Cintaku Bersemi Di Medan Perang

"Sudah kubilang, Pak. Ini ide bodoh! Kenapa Bapak tetap memaksa?"

"Hei! Jangan berisik! Kau tidak ingin membuat pengintaian kita gagal, kan?"

Dua tentara berseragam mengamat sebuah permukiman yang telah diserang gerombolan monster dari jauh. Mereka ragu menolong penduduk desa yang ditawan dan dibariskan. Tangis, jeritan, bahkan api yang membakar desa saling bersahut-sahutan.

Salah satu pengintai memberanikan diri, menembakkan suar untuk mengejutkan para monster.

"Bapak sudah gila! Mereka akan mengincar kita!"

"Tenanglah. Aku paham apa yang kulakukan."

Pengintai tadi juga membunyikan suara alarm yang membuat para monster panik. Mereka kabur dan meninggalkan desa beserta tawanannya.

Warga desa kebingungan, tetapi juga gembira dengan kejadian tersebut. Penduduk berharap bisa bertemu sang juru selamat.

Anehnya, tidak ada yang datang ke desa itu setelah mereka menunggu.

Di satu sisi, kedua pengintai berbaring puas dan bernapas lega.

Mereka berhasil menakut-nakuti kawanan monster dengan suar dan alarm palsu yang mirip dengan alarm tentara ibukota. Mereka harap kejadian tersebut membuat monster tidak berani menjarah untuk beberapa hari ke depan.

"Baiklah. Misi kita di sini sudah selesai. Ayo kembali ke perkemahan untuk bersiap menyambut personel baru beberapa hari lagi."

-----------------------

"Akhirnya sampai juga."

Laki-laki itu meregangkan tubuh dan menikmati pemandangan pelabuhan sebelum suara terompet memanggilnya untuk berbaris.

Tentara bantuan dari negara Eridanian akhirnya sampai ke pulau Sawarga. Mereka turun dari kapal dan langsung menuju tempat pertemuan.

"Hei Anixa! Hilangkan kebiasaanmu terpukau oleh pemandangan, atau nyawamu akan melayang," canda salah seorang senior terhadap laki-laki itu. Ucapannya tidak dihiraukan oleh Anixa yang terus mengamati setiap karya seni dari gedung pertemuan.

Para tentara baru sampai di lokasi dan berbaris rapi. Seorang Jendral melakukan penyambutan sekaligus pemberian pos ke setiap regu yang sudah disusun sebelumnya.

Setelah pengarahan dari atasan, tentara Eridanus menyebar ke pelosok dan membantu melindungi desa dari ancaman monster misterius. Mereka juga hidup berdampingan dengan masyarakat desa dan saling mengajarkan ilmu pengetahuan.

Kesamaan bentuk fisik membuat para Neofitan tidak sadar bahwa para tentara itu adalah pendatang.

Di suatu malam, terdengar bunyi alarm. Tanda gerombolan monster menyerang lagi. Mereka menyerang dalam jumlah banyak kali ini.

Warga desa mulai diungsikan dan sebagian membantu melawan.

Sihir unik dari ras Neofitan digunakan, yaitu sihir puisi. Kombinasi sajak diimbuhi dengan perasaan dan irama di setiap pengucapan, membuat getaran kuat. Getaran itu kemudian ditranformasikan menjadi sihir sesuai dengan keinginan sang penyair, menjadi sihir perlindungan atau menyerang.

Seorang gadis muda mengalunkan sihir puisi yang begitu tegas. Keinginannya yang kuat untuk melindungi sangat besar, menghasilkan sihir yang luar biasa. Sihir tersebut membuat para tentara yang berjuang merasa semangat mereka membara. Senapan yang mereka bawa juga terpengaruh dan menjadi kuat.

Anixa berhenti menyerang dan terkagum-kagum dengan syair yang dibuat oleh gadis itu.

"Hei, Bocah! Jangan melamun saja! Tembak monster di depanmu!" ucap komandan kepada Anixa yang menikmati puisi tersebut.

"A--ah! Si--siap pak!" Anixa kemudian melanjutkan serangannya.

Beberapa saat kemudian, penyerangan berhasil dinetralisir dan dimenangkan oleh para tentara dan warga desa.

