XVIII. Kehilangan
“Mostly it is loss which teaches us about the worth of things.” — Arthur Schopenhauer
.
.
.
Elektra, US
Pesawat invisible Johnny akhirnya mendarat tepat di atas Elektra, pukul dua dini hari. Taeyong, Johnny, dan Yuta menyisir semua lantai, berharap agar semua orang telah di evakuasi. Dan benar saja, tak ada satu pun wanita, orang tua, dan anak kecil di bangunan atas. Semuanya telah berada di ruang bawah tanah.
Dan, ya. Sebelum tiba di Elektra, pesawat invisible itu menurunkan Jeno dan Jisung di Paxon di mana Chenle, Jaemin, dan Renjun bersama makhluk-makhluk lainnya, tengah berdiri menghadang kepolisian untuk menerobos masuk.
Begitu pula dengan Kun. Ia akhirnya berdiri paling depan, melindungi Magnum yang kembali dibayangi oleh ketakutan luar biasa akibat perbuatan aparat beberapa waktu lalu. Kini, Magