawanya menuju sebuah halaman yang cukup luas dengan tiga orang yang terlihat tengah menyesap tehnya.
“Ayah, Ibu, saya sudah membawa penyusupnya.”
Kaki Zol dijegal oleh salah satu lelaki yang membawanya. Ia berlutut di hadapan ketiga orang itu. Bahkan tudung dan penutup mulutnya juga dibuka. Mereka yang melihatnya terbelalak, apalagi Rackaryn yang terpesona dengan mata dan rambut hitam sepunggung milik Zol.
“Perempuan?” ucap Almiha, sang ibu.
“Padahal tubuhnya kurus seperti laki-laki,” sahut Narif, kakak perempuan Rackaryn.
Sang ayah, Rwaripa Wrick, mendekati Zol dan bertanya, “Memang beberapa kali kau mencuri dagangan kami, tapi baru kali ini kau berani masuk ke rumah kami. Bahkan mendekati Rithia.”
“Ma-maafkan saya, Tuan. Sungguh saya tidak sengaja masuk ke kamar Nona Rithia. Sungguh saya meminta maaf, Tuan,” ucap Zol yang masih menunduk.
“Baik, akan aku maafkan, tapi dengan satu syarat.”
Zol mendongak, memandang lelaki berkumis lebat itu.
“Jadilah pengawal Rithia.”
“Ayah!” ucap Narif dan Rackaryn bersamaan. Tidak terima jika adik mereka memiliki pengawal bekas pencuri. Namun, sang ayah tidak menanggapi keduanya, ia terus menatap lurus Zol.
“Tinggal pilih saja. Mau kuserahkan ke prajurit kerajaan atau menjadi pengawal Rithia. Nasibmu di tanganmu, Zol.”
Zol menunduk, wajahnya pias. Jika diserahkan ke kerajaan, urusannya akan makin panjang. Bisa-bisa orang tuanya akan mejemputnya pulang dan segera menyelenggarakan pernikahan. Lalu menjadi pengawal gadis buta bukankah akan lebih sulit, tetapi ia tidak punya pilihan. Dibanding harus menikah paksa, lebih baik menjadi pengawal. Karena jika ia dijemput paksa sekarang, maka usahanya kabur dari rumah selama satu bulan ini akan berakhir sia-sia.
“Baik, saya menyanggupi menjadi pengawal Nona Rithia.”
Narif menggebrak meja dan berjalan meninggalkan halaman dengan Rackaryn yang menyusulnya. Sedangkan Almiha masih tenang menyesap tehnya.
Keesokan harinya, Zol menemui Rithia yang sedang berkutat dengan tanah liat di halaman belakang. Belum sempat ia berbicara, Rithia sudah menyela, “Kau penyusup yang waktu itu?”
Zol hanya bisa meringis, bagaimana bisa gadis itu tahu kedatangannya. “Ma-maafkan aku tentang kejadian kemarin. Sungguh aku tidak bermaksud untuk menyakitimu, Nona. Aku hanya terlalu terkejut karena kita saling berteriak.”
“Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan.” Rithia membasuh tangannya dengan air di gentong tepat di sebelah kirinya. “Kudengar dari Lily kau menjadi pengawal baru untukku? Kalau begitu siapa namamu?”
“Zolrysia, tapi panggil saja Zol.” Zol menerima uluran tangan Rithia.
“Hanya itu? Tidak ada nama keluarga?”
Zol hanya bisa meringis dan menjawab tidak. Bagaimana mungkin ia menyebut nama keluarganya jika ia sendiri kabur dari rumah? Ia yakin banyak Bangsa Eridan yang tidak tahu, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko terlacak oleh orang-orang dari Neofito yang menjadi pemasok bagi para pedagang Eridan.
Waktu berlalu dengan cepat hingga tidak terasa Zol telah menjadi pengawal Rithia selama satu bulan. Gadis buta yang ia kira akan sangat merepotkan itu ternyata mempunyai banyak kelebihan. Mulai dari bermain piano, bernyanyi, membuat patung dari tanah liat, dan memasak berbagai macam makanan.
Zol yang normal merasa kalah telak. Apalagi sebagai seorang perempuan, ia lebih sering berkelahi dan berburu. Sebenarnya ia bisa menari, hanya saja menari di Neofito identik dengan pelayan para tetua dan wanita penghibur sehingga orang tuanya menentang keras keinginan itu.
“Heh, pencuri. Kau ini pengawal adikku, kenapa malah ongkang-ongkang kaki di atas pohon?”
Zol melihat ke bawah, dilihatnya Rackaryn tengah berkacak pinggang.
