Sawarga
Daratan, tempat yang berbahaya.
Daratan, sarang makhluk kotor menjijikan.
Daratan, neraka yang diisi bongkahan daging dengan nafsu dan akal rendah.
Tiada kebaikan dari daratan.
Terutama bagi mereka.
Bagi dirinya.
Mereka tidak dianugerahi ekor seperti dirinya.
Mereka tidak bisa melihat betapa indah pemandangan dari bawah laut.
Dan, tentu saja.
Mereka tidak bisa memasuki Sawarga.
Tempat paling indah dari semua tempat.
"Apa yang kau lakukan, Ad?
Adrea mengerjap, menatap cahaya dari permukaan. Tangannya masih terjulur ke atas, merasakan hangat air yang membiaskan cahaya.
"Di sini enak, Coral! Airnya tidak dingin," sahut Adrea. Ekor birunya bergerak perlahan, menjaga tubuhnya tetap melayang pada tempat yang sama.
Kening Coral berkerut hingga menautkan kedua alisnya. "Tapi, di sini berbahaya. Kau tahu, kan?"
Tanpa memandang Coral, Adrea menjawabnya dengan tenang, "Aku tahu. Aku sudah menyuruh Dolpin untuk berjaga."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke sana?" Coral menunjuk pada bebatuan yang ditumbuhi koral. Tempat yang lebih aman dari tempat mereka sekarang. "Di sana koralnya banyak dan cantik."
Adrea menggeleng, "Buat apa? Sawarga bahkan memiliki ratusan jenis batu koral yang lebih indah."
"Tapi---"
"Kalau kau mau pergi, pergilah." Adrea memotong ucapan temannya cepat, tak mau mendengar rengekan Coral lebih banyak. "Aku masih mau di sini."
Coral diam. Sedikit menghela napas. Tampak udara yang keluar menghasilkan gelembung-gelembung kecil.
Temannya—Adrea— adalah makhluk keras kepala yang tidak akan mendengarkan sebelum keinginannya terpenuhi.
"Baiklah. Aku akan menemanimu." Pada akhirnya Coral mengalah dan menemani Adrea, meskipun ia tak terlalu menikmati tempat itu seperti Adrea. Ia hanya ingin memastikan temannya tidak melakukan sesuatu yang berbahaya, seperti berenang ke atas dan semakin dekat dengan permukaan.
Sementara, di sisi lain, Adrea hanya melirik Coral lewat ekor matanya tanpa berniat mengusir, meski ia tahu, Coral akan mengganggu ketenangannya sebentar lagi.
Salah satu tujuan Adrea datang ke tempat itu adalah untuk menenangkan diri. Final penentuan pemenang yang pantas menjadi seorang kesatria pelindung kerajaan sudah semakin dekat.
Lalu tiba-tiba terdengar suara. Seperti benda besar yang dijatuhkan ke lautan. Bukan cuma satu melainkan banyak. Tiga, lima, tujuh, sampai belasan yang mereka dengar.
Tidak butuh berpikir banyak, Coral langsung menarik tangannya untuk menjauh. Menggerakkan ekornya untuk berenang lebih dalam. Melawan arus yang kuat. Tekanan yang bisa membuat paru-paru mereka meledak. Sampai tiba ia merasakan nafasnya sudah semakin memberat. Adrea berhenti diikuti oleh Coral di depannya.
"Kau duluan saja," katanya dengan suara berat. Napasnya masih menderu.
Adrea jadi sedikit menyesal karena sebelum mendapatkan tempat tadi, ia sempat latihan. Latihan yang banyak menguras tenaganya, sampai-sampai berenang pada kedalaman ini saja ia sudah kelelahan.
Coral menggeleng. Rambutnya melayang dengan pelan ke kiri dan kanan. "Tidak bisa!" sahutnya tegas. "Kalau aku meninggalkanmu lalu kau ditangkap, kau pikir aku akan tenang?"
Adrea mendengkus, "Aku bukan orang bodoh yang membiarkan dirinya ditangkap begitu saja oleh manusia. Lagipula Dolpin belum melaporkan apa-apa padaku."
"Tetap saja. Bahkan napasmu pun pendek. Berenang seperti ini saja kau sudah kelelahan. Bagaimana jika kau diburu oleh mereka?"
Jika situasi mereka tidak sulit seperti sekarang, Adrea pasti akan menertawakan kepanikan temannya itu. Bagaimana bisa Coral melupakan seberapa hebat dirinya, bahkan di kelas kesatria, Adrea memiliki nilai tertinggi di antara ratusan murid seangkatannya. Ia bahkan menjadi satu-satunya calon kesatria yang akan menjadi pelindung kerajaan.
"Justru sebaliknya." Pelan, Adrea menjelaskan. "Jika kau bersamaku, aku akan sulit bertarung." Lalu ia menggerakkan tangannya seperti menadah sesuatu. Selanjutnya, pusaran air kecil terbentuk di telapak tangannya, semakin membesar hingga cukup menghasilkan pusaran air yang bisa menyeret seekor paus. "Kau mengerti, ‘kan?"
Dan bukannya mengangguk paham, atau takjub dengan kekuatan milik temannya, mata Coral justru membulat sempurna. Ketakutan jelas terbayang di wajahnya sekarang.
Ia memegang pundak Adrea, lalu mengguncang ke arah depan dan belakang. "Kenapa kau lakukan itu, Ad? Oh Tuhan, bagaimana jika mereka sampai datang ke sini? Lalu mengetahui keberadaan kita," ujarnya panik.
Sekali lagi, Adrea menghela. Meyakinkan temannya adalah satu hal yang sulit, mengingat sifat Coral yang penuh pertimbangan juga sulit mempercayai. "Kalau begitu kembalilah. Aku akan menahan mereka sementara kau memperingati yang lain."
"Tidak!" Coral menggeleng keras dengan kedua tangannya mengepal di kedua sisinya. "Aku tidak ingin kau tertangkap."
Mata Adrea terpejam, ia memikirkan kata-kata yang efektif dan bisa membuat temannya itu segera beranjak dari sana. Mengikuti rencana yang ia buat barusan agar mereka berdua, tempat tinggalnya, dan semua yang tinggal di Sawarga aman dan jauh dari jajahan tangan kotor manusia.
"Coral." Ia meraih kedua pundak temannya, memaksa mata mereka agar bisa saling memandang. "Ingat, kau masih punya tanggungjawab.” Sekali lagi, Adrea berusaha menjelaskan dengan tenang, “Ada adikmu yang harus kau lindungi." Lalu kembali memposisikan tubuhnya berdiri tegak. Memandang temannya dengan mata sayu yang menenangkan. "Dan Sebagai calon kesatria, aku juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi negeriku. Sawarga adalah rumah kita. Dan orang-orang yang hidup di sana adalah keluargaku. Aku tidak mungkin lari, bukan?"
