XXVII. Monster Sebenarnya
“Understand that getting help isn’t a sign of weakness but a sign of strength.” – Michelle Obama
.
.
.
Magnum, 10.24
Winwin dan Hendery akhirnya tiba di Magnum dengan pesawat invisible milik Johnny. Tak hanya mereka; Renjun, Doyoung, Mark, Jungwoo, Sungchan, Shotaro, dan Jaehyun juga mengendarai pesawat yang sama.
Sungchan dan Shotaro saat ini menetap di Elektra untuk sementara waktu hingga keadaan negara terkendali.
Hendery dan Winwin berdiri di taman depan Magnum, melihat ke arah gedung, di mana semua mutan telah berdiri menyambut mereka dengan mengenakan pakaian berwarna hitam. Berbanding terbalik dengan lima anak mutan yang merupakan keturunan Duplication. Mereka lebih memilih menggunakan pakaian putih, membuat anak-anak itu mencolok. Kelima anak mutan tersebut masing-masing memegang buket bunga lily putih, lambang duka cita.
Hendery ingin disambut dengan air mata bahagia, bukan seperti saat ini yang penuh tangisan.
Winwin melihat ke arah Aurora yang sudah meraung-raung minta dilepaskan dari gendongan Diandra dan tiba-tiba menghilang begitu saja. Hal ini sontak membuat Hendery dan Winwin tertegun.
Satu detik kemudian, Aurora sudah berada di kaki Winwin. Ah, ternyata dia sudah mahir menggunakan kekuatannya di hadapan mutan dewasa subspesies yang sama dengan dirinya itu.
"Akhirnya kau pulang..." ujar si kecil sembari memeluk kaki sang pria.
"Kau mau aku gendong?" tawar Winwin.
Aurora mendongak dan memperhatikan Winwin dengan memamerkan deretan giginya yang kecil-kecil. "Tentu saja," sebut Aurora sembari mengangkat kedua tangannya ke atas, meminta Winwin untuk meraihnya yang sedang berjinjit dengan sepatu berwarna hitam dengan kaus kaki bercorak buah strawberry di bagian atasnya itu. Dengan sigap, Winwin mengambil tubuh Aurora dan menggendongnya.
Winwin kemudian menepuk bahu Hendery ringan, membuat mutan magnometakinesis itu mengangguk pelan. Winwin berjalan meninggalkan Hendery menuju Yangyang, Kun, Lucas, dan Xiaojun yang telah merentangkan kedua tangan untuk menyambut Winwin.
Ketiga mutan berusia empat belas, lima, dan sepuluh tahun berlari menuju Hendery.
"Selamat datang," sebut salah seorang anak berusia sepuluh tahun, perempuan dengan rambut ikal yang menjuntai hingga ke pinggang. Hendery membelai rambut ketiga anak itu, lalu melakukan aktivasi energi pada ketiganya.
"Kalian tidak boleh melakukan kekerasan pada mutan yang lain dengan kekuatan ini. Janji padaku?" sebut Hendery, menaikkan jari kelingkingnya.
"Tentu saja," jawab ketiganya kompak menyambut jari Hendery itu seraya tersenyum simpul.
Hendery kemudian menggendong anak berusia lima tahun, sedangkan dua lainnya berjalan berdampingan di sisinya menuju gedung Magnum.
***
Paxon, 10.38
"Kau sudah pulang?" tanya Jeno pada Renjun di kantor milik keturunan dewa teknologi tersebut. Renjun yang terkejut melihat kedatangan Jeno yang mendadak, kemudian memutar tubuhnya menghadap pemimpin kaum demigod itu.
"Ah, ya," ucap Renjun melangkahkan kakinya menuju sofa, menemani Jeno yang datang dengan setumpuk dokumen. "Apa ini?" lanjut Renjun.
"Ini dokumen kementrian biasa. Ah, Renjun, kau tak ikut campur urusan mutan dan cyborg, 'kan?" selidik Jeno.
Renjun mengerutkan kening dan mulut yang sedikit terbuka. "Kau tak percaya padaku?" tunjuknya dengan tangan menengadah.
Jeno tersenyum tipis melihat paniknya Renjun, "Aku percaya padamu. Aku hanya memastikan."
"Kau tak perlu takut, Yang Mulia. Tenang saja."
Jeno menaikkan kedua jempolnya. Setelah itu, tatapan Jeno kembali tajam. Ia menautkan kedua tangannya dan memandang Renjun tanpa berkedip satu kali pun.