Ia memetik sebuah apel dan dilemparnya ke pemuda itu. Dengan sigap tangan Rackaryn menerimanya. Kemudian Zol turun dari dahan tempatnya duduk tadi.
“Aku ini pengawal, bukan pengasuhnya. Lagipula kau tidak lihat adikmu itu sedang bermain dengan pelayannya? Aku tidak ingin mengganggu, toh aku masih bisa mengawasinya dari atas pohon. Oh iya, ini masih di daerah rumahmu, bukan di luar. Jadi, jangan terlalu khawatir.”
Wajah pemuda itu memerah, rahangnya mengetat dengan tangan menggenggam apel tersebut erat-erat. Dilihatnya Zol sudah melenggang pergi mendekat ke arah Rithia dan Lily.
“Kau itu terlalu keras dengan Zol, Rack. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik. Jadi, jangan terlalu keras padanya. Nanti kau malah jatuh cinta padanya.”
Rackaryn segera menoleh ke samping. Dilihatnya Narif sudah melenggang pergi sambil terkikik geli. Pemuda itu segera menyusul kakaknya dengan wajah yang semakin bersungut-sungut.
Malamnya seperti biasa, Zol akan tidur di dekat jendela Rithia. Jendela tempat pertama kali ia masuk ke kediaman Keluarga Wrick. Di sana ia tidak perlu takut kehujanan karena tempatnya tidur adalah koridor yang akan menyambung ke halaman belakang.
“Zol?”
“Tidurlah, Rit.”
“Nanti. Aku hanya ingin bertanya, kau pakai gelang kaki?”
Tangan Zol yang sedari tadi memainkan batu terdiam. Ia meraba pergelangan kakinya, terdapat gelang kaki berwarna perak dengan dua lonceng kecil di sana. Ia tidak menyangka pendengaran Zol setajam itu, padahal gelang kaki itu tersembunyi di balik sepatu botnya.
“Ya, karena para penari di tempatku memakai gelang kaki.”
“Kau dulu seorang penari? Pantas aku pernah mendengar hentakan kakimu di koridor malam-malam sebelumnya. Kuat dan berirama. Sangat indah, Zol.”
“Sayangnya aku bukan penari seperti dugaanmu. Orang tuaku melarang keras menjadi penari karena menurut adat, menjadi seorang penari sama saja menjual diri.” Zol menghela napas. “Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Ada satu penari yang paling dielu-elukan. Gadis tersuci di seluruh desa. Yang mengabdikan hidupnya pada Dewi Bulan sampai seorang lelaki meminangnya. Aku ingin menjadi penari itu. Tapi jika gagal, maka aku akan menjadi penari yang menjual diri.”
Rithia yang sedari tadi duduk di kusen jendela hanya bisa menghela napas. Perasaan yang sama seperti masa kecilnya dulu ketika ibu dan ayahnya melarang melakukan apa pun karena ia buta. Akhirnya setiap malam, ia mencuri-curi waktu bersama Lily untuk berlatih piano, memasak, dan membuat patung dari tanah liat.
“Kenapa kau tidak berlatih lebih keras? Pasti Dewi Bulan akan melihat usahamu dan memilihmu. Usaha tidak akan mengkhianati hasil, Zol.”
“Tapi....”
“Ayolah, percaya kepada Dewimu, Zol. Jangan dengarkan orang lain, ya.”
Sejak malam itu Zol berlatih menari dengan diiringi nyanyian dari Rithia. Latihan yang dijalaninya selama berbulan-bulan hingga tekadnya untuk menjadi seorang penari semakin kuat.
Lalu, bulan biru akan segera tiba. Waktu pemilihan penari Dewi Bulan akan segera diselenggarakan. Zol berniat pamit kepada Keluarga Wrick untuk pulang, tetapi niat itu dibatalkan. Ia harus segera melapor pada Tuan Rwaripa mengenai rencana perampokan yang tidak sengaja ia dengar dari para begundal pasar ketika sedang berbelanja bahan makanan bersama Lily.
Malamnya, seluruh penjaga di kediaman Keluarga Wrick memperketat penjagaan. Namun, Zol kecolongan. Setengah dari jumlah penjaga ternyata perampok. Dengan susah payah ia dan penjaga yang tersisa melawan para perampok itu.
Pertarungan sengit yang membuat Tuan Rwaripa, Rackaryn, dan Zol kewalahan. Hingga kejadian nahas itu terjadi. Tuan Rwaripa terbunuh oleh pedang salah satu perampok dan teman-teman mereka telah menabur bubuk mesiu ke seluruh penjuru rumah hingga kebakaran terjadi.
