Negeri Di Atas Pohon


Langit adalah ayah
Bumi adalah ibu
Rimbun dedaunan layaknya atap
Senantiasa menadahkan hujan
Memeluk hangat mentari
Tanah tertanam akar-akar kuat sebagai pondasi
Rantingnya mengukir jalan-jalan menuju setiap batang rumah
Inilah tempat tinggal kami
Surga bangsa Nuffs


∞ ∞ ∞

“Kamu pendatang baru?” Dia meneliti wajah laki-laki itu dengan seksama. Sangat manis! Meski hidungnya tidak terlalu mancung dan kulitnya agak gelap dengan rambut berantakan.

“Ah? Iya, aku baru beberapa bulan yang lalu pindah ke pulau ini.”

“Kalau begitu, selamat datang di Pulau Sawarga! Siapa namamu?”

“Raksa.”

“Raksa? Hmm, nama yang unik.” Terlihat gadis itu mengulurkan tangannya. “Aku, Radisha.”

“Radisha?” Raksa menyambut uluran tangan mungil nan indah itu. “Namamu juga cukup unik.”

Radisha terkekeh. “Semakin lama kamu tinggal di pulau ini, kamu akan semakin menemukan keunikan lainnya.”

“Benarkah?”

“Hm-mm, karena pulau Sawarga adalah pulau dengan sejuta keunikan!” seru Radisha bersemangat.

Raksa takjub melihat ekspresi gadis itu yang menawan. Wajah ovalnya yang dipadukan dengan hidung mancung dan bibir tipisnya. Dia pun langsung berpikir bahwa gadis yang baru dikenalnya ini pastilah salah satu keunikan pulau ini.

“Bisa kamu beri tahu aku satu keunikan dari pulau ini?”

Radisha langsung mengerlingkan matanya, dihiasi senyumannya yang misterius dengan lesung di kedua pipinya. Namun, bagi Raksa, hal itu justru menjadi pesonanya.

“Kamu sungguh mau tahu?”

Ditanya seperti itu membuat Raksa semakin ingin tahu. “Oh, ayolah! Jangan membuatku mati penasaran!”

Tawa Radisha pun berderai-derai. “Kamu lucu sekali!” Tubuhnya membungkuk dengan Satu tangannya memegang perut karena tertawa. Rambut ikalnya yang tergerai sedikit menutupi wajahnya. “Apa kamu sungguh berpikir ada hal yang benar-benar unik di pulau ini?”

Kedua alis tebal Raksa pun menyatu. Jadi apa? Dia dibodohi sedari tadi? “Maksudmu … tidak ada yang benar-benar unik di pulau ini?” Raksa mendecak kesal. Baru saja dia mulai tertarik dengan hal-hal yang akan dikatakan gadis itu tapi seketika semuanya buyar.

“Tidak, bukan seperti itu.” Radisha tertawa geli melihat ekspresi kekecewaan laki-laki itu. “Hanya saja … jika aku katakan kepadamu, kamu pasti tidak akan mempercayainya.”

“Benarkah?” Raksa merasa tidak sependapat dengan Radisha. “Bagaimana kamu bisa yakin kalau aku tidak akan mempercayainya?”

Langkah Radisha yang tadi beriringan dengan Raksa pun terhenti. Dia menoleh, sedikit mendongakkan kepalanya menatap Raksa, kemudian menyipitkan matanya. “Jadi, apa kamu akan percaya jika aku katakan, aku adalah bangsa Nuffs yang tinggal di sana?” Telunjuknya kemudian terulur mengarah ke arah hutan rimbun di atas bukit.

Mata Raksa refleks melihat rimbunan hutan itu. Tentu saja, dia tidak langsung mempercayainya. Bagaimana mungkin ada seorang gadis yang terlihat polos seperti Radisha tinggal di hutan dan lagi, tadi dia bilang apa? Dia adalah bangsa Nuffs? Apa itu bangsa Nuffs? Sungguh hal yang sangat baru didengarnya.

Melihat respon Raksa yang diam saja dan ekspresinya yang tidak percaya, Radisha menghela napasnya. “Sudah kukatakan, bukan? Kamu pasti tidak akan percaya!” Dia lalu mempercepat langkahnya meninggalkan Raksa.

“Tidak! Tunggu dulu!” Dengan cepat Raksa menahan Radisha. “Bukannya aku tidak percaya, hanya saja … aku tidak tahu apa itu bangsa Nuffs? Dan bagaimana bisa kamu tinggal di hutan? Apa kamu … anak Tarzan atau semacamnya?”

Untuk sesaat Radisha menatap Raksa dengan bingung. Kedua alis tebal miliknya kini yang terlihat menyatu. Dia tidak tahu apa itu Tarzan? Tapi alih-alih bertanya, dia justru tertawa. “Ah! Aku lupa! Kalau kamu itu pendatang baru pulau ini! Bangsa Eridanus!”

“Eridanus?” Raksa kembali mengerutkan dahinya. “Apa kamu baru saja menyebutku bangsa Eridanus?”

