Gerhana Bulan
Petugas ronda memukul tiang listrik. Suaranya cukup keras. Ada tiga kali, menunjukkan pukul tiga malam telah terlewati.
Lingga terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Bahkan bajunya hampir basah oleh keringat. Sudah tiga malam berturut-turut Lingga mengalaminya.
"Astaghfirullahal'adzim....," desah Lingga sambil mengusapkan tangan ke wajahnya yang dibasahi keringat.
Lingga masih duduk termenung di atas tempat tidur. Pikirannya dipenuhi oleh mimpi yang dialaminya. Dalam mimpinya itu dia melihat ceceran darah di belakang rumah. Penasaran, diikutinya hingga sampai di suatu tempat yang asing.
Di ujung pandangan tampak sesuatu berlumuran darah di atas batu. Lingga pun mempercepat langkah kakinya. Saat hampir dekat, kaki kirinya tersandung batu dan... dia terbangun dari tidurnya. Mungkinkah ada hubungannya dengan si kembar ya....
Sama seperti dua malam sebelumnya, Lingga memikirkan arti dari mimpinya itu. Dia berusaha mengingat-ingat apakah ada yang terlupakan dilakukan sebelum tidur. Gosok gigi, berwudhu, dan membaca doa sebelum tidur sudah dilakukannya.
Lingga tersadar jam sudah bertambah ketika terdengar suara pertanda dari petugas ronda. Ia segera bangkit dan membersihkan tempat tidur. Waktu sholat subuh akan masuk. Lingga harus segera bersiap-siap ke mesjid bersama Ayah dan Bang Rakata.
Mentari bersinar cerah saat Lingga pulang sekolah. Baru jam setengah sepuluh. Biasanya dia dan Bang Rakata selalu pergi dan pulang sekolah bersama-sama. Walaupun berbeda sekolah.
Lingga, berusia 8 tahun, saat ini duduk di kelas 2 SD. Sedangkan Rakata saat ini menjadi murid kelas 3 SMP. Meski berbeda usia 7 tahun, tapi hubungan mereka seperti tokoh kartun Tom and Jerry.
"Lingga, kamu pulang cepat?" tanya Ibu kepada Lingga.
"Iya, Bu. Gurunya ada rapat jam sepuluh. Jadi hari ini semua murid SD pulang cepat. Aku ngga nunggu Bang Rakata," kata Lingga sambil melepas sepatu di teras rumah.
Setelah mengganti seragam sekolah, Lingga segera menuju ke belakang rumah. Dia yakin ini ada hubungannya dengan Gerhana Bulan. Langkahnya terhenti di ujung pagar.
"Hana... Hana... Hana...!" Lingga memanggil nama salah satu si kembar. Sedangkan Bulan setia mengikutinya.
Sudah tiga hari Hana tidak kelihatan. Bulan pun terlihat tak bersemangat. Badannya jadi kurus. Kemana Hana pergi? Apakah ada yang menculiknya?
"Lingga... Lingga...!"
Lingga bergegas ke depan ketika mendengar namanya dipanggil. Ternyata Hoga dan Kalama yang datang. Wajah mereka terlihat sedih.
"Hana sudah ketemu, Ling. Di pinggir pantai...," ujar Kalama.
Lingga bergegas ke pantai diikuti kedua sahabatnya. Jantungnya berdetak cepat. Inikah arti mimpi itu? Bulan pun turut berlari mengikuti mereka. Di sana tampak Romang berdiri dekat Hana yang terkapar.
Lingga tak dapat menahan air matanya. Segera digendongnya tubuh kaku itu dan membawanya pulang. Hoga, Kalama, Romang, dan Bulan berjalan dibelakangnya.
"Ibu! Ibu!" seru Lingga sambil terisak saat tiba di teras rumah. "Hana sudah tiada, Bu...."
Ibu keluar menyambut kedatangan Lingga dan para sahabatnya. Wajahnya pun terlihat sedih melihat putranya. Akhirnya Hana pulang kembali. Pulang kembali kepada pemiliknya.
"Jangan menangis, Nak. Hana harus segera di kubur. Lihat badannya sudah keras dan membesar, kan," kata Ibu sambil mengusap kepala Lingga.
Di depan pintu Rakata berdiri melihatnya. Ternyata guru-guru SMP juga ada rapat. Dia mendekat memperhatikan jasad Hana di tangan Lingga. Kemudian kepalanya mengangguk-angguk.
"Kenapa Bang?" tanya Hoga.
"Di mana jasad Hana ditemukan?" Bang Rakata balik bertanya.
"Di pinggir pantai...."
"Apa yang ada di sekitarnya saat ditemukan tadi?"
"Cuma Hana aja. Kata Pak Masoni Hana sudah ada di sana sejak 2 hari yang lalu dan masih hidup. Beliau melihatnya saat hendak melaut," jelas Kalama.
"Mungkin ia mati tenggelam. Sejak kemarin kan air laut pasang akibat bulan purnama." Bang Rakata mencoba berasumsi.
