Bahagia Ala Sawarga
Note:
Kadieu= ke sini
Hayu Ngariung= ayo kumpul
Hatur nuhun = terima kasih
Ngiring raos = ikut nyoba
***
"Teteh, kita pamit dulu."
Aku terkesiap saat seorang anak menarik paksa sebelah tanganku, kemudian menciumnya. Tak hanya anak itu, yang lain pun bergantian mengikuti. Mereka berlarian dengan binar bahagia, meski kaki-kaki mungil itu menjejak tanah langsung, tak berlapis alas kaki. Sampai satu per satu hilang, tidak terjamah lagi oleh kedua netraku.
"Ayo."
Pandanganku teralih pada laki-laki yang kini mengulurkan tangan, hendak membantuku bangkit. Mas Yuga namanya. "Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku.
Dia tersenyum, lalu menuntunku keluar dari bangunan sederhana berbahan dasar bambu ini. "Masih banyak yang harus kamu lihat di sini," sahutnya kemudian.
Tak banyak yang kukatakan, kaki ini terayun mantap mengikuti ke mana pun Mas Yuga melangkah. Dua hari terdampar di Desa Sawarga, Mas Yuga sudah memberikan banyak pelajaran. Satu di antaranya, tentang bersyukur.
Anak-anak yang baru saja kutemui adalah anak petani sayuran di desa ini, yang kebetulan tidak bisa mengenyam pendidikan di sekolah pada umumnya.
Ekonomi menjadi penyebab utama kenapa mereka tidak bisa bersekolah dengan layak. Belum ada sekolah negeri yang dibangun di tempat ini, sementara akses ke kota pun cukup sulit.
Terakhir, cara pandang para orang tua. Mas Yuga bilang, kebanyakan orang tua di sini berpikir bahwa anak-anaknya kelak akan jadi penerus mereka sebagai petani sayuran, jadi tidak sekolah pun bukan masalah besar.
Sawarga adalah sebuah desa kecil di lereng gunung. Mata pencaharian para penghuninya didominasi petani sayuran. Walaupun terkekang dalam kesederhanaan, tetapi mereka tampak bahagia. Itu yang kusimpulkan pertama kali saat datang ke Desa Sawarga.
"Neng, Ujang, kadieu. Hayu ngariung."
Kami refleks menoleh, dan mendapati beberapa warga tengah berkumpul. Mereka menggelar tikar di bibir kebun, duduk dengan posisi melingkar, lalu menyantap makanan bersama. Sementara anak-anak yang tadi belajar bersama aku dan Mas Yuga sekarang terlihat sibuk memisahkan sayuran yang memang sedang dipanen. Kentang, wortel, kol, sawi, mentimun dan masih banyak lagi.
"Hatur nuhun, Mang. Ngiring raos." Mas Yuga menjawab setengah berteriak, dengan kedua telapak tangan terkatup, mengisyaratkan permohonan maaf.
"Mas, alasan Mas Yuga mengajak aku ke sini sebenarnya apa?"
"Mas hanya ingin kamu bahagia, Ras. Menarik diri dari sekelilingmu bukan ide bagus. Apa yang kamu lakukan tidak akan mengembalikan semua yang hilang, justru menenggelamkanmu kian dalam pada kesepian."
Perkataannya terdengar tulus. Tatapnya pun memancarkan keseriusan. Aku bukan menarik diri, hanya merasa tidak diterima saja. Seolah aku dilahirkan hanya untuk memanen berbagai kehilangan.
"Yang harus kamu ingat, tsunami itu tidak hanya mengambil keluarga kamu. Banyak orang merasakan kehilangan yang sama."
Kepalaku tertunduk tanpa komando. Merasa malu dengan apa yang baru saja Mas Yuga katakan. Benar, Mas Yuga pun sebenarnya kehilangan seluruh keluarganya dalam bencana tsunami di Anyer saat itu. Hanya saja, selang satu bulan setelah kejadian, Mas Yuga memilih menenangkan diri ke Desa Sawarga ini. Berbaur dengan banyak orang, dan mengubah sudut pandangnya tentang bahagia.
"Laras, kecil atau besar, sebenarnya tidak ada yang tidak bisa kita syukuri di dunia ini. Jika hari itu kita diberi kesempatan meloloskan diri dari kejaran ombak dan jurang kematian, harusnya hari ini kita menjadi lebih baik sebagai bentuk rasa syukur karena Allah masih memberi kemurahan."
"Definisi bahagia kita sepertinya berbeda, Mas. Mas menerjemahkannya sesederhana itu, sedangkan bahagia menurutku adalah bisa berada di tengah-tengah keluarga. Tentu saja itu menjadi sulit karena mereka sudah tidak ada."
Dia tidak menjawab. Tangan kanannya terangkat, menujuk sebuah saung lesehan yang ada di tengah-tengah kebun sayuran. Aku tak menolak saat dia menuntunku menyusuri jalan setapak untuk sampai ke sana.
Mas Yuga mulai bicara pada seorang laki-laki paruh baya, meminta izin mengobrol di saung milik beliau. Dan sekali lagi, warga desa ini menyuguhkan keramahannya. Lelaki itu tak keberatan, bahkan langsung mempersilakan kami menempati bangunan sederhana itu sembari menawarkan umbi-umbian hasil panen yang sudah direbus.
Saat kami telah benar-benar duduk, Mas Yuga kembali bersuara, "Ras, kamu tahu kisah Nabi Ayyub?" tanyanya dengan sorot menerawang.