"Renjun, dengarkan aku," ucap Jeno membuat Renjun mengerutkan kening dan duduk sedekat mungkin dengan keturunan Dewa Ares tersebut. "Sepuluh jam setelah kalian meledakkan Dark V, pemerintah telah melakukan evakuasi masyarakat secara besar-besaran."
"Hah? Ke mana?"
"Tersebar. Para manusia diungsikan ke luar New York. Sedangkan para cyborg dan mutan di luar dari Elektra dan Magnum tetap di tempat. Kau merasa ada yang aneh?"
Renjun menggigit kuku dan melayangkan pandangannya ke luar ruangan. Ia beranjak menuju jendela dan menyaksikan keadaan di luar Paxon yang mulai lenggang.
"Kau dapat menangkap makna dari perkataanku, bukan?" tanya Jeno kembali.
Renjun menghadapkan tubuhnya pada pria yang duduk dengan tenang di sofa, "Perang akan dilakukan di negara ini?"
Jeno berseru semangat, "Ya! Tepat sekali!"
Renjun menundukkan pandangannya. Dengan lemah, Renjun berucap, "Jen, Pemerintah akan melakukan genosida?"
Jeno hanya mampu mendengkus, lalu mengangkat satu sudut bibirnya. "Jika dilihat dari situasi sekarang, nampaknya mereka akan melakukan hal tersebut."
Keturunan Dewa Hephaestus itu mengangkat kedua tangannya di kepala, menautkan jari di sela-sela rambut. "Jen, kita kekurangan bantuan. Kau sadar jika kita tak mungkin melawan mereka. Kita kewalahan dan mungkin tidak akan mampu melawan lebih dari 30.000 REX berkekuatan lengkap."
"Kita bisa melakukannya Renjun. Mengapa kau sangat pesimis?"
Renjun menurunkan kedua tangan, membelalakkan matanya, dan menepuk paha dengan keras, "Pesimis? Demi ayahku yang sekarang memikul tanggung jawab yang berat di Olympus, kau lupa jika kita tertatih-tatih saat melawan manusia dengan Protector itu? Di Magnum?"
"Renjun, tenanglah!"
"Bagaimana mungkin aku bisa tenang jika sewaktu-waktu perang dapat meledak dengan mudahnya?"
Jeno bangkit dan berjalan menuju Renjun. Ia memegang kedua bahu pemuda tersebut, "Siapa yang mengatakan jika kita kekurangan bantuan?" Renjun kembali menautkan alis, meneliti raut wajah Jeno yang tampak biasa saja.
"Jisung entah ke mana, Jaemin menetap di Olympus, dan Chenle memilih untuk tetap bertahan di lautan. Kau yakin kita bisa menang, Jen? Bahkan saat ini aku merasa tak mampu menatap hari esok. Kau pikir aku tidak ketakutan?!" tegas Renjun.
Jeno mengulum senyum dan menatap netra Renjun yang tampak menahan air mata. "Kita tidak hanya berdua, Ren. Mereka ada di sini!"
"Siapa?!"
Bruk! Pintu kantor Renjun tiba-tiba saja terbuka dengan bebasnya.
"Butuh bantuan, Yang Mulia?" ucap Chenle dengan seringai.
Ia berdiri di sebelah kanan, Jisung di tengah, dan Jaemin di sebelah kiri. Jisung terlihat sedang menyantap lolipop sembari memamerkan senyumnya. Lain halnya dengan Jaemin, ia menaikkan kedua alis beberapa kali ketika Renjun menatap putra Dewi Demeter itu.
Tatapan Renjun yang semula berada pada ketiga demigod itu, kini beralih ke Jeno.
"Ketika kau mengatakan bahwa kau membutuhkan bantuan demigod lain di gunung Everest, di saat itu pula aku mengumpulkan semuanya, Renjun. Aku tahu kau trauma, sakit, dan ketakutan luar biasa saat melihat ledakan dan siksaan para tahanan. Aku tahu kau sudah berusaha keras dan melakukan pekerjaan yang luar biasa. Dan bisakah kita semua melakukan kerja itu sekali lagi?" tanya Jeno dengan eye smile-nya yang menawan.
Entah mengapa, dada Renjun terasa hangat mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Tidak ada janji kemenangan, tidak ada untaian kalimat makian, tidak pula ekspresi menusuk kalbu. Hanya ada optimis dan kesungguhan dalam kalimat Jeno itu.