“Benar!” Radisha menjentikkan jarinya. “Pendatang pulau ini, kami menyebutnya bangsa Eridanus!”

“Kami? Maksudmu, bangsa Nuffs?”

Radisha mengngguk. “Bangsa Nuffs adalah pewaris pulau ini. Kami lahir dan besar di sini, takdir kehidupan kami tepat berada di jantung pulau ini. Sedangkan bangsa Eridanus adalah pendatang. Mereka datang ke pulau ini dengan berlayar, karena itu kami menyebut mereka Eridanus.”

'Semakin menarik'. “Bangsa Nuffs ini … apa mereka legenda? Atau mitos?” Raksa menjadi sangat tertarik dengan pembahasan mengenai bangsa-bangsa yang baru dikenalnya ini.

“Tidak, kami bukan legenda, bukan juga mitos. Kami adalah nyata!” Radisha melirik Raksa dengan kesal. “Kamu masih tidak percaya, kan?”

“Maaf, sungguh aku minta maaf.” Raksa merasa bersalah. “Seperti yang kamu tahu, aku pendatang pulau ini. Jadi … aku mencoba untuk memahami semuanya.” Dia menatap Radisha untuk melihat wajahnya, takut jika gadis itu menampilkan ekspresi kecewa, tapi sepertinya terlihat biasa saja. “Bangsa Nuffs? Eridanus? Semua itu adalah hal yang baru buatku.”

“Hmm.” Radisha mengangguk paham. “Baiklah, kalau kamu ingin memahami semuanya …” Bola matanya terlihat berputar ke atas. “Aku punya ide!”

“Ide apa itu?”

“Bagaimana kalau kamu ikut denganku?”

“Ikut denganmu? Ke mana?”

“Ke tempat tinggalku! Jantung pulau ini!” Radisha lalu menarik tangan laki-laki itu. “Ayo! Kamu mau, kan?”

Tanpa diperintah, kepala Raksa terangguk dan tubuhnya tak bisa menolak ditarik oleh Radisha. Mereka berjalan menembus pedesaan yang tepat di ujungnya ada jalan setapak menuju sebuah pintu masuk dari dua batang pohon yang sangat besar, membentuk seperti terowongan yang sunyi memasuki kedalaman hutan.

“Tunggu dulu!” Raksa menahan Radisha. “Apa tidak apa-apa kita berjalan di hutan seperti ini?”

“Apa kamu takut?”

“Eh?” Raksa salah tingkah. “Bukan, aku tidak takut!” Radisha menyipitkan matanya seakan tidak percaya membuat Raksa semakin salah tingkah. “Baiklah, aku memang takut, sedikit takut! Kita ada di hutan! Hanya berdua! Bagaimana jika ada binatang buas? Atau ada bencana alam? Atau semacamnya? Tidak ada yang akan menolong kita!”

Radisha bersidekap. “Kamu takut dengan hutan?”

Raksa lalu terheran-heran. “Memangnya, kamu tidak takut?”

“Kan sudah kubilang, aku tinggal di hutan.”

“Tapi … tetap saja kan….”

“Tenanglah, alam tidak akan menyakiti kita selama kita sebagai manusia tidak menyakiti mereka.”

“Bagaimana dengan binatang buas? Biar pun kita tidak menyakiti mereka, tapi, kalau mereka kelaparan, kan, kita pasti dimakannya.”

Radisha terkekeh. “Tidak ada binatang buas di hutan ini.” Lalu tangannya meraih lengan Raksa kemudian turun menggenggam jemarinya. Ada desiran aneh yang merayapi tubuh Raksa ketika tangan mungil Radisha menyentuhnya.

Seketika dia merasa nyaman sekali, seperti gadis itu sudah memberikan efek magis kepadanya. “Bagaimana? Sudah lebih baik?” Raksa menganggukkan kepalanya. Jujur saja, ketakutan dia seketika lenyap hanya karena  sentuhan dari tangan mungil itu.

“Seharusnya yang kamu takuti itu diri kamu sendiri, bukan hutan ataupun alam,” lanjutnya.

“Kenapa harus takut dengan diri sendiri?” Lagi-lagi Raksa tidak sependapat dengan Radisha. “Kalau kita takut dengan diri sendiri, bagaimana kita bisa percaya diri dan termotivasi untuk menjadi lebih baik?”

“Kamu tidak mengerti maksudku.” Radisha menggelengkan kepalanya. “Takut pada diri sendiri membuat kita mengetahui kelemahan diri kita dan itu bisa memotivasi kita untuk menjadi lebih baik, karena dengan mengetahui kelemahan kita secara tidak langsung kita akan mencari tahu dengan sendirinya, apa sih yang menjadi kelebihan kita untuk menutupi kelemahan kita itu? Benar, tidak?”

'Benar juga!' Raksa tersenyum kepada Radisha. Dia tidak pernah terpikirkan untuk berpikir seperti itu. “Kamu ada benarnya juga.”