Untuk beberapa detik berselang, Coral tak membuka mulutnya untuk bersuara. Membiarkan kelembung kecil yang tercipta dari mulutnya melayang ke atas lalu meletus.
"Baiklah."
Dan satu jawaban singkat yang keluar dari bibir Coral sudah cukup membuat Adrea bisa bernapas lega.
"Kalau begitu, aku akan pergi."
Adrea mengangguk, lalu memberikan senyum kecil kepada temannya.
"Jaga dirimu. Dan jangan memaksakan dirimu. Aku akan segera kembali dengan bantuan para kesatria yang lain."
Coral tak menunggu jawaban Adrea, ia langsung berbalik, mengibaskan ekornya lalu menjauh.
Sepeninggal Coral, laut menjadi hening. Tak ada suara aneh yang muncul, kecuali para ikan yang berbisik. Gelapnya dalam lautan, tak mengurangi intensitas penglihatan Adrea. Justru, ia bisa lebih berkonsentrasi dan semakin memfokuskan diri pada indranya yang lain.
Dengan gelombang, ia bisa merasakan pergerakan aneh dari sumber asing. Meski hanya berjarak tak lebih dari satu kilo.
"Drea!"
Suara Dolpin menggema di kepalanya, nada yang cukup menjelaskan bahwa bahaya tengah menghampiri. Tubuh Adrea refleks mengambil kuda-kuda. Bersiaga. Matanya awas menjelajah dengan konsentrasi tinggi pada gelombang di sekitarnya.
“Manusia datang!” sekali lagi Dolpin bersuara di kepalanya.
“Di mana mereka?”
Posisi Adrea tidak berubah. Ekornya bergerak begitu pula tubuhnya. Mencari arah datang manusia itu.
"Mereka berpencar. Tiga orang mengarah padamu."
Kening Adrea mengerut, dia tidak merasakan gelombang aneh apapun yang datang ke arahnya.
"Tapi, aku tidak merasakan apa-apa," sahutnya. Namun, konsentrasinya tidak goyah. Ia tetap bersiaga di tempatnya dan semakin memfokuskan pada pergerakan air dari makhluk asing.
"Mereka diselubungi balon air. Aku tidak tahu itu apa. Tapi, mereka bilang itu sihir air. Seperti perisai."
"Tidak mungkin!" Wajah Adrea mengeras, satu hal yang baru dia tahu sekarang. Bahwa manusia pun bisa menyelam di dalam air. Dan kemungkinan besar, mereka akan mengotori rumahnya, seperti rumah mereka sendiri.
"Sial."
Dengan ancang-ancang, Adrea mulai menarik air ke arahnya. Membuat pusaran seperti pusaran angin topan. Lima pusaran ia letakkan membentuk lima pilar dan sebagai pelindung agar mereka tak bisa masuk ke jalur Sawarga.
Hanya berselang beberapa menit setelah persiapan yang ia lakukan, Adrea merasakan gelombang aneh yang datang dari atasnya.
Tiga manusia seperti yang dikatakan Dolpin. Diselubungi oleh air yang membentuk bola.
Adrea, bergegas berenang menjauh. Bersembunyi di antara batu karang dan rumput laut yang bergerak cepat karena pilar yang ia buat. Memperhatikan dan mengawasi pergerakan mereka.
Dua orang tampak ingin pergi, namun seorang lagi seperti berusaha menerobos pilar yang ia buat. Sampai manusia itu terbawa arus miliknya, dan membuat manusia itu terombang ambing pada pilar-pilar, manusia itu berhenti bergerak.
Kedua teman manusia itu membantunya. Membuat dua sulur dari rumput laut di dekat mereka. Yang satu mereka ikat pada karang yang tidak jauh dari mereka, dan yang satu dilemparkan pada manusia yang terjebak di pilar Adrea.
Sangat lama mereka bisa berhasil. Manusia yang terjebak itu benar-benar sudah tak bisa lagi bergerak. Dan sulur yang dilemparkan juga tak bisa sampai pada manusia itu.
Adrea memejamkan matanya. Berpikir keras. Hingga satu kesimpulan mampir di kepalanya. Semakin lama mereka berada di sana, teman-teman manusia itu akan datang dan membantu mereka. Dan kemungkinan buruk yang bisa terjadi adalah, mereka akan bisa melewati pilarnya lalu menemukan jalan menuju Sawarga. Jadi, dengan berat Adrea memutuskan membantu mereka. Ia membuat tembakan air sampai pada sulur itu hingga ke manusia yang terjebak.
Sulur yang diciptakan oleh teman manusia itu kemudian mengikat. Lalu dengan usaha keras, mereka bisa menarik manusia itu keluar dan berenang menuju permukaan.
Adrea menghela nafas. Lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Pilar yang ia ciptakan kemudian ia hilangkan. Menggantinya dengan rumput laut lebat yang sulit untuk dilewati dan menyembunyikan jalan menuju Sawarga. Selanjutnya, ia bergerak, berenang menuju jalur Sawarga sebelum menutupnya dengan kerang dan rumput laut yang ia buat tadi.
"Setidaknya, mereka tidak akan kembali dalam waktu dekat," gumamnya kemudian berlalu.
.
.
.
.
.
"Casios, atau Ocean Tirtin, salah satu dewa air penguasa lautan selain Poseidon. Dalam mitologi, namanya tak pernah dimunculkan hingga tak ada yang tahu bahwa dewa Casios memiliki kekuatan besar yang bahkan bisa mengalahkan Sang Penguasa lautan, Poseidon.
"Dewa Casios memiliki kekuatan pembalik waktu yang mempu membuat dirinya bisa kembali pada kematian dan menjadi penyebab ia ditakuti oleh dewa-dewa lain. Berkat sumpahnya, Dewa Casios akan mengabulkan sebuah permintaan dari manusia apabila manusia itu berhasil menyelesaikan rintangan yang ia buat.
"Akan tetapi, sama halnya dewa-dewa lain, tak ada yang tahu dengan pasti keberadaan Dewa Casios. Dalam buku terlarang disebutkan bahwa dewa tersebut tinggal di Sawarga. Kota bawah laut, tempat tinggal bagi beberapa manusia duyung. Sayang, sampai seribu tahun yang lalu semua jalur menuju Sawarga telah lenyap dikarenakan kemurkaan Dewa Casios atas manusia yang yang terlalu tamak."
Mac menyelipkan kembali lembaran kertas yang sudah ia salin dari buku terlarang- yang tidak sengaja ia baca ketika bertugas menjaga buku itu.