"Apa pun penyebab kematian Hana itu udah ngga penting lagi. Hana harus segera di kubur," Lingga mengusap kepala Bulan. "Sekarang kamu sendirian, Lan. Hana udah ngga ada. Jangan sedih, ya?"
"Ya tinggal di kubur aja di belakang rumah, Ling!"
"Enggak gitu juga, Bang. Kan, kita harus memandikan Hana dulu, terus dikafani," protes Lingga kepada abangnya itu.
"Terus disholatkan, setelah itu baru dikubur. Itu maksudmu?"
"Memang seperti itu, kan, Bang." Lingga ingin memastikan. Badan Bang Rakata terguncang-guncang menahan tawanya. Adiknya sedang berduka. Ketiga sahabat Lingga pun menatapnya heran. Bang Rakata kok aneh ya.
"Terus siapa yang mau memandikannya? Kamu Lingga," tunjuk Bang Rakata. "Yang mengkafani Hoga dan Kalama. Terakhir yang menguburkan kamu Romang."
Keempat sekawan itu saling berpandangan lalu menggeleng.
"Kenapa nggak Abang aja? Kan, Abang yang paling besar," pinta Lingga.
"Kami kan masih kecil," Kalama menimpali, "mana kuat menggali, Bang. Cangkulnya besar dan berat."
Terpaksa Rakata setuju. Dia pun memberikan instruksi. Lingga diminta mencari pakaian yang tidak terpakai sebagai pembungkus jasad Hana. Namun, Lingga bersikeras Hana harus dibungkus dengan kain kafan.
"Bulan lalu waktu adik Tera meninggal, jasadnya dikafani. Mestinya Hana juga, Bang," Lingga bersikeras.
"Adikku sayang, adik Tera itu manusia," kata Rakata pelan, "sedangkan Hana itu seekor kucing. Ya, jelas beda lah."
Rakata tahu rasa yang dirasakan Lingga saat ini. Dia pun pernah mengalaminya jauh sebelum adiknya itu lahir. Saat teman-teman seumurannya bisa berbagi dengan saudaranya, ia cuma bisa jadi penonton.
Ayah memberikannya seekor kelinci sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-5. Setiap saat Rakata kecil selalu bersama Enci. Jika dia sedang bermain dengan teman-temannya, Enci pun ikut serta. Rakata pun rajin merawatnya.
Hari itu Rakata dan teman-temannya di TK berkunjung ke kapal Eridanus. Pengalaman pertama naik kapal besar seperti Eridanus menimbulkan kebiasaan baru. Rakata mulai menyukai segala yang berhubungan dengan kapal.
Dia masih ingat bangkai Enci ditemukan dalam kandang. Badannya kurus. Mati kelaparan kata ayah. Rakata menangis dan terpukul. Menyesali kelalaiannya. Hampir seminggu dia mengurung diri dalam kamar.
Sejak itu dia tidak mau lagi memiliki hewan peliharaan. Rumah menjadi sepi. Sampai datang kabar gembira buat Rakata dan orang tuanya. Dia akan memiliki adik. Dan Lingga pun hadir di tengah keluarga mereka.
Lingga pun bergegas mencari baju bekas. Sementara itu yang lain berjalan ke halaman belakang. Rakata memegang cangkul, Kalama membawa bangkai Hana, dan Romang membawa papan kecil sebagai nisan.
Rakata mulai menggali tanah kira-kira sedalam satu meter. Lingga datang membawa baju putih, seragam SD Rakata. Hana segera dibungkus dengan baju putih. Tidak lupa Lingga menambahkan 2 butir kapur barus di dalamnya sebelum diikat.
Hana pun mulai dikubur. Lingga menangis tak bersuara. Yang lain diam sambil melihat Rakata menyelesaikan tugasnya.
"Ling, Hana lahir tanggal berapa?" Hoga mulai menulis di sebuah papan kecil. Gerhana.
"Gerhana dan Bulan lahir tanggal 28 Juli 2018. Saat gerhana bulan. Mati kala bulan purnama," jawab Lingga.
Hoga melengkapi tulisan di nisan itu. Bulan, yang terus berada dekat kaki Lingga, memperhatikan pemakaman saudara kembarnya itu sampai selesai.
"Alhamdulillah, selesai juga." Rakata mengusap keringat di dahinya. Berjongkok keempat sekawan dan Bulan mengelilingi gundukan tanah bernisan itu dan berdoa.
"Nanti malam ada tahlilan untuk Enci ngga Ling?" goda Rakata. Lingga pun bangkit dan mengejar abangnya.
"Awas ya, Bang!"
Dan dua bersaudara itu pun seperti thawaf di kuburan Hana. Hoga, Kalama, dan Romang berusaha menahan tawa tapi gagal. Dari jendela dapur, Ibu tersenyum melihat kelakuan kedua anaknya.
Lingga yang berhasil mengejar Rakata segera menggelitik tubuh abangnya itu. Rakata pun membalas. Tetapi dia tak berdaya saat ketiga sahabat Lingga turut serta. Semua baru berakhir saat adzan Zuhur berkumandang.
☁️☁️☁️
🌃
Salam, warga Sawarga. radhiatul_aida
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top