Renjun mengangguk dengan cepat. "Kita akan melakukannya bersama hingga akhir!" senyum Renjun.
"Tapi tunggu sebentar... Jeno, kau mencuri dengar rahasia Bumi?" tanya Renjun dengan mata terbelalak.
Jeno menggeleng. "Bukan aku. Tapi dia," tunjuk Jeno dengan dagu pada Jisung yang sudah tersenyum licik di ujung pintu.
Jeno menaikkan satu jarinya di depan wajah Renjun. "Ah, aku masih memiliki kejutan lain."
Pemimpin para demigod itu menarik tangan Renjun, melewati koridor dan pilar besar Paxon menuju taman belakang. Saat pintu taman dibuka, Renjun terkesiap. Ia berjalan beberapa langkah di depan para demigod yang lain.
Taman bunga yang sangat indah, kini berubah menjadi sebuah taman yang gelap dan penuh bara api.
Di sisi sebelah kiri berdiri Cerberus yang berbeda dari Cerberus yang menjaga Paxon. Ukurannya dua kali lebih besar.
Di samping Cerberus, ada pula Hydra yang juga ukurannya dua kali lipat dari yang Renjun tampilkan di hadapan para polisi beberapa waktu lalu. Tak jauh dari Hydra, ada lima Centaur yang duduk sembari memejamkan matanya.
Di depan para Centaur, terdapat makhluk berupa tubuh singa bersayap dan memiliki kepala manusia pada umumnya. Ya, dia adalah Sphinx. Monster itu berdiri, menatap Renjun sekilas, lalu membuang tatapan itu. Ah, sepertinya ia tak tertarik memberikan teka-teki sebagai bagian dari kebiasaannya pada demigod setengah manusia itu.
Di samping Sphinx, ada Chimera. Dari bentuknya saja, Renjun menyebut jika ini adalah monster terseram. Ia memiliki kepala gabungan dari beberapa hewan seperti singa, ular, dan kambing.
"Ibu pikir, kau memang sangat membutuhkan para monster ini, Nak," ujar seorang wanita yang membuyarkan fokus Renjun.
Samar-samar, Renjun melihat sesosok wanita dengan pakaian berwarna hitam merah melayang ke arahnya. Sosok yang samar itu meraih dagu Renjun, lalu tersenyum. Sang wanita kemudian mundur beberapa langkah, lalu menampakkan sosoknya yang jelas di hadapan Renjun. Sontak, pemuda itu membelalakkan matanya.
"Ibu... Ibu Echidna!" pekik Renjun.
Sang wanita bernama Echidna atau yang mendapat julukan sebagai 'Mother of Monsters (Ibu dari para monster)' itu mengangguk dengan anggun.
"Ayahmu datang pada Dewa Hades. Lalu, Dewa Dunia Bawah itu datang pada Ibu meminta bantuan. Mendengarnya mengatakan hal tersebut dan apa yang akan terjadi di muka Bumi, Ibu sebenarnya menyayangkan, Nak. Tapi, kalian semua tenang saja. Ada Ibu dan para keturunan Ibu ini yang akan membantu kalian," ujar Echidna dengan nada selembut mungkin. Entah bagaimana, rasanya Renjun seperti sedang didongengkan.
"Setelah Ibu lihat, kalian memang anak-anak yang baik. Sayangnya, anak-anak Ibu tidak sebaik kalian," lanjut Echidna yang justru membuat Renjun terkekeh pelan.
Renjun membungkukkan tubuhnya sembari menyilangkan tangan di dada. "Terima kasih, Ibu."
Echidna mengangguk, lalu hilang di pelupuk. Ah, Renjun tidak dapat lagi menjelaskan isi hatinya. Ia ingin teriak sekuat tenaga, ingin mengeluarkan semua perasaan bahagia yang menyelimutinya.
Renjun berlari kecil menuju Jeno, Jaemin, Chenle, dan Jisung. "Katakan padaku jika ini bukan ulang tahunku?!"
"Tentu saja bukan, Yang Mulia," sela Jisung.
Renjun melebarkan kedua tangannya dan memeluk keempat demigod lain dengan erat. "Terima kasih, terima kasih," ucapnya dengan tulus.
Akankah para demigod dapat memenuhi tujuan mereka?
To be continued
***
© Ignacia Carmine (2020)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top