Buku itu memberinya kembali harapan. Bahwa ia bisa kembali pada orang-orang yang ia sayangi. Kembali pada keluarganya. Kembali pada lautan yang tenang.
Dulu, harapan itu hampir habis oleh waktu, karena seberapa keras usaha yang ia lakukan, ia tetap tak menemukan jalan menuju Sawarga, tempat Dewa Casios berada. Namun, beberapa hari yang lalu harapannya kembali. Ketika nyawanya hampir terenggut dari dirinya, ia melihat satu harapan dari mimpinya yang hampir lenyap. Ia melihat seseorang atau mungkin seekor manusia duyung, menolongnya dari kuatnya gelombang air yang menghempas dan mengombang-ambingkan dirinya. Dan ia yakin, putri duyung itu tahu di mana jalan menuju Sawarga.
Mac kembali menghela nafas, lalu bagaimana dirinya akan kembali ke sana? Bagaimana caranya ia bisa bertemu dengan manusia duyung itu? Mereka bisa sampai di sana hanya karena kebetulan. Tugas reservasi oleh pengajar sekaligus untuk pengembangan pengetahuan sihir air mereka.
"Ck, dasar siswa teladan."
Mac berbalik dan menemukan wajah lusuh Aata, teman sekamarnya.
"Harusnya kau tahu, tanpa belajar pun kau pasti akan lolos besok. Jadi, biarkan temanmu ini istirahat." katanya lagi. Tangannya sibuk menggaruk kepalanya, "Besok kita harus bangun pagi. Ujian kenaikan itu sulit...." Aata menguap lebar, "Jadi, malam ini aku harus istirahat supaya besok bisa menunjukkan kemampuan terbaikku."
Mac tidak menyahut, hanya mendengkus melihat kelakuan temannya itu. Padahal, meski Mac membuat keributan, Aata pasti tak akan terganggu dari tidurnya. Temannya itu sudah seperti beruang yang sedang hibernasi kalau bertemu bantal. Dan Mac yakin, Aata bicara seperti itu hanya untuk membuat dirinya tidur dan beristirahat.
"Aish, lama."
Tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu, Aata mematikan lampu dan menarik temannya menuju ranjang.
***
"Kenapa datang ke sini lagi?"
Aata menggeleng kepala melihat kelakuan temannya yang tidak bisa bosan datang ke tepi batu karang untuk melihat laut ketika latihan usai.
"Kau ingin sekali ke sana?" Aata menunjuk laut yang diangguki oleh Mac.
"Kenapa?"
Mac ingin sekali menyahut, "Karena dari sanalah aku berasal dan aku ingin pulang." Namun, Mac tahu Aata hanya akan menertawakannya jika menjawab seperti itu. Maka dari itu, ia hanya tersenyum dan menanggapinya dengan singkat. "Di sini nyaman."
Aata menghela, kemudian berlalu dari sana setelah mengatakan, "Jangan sampai terlambat jika tak ingin dihukum." Karena ia tahu, Mac tidak akan kembali bersamanya jika Mac belum memuaskan dirinya.
Mac sebenarnya ingin jujur pada temannya mengingat bagaimana sifat temannya itu yang setia kawan. Sayangnya, ajaran para tetua sudah tertanam jelas di kepalanya, bahwa manusia daratan adalah manusia tamak yang akan melakukan apa saja untuk memuaskan nafsunya. Apalagi Mac tahu, jika manusia bisa hidup abadi hanya dengan mengekstrak duyung.
Kembali ingatannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu, saat dirinya dipenuhi oleh ambisi dan rasa ingin tahu. Melupakan peringatan para tetua dan orang-orang yang ia sayangi dan melanggar hukum kerajaan. Sampai ia sadar dan semuanya sudah terlambat. Ia berakhir dengan kesedihan yang terus memenjaranya.
Mac menghela nafas. Ia hanya butuh satu kesempatan untuk kembali ke sana. Ia benar-benar sudah lelah menjalani kehidupannya yang sekarang dan ia ingin kembali.
Dewa Casios.
Sawarga.
Dua kata itu adalah kuncinya.
Mac tersenyum kemudian bangkit dari sana. Berlalu. Sampai ia mendengar suara rintihan lirih dari seseorang. Langkah kakinya berubah arah yang kemudian membawanya di ujung tepi batu karang. Matanya menyipit guna memfokuskan pandangannya pada satu titik. Di sana, Mac melihat ada seorang gadis yang merintih. Wajah dan sebagian atas tubuhnya menyandar pada bebatuan, sementara bagian tubuh ke bawah tertutupi oleh air.
Tanpa membuang waktu, Mac merapalkan sesuatu hingga akar-akar di sekitar batu karang yang ia pijaki bergerak membentuk tangga hingga ke bawah. Ia menuruninya dengan cepat sampai pada gadis itu.
"Hei, kau- akh!" Mac menarik kembali tangannya bingung. Suhu gadis itu terasa panas di kulitnya. Sangat kontras dengan suhu kulitnya yang dingin karena suhu udara di sekitar mereka. Benar-benar aneh. Namun, bagaimana pun perasaannya terhadap manusia, ia juga tak mungkin membiarkan gadis itu sekarat dan mati di sana.
Setelah merapalkan sesuatu, Mac melepaskan sweater-nya dan membungkus tubuh bagian atas gadis itu yang hanya menggunakan kerang dan rumput laut untuk menutupi dadanya. Selanjutnya, ia menyisipkan tangannya di bawah punggung gadis itu lalu di bawah lututnya dan... tidak ada kaki.
Mata Mac melebar ketika menyadari bahwa gadis itu bukanlah manusia, melainkan duyung. Kebingungan menyelimutinya. Ia sangat ingin menyelamatkan gadis itu, namun di sisi lain, ia takut apabila gadis itu ditemukan oleh orang lain. Dan saat ini, waktunya tak banyak untuk kembali ke asrama.
Dalam waktu yang singkat, dipenuhi oleh kebingungan, Mac memutuskan untuk menyelamatkan putri duyung itu. Membawanya pada tempat yang aman lalu menyembunyikan keberadaan putri duyung itu. Kembali ke asrama untuk mengambil poison.
Putri duyung itu harus selamat. Hanya dia yang mampu menolongnya.
Mac kembali pada putri duyung itu. Menggunakan sihir air, ia membentuk bola air lalu memasukkan putri duyung itu ke dalamnya dan menuangkan possion tersebut. Perlahan namun pasti luka menganga pada ekor dan luka-luka goresan di tubuh putri duyung itu berangsur menghilang.
Mac tersenyum ketika menyadari putri duyung itu hampir pulih dari luka-lukanya.
Akhirnya ia bisa ke Sawarga. Akhirnya ia bisa bertemu Dewa Casios. Akhirnya ia bisa pulang.
