Api Masa Lalu

“Aku tidak mengerti mana yang benar, Cal?”

“Kamu hanya perlu memperkenalkan diri. Tidak perlu cerita jika mereka tidak bertanya.”

Kamu berusaha menghiburku, Cal?

Rasanya embusan napas tidak juga mampu tenangkan. Aku justru menutup mata, membayangkan keberanian mampu hadir. Namun, pikiranku kembali menolak.
Terasingkan.
Mungkin itu yang kurasa.

“Aku takut, Cal.”

“Takut apa? Asap yang mendadak keluar saat kamu gugup, atau api yang mendadak menghanguskan sekitar saat marah? Ayolah, Ris. Kita sudah pernah melatihnya.”

Kamu terlihat frustasi. Membujukku memang tidak mudah, Cal. Terbiasa sendiri tanpa teman adalah hal biasa. Justru berada di keramaian semakin membuatku merasa tidak dibutuhkan.

Sebelum mengenalmu, rasanya dunia hanya berputar pada diriku saja, Cal.

Aku takut melangkah lebih jauh. Takut jika ternyata kamu mengajakku ke dunia luar hanya untuk membebaskan diri dari batas yang kita ciptakan.

“Ristra yang kukenal selama ini, selalu menunjukkan hal luar biasa. Mengapa tidak menunjukkan pada dunia?” Kamu mempertanyakan hal yang sama, lagi. Aku bahkan sudah hafal maksudmu, membesarkan hati karena dunia tidak lagi sama.

Garis waktu yang telah kulewati melalui pintu dimensi adalah salah satu penyebabnya. Kita jelas berbeda, Cal.

Pulau yang kamu sebut dengan kata Sawarga kini, bukanlah rumahku di masa lalu. Aku hanyalah pelarian, dianggap jahat karena mengeluarkan monster-monster menjijikkan. Padahal bukan inginku.

Netramu melebar, takjub.

“Apa kisahku tak membuatmu takut?”

“Apa lagi yang bisa kamu lakukan dengan sihir?”

Pertanyaanmu membuatku tergelak, miris. “Apa ilmu pengetahuanmu tidak mampu menjelaskan?”
Kamu menggeleng cepat. Ke mana penjelasan yang selalu kamu banggakan itu. Tentang teknologi Kryogenetik atau Humanoid.

“Sihir? Sihir selalu memiliki penjelasan tersendiri, Ris. Tidak semudah mengubah api melalui percikan yang tercipta dari gesekan kuat.”

Jadi, apa? Kamu tahu, Cal? Kadang aku merasa kamu akan menjadikanku bahan penelitian.

Jika sihir di masa lalu untuk melindungi diri, apa yang akan dilakukan manusia masa kini?

“Kamu bisa menguasai dunia, Ris.”

Ingatanku kembali pada garis waktu sebelumnya. Manusia selalu menganggap seseorang yang berbeda dari mereka adalah hal berbahaya. Tak pernah tahu apakah yang mereka lakukan akan menyakiti.

Aku menggeleng, lagi. “Dulu, mereka menganggapku berbahaya. Aku menghilang di antara percikan api perang. Aku takut berada di antara mereka, Cal.”

“Tidak lagi. Ada aku, Ris.” Kamu menarik kepalaku untuk bersandar di bahumu. Terasa menyenangkan meski hanya berdua, melihat langit biru tanpa penghalang.

Rasanya bangku yang menjadi penopang masih begitu luas, tetapi kita justru terjebak di sudut. Saling bercerita mengenai masa lalu dan masa depan.

“Sains juga berbahaya, Ris. Percobaan seringkali merenggut nyawa.”

“Kenapa tidak mencoba yang mudah?”

“Sebelum pindah ke Sawarga, timku memulai hal yang kecil. Seperti vaksin dan obat-obatan.”

Aku menoleh padamu, dan menyadari jarak kita begitu dekat karena kamu belum juga berhenti memperhatikan. Ah, aku jadi malu, Cal.

“Kenapa?”

Pertanyaanmu justru membuatku bisu seketika. Netramu begitu terang. Seperti langit yang sempat kita amati.

“Jadi, kamu harus ikut denganku, Ris. Tidak ada penolakan.”

Kamu langsung mengubah arah pandang. Terlihat panik, mungkin karena ketenangan yang masih menguasaiku saat kamu menjaga jarak.

“Kamu berhasil, Cal.”

“Apa?”

“Penenang yang kamu berikan. Aku tidak terbakar.”

“Apa maksudmu?”

Kamu tercengang begitu menyadari perubahan emosi yang tercetak di wajahku. Entah senang, gugup, atau malu. Aku sendiri tidak mengerti.

Hanya rasakan debaran di dada kiriku seolah berkejaran, mencipta sesak yang sulit dikatakan.

