Dispersi
"Perbedaan tidak selalu buruk. Sebaliknya, perbedaan bisa membuat sesuatu menjadi lebih indah. Seperti beda warna spektrum pelangi."
Kamu sangat sering mengatakannya. Sambil melihat langit sewarna indahnya laut, juga dengan seulas senyum yang tidak kalah hangat dari sinar matahari, kamu selalu berhasil membuatku terpana.
Itulah dirimu, Rifa.
Kamu selalu mengagumi perbedaan yang melekat di antara kita, seperti anugerah terbesar yang pernah ditemukan. Keinginan besarmu untuk mengetahui kebudayaan kami--para Neofito. Juga aku yang tertarik memahami pola pikir bangsa kalian--Eridanus--yang rumit.
Layaknya sebuah pelangi yang memerlukan adanya hujan dan badai sebelum sinar membiaskan cahayanya; aku, kamu, dan bangsa kita pun, awalnya tidak akur sama sekali, bukan?
Eridanus adalah penduduk baru yang menggunakan kapal untuk mengarungi samudera. Mungkin, pulau yang diduduki sekarang adalah pemberhentian mereka ke sekian kalinya.
Hanya dalam puluhan tahun, Eridanus berhasil mengubah hutan belantara menjadi kota modern. Namun, hal itulah yang membuat kami berburuk sangka pada kalian.
Kami, kaum Neofito adalah pemilik asli pulau ini. Hutan, bumi, dan lautan, adalah nenek moyang kami. Melihat hal itu malah dirusak oleh kaummu membuat kami marah. Hingga apa pun yang kalian lakukan, terasa salah di mata kami.
Saat itu, setelah sekian lama, pemimpin kita akhirnya mengambil tindakan. Mereka beranggapan sudah saatnya kedua pulau saling bekerja sama.
Sebagai pengenalan, kaum kami yang saat itu masih sangat minim ilmunya--sekolah pun baru ada satu yang letaknya di tengah hutan--mendapat pengawasan langsung dari pihak Eridanus. Dengan kedok 'pertukaran pelajar', akhirnya utusan Eridanus datang dan mencoba menjalin hubungan baik. Kamulah utusan itu, Rifa.
"Ayo kerjai dia!"
Entah siapa yang memulai saat itu. Namun, kami langsung mengiyakan ucapannya. Kami mengadakan ritual tepat di depan matamu yang terlihat sangat kebingungan saat itu--hingga hal terburuk--temanku menyembur wajahmu dengan air sebagai bentuk perlindungan dan doa agar tidak terkena bala.
Saat itu, aku hanya melihat dari jauh. Namun, tolong jangan salahkan aku yang tertawa hanya dengan melihat reaksimu saat itu. Aku menebak, di dalam otakmu terbesit pikiran, "Bagaimna kebersihan mulut orang yang menyemburku?" Mengingat, saat itu kami belum mengenal yang namanya pasta gigi.
Menyadari bahwa kami sudah keterlaluan, aku mendatangimu. Mengulurkan sapu tangan yang dianyam sendiri. Jujur, Rifa. Wajahmu tidak menyeramkan sama sekali. Bibirmu mengerucut, alismu hampir bertaut, dan wajahmu memerah karena menahan amarah. Bagiku, kamu malah terlihat imut.
Meski begitu, kukatakan padamu. Kamu berkali-kali lebih manis ketika tersenyum.
Seperti yang kamu lakukan ketika pertama kali kita duduk di atas batang pohon tumbang, sambil melihat ke arah langit yang menampilkan semburat senja.
Sungguh, jadi berhenti menyanggah perkataanku dengan berkata, "Kamu mulut buaya," karena pada kenyataannya, aku telah diidentifikasi sebagai manusia murni. Bukan salah satu dari makhluk ordo corcodilia itu. Harusnya kamu lebih tahu itu.
Kembali ke awal, setelah apa yang terjadi, kamu jadi sering menyeberang untuk melihat pemandangan di pulau ini. Aku ingat, pemandangan yang paling kamu suka adalah air terjun. Dengan banyak bebatuan besar di sekitarnya, membuat tempat itu sangat strategis untuk menjadi tempat bersantai.