Sampai mata gadis itu terbuka lebar, harapan Mac pupus. Alih-alih berterima kasih, gadis itu justru menyerang Mac hingga tubuh Mac terhempas pada karang di belakangnya.
Bola air yang dibentuk Mac pecah dan membuat putri duyung itu jatuh di atas pasir.
"Apa yang kau lakukan?" Mac bangkit. Untung saja tubuhnya refleks membuat perlindungan hingga rasa sakit akibat hempasan itu tak sampai menyakiti tubuhnya.
"Manusia!"
Sekali lagi putri duyung itu menyerangnya. Tak peduli pada tubuhnya yang tak bisa bangkit di atas pasir. Dengan tangan kiri ia menyanggah tubuhnya agar tegak dan tangan kanan ia gunakan untuk membentuk sihir berupa jarum-jarum air kecil lalu menghempaskan pada Mac.
Mac melompat lalu menghindar. Kemudian menggunakan akar yang ada di belakangnya untuk mengekang gadis itu. Mengikat kedua tangan dan ekornya agar tak bergerak. Lalu dengan sihir lain, ia membuat gadis itu tak bisa menggerakkan tubuhnya.
"Tenanglah!" kata Mac seraya menghampiri gadis itu. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakanmu."
Putri duyung yang masih tetap mencoba menggerakkan badannya itu mendongak dan menatapnya dengan pandangan membunuh. "Bagaimana bisa aku mempercayaimu?" sentaknya keras.
Mac memejamkan mata seraya menghela. Dia tentu tidak bisa menyalahkan putri duyung itu yang tetap waspada di hadapannya. Dia juga tahu bagaimana bencinya para duyung terhadap manusia.
"Aku memang tidak bisa membuktikan jika aku tidak akan membuatmu dalam bahaya sekarang." Mac melihat lilitan akarnya yang sudah menyakiti tangan gadis itu lalu melonggarkannya sedikit, "Tapi, membiarkanmu sekarat dan ditemukan manusia lain, bukan pilihan baik juga, bukan? Aku tidak yakin, jika mereka bisa berbuat lebih baik dari aku. Kau tahu, kebanyakan manusia yang melihat duyung akan memanfaatkan mereka untuk memperoleh keabadian," jelasnya dengan tenang.
Raut wajah putri duyung itu berubah. Ia tentu tidak ingin tubuhnya diperlakukan buruk oleh mereka, maka dari itu gesturnya berubah. Ia tak lagi memberontak dan pasrah pada perlakuan Mac yang kembali membuatnya berada di dalam bola air.
"Jadi, namamu siapa?" Mac bertanya namun konsentrasinya tetap berada pada bola air yang ia buat. Possion yang ia ambil dari asrama masih tersisa sedikit dan cukup untuk mengobati sisa luka putri duyung itu.
Putri duyung itu masih memejamkan mata, merasakan luka di sekujur tubuhnya satu per satu sembuh. Bahkan pada sayatan panjang di ekornya. Ia menggerak-gerakkan ekornya untuk meyakinkannya.
Bola air yang Mac buat berangsur menyurut, menyisakan air hingga sebatas pinggang putri duyung itu.
"Adrea," sahut putri duyung itu. Masih tetap waspada pada tiap pergerakan Mac.
Tanpa memedulikan reaksi Adrea, Mac kembali bertanya, "Lalu kenapa kau bisa terluka seperti itu?" Mac belum melepaskan putri duyung itu dan masih tetap menahannya. Meski kelihatan jika ia hanya ingin membantu, namun kenyataannya dalam air yang tadi ia gunakan untuk penyembuhan putri duyung itu, ia sudah menyisipkan mantra pengekang yang aktif apabila gadis itu melakukan sesuatu padanya dan berniat kabur.
"Bukan urusanmu. Aku juga tidak memiliki tanggung jawab untuk menyahutnya." Putri duyung itu masih berbicara sarkas pada Mac, tetapi tak juga berniat melarikan diri.
"Baiklah kalau kau tidak ingin menjawabnya. Setidaknya aku tahu siapa dirimu dan mungkin juga karena itu pula kau bisa mendapatkan luka seperti itu." Mac mengangkat bahunya acuh. Masih mengabaikan sikap Adrea.
Ini adalah kesempatannya.
Mac terdiam beberapa detik, membiarkan angin laut menyusup di sela-sela antara dirinya dan putri duyung itu, sebelum menarik nafas panjang dan menatap putri duyung itu dengan tekad yang besar.
"Sebelum aku melepasmu kembali ke lautan, aku ingin kau memberitahuku satu hal." Mac memulainya dengan pelan. Namun, tidak dengan basa-basi yang bisa menghabiskan banyak waktu.
Adrea mengangkat kepalanya dan menatap sepasang mata biru di depannya. Masih dalam posisi bersiaga, ia menyahut, "Apa?" dengan pertanyaan lain.
"Kau tau Dewa Casios?"
Gestur tubuh Adrea berubah. Tubuhnya menegang dengan wajah yang menyiratkan kewaspadaan. Ia belum menyahut, membiarkan suara deru ombak mengisi kebisuan di antara mereka. Matahari sudah mulai menghilang, menyisakan warna lembayung pada senja di langit.
"Tidak," sahut Adrea tidak lama kemudian setelah melihat tatapan Mac berubah.
Ia tahu ada yang salah pada laki-laki di hadapannya itu. Meski Mac sudah menolongnya dengan menyembuhkan semua lukanya, laki-laki itu pasti punya tipuan di balik kebaikannya.
"Kau juga tahu Sawarga?"
Tubuh Adrea semakin menegang karena kata-kata Mac. Dengan gerak refleks, tubuhnya mengambil posisi bersiaga. Adrea sudah siap menyerang Mac kapan saja.
Mac menampakkan senyumnya, tidak terpegaruh pada sikap Adrea. Ia tahu mengapa putri duyung itu bertindak demikian. Karena ia pun akan bertindak seperti itu jika melihat sesuatu yang dapat mengancamnya. Namun, satu hal yang pasti, Adrea tahu tentang Dewa Casios dan Sawarga.
"Kau tahu, Adrea. Aku sudah menolongmu, maka dari itu kau wajib membalas budi," kata Mac pelan namun cukup untuk menekan Adrea. Mac tahu, harga diri seorang kesatria bagaimana tingginya dan ia akan memanfaatkan harga diri itu untuk keinginannya. "Aku hanya memintamu untuk mempertemukan aku dengan Dewa Casios. Antarkan aku ke Sawarga," tutupnya dengan tegas.