Monster-monster yang terbunuh berubah menjadi abu dan lenyap oleh angin misterius.

Masalah ini masih menjadi hal yang membingungkan dari kedua ras tersebut. Dari mana asal mereka dan kenapa mereka menyerang permukiman Neofito.

BLETAK!!!

Komandan memukul helm Anixa. "Kamu sempat melamun di medan perang. Kamu ingin mati?"

Anixa terkejut bercampur takut dan bingung. Dia menyanggah, "Ti--tidak, Pak! Saya tidak ingin mati!"

BLETAK!!!

Sekali lagi helm itu dipukul dan kemudian tentara itu ditinggalkan. "Dasar anak-anak zaman sekarang!"

Sambil mengelus-elus helmnya, Anixa mencari gadis penyair tadi.

Dicarinya berkeliling desa. Namun tidak ditemui.

Dia bertanya kepada rekan lain dan mereka menjawab tidak tahu. Jawaban yang sama juga diberikan ketika dia bertanya kepada warga desa.

Akibat dari kecerobohan Anixa, sang komandan menghukumnya untuk berpatroli sendirian di luar desa. Dia pasrah menerima dan melakukan dengan berat hati.

Desa itu berada di tengah hutan dan dekat dengan bukit yang digunakan untuk menambang. Dia berpatroli sambil mengikuti asal jejak gerombolan monster.

Langkah demi langkah dilalui, hingga terdengar suara yang sama persis seperti saat di medan perang.

Tanpa pikir panjang, dia bergegas berlari ke asal suara. Pada akhirnya sampai di tepi danau yang indah. Di tengah danau terlihat sebuah batu yang bersinar berwana ungu.

"Kamu, tentara Eridanus, ya? Terima kasih telah melindungi desa kami," ucap gadis tersebut dengan senyum lembutnya.

Terkejut dengan kehadiran gadis yang dicarinya tiba-tiba. Anixa berbalik dan memandanginya.

Dia terpukau dengan kecantikan sang gadis. Rambut biru yang terurai, sikap berdirinya yang anggun dibalut kain terusan yang indah, dan wajahnya yang imut memesona.

"Hei, Tuan? Aku bicara denganmu, lho."

Anixa terhanyut dalam lamunan.

"Tuan?" Gadis itu mendekatkan diri.

Anixa tersadar dan tersipu malu, sekaligus mengambil jarak. "Wah, maaf! Aku ... eh, iya ... benar! Itu sudah tanggung-jawab kami sebagai tentara pelindung."

Gadis itu tertawa manis dengan pelan sambil menutupi mulutnya.

Anixa mencoba memberanikan diri untuk berkenalan. Bagi dia, kesempatan itu sangat langka.

"Puisimu sangat menakjubkan! Kami benar-benar tertolong dengan bantuanmu!"

"Ah, tidak juga. Aku hanya berharap kalian bisa melindungi kami."

"Tapi, itu juga yang membuat kami berhasil melawan monster itu!"

"Sungguh? Aku juga senang mendengarnya kalau begitu."

"Kalau boleh tahu, siapakah nama Anda, wahai gadis penyair?" tanya Anixa.

"Tidak sopan menanyakan nama seseorang tanpa memperkenalkan diri lebih dahulu."

"Ah, benar juga. Namaku Anixa Fabrios."

"Namaku Tia. Tia Fyndina. Salam kenal juga."

Anixa akhirnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

---------------------------

Pengarahan pagi ini untuk misi selanjutnya telah selesai, tetapi tidak untuk Anixa. Dia diberi tugas khusus oleh komandan untuk mengirim laporan terkait monster misterius ke ibukota.

Tak disangka, Tia muncul dan menawarkan diri untuk memandu Anixa. Rasa senang dan bahagia bertemu lagi dengan Tia membuat Anixa hanyut dalam imajinasinya.

Komandan itu merasakan ada sesuatu yang menarik di antara mereka berdua, dan akhirnya memperbolehkannya bergabung.

Dia berpesan agar tetap waspada terhadap para monster misterius, karena mereka dapat muncul di mana saja.

Setelah mereka menyiapkan perbekalan, mereka pun berjalan meninggalkan desa tersebut.

Salah satu anggota senior mendekati komandan yang melihat mereka berdua pergi dari desa itu. "Pak, Bapak yakin dengan semua ini?"

"Tenang saja. Gadis itu akan melindunginya," ucap komandan dilanjut tawa dan kembali ke desa.

Senior itu mengikuti sang komandan. "Oi, Pak! Jangan bercanda! Kasian An-"

"Tenanglah, aku lebih percaya gadis itu daripada si anak ingusan! Hahaha!"

"Memang apa spesialnya gadis itu, Pak? Apakah karena dia penyair?"

"Kau ingin tahu? Tunggu saja sampai di akhir cerita. Hahahaha!"

Di lain pihak, Anixa canggung berjalan bersama Tia. Sepanjang perjalanan di dalam hutan, Anixa hanya membisu.

Tia menikmati perjalanan sambil mengamati suasana hutan yang dikenal sejak kecil. Beberapa langkah kemudian, Mereka berhasil keluar hutan dan melihat stasiun.

Anixa dan Tia melihat keadaan stasiun itu kosong, yang tersisa hanyalah satpam yang duduk di tempat penjual tiket. Mereka berjalan mendekati orang tersebut.

"Kenapa stasiun ini sepi, Pak? Bukannya beberapa hari yang lalu ramai?" tanya anixa.

"Monster sialan itu menghancurkan kereta dan membuat teror di sekitar rel. Akhirnya akses ke ibukota dan tempat ini terputus."

"Kalau begitu, kita harus jalan kaki. Tidak ada pilihan lain." Tia lalu berjalan meninggalkan tempat itu.

"Eh, Tia! Tunggu!"

Anixa berhasil mengejar Tia yang tidak jauh darinya dan bertanya, "Memang seberapa jauh dari sini ke ibukota?"

Dengan santai Tia membalas, "Satu hari perjalanan. Cukup dekat," dan melanjutkan perjalanannya dengan melompat-lompat kecil.

Anixa berpikir gadis santai itu memang unik. Dia selalu melihatnya tenang dan ceria.

Anixa berharap untuk semakin akrab dengan Tia, tetapi dia kesusahan untuk mencari topik pembicaraan.

Sesampainya di padang rumput luas, mereka berdua istirahat sejenak. Beruntung Tia membawa bekal makanan dan memutuskan untuk berbagi dengan Anixa. Namun, kemesraan mereka terganggu oleh kehadiran monster.

Monster itu mirip seperti serigala tanpa bulu. Tubuhnya besar dan dibalut oleh gulungan perban yang longgar. Kaki depannya menyerupai tangan. Di punggungnya terdapat kristal ungu yang menyala.

"Sial! Mereka muncul!" Anixa bersiaga dan mengaktifkan senapannya.

"Nixa, lindungi aku! Akan kualunkan puisi penyerangan!" Tia menyatukan tangannya dan berucap dalam hati.

Anixa mengangguk kemudian berlari ke arah monster dan menembakinya. Monster itu terluka dengan timah panas yang meluncur ke arahnya, tetapi dengan cepat disembuhkan.

Monster itu membuka mulutnya dan membalikkan peluru ke arah Anixa.

Anixa yang cekatan memposisikan diri dan berhasil menghindarkan tembakan ke arah Tia.

Anixa mendekat dan menekan tombol di senapan. Sebilah pisau muncul di ujung senapan.

Dia menusuk monster itu dan berhasil menyayat dagingnya. Anehnya, monster itu masih bisa melawan.

Anixa ditangkapnya dan terlempar menjauh. Luka sayatan itu juga dengan sekejap sembuh.

Anixa merasakan seluruh tubuhnya kesakitan. Dia kehabisan ide untuk melawan. Dia juga heran kenapa monster itu tidak semudah ketika di pemukiman.

Kecurigaannya menguat ketika sadar sebuah kristal menancap di punggung si monster.

Suara lantunan puisi terdengar dari kejauhan. Tia berhasil mengkonversi perasaannya menjadi puisi yang ditujukan untuk melenyapkan monster. Anixa tidak mendengar awal dari puisi tersebut.

-Laksanakan kewajiban pemusnahan dan melenyapkanmu!
Aku adalah penari suci! Kutawarkan diri sebagai tumbal kepada Tuhan!

Dan jika aku kelelahan, aku akan terlahap oleh kegelapan.
Jika tidak, maka kutawarkan jiwa dan raga agar selalu disisi-Mu.

Sucikan kejahatan di langit, tanah, bumi, bahkan di tubuh ini!
Wahai para Tuhan surga, Tuhan dunia, dan Tuhan di semua semesta!
Aku berdoa kepada-Mu agar mengusir sekaligus membersihkan kejahatan, dosa, dan najis!--

Tia mengakhiri puisi berjenis mantra sambil menunjuk sang monster. Lingkaran sihir tercipta tepat di bawah monster itu.

Sang monster menjerit kesakitan dan tubuhnya lambat laun menguap. Beberapa menit kemudian, monster itu lenyap dan meninggalkan kristal ungu.

Tia menyadari Anixa yang berbaring kesakitan dan mendekatinya. "Nixa! Kau tidak apa-apa?"
Anixa merasakan tubuhnya remuk. "A--aku ma--masih sehat."

"Bagaimana aku bisa tenang melihatmu kesakitan seperti itu?"

Tia melantunkan jenis puisi himne. Dia memuja para Tuhan untuk memberikan berkah-Nya dan menyembuhkan Anixa dari rasa sakit.

Anixa berbaring di pangkuan Tia sambil menikmati puisi tersebut sampai tertidur.

Di lain pihak, sosok misterius berjubah coklat muncul dan mengambil kristal ungu tersebut. Tia mengamati orang itu dengan curiga.

Orang itu membalas menatap Tia dan kemudian meninggalkan mereka berdua.

----------------------------

Anixa berdiri mematung sambil menikmati keindahan ibukota Neofitan. Terkesan tua untuk peradaban yang Anixa rasakan di kota kelahirannya. Namun, dia terbuai dengan seni dan arsitekturnya.

Tia menyadarkan Anixa yang bengong untuk melanjutkan tugas. Setelah beberapa kali mendorong Anixa yang selalu terpesona oleh suasana sekitar, akhirnya mereka sampai di depan kastil.

Anixa berbicara kepada penjaga untuk diberikan izin bertemu sang raja dan ratu.

Awalnya mereka tidak memperbolehkan dengan alasan sang raja sedang istirahat.

Selang beberapa saat, mereka memperbolehkan. Tidak tahu apa yang terjadi, Anixa dan Tia masuk dan pergi ke singgasana. Sesampainya di sana, mereka disambut oleh penguasa Sawarga.

"Selamat datang, Eridanus," ucap sang raja.

Anixa bersikap sopan dengan menunduk, sedangkan Tia hanya terkikik.

"Ah, maaf anak muda. kami tidak melakukan itu disini. Bagi kami, rakyat dan raja itu adalah satu strata. Tidak perlu penghormatan setinggi itu," kata sang ratu.

Anixa heran dan menurut kepada sang ratu. Anixa mempelajari bahwa di zaman kerajaan menghormati raja ataupun ratu selalu dengan menunduk.

Tak lama kemudian, Anixa mulai memberikan laporan yang dibawanya dari awal dengan penjelasan seperlunya.

Tia mengamati Anixa yang memberikan penjelasan, membingungkan baginya.

"Bagus. Sepertinya kita mulai paham tentang monster ini," ucap sang raja. "Aku akan mengadakan pertemuan dengan para dewan dan perwakilan Eridanus untuk segera mengakhiri ini semua."

"Bagaimana menurutmu, May?" tanya sang ratu.

Seseorang tertutup jubah itu muncul dari belakang singgasana sang ratu. Jubah yang sama dengan orang di padang rumput.

Tia mengenali nama tersebut dan menyadari di balik jubah itu adalah kakaknya sendiri.

"Sepertinya aku perlu campur tangan dengan masalah ini, Ayah, Ibu. Dan kau, anak muda. Terima kasih sudah merepotkan adik kecil imutku ini." May menatap sinis ke arah Anixa.

Takut sekaligus bingung, Anixa hanya melayangkan senyum kecutnya.