Spontan. Kamu menarikku masuk ke dalam bangunan yang tersembunyi antara pepohonan dari ketinggian—tempat kita berada.

Ruang lain terbuka begitu lemari-lemari dapur bergeser secara otomatis, menunjukkan tabung-tabung kaca dengan berbagai cairan transparan. Tempat yang biasa kamu gunakan untuk mengambil contoh darahku, atau mencampur benda-benda asing yang tak kumengerti.

Mungkin karena lamban, kamu segera mengangkat tubuhku naik ke atas ranjang dengan banyak selang atau kabel di pinggiran. Aku tahu, kamu pernah menjelaskan.

Beberapa kabel yang kamu sematkan di dada dan kepalaku terhubung pada monitor yang menunjukkan kerja organ dalam. Pertama kali melihatnya, kupikir mereka hidup. Ternyata perkembangan manusia begitu hebat.

Padahal dulu, manusia harus menemui para balian untuk mengetahui penyakit dan pengobatannya. Hanya menebak melalui gejala atau bantuan makhluk gaib.

“Kamu tahu apa yang terjadi pada mereka? Sawarga saat monster-monster rawa muncul dengan teror?” Aku bertanya karena penasaran. Kamu pernah ceritakan legenda yang menurutmu tidak masuk akal. Jelas saja. Masamu datang jauh dari kejadian itu.

“Bangsa pendatang—para Eridan—menggunakan persenjataan. Kata mereka begitu. Tapi, isu tidak sepenuhnya benar. Kadang sebagian adalah hal yang dipelintir. Aku masih tidak bisa percaya.” Kamu menuturkan, begitu selesai memastikan tidak ada yang salah denganku.

Pertama bertemu denganmu, aku—membara—menghanguskan sofa ketika kamu berusaha menyentuhku. Aku sempat mengira kamu sama seperti mereka di masa lalu.

“Ya. Kamu memang cantik.” Kamu pernah ucapkan sambil tergelak. Jelas aku tidak percaya.
Memang, untuk ukuran bangsa Nufs, aku terlihat berbeda. Mereka pernah bilang, “Kamu seperti dewi yang turun ke dunia.”

Pada awalnya aku setuju. Kekuatanku mampu membantu banyak orang. Namun, mereka berubah seketika. Hanya karena sebuah penolakan.

“Apa yang kamu pikirkan, Ris?”

Pertanyaanmu sukses membuatku kembali pada kenyataan setelah tenggelam dalam ingatan menyakitkan.

Monitor menunjukkan perubahan garis, yang lain menunjukkan bayang organ dalam tubuh yang bekerja dalam bentuk warna.

Tetapi, tidak ada yang terjadi di permukaan kulitku. Tidak ada yang terbakar atau berasap.

“Coba, Ris. Keluarkan dari tanganmu seperti saat itu.” Kamu memintaku sambil memperagakan gerakan tangan memutar.

Ucapanmu yang terdengar optimis, bersemangat, membuatku yakin untuk mengalihkan amarah. Sekejap kututup mata dan membayangkan mereka yang berusaha mengusirku dari desa setelah kejadian pertama. Ketika seorang pemuda yang berusaha mengurungku dalam rumah pohon justru terbakar bersama dahan yang menopang.

Tanpa mampu tertahan, mataku panas seketika. Banjir oleh cairan yang mendesak keluar. Jemariku membuka kepalan yang menghangat. Ternyata lebih sulit dari sebelum kamu menyuntikkan cairan itu, Cal.

Aku membuka mata dan menyadari, api ini jauh lebih kecil dari genggamanku.

“Kamu berhasil, Ris! Kamu berhasil!”

Kamu berteriak girang. Bahkan melompat ke udara ketika sadari api yang kugenggam langsung lenyap saat tersenyum melihatmu.

“Bukan aku. Tapi kamu.” Aku berusaha hapus genangan yang sempat mengaliri pipi. Berusaha menggerakkan bibir agar serupa dengan senyuman. Menggali masa lalu bukanlah hal yang menyenangkan. Terutama di saat aku mulai nyaman dan bahagia berada di sisimu.

Kamu benar dalam satu hal mengenai pengetahuan, Cal. Perubahan emosi jelas menentukan kekuatanku. Aku mampu kendalikan tanpa harus takut, Cal.

“Apa lagi yang kamu takutkan, Ris?” Kamu kembali menanyakan hal yang sama, belum menyerah untuk menunjukkan diriku pada dunia.

Aku takut, Cal. Bukan hanya penolakan dunia seperti dulu kala.

Aku takut tidak mampu menghadapi penolakan jika suatu saat kamu tahu perasaanku.

☁️☁️☁️
🌁

Salam, warga misterius dari Sawarga.
arishandi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top