"Cara mudah melihat pelangi selain menunggu hujan adalah dengan mendatangi air terjun. Mereka sama. Ketika cahaya itu terbiaskan di udara bersama titik air, pelangi indah akan terbentuk."
Kamu sering berceloteh begitu. Karena itu aku tahu kamu sangat menyukai pelangi. Karena itu kamu suka duduk di atas batu itu. Namun bagiku, melihat pelangi sambil duduk berdampingan denganmulah yang membuatku bahagia.
Selain air terjun, kamu suka duduk di atas pohon besar, sambil melihat hamparan langit yang memesona. Menikmati pemandangan di kala matahari mulai kembali ke peraduannya. Senyummu selalu merekah saat melihat pemandangan itu. Bersama dengan semilir angin yang menerbangkan anak rambutmu, aku menyadarinya saat itu.
Rifa, kamu berhasil membuat rasa sayang ini tumbuh.
Di kesempatan lain, kamu pernah bertanya padaku, "Kamu pernah mendengar kata Sawarga?"
Kutolehkan pandangan. Kamu sibuk melihat hamparan langit yang luas, dengan tatapan kagum yang tidak pernah lepas. Aku terdiam sebentar sebelum menjawab. "Tahu. Ayahku pernah menceritakannya. Sawarga itu sebuah pulau yang melayang di langit. Sebuah pulau di mana semua rakyatnya hidup sejahtera, tanpa kekerasan, diskriminasi, juga egoisme. Sungguh tempat impian, bukan?"
Kamu terdiam sebentar, tersenyum. "Pulau yang indah. Tapi ... melayang di langit?"
Kamu memulainya. Kita berdebat lagi. Akal rasionalmu dan kepercayaanku selalu bertentangan. Namun, kali ini kita sama-sama tersenyum. Karena kita telah mengerti, perbedaan tidak perlu terus disanggah. Malah, akan lebih bermakna ketika kita menerimanya.
"Lalu, bagaimana Sawarga menurutmu, Rifa?"
Kamu tersenyum. Sangat manis. Harus kutahan dalam-dalam keinginan memegang pipimu lalu mencubitnya. Sayang, kamu tidak suka saat aku melakukannya.
"Sawarga itu adalah sebuah negeri yang pernah menjadi tempat persinggahan leluhurku. Di sana, mereka menemukan harta paling berharga, yaitu kebahagiaan. Rakyatnya memiliki hal berbeda, dengan keunikan masing-masing. Namun, mereka hidup damai. Tanpa permusuhan.
"Saat itu, leluhurku menyadari bahwa ada hal yang lebih penting dari ilmu dan harta, sebuah kedamaian hati. Sejak saat itu, leluhurku berhenti mengarungi samudera dan mulai menetap. Tepat di pulau yang sekarang kutinggali."
Aku mengangguk paham, tersenyum setelahnya. "Satu kata saja, dapat memiliki arti berbeda. Tapi, bukankah mereka punya garis besar yang sama?"
Kamu mengangguk semangat, "Sebuah tempat yang damai dan nyaman untuk ditinggali." Kamu menoleh kepadaku, "Apa kita sedang memikirkan hal yang sama?"
"Jika kamu berpikir ingin memiliki pulau seperti itu, di mana perbedaan tidak akan menjadi penghalang sebuah kebahagiaan, maka jawabannya adalah sama." Aku memandangnya dengan senyum penuh arti.
"Atau lebih tepatnya, jika saja Neofito dan Eridanus bisa bersatu, dan hidup damai bersama, bukankah itu juga 'Sawarga'?"
Kamu menaikkan alis dengan semangat. Sungguh menggemaskan. Aku mengelus rambutmu pelan. Tentu, akan sangat baik jika itu bisa terjadi.