Aku hanya mengangguk. Kisah para nabi sering sekali dibacakan oleh Ibu sewaktu aku kecil dulu.
"Allah mengujinya dengan berbagai ujian berat. Hartanya yang semula berlimpah, tiba-tiba lenyap. Ditinggalkan oleh keluarga juga kerabat. Menderita penyakit kulit selama bertahun-tahun lamanya. Itu semua tidak lantas membuat keimanannya berkurang."
"Lalu?"
"Berkat kesabarannya, Allah mengembalikan semua yang pernah hilang, berkali-kali lipat. Mas sadar, semua yang sudah hilang dari kita tidak akan kembali. Tapi kamu harus tahu, setelah tinggal di sini, berbaur dengan warga desa yang ramah dan sangat terbuka menerima kehadiran Mas, kekosongan itu mulai tercukupi dengan sendirinya."
"Aku bukan Mas Yuga. Bagaimana bisa aku hidup seolah semuanya baik-baik saja, jika nyatanya aku kehilangan begitu banyak."
"Kamu harus percaya, Sawarga dan keramahannya akan membuatmu perlahan melupakan itu."
Tak lama setelah berujar demikian, Mas Yuga melambaikan tangan, memanggil seorang anak yang tengah sibuk memasukkan ubi ke dalam bekas karung beras. "Dani, sini!" teriaknya.
Anak itu berlari ke arah kami, lalu tersenyum seraya bertanya, "Kenapa, A?"
"Tolong ajak Teteh main."
Tanpa basa-basi, anak bernama Dani meraih pergelangan tanganku. Aku yang baru saja duduk, tersentak bangkit dari posisi semula. Dani mengajakku melebur bersama anak-anak sebayanya yang tengah mandi di parit sebelah kebun. Tak ada rasa jijik sama sekali melihat aliran airnya yang jernih. Ikan kecil berkejaran di sana, sesekali harus rela tertangkap oleh anak-anak itu.
"Teteh, ini!"
Anak perempuan yang rambutnya basah dan sedikit berlumur lumpur menghampiriku membawa ikan kecil di telapak tangannya.
"Kasihan ikannya," ujarku.
"Tapi, Teh Sara suka kalau pulang dibawakan ikan kecil."
Saat otakku sibuk bertanya tentang siapa itu Sara, Mas Yuga tahu-tahu sudah berjongkok di sebelahku. "Sara itu kakaknya. Dia anak berkebutuhan khusus. Sara selalu terlihat bahagia setiap adiknya pulang membawa ikan-ikan kecil seperti ini," paparnya.
Kedua netraku bergulir lambat memindai selingkar. Penjelasan Mas Yuga seolah menyadarkan, bahwa selain Mas Yuga, warga di sini pun membuat kebahagiaan terlihat sederhana. Lauk pauk yang mereka makan tidaklah mewah, tetapi karena dimakan bersama, kenikmatannya seolah berlipat. Mainan mahal pun tak terjamah anak kecil di sini, hanya berlomba mengumpulkan sayuran, mandi di parit berair jernih, mengambil ikan kecil, dan saling melempar lumpur, cukup membuat mereka tertawa bahagia.
"Mas memang menyayangkan, bagaimana para orang tua menilai harga sebuah pendidikan, tapi iri melihat cara mereka menerjemahkan kebahagiaan. Benar, bahagia itu sederhana. Terkadang, kita saja yang memperumit jalannya."
"Mas, terima kasih."
Alis tebal lelaki itu bertautan, tampak bingung akan rasa terima kasih yang aku tuturkan. "Terima kasih karena telah mengajarkan bahagia yang sederhana."
"Mas tidak melakukan apa pun, hanya berusaha menularkan bahagia versi warga Desa Sawarga. Kesederhanaan dan keramahan mereka membuat siapa saja yang tinggal merasa diterima dan memiliki arti yang tak sederhana. Mas bahagia di sini."
Kutatap matanya, menikmati saat dia menyibak helai rambutku yang tersapu angin. Sudut bibirnya terangkat, membentuk lengkung senyum sempurna, membuatku terpaku cukup lama.
"Ras, apa kamu mau tetap tinggal di sini? Menanggalkan statusmu sebagai penyendiri, dan menjadi istri dari laki-laki sederhana bernama Yuga Dhirgantara?"
Kelopak mataku melebar mendengar pernyataannya. Mas Yuga ... melamarku?
"Mas tidak bisa menjanjikan apa pun, tapi Mas bersedia menuntun kamu menyusuri seluruh penjuru desa ini, untuk menemukan bahagia sesungguhnya."
Jauh sebelum aku menjawab, mata ini lebih dulu melakukan tugasnya. Aku menangis, terharu karena ternyata masih ada orang yang bersedia merengkuhku. Membuatku merasa diterima.
"Teteh, jangan nangis. Ayo main lagi!"
Mas Yuga menyeka jejak air mata di pipiku, mengusap rambut, sebelum akhirnya memberi kode agar aku berbaur dengan anak-anak itu. Tawa mereka mematahkan rasa sepi yang membelenggu. Menghidupkan kembali sebentuk hati yang nyaris mati. Terima kasih Sawarga. Dengan cara yang begitu sederhana, para penghuninya menyadarkanku tentang bahagia sesungguhnya.
-Selesai-
☁️☁️☁️
🌃
Salam, gadis pencinta drama dari Sawarga.
Lilissuryani22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top