Sementara Adrea di tempatnya tak menyahut, justru kuda-kudanya semakin mantap. Ia menatap Mac semakin tak bersahabat. Ia seorang kesatria. Pejuang yang bertugas melindungi kerajaan. Negerinya. Harga dirinya tidak ada apa-apanya dibanding dengan keselamatan rakyat di Negerinya.
"Kalau begitu bunuh aku sekarang!" sahut Adrea tegas. Tak ada keraguan dalam tiap kata yang ia lontarkan pada Mac. "Aku tidak akan pernah membalas budi dengan cara seperti itu."
Mac tahu, setelah mengetahui siapa putri duyung yang ia tolong, ia tak akan mudah mendapatkan keinginannya. Jadi, ia memilih jujur dan menjelaskan siapa ia dan tujuannya bertemu dengan Dewa Casios.
Mac kemudian membuka bajunya, perlahan menarik paksa sesuatu yang menyerupai kulit di punggungnya hingga memperlihatkan tatto yang tidak pernah ia perlihatkan kepada orang lain, sekali pun Aata yang menjadi teman sekamarnya lebih dari tiga tahun.
Tatto itu sangat sederhana menyerupai tombak dengan tiga mata runcing di ujungnya, dililit oleh rumput laut, namun Adrea tahu arti tattoo itu. Tattoo seorang pejuang. Meski tiap Negeri memiliki gambar berbeda, namun tetap ada kesamaan.
"Dari mana kau dapat tattoo itu?" Adrea bertanya dengan rasa tidak percaya yang sangat jelas di matanya.
"Kau pernah dengar pangeran Silian dari Negeri Neofito yang menghilang?" Mac berujar pelan, memaksa matanya agar tetap tegak menatap Adrea yang menatapnya penasaran.
"Pangeran Silian, mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kerajaan Neofito dari manusia," sahut Adrea, "dan ia mati karena itu."
Mac menggeleng. "Salah."
Kening Adrea menyerngit, namun tidak lama kemudian matanya membulat. "Jangan katakan kau adalah ...."
Mac mengangguk kemudian tersenyum miris, "Iya. Aku adalah pangeran itu. Karena kebodohanku, aku berakhir seperti ini. Dan aku ingin kembali pada Negeriku."
"Jangan membohongiku!" Adrea membentak. "Aku tahu kau hanya ingin memasuki Sawarga untuk menghancurkannya, sama seperti Neofito." Dan Adrea tidak mungkin membiarkan Negerinya hancur.
"Aku tidak membohongimu." suara Mac menjadi lebih pelan dari sebelumnya. Tidak lagi menekan Adrea. Satu hal yang ia inginkan sekarang adalah Adrea menyetujuinya dan ia bisa kembali pada lautan yang tenang.
Mac sangat merindukan keluarganya, istana dan Negerinya.
Jika Adrea tidak menyetujuinya, Mac tidak tahu harus melakukan apalagi selain berusaha menerobos lautan yang dalam hingga paru-parunya meledak dalam tekanan yang menyesakkan.
"Kumohon tolong aku. Aku ingin pulang." Dan Mac tidak lagi menyembunyikan kesedihan yang selama ini ia sembunyikan. Suaranya semakin lirih dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Bagaimana jika kau membohongiku? Negeriku yang kupertaruhkan saat ini." Suara Adrea juga melirih. Dia tidak tahu mengapa ketika melihat Mac, membuat dadanya berdesir tak nyaman. Empati yang tidak pernah dia rasakan pada manusia sebelumnya kini dia rasakan pada Mac.
Mac tahu, bagaimana dilema yang dirasakan oleh Adrea saat ini, namun ia juga tidak berbohong. Mac hanya ingin pulang ke rumahnya. "Kau bisa mengekangku dengan menggunakan rumput laut Melion. Jika aku berusaha menghancurkan Negerimu, kau bisa langsung membunuhku."
Adrea tak lagi berucap, tidak banyak yang tahu mengenai rumput laut Melion. Hanya mereka para kesatria yang diberitahu, karena sifat toksik yang dihasilkan rumput laut itu yang sangat membahayakan. Apalagi terhadap manusia, hanya sentuhan kecil bisa melumpuhkan.
"Baiklah." Adrea mengalah. "Kapan kita berangkat?"
"Sekarang." Cepat dan tegas. Mac terdengar tidak sabar. Pandangannya mengarah pada langit yang sudah gelap. Artinya, para penjaga akan mencarinya karena ia belum kembali dan jika mereka berdua ditemukan, maka dia dan Adrea tidak memiliki kesempatan untuk kembali.
"Kalau begitu kita bergerak."
Mac menggerakkan bola air yang mengekang tubuh bagian bawah Adrea menuju lautan, diikuti olehnya di belakang. Ketika mereka sudah berada di dalam lautan, Mac melepaskan bola air miliknya dari Adrea dan membuat bola air berisi udara untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, Adrea mengeluarkan rumput laut yang ada di tas kecil di pinggulnya lalu melilitkan pada tubuh Mac hingga membuat tubuh Mac lemas dan hampir membuat bola air Mac pecah. Namun, Adrea melapisi bola air tersebut hingga tak pecah.
Mereka bergerak, berenang semakin dalam, melawan arus air dan tekanan yang kuat. Telinga Mac berdengung dengan rasa sakit juga dadanya yang semakin sesak ketika mereka berada pada kedalaman yang jauh.
Adrea hanya melirik Mac yang semakin melemah, namun tidak juga mencoba membantunya. Itu adalah resiko yang harus Mac terima untuk mendatangi Negerinya. Untuk bertemu dengan Dewa Casios.
...
Adrea terus berenang sembari membawa Mac bersamanya. Arus laut yang kuat beberapa kali menghempas mereka, beberapa kali juga mereka terbawa arus hingga jarak mereka dengan jalur ke Sawarga semakin jauh. Dan akhirnya, perjuangan mereka tidak menjadi sia-sia ketika mereka tiba di jalur Sawarga yang pernah Adrea tutup.
Adrea merapalkan beberapa mantra seraya menggerakkan kedua tangannya hingga rumput laut dan batu karang yang menutupinya menepi dan membuka jalan. Mereka masuk, melewati lorong dengan cahaya koral yang menerangi di dindingnya.
Lorong itu seperti labirin yang menyesatkan. Banyak cabang, tikungan, jalan ke atas pun ke bawah yang harus mereka lewati dan jika mereka tidak mengetahhui jalan yang benar, mereka akan tersesat.
Hingga sampai pada ujung lorong. Cahaya silau dari beberapa koral menyapa netra mereka. Mac memejamkan matanya untuk menyesuaikan cahaya itu, sementara Adrea tidak melakukan apa-apa dan tetap melanjutkan perjalanan mereka.