Sejak saat itu kita sering berandai jika saja Eridanus dan Neofito dapat bersatu. Tidak peduli dengan kedua pulau yang terpisah. Tidak peduli dengan perbedaannya. Aku ingin kita tidak lagi menyebut 'kaumku' atau 'kaummu'. Namun, menyebutnya 'kaum kita'. Bukankah terdengar bagus?
Hingga, tibalah saat mimpi kita akan segera terwujud. Bukan lagi berandai, tapi usaha dilakukan.
Setelah usaha kecil yang dilakukan kakakmu--May, sebagai pemimpin Eridanus bersama ayahku--Surya, membuahkan hasil. Penduduk Neofito dan Eridanus mulai berinteraksi. Bahkan, sebuah jembatan penghubung pun rampung dibuat demi memudahkan aktivitas penyeberangan.
Melihat perkembangan itu, sebuah perjanjian dibuat di antara kita. Kedua pihak telah sepakat untuk menyatukan dua daerah, dalam satu nama.
Ingin rasanya aku berlari ke perbatasan, mencari sosokmu lalu berbagi kebahagian. Namun, ternyata omongan ayahku belum habis.
Dia melanjutkan perkatannya. "Aris, kamu adalah penerusku. Kuperintahkan kamu untuk menikahi Rifa, sang adik dari pemimpin Eridanus. Itulah perjanjian yang kami buat."
Sungguh, keterkejutanku tidak bisa ditahan saat itu. Melihat Aris di sampingku menerima perintah ayah tanpa pikir panjang, membuatku tidak bisa menolak. Dia tidak mengenalmu, tapi aku tahu Aris melakukannya demi tugasnya sebagai calon pemimpin.
Rifa, mimpi kita sudah berada di depan mata. Meski aku tahu akhir begini sama sekali tidak diinginkan, tapi kita tidak mungkin mengingkari impian yang sudah didamba lama.
Masih dengan sangat kuingat, bulan lalu kita membahas bermacam hal di dekat air terjun. Bercengkerama sambil menatap langit dengan dambaan begitu besar akan 'tempat damai' itu.
Namun, ketika kini hal itu akan terwujud, mengapa rasanya begitu sakit?
Rifa, aku tahu ini juga berat untukmu. Pada kenyataannya, meski kita tidak mengatakan 'aku mencintaimu' atau kata-kata manis lainnya, kita berdua sama-sama tahu; kita saling menyayangi.
Namun, mungkin saja seperti interferensi gelombang yang destruktif, kebersamaan kita hanya bisa saling menghancurkan. Lebih buruknya, bukan hanya menghancurkan impian kita, tapi juga akan berdampak pada kedamaian yang sudah rakyat kita miliki. Karena itu, aku memilih menjadi gelombang yang tidak akan menuju ke arahmu.
Kita sudah sama-sama dewasa, Rifa. Kita tahu ego harus dimatikan demi kedamaian rakyat. Karena itu kamu hanya diam saat mengetahui keputusanku.
Kita bertemu dengan awal yang tidak menyenangkan, tapi berpisah dengan senyum sedih yang tak terelakkan.
Bukankah ironis?
Namun, percayalah, Rifa. Aku mencintaimu. Akan selalu begitu. Meski kamu akan menikahi kakakku nantinya.
Kamu tidak perlu sedih. Meski sikap Aris terkadang dingin juga tegas, tapi aku yakin, dia bisa menjagamu dan mencintaimu setulus dia mencintai rakyatnya.
Ini keputusan kita. Jadi ... biarkan aku tersenyum saat menjadi saksi pernikahan kalian. Menjadi adik paling berbahagia saat pernikahan kakaknya, menjadi rakyat paling bersuka cita dengan perjanjian damai pemimpinnya, dan menjadi laki-laki paling bahagia melihat orang yang dicintai akan mendapat kebahagiaan yang pasti.
Tunjukkan senyummu, Rifa. Karena aku lebih menyukai itu dari pelangi atau pun teori yang sering kamu jelaskan.
Kamu pasti akan bahagia di lengan Aris, Rifa. Aku yakin hal itu.