Zol dan Rackaryn tidak bisa mengejar para perampok yang kabur. Mereka harus segera membawa keluar penghuni yang tersisa agar tidak terpanggang hidup-hidup dalam kobaran api.
Setelah membawa keluar Nyonya Almiha, Narif, Lily, jasad Tuan Rwaripa, dan beberapa penjaga yang terluka, Zol teringat Rithia. Gadis itu masih mengunci dirinya di kamar sesusai pesan Zol.
Segera Zol membasahi tubuhnya dengan air sumur dan masuk menerabas kobaran api. Dengan sekuat tenaga Zol mendobrak pintu, dilihatnya Rithia pingsan di tengah kamar yang telah mengepulkan banyak asap. Ujung gaunnya yang terkena kobaran api segera ia padamkan. Lalu digendongnya gadis itu dan segera keluar.
Ketika mencapai halaman, Zol mencoba membangunkan Rithia. Gadis berambut pirang itu sempat tersadar sebentar, tetapi kembali memejamkan matanya. Berkali-kali Zol memompa dada Rithia dan hasilnya tetap sama, nihil. Tangis Zol pecah, bahkan ia memukul-mukul jasad Rithia berharap gadis itu akan marah dan memukulnya dengan tongkat yang biasa ia pegang.
Rackaryn memeluknya, berusaha menenangkan Zol yang mulai histeris. Majikan sekaligus sahabatnya kini telah pergi. Andai ia tidak menyuruh Rithia mengunci pintu, andai ia menyuruh Lily membawa gadis itu pergi jauh, dan andai-andai lain yang kini telah berkecamuk dalam pikirannya.
“Sudah, Zol, sudah. Rithia sudah pergi dengan tenang. Ikhlaskan kepergiannya, Zol. Ikhlaskan!”
Zol semakin meraung-raung hingga akhirnya ia kelelahan dan pingsan dalam pelukan Rackaryn.
Tepukan di pundak Zol menyadarkannya. Ia menoleh ke samping dan melihat Narif yang tersenyum.
“Mengingat masa lalu, eh? Sudah, Zol, jangan diingat-ingat terus. Ini hari pelantikanmu menjadi Penari Bulan. Bukankah ini yang kau tunggu-tunggu sejak dulu?”
Zol tersenyum, benar kata Narif. Ini hari bahagianya. Jika ia menangis sekarang, maka riasan wajahnya akan rusak. Yang ada, Narif akan semakin mengomel karena usaha perempuan itu hancur hanya gara-gara tangisan.
Setelah kejadian itu, Narif dan Nyonya Almiha ikut bersama Zol pulang ke Neofito. Tinggal sementara di kediaman Tetua Irselta, orang tua Zol. Awalnya mereka menolak, tetapi dengan usaha Zol yang meyakinkan, keduanya bisa tinggal. Sedangkan Rackaryn membangun kembali usaha Keluarga Wrick dengan sisa-sisa tabungan milik ayahnya.
Sekarang usaha Keluarga Wrick telah tumbuh kembali sehingga Nyonya Almiha bisa kembali, tetapi Narif tetap tinggal karena ia sudah menjadi istri dari kakak tertua Zol, yakni Ryaus Irselta.
Zol memakai jubah emasnya. Ia melangkah menuju panggung yang berada di tengah lapangan. Terlihat para tetua dan seluruh warga berbondong-bondong berkumpul melihatnya. Melihat tarian rembulan untuk menyambut datangnya bulan biru yang dipercaya oleh warga Neofito bahwa Sang Dewi turun ke bumi memberi berkah-Nya.
Suara hifon---alat musik sejenis biola---mengalun pelan. Kaki Zol melangkah penuh kehati-hatian. Berputar, berjinjit, dan mengibaskan tangannya. Gerakannya halus, lincah, kuat, sekaligus berirama. Menikmati tiap ketukan yang mulai merasuk dalam jiwanya.
Dilihatnya wajah-wajah para pengunjung dengan memperlihatkan senyum mempesona. Lalu matanya kembali terpejam, hanyut dalam buaian alunan hifon dan angin yang seakan ikut menari.
Dalam buaian itu, ia membayangkan Rithia datang. Ikut bernyanyi mengikuti alunan hifon seperti saat mereka latihan. Bahkan gadis berpipi tembam itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Zol.
Wahai Rithia sahabatku, terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku. Kau akan tetap selalu di hatiku. Semoga Dewi Bulan mempertemukan kita kembali di kehidupan selanjutnya. Sampai jumpa.
Semarang, 30-03-19
☁️☁️☁️
🌃
Salam, wanita yang sering kali dianggap pria dari Sawarga.
Surya Iloryza siloryzastev
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top