Adrea berhenti tidak jauh dari gerbang masuk menuju Sawarga, ia menatap Mac dan melepaskan lapisan bola air yang menutupi bola air Mac, "Kau siap?"
Mac hanya mengangguk. Meski ia sangat bersemangat sekarang, namun tubuhnya berkehendak lain. Tubuhnya benar-benar sulit digerakkan. Di matanya seperti diletakkan lem super kuat hingga ia sulit untuk membukanya, bahkan pada pendengarannya yang sudah samar-samar. Tubuhnya hanya bisa terbaring di dalam bola air yang ia buat dengan rumput laut Melion yang masih melilit tubuhnya.
Adrea menghembuskan nafas kesal. Mac memang sudah menyelamatkan dirinya, tetapi laki-laki itu sangat merepotkan. Dan meski pun Adrea ingin meninggalkannya, Mac seperti punya sesuatu yang membuat Adrea tidak bisa melakukan itu.
Ia kemudian melepaskan lilitan rumput Melion di tubuh Mac, lalu mengambil beberapa helai rumput laut tak jauh dari mereka dan melilitkannya di tubuh bagian bawah Mac hingga membentuk ekor yang menyembunyikan dua kaki milik laki-laki itu.
"Kau punya possion dan mantra penyembuh, kan?" tanya Adrea tak peduli pada kondisi Mac yang semakin lemah.
Ada dengusan lirih yang keluar dari mulut Mac sebelum menyahut, "Apa kau tidak punya belas kasih?" dengan suara yang sama lirihnya.
Namun, Adrea tak peduli. "Apa aku harus mengasihani manusia yang bisa saja merusak negeriku?" balasnya dengan sarkas.
Mac menarik nafas panjang. Ternyata kebenaran yang tadi dia beberkan tidak memengaruhi Adrea sama sekali. Namun, sebentar lagi, Adrea tidak akan berpikir sama jika wujudnya yang dulu sudah kembali. "Sudah kukatakan, kau bisa membunuhku jika aku melakukan hal itu."
"Tidak ada manusia yang bisa dipercaya!"
"Kalau begitu, jangan percaya!" balas Mac sama sarkasnya seperti Adrea.
Adrea menghela, tidak ada gunanya berdebat dalam kondisi mereka sekarang. Lebih cepat selesai, maka urusannya dengan Mac akan cepat berakhir. Dia tidak mau lebih lama berurusan dengan manusia.
"Apa kau sudah selesai?" Adrea bertanya dengan suara yang lebih pelan. Meski ia tahu, jika keadaan Mac belum sebenuhnya baik. Tetapi, ia yakin jika Mac akan menjawabnya dengan jawaban yang ia inginkan.
"Iya. Kita bisa melanjutkannya," sahut Mac, "tetapi aku tidak bisa melepaskan bola air ini. Aku tidak akan bisa bernafas di sini, dan mati sebelum wujudku belum kembali seperti dulu."
Adrea tak memprotesnya, kemudian kembali menyelubungi bola air Mac dengan kekuatannya. Kali ini fungsinya lebih mengekang dari pada sebelumnya dan tidak untuk melindungi. Adrea yakin, kondisi Mac yang sekarang bisa membuat laki-laki itu bisa membentuk bola air yang lebih kuat. Terlebih di Negerinya ini tidak memiliki tekanan mematikan seperti yang mereka lewati tadi.
"Bertindaklah seperti tawanan." Adrea melirik Mac yang bergerak tak nyaman di dalam bola air. Seperti ikan yang terjebak dalam kerang dan mencari jalan keluar. "Aku tidak mau mereka tahu kalau kau adalah manusia."
Mac berhenti bergerak dan menatap Adrea yang mengawasi sekitar mereka, "Baiklah," sahutnya kemudian. Selanjutnya laki-laki itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Adrea.
Mac tahu, bagaimana perasaan Adrea dan ia pun tidak akan memaksa Adrea untuk mempercayainya. Cukup membiarkan Adrea melihat perubahannya dan semuanya akan berakhir baik.
"Kita bergerak sekarang." kata Adrea kemudian.
Memasuki gerbang Sawarga memunculkan kembali perasaan Mac terdahulu. Rindunya pada lautan, rindunya interaksi sesama duyung ketika ia melihat Adrea disapa oleh para penjaga gerbang, rindunya ketika ia melihat koral, terumbu karang, juga berbagai jenis ikan yang hanya dijumpai di laut dalam.
"Wajahmu harusnya lebih didramatiskan, bukan seperti anak kecil yang baru saja melihat paus raksasa."
Mac berpaling pada Adrea, memutus rasa haru yang baru saja ia rasakan. "Maaf! Aku tidak bisa berpura-pura. Ini terlalu mengagumkan. Bahkan di Neofito pun tidak ada koral seindah itu. Ikan-ikan juga tidak sebanyak di sini."
"Tapi, Istana Kerajaan Neofito adalah istana yang paling mengagumkan dari seluruh kerajaan yang ada di laut," sahut Adrea. Dirinya bahkan berandai jika suatu saat nanti dia akan mengunjungi kerajaan itu dan secara langsung melihat bagaimana kemegahan istana Neofito yang kabarnya merupakan salah satu keajaiban dari dunia bawah laut.
"Yah, kau benar," Mac menyahut menyetujui. Matanya kembali menangkap kumpulan ikan pari yang berenang di atasnya. "Sayangnya, Neofito tak diberkahi keindahan bawah laut seperti itu oleh Dewa Casios. Bahkan Dewa Casios sendiri memilih tinggal di sini," lanjutnya dengan suara lebih pelan.
Adrea kembali meliric Mac, laki-laki itu tampak menerawang, meski matanya tetap mengagumi tempat tinggalnya.
"Lalu, apa alasanmu mengubah ekormu menjadi kaki? Yah, meski aku tak yakin jika kau adalah seekor mermain."
"Aku akan menganggap kau tidak mengatakan kata-katamu yang terakhir," sahut Mac santai. "Tapi, aku akan menjawab pertanyaanmu."
Adrea menaikkan sebelah alisnya. Ekornya terus bergerak semakin ke dalam ke tempat di mana tujuan mereka.
"Ini semua karena aku jatuh cinta pada manusia. Pada sosoknya yang luar biasa, juga kebaikannya yang tidak memandang. Aku jatuh cinta pada manusia yang terlarang bagi duyung," sahut Mac, kembali menerawang.
"Apakah karena dia sudah melakukan sesuatu padamu? Menolongmu, misalnya."
Mac mengangguk. "Yah. Dia menolong hatiku yang hampir sekarat."
"Bodoh," decak Adrea ketika mengetahui apa yang dimaksud duyung laki-laki itu.