Tia segera mengajak Anixa keluar dari singgasana setelah berpamitan. Tia berhutang penjelasan yang menumpuk kepada Anixa. Dia akan menjelaskan beberapa hal terkait masalah ini selagi mengajak Anixa berjalan menuju taman terdekat.

"Maafkan aku karena tidak cerita apapun tentang masalah ini."

"Ti--tidak apa-apa! Aku juga tidak pernah bertanya sebelumnya."

Tia mengambil napas yang cukup dalam, mengembuskannya, dan kemudian mulai bercerita, "Aku sebenarnya ... kabur dari rumah, karena dipaksa dijodohkan dengan anak dari salah satu dewan. Alasannya pada saat itu untuk memperkuat aliansi dan kekeluargaan. Awalnya aku pasrah saja karena mungkin ini takdirku. Namun, setelah melihat sifat dari orang yang akan menjadi suamiku, dengan berat hati aku menolak pernikahan tersebut."

Anixa mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Ayah dan ibu memarahiku karena menolak hal penting. Aku juga berpikir tentang kehidupanku sendiri. Aku tidak mau terkekang dengan orang itu. Akhirnya aku memutuskan kabur dan tinggal di desa itu sebelum monster misterius itu datang dan kehadiran Eridanus ke pulau ini."

Mereka akhirnya sampai di taman terdekat dan duduk di salah satu bangku. Anixa yang dari awal mendengar curahan hati Tia mulai gundah dengan perasaan terpendamnya.

Anixa akhirnya memberanikan diri untuk berucap. "A--aku, aku tidak tahu kalau kamu pernah mengalami masa seperti itu. Namun, seandainya ada orang yang berhasil mendapatkan hatimu, maka orang tersebut seharusnya bersyukur."

"Yah, aku harap bisa menemukannya secepat mungkin. Ayah dan Ibu berharap aku dapat meneruskan tahtanya, karena kak May tidak bisa meninggalkan pekerjaan sebagai intel."

Lampu hijau terasa menyala, menyinari prasangka Anixa, membuatnya sadar inilah saatnya.

"Ba--bagimana ... kalau ... o--orang tersebut ... sudah berada ... de--dekat ... dengan ... mu?"

"Maksudmu?"

"Kau tau ... eh ... itu ...."

"Tidak biasanya kamu seperti ini."

Dengan menarik napas panjang, Anixa berucap sambil menunduk, "Sebenarnya aku mencintaimu, Tia! Sejak pertama aku bertemu denganmu!"

Tia terkejut dengan pernyataan itu. "Apa aku tidak salah dengar?" Tia kemudian tertawa kecil.

Muka Anixa memerah, rasanya ingin lenyap seperti para monster itu.

Tia merespon seakan tidak percaya. Anixa berusaha melanjutkan ucapannya.

"Syairmu kuat dan memesona di saat penyerangan desa. Alunan puisi terdengar lembut ketika aku berpatroli, bah--"

Tia membentak sebal, "Sudah! Sudah! Hentikan khalayanmu! Aku sudah lama tidak berlatih puisi. Tidak mungkin sebagus itu!"

"Tapi itu sungguhan! Aku benar-benar ... menyukainya!"

Tia kaget mendengar pernyataan Anixa. Pernyataan yang sudah diharapkan sejak kecil.

Tidak ada yang menilai keindahan puisinya, bahkan ayah dan ibunya sendiri. Tidak untuk Anixa. Pujian yang diberikan benar-benar murni dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Kamu ... adalah ... orang pertama ... yang memuji ... karena puisiku." Air mata Tia mulai tampak.

Anixa tidak mengerti pengaruh pujiannya sampai bisa membuat Tia tersentuh seperti itu.
"Maaf ka-"

Tia segera mengusap air matanya. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, kok. Terima kasih atas pujiannya."

Tia menegakkan posisi duduknya. Wajahnya yang selalu santai berubah serius, tatapan tajam mengarah pada Anixa. Tia memberikan senyuman termanisnya sambil berkata, "Kalau begitu, mohon bimbingannya ya."

☁️☁️☁️
🌃

Salam, Pria muda penduduk Sawarga.
LastWorldZuoChi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top