“Tentu saja!” Terdengar nada bangga keluar dari mulut Radisha. “Aku lahir dan besar di alam. Aku mempelajari kalau diri kita sendirilah yang seharusnya ditakuti, bukan alam.”

“Hmm, baiklah.” Raksa mengangguk. “Jadi, aku tidak perlu takut dengan hutan ini, begitukah?”

Radisha mengangguk dan tersenyum senang. “Sebentar lagi, kamu akan terkejut dan aku pastikan kamu akan jatuh cinta dengan hutan ini.”

'Ah, tidak! Sepertinya aku bukan jatuh cinta pada hutan ini.' Raksa menatap lekat lekukan indah wajah Radisha. Kulitnya yang seputih susu berkilauan indah saat tertimpa cahaya senja dari balik rimbunan pohon.

Setelah beberapa lama mereka berjalan ke dalam hutan, dari balik semak-semak liar muncul beberapa cahaya berkelap-kelip terbang ke berbagai arah. Awalnya berjumlah sedikit, tetapi, semakin jauh kaki mereka melangkah ke dalam hutan, cahaya kerlap-kerlip itu semakin banyak berterbangan. Kumpulan cahaya itu menari-nari seperti terbang membentuk formasi mengelilingi mereka.

“Ini adalah salah satu sambutan alam. Indah, bukan?” bisik Radisha. “Kita akan segera sampai!”

Tangan Raksa tidak tahan untuk tidak menyentuh cahaya kerlap-kerlip itu. Ujung jari telunjuknya mengenai salah satunya. “Kunang-kunang?” gumamnya.

Radisha tertawa geli. “Memangnya kamu pikir itu cahaya apa?”

“Aku pikir … ini ….”

“Kamu pikir aku menyihir semua ini?” Radisha mendecak. “Mereka adalah makhluk kecil mungil yang memberikan cahaya terindah di alam.”

Raksa sungguh terpesona dan menikmati permainan cahaya kunang-kunang disekelilingnya dan dia juga tersihir dengan setiap kata-kata yang diucapkan Radisha. Tanpa disadari, dirinya terjerumus ke dalam dunia gadis yang sudah mulai menawan hatinya itu.

Langkah Radisha terhenti tepat di depan sebuah batang pohon yang sangat besar sekali. Raksa tidak melihat pintu atau apa pun yang bisa disebut sebagai gerbang, tapi, kenapa dia berhenti? Perlahan tangan mungil Radisha melepas genggamannya kemudian dia maju beberapa langkah mendekati batang pohon yang sangat besar itu sambil bersenandung indah.

'Langit adalah ayah .…'

'Bumi adalah ibu ….'

Batang pohon itu pun berputar. Radisha menoleh ke belakang, mengulurkan tangannya ke arah Raksa dan mengajaknya ikut bersamanya.

'Rimbun dedaunan layaknya atap ....'

'Senantiasa menadahkan hujan ….'

'Memeluk hangat mentari ….'

Pepohonan tiba-tiba riuh, daun-daunnya bergemericik menjatuhkan beberapa helai dan tetesan air bekas hujan membasahi mereka berdua.

'Tanah tertanam akar-akar kuat sebagai pondasi ….'

Dari bawah pohon besar itu, keluar akar-akar kuat yang terjulur membentuk seperti tangga spiral yang tidak beraturan menuju ke atas.

“Ayo! Ikuti aku!” Radisha menarik Raksa menaiki akar. “Kamu akan masuk ke dalam duniaku! Aku pastikan kamu akan menyukainya!”

Tepat di atas, mereka berhenti di depan sebuah pintu. Radisha kembali bersenandung.

'Rantingnya mengukir jalan-jalan menuju setiap batang rumah ….'

Pintunya pelan-pelan terbuka lalu Radisha mempersilakan Raksa untuk masuk terlebih dahulu. Dan tentu saja, begitu masuk, kedua mata Raksa langsung membulat sempurna. Dia sungguh takjub dengan apa yang dilihatnya. Tak pernah tepikirkan bahwa dia akan menemukan dunia seperti ini di sebuah pulau di dalam hutan atau bahkan dia tak pernah membayangkannya sekali pun!

'Inilah tempat tinggal kami ….'

'Surga bangsa Nuffs ….'

Untuk terakhir kalinya, Radisha menyanyikan bait terakhir dari lagunya dan membiarkan Raksa menikmati pemandangan yang baru pertama kali dilihatnya itu.

“Tempat ini … apa namanya?” tanya Raksa. Dia masih tidak mempercayai pernglihatannya. Orang-orang tinggal di atas pohon. Rumah-rumahnya berada di dalam setiap batangnya yang sangat besar lalu mereka berlalu-lalang di atas rantingnya yang juga terlihat cukup besar. Pohon-pohon ini pasti berusia ribuan atau mungkin jutaan tahun!

“Negeri di atas pohon,” jawab Radisha. “Ini adalah satu dari sejuta keunikan di pulau Sawarga.”

∞ ∞ ∞

☁️☁️☁️
🌃

Devi julianti si gadis kuat penuh semangat walau rasa sakit terus mengikat. kimijuliaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top