"Yah, kau benar. Aku memang bodoh. Tapi, aku tidak bisa membohongi hatiku. Selama hidup, aku belum pernah merasakan perasaan mendamba pada sesuatu. Hatiku selalu berdesir ketika melihatnya dan aku selalu menantikan kehadirannya."
Adrea mendengus, "Lalu kau mengubah ekormu jadi kaki?"
Mac mengangguk.
"Hanya karena itu?"
Lagi-lagi Mac mengangguk.
Dan Adrea benar-benar tak habis pikir dengan pikiran laki-laki itu. Ia memang belum pernah merasakan perasaan itu sebelumnya, tetapi ia yakin jika suatu saat ia diberikan perasaan seperti itu, maka ia akan menggunakan akalnya dan tidak akan bertindak bodah seperti Mac.
Tetapi, benarkah Mac memang dulunya adalah duyung? Mengapa Adrea meragukan pendapat awalnya yang menyebutkan bahwa Mac adalah manusia?
"Jadi, bagaimana dengan manusia itu?" Adrea mengalihkan kebingungannya dengan bertanya. Sebenarnya, Adrea bisa menebak bagaimana akhir kisah Mac dilihat dari bagaimana kondisi laki-laki itu sekarang.
"Aku mencari berbagai cara untuk bertemu dengannya," Mac menjeda ucapannya. Tarikan nafasnya begitu dalam dan lama sebelum menghembuskannya perlahan. "Sayangnya, ketika aku berhasil menemuinya, ia tidak mengenalku dan bahkan sudah menikah dengan manusia lain."
"Oh...." Katakan saja Adrea seperti tak punya hati karena hanya menanggapinya seperti itu, tetapi Adrea juga tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia bukan tipe yang suka berempati kepada duyung lain karena kebodohan duyung itu sendiri.
"Apakah masih lama?" Dan Mac juga bukan tipe yang suka memaksakan lawan bicaranya agar lebih berempati padanya. Ia lebih memilih mengalihkan topik ke hal lain yang bisa mengubah suasana mereka.
"Jika tidak ada halangan, kita akan segera sampai."
"Maksudmu?"
"Berdoalah supaya para penjaga kuil membiarkan kita masuk tanpa menahan. Dan sebenarnya, Dewa Casios yang kau bicarakan itu tidak ada. Aku hanya membawamu ke kuil untuk bertemu dengan Naiad. Ia mungkin tahu cara mengembalikan ekormu."
"Iya. Aku tahu."
Dan obrolan berhenti ketika mereka tiba di dekat sebuah terumbu karang raksasa dengan beraneka ragam anemon laut yang menempel di sekitarnya. Ada banyak rumbai-rumbai yang menari-nari mengikuti arus laut, ikan-ikan dengan berbagi jenis dan bentuk berenang. Dua ekor lumba-lumba abu-abu bergerak. Ada juga kura-kura. Dan yang lebih mengagumkan adalah formasi batuan koral dengan gua-gua yang tertutup karang dan spons.
"Kau yakin itu adalah kuil, Ad? Bukan tempat destinasi wisata, kan?" Mac berujar dengan rasa kagum yang tak bisa dia sembunyikan. "Tapi, tempat itu benar-benar indah. Rasanya aku ingin pindah di sini saja kalau ekorku sudah kembali."
Adrea memandang Mac kesal, "Mac, jika tatapanmu begitu terus, kita akan ketahuan. Jadi, berhenti membuat wajahmu seperti itu, oke!"
Mac mengangguk cepat. Meski begitu, tatapan kekaguman terus terpancar dari dua bola matanya yang menatap pemandangan indah di hadapannya itu.
"Kita akan sampai sebentar lagi." Adrea kembali bersuara dengan suara jengkel karena Mac keras kepala.
"Iya."
Mengerti dengan situasinya, Mac mengikuti keinginan Adrea dan mengubah ekspresi wajahnya. Ia juga bertidak seolah-olah menjadi tawanan Adrea.
Dua orang penjaga dengan tombak mata tiga menghentikan mereka ketika telah sampai di depan kuil. Beberapa menit Adrea berbicara dengan mereka hingga ia diijinkan masuk.
Memasuki area dalam kuil, mereka disuguhi oleh pemandangan menakjubkan lainnya, kali ini Mac tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengagumi.
Berbagai jenis kerang membuka dan menutup hingga menghasilkan gelembung-gelembung air. Koral dan berbagai alga dengan warna-warni yang berpadu bercahaya dan menerangi tempat itu. Ada kura-kura tua yang tengah tertidur di sisi kiri. Tempurungnya tertempel terumbu karang kecil dengan tentakel-tentakel yang menghasilkan gelembung kecil. Ikan-ikan kecil berenang-renang di sana. Di bagian atas tampak bebatuan yang mengkristal dan bersinar kerlap-kerlip layaknya bintang di angkasa.
"Naiad...."
Mac berhenti mengagumi dan mengalihkan pandangannya pada sesosok putri duyung yang tengah duduk di sebuah singgasana. Sosok yang begitu mengagumkan dan indah hingga membuat Mac terpaku di tempatnya.
"Dia adalah pangeran Silian dari Negeri Neofito," lanjut Adrea.
"Aku tahu," sahut Naiad. "Aku juga tahu kalau ia sudah mengubah ekornya menjadi kaki."
Adrea tidak merespon berlebihan ketika tahu Naiad sudah mengetahui semuanya. Putri kuil itu adalah satu-satunya keturunan dari klan yang dianugrahi penglihatan luar biasa.
"Dan untuk itulah kami kemari," timpal Mac di samping Adrea.
Naiad berdiri dari singgasananya. Ekornya bergerak menuju salah satu lorong di samping singgasananya. "Ikuti aku." Lalu Mac dan Adrea mengikuti putri kuil tersebut.
Sampai di ujung lorong, mereka disuguhi oleh sebuah kolam yang di kelilingi bebatuan, bersinar, dan sedikit berasap.
"Masuklah ke dalam." kata Naiad. "Jika jiwamu benar-benar adalah seekor Mermain, maka ekormu akan kembali. Namun jika tidak, tubuhmu akan hancur oleh tekanan air itu."
Adrea melirik Mac, sementara laki-laki itu menelan ludahnya kelat. Bagaimana bisa ia menahan tekanan bawah laut tanpa bola udara?
"Jadi, aku harus masuk ke dalam?" tanya Mac ragu.
Adrea memutar matanya bosan, "Pertanyaan bodoh Mac."
Menyadari kebimbangan Mac, Naiad membuatkan gelembung udara di kepala Mac dan meminta Adrea untuk melepaskan bola air miliknya yang menyelingkupi tubuh Mac.
Tubuh Mac melayang, kakinya bergerak-gerak gelisah karena tak memiliki pijakan. Ia kemudian menenangkan diri hingga kakinya bisa menyentuh permukaan batu yang dilapisi alga merah menyala. Lalu perlahan melangkahkan kakinya mendekati kolam itu.
Rasa hangat pertama kali menyapa kakinya ketika menginjak permukaan air. Perlahan rasa hangat itu semakin menjalar hingga ke tubuhnya yang lain ketika seluruh tubuhnya sudah sepenuhnya berada di dalam kolam.
Air yang keruh membuat pandangan Mac terbatasi. Tidak ada yang bisa ia lihat selain warna keruh dari air. Namun, dalam kepalanya ia membayangkan kakinya berubah kembali menjadi ekor, berenang, merasakan oksigen dalam air, berinteraksi dengan kawan lamanya, dam bertemu dengan keluarganya di Neofito.
Lalu tiba-tiba Mac merasakan panas pada tubuh bagian bawahnya. Semakin panas hingga seperti melelehkan kakinya. Mac ingin kembali karena tak tahan dengan rasa itu, tetapi kakinya tak bisa ia gerakkan. Dan lama-kelamaan oksigen dalam bola air milik Naiad menghilang, menyisakan sesak yang menghimpit dadanya. Mac seperti berada dalam tebing menuju kematian.
Tubuhnya tertarik tiba-tiba ke atas. Ketika matanya sudah bisa menyesuaikan, ia melihat Naiad menarik dirinya dengan rumput laut bersinar yang terlilit di tubuhnya. Namun, meski begitu, tetap saja nafasnya masih sesak. Ia tak lagi bisa bernafas. Mac kemudian jatuh dan tak sadarkan diri.
***
Mac tidak tahu, apakah saat ini ia benar-benar sudah mati ataukah ia masih berada di ambang batas kehidupannya. Melihat pemandangan di depannya yang mirip dengan surga yang ia rindukan, dengan kedua matanya tanpa penghalang berupa bola air.
Ia bisa mendengar suara ikan-ikan kecil ketika melewatinya, ia bisa mendengar suara makhluk-makhluk air lain yang sedang berinteraksi, ia bisa mendengar suara air yang melewati karang bercabang. Dan yang lebih menakjubkan adalah kakinya yang berubah kembali menjadi ekor.
"Anda sudah bangun, Pangeran?"
Suara dari bawahnya menyadarkan Mac. Berpaling pada arah suara, Mac melihat seorang pelayan menghampirinya dengan membawa nampan kerang yang isinya adalah rumput laut yang ia ketahui memiliki fungsi untuk penyembuhan.
"Aku di mana?"
Pelayan itu tersenyum, lalu memberikan kerang tersebut pada Mac, "Istana Neofito, Pangeran."
Kening Mac menyerngit, bingung dengan keadaannya sekarang. Bagaimana bisa ia berada di istananya?
"Bagaimana bisa aku berada di sini?"
Pelayan itu kembali tersenyum. "Para kesatria dari kerajaan Sawarga yang membawa Anda."
"Lalu di mana mereka?"
"Mereka ada di aula tengah, menghadiri jamuan terakhir dari Raja dan kemungkinan besar hari ini mereka akan kembali ke Sawarga."
Mac tersentak, buru-buru ia bangkit dan berenang menuju aula tengah kerajaannya. Ia harus menemui Adrea. Putri duyung yang sudah menyelamatkannya.
Di belakangnya sang pelayan mengikuti, membawa nampan yang tadi ingin diberikannya pada Mac.
"Pangeran, tunggu! Anda harus memakan rumput laut ini agar kondisi pangeran kembali pulih."
Namun, Mac tidak memedulikannya. Ia terus berenang dengan cepat. Tidak peduli pada staminanya yang hampir habis, bahkan nafasnya yang semakin berat. Ia harus bertemu dengan Adrea.
Dan ketika melewati ujung lorong, ia dapat melihat ruang aula tengah yang sudah diisi oleh beberapa petinggi juga tiga duyung kesatria dari Sawarga yang menemani seorang putri, yang Mac ketahui adalah Naiad, si gadis kuil.
"Ad! Adrea!"
Semua mata memandang pada Mac, ketika ia dengan lantang meneriakkan nama Adrea di aula. Beberapa penjaga menghampirinya ketika tubuhnya hampir tumbang.
"Apa kau mau langsung pergi begitu saja tanpa menungguku untuk bangun?"
Adrea belum menunjukkan reaksi apa-apa, dia tetap diam di tempatnya. Hanya hembusan nafas yang menciptakan gelembung kecil yang keluar dari bibirnya.
Duyung-duyung yang ada di sana hanya menyaksikan interaksi mereka tanpa membuka suara. Termasuk Naiad, Raja, Ratu, dan beberapa saudara Mac.
"Harusnya kau menungguku!" sentak Mac dengan nada yang menyebalkan di telinga Adrea. Memang dia siapa?
"Anda bisa berkunjung di Sawarga, kapan pun Anda mau pangeran." Naiad menimpali dengan lembut. Ketika Adrea belum merespon Pangeran Silian.
Mac terlihat ragu sebelum akhirnya ia membuka mulutnya, "Kapan pun aku mau?" tanyanya.
Pertanyaan balik Mac membuat Naiad dan beberapa kepala yang ada di sana menyerngitkan alisnya dalam. Termasuk Adrea yang duduk di hadapan Mac.
"Pertanyaan bodoh, Mac." Adrea menggelengkan kepalanya singkat. "Sekarang kau adalah seorang pangeran, kau bisa berpetualang di kerajaan mana saja yang mau kau datangi di lautan ini."
"Apakah itu termasuk ke dalam hatimu?"
Dan Adrea kembali terdiam karena pertanyaan Mac yang terlalu tiba-tiba. Mulutnya hanya membuka lalu menutup tanpa ada suara yang keluar. Di hadapan banyak kepala di ruangan itu, Mac tak malu mengungkapkan perasaannya.
"Aku anggap kediamanmu itu, berarti iya." lanjutnya dengan senyum seringai di wajahnya.
Adrea tetap bergeming di hadapan Mac. Ia benar-benar bingung dengan perubahan putra duyung itu.
Namun begitu, entah kenapa ada sesuatu yang berdesir di dalam dadanya. Membangkitkan perasaan nyaman yang menyenangkan.
Mungkin, jauh dalam hati Adrea, ia juga ingin berkunjung di hati putra duyung itu. Namun, karena sifatnya yang keras, ia tak menyadarinya.
Dan sekarang, perjalanan yang sesuangguhnya baru akan dimulai.
"Aku akan berusaha agar aku bisa memasuki hatimu." lanjut Mac.
☁️☁️☁️
🌁
Salam, Cici dari Sawarga.
ClintonClive
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top