***
Rifa tertunduk lemas. Tangannya terangkat untuk menyapu cairan bening di sudut mata. Berapa kali pun ia membaca surat itu, rasa sedih tidak dapat dibendung. Bahkan, meski ia tahu sebentar lagi seorang perias akan mendandaninya--yang berarti--tidak seharusnya ia terlihat kucel begini, perasaan ini tidak bisa ditahan.
Sedih, memikirkan hubungannya yang telah berakhir. Marah, karena tidak ada hal yang bisa dilakukan. Rindu, Rifa merindukan sosoknya. Sungguh rindu.
Rifa menatap pantulan wajahnya dari cermin. Benar-benar berantakan. Meski dia mengiyakan keputusan orang tuanya, dan membiarkan laki-laki yang mengirim surat ini pergi meninggalkannya--dalam sudut hati, Rifa tidak ingin.
Bagaimana dia bisa menikah dengan seseorang yang tidak dikenal, sedangkan orang yang dicintainya ada di sana, menyambut pernikahan itu dengan senyum paksa?
Ini tidak adil.
Mengapa Rifa harus menerima ini?
Tangan Rifa terangkat saat cairan itu kembali merembes keluar. Tidak tertahankan. Setelah benar-benar berhasil menghapus air mata, Rifa menghirup napas panjang.
Sawarga ... tempat di mana rakyatnya hidup sejahtera.
Sawarga ... tempat damai bagi semua rakyat, tidak peduli dari kalangan mana asalnya.
Sawarga ... impian Rifa, juga Wira.
"Aku akan menepati janjiku, Wira. Akan kubuat Sawarga menjadi kenyataan."
Tekad Rifa bulat. Dia menghapus air mata terakhir dan menghirup napas panjang. Pikirannya teralihkan pada kertas yang terjatuh saat dia menggeser posisi. Mungkin, tidak terlihat olehnya tadi. Rifa mengambil kertas itu.
"Ada satu hal lagi yang perlu kamu tahu, Rifa. Semua hal yang kamu baca di surat pertama hanyalah kebohongan."
Kalimat pertama pada surat itu membuat Rifa tersentak. Dadanya berdegup kencang. Apa maksudnya ini?
"Aku tidak mencintaimu. Semua hal yang telah kita lakukan adalah kebohongan. Selagi kamu dan otak bodohmu itu mengurung diri di kamar, pasukanku telah mengepung istana. Membunuh satu persatu anggota keluargamu, hingga tak tersisa."
Tangan Rifa bergetar. Ini … tidak mungkin, 'kan?
"Aku tidak ingin bekerja sama denganmu. Yang kuinginkan adalah pulau ini menjadi punya kami, kaum Neofito."
Kalimat terakhir di secarik surat itu membuat Rifa terdiam sebentar. Dia masih tidak percaya. Tidak ingin. Mungkin saja semua hanya candaan. Kakaknya, May masih hidup. Begitu pun paman dan adik-adiknya. Wira pasti hanya bercanda.
Belum habis keterkejutannya, ada secarik kertas lagi ia temukan di antara surat itu. Rifa menutup mata. Dia tidak ingin membacanya. Namun, Rifa harus. Ia mengambil napas banyak-banyak. Membuka mata, lalu membaca surat perlahan.
"Lihatlah ke belakang."
Rifa cepat berbalik, lalu menemukan Wira sudah berada di sana, mengacungkan sebuah belati tepat ke arahnya.
Semua berlalu begitu cepat. Badan Rifa melemah. Darah segar keluar dari mulutnya. Di sisa-sisa energinya, Rifa melihat ke arah laki-laki itu. Wira sedang tersenyum bengis.
"Wi-wira...."
Saat itulah Rifa sadar, pelangi tidak akan muncul lagi dalam hidupnya.
Lagi pun, cahaya yang dia kira dapat membiaskan air, tidaklah benar-benar ada. Semua itu hanyalah kegelapan abadi yang dibalut cahaya palsu.
☁️☁️☁️
🌃
Salam, gadis dari Sawarga.
Alka_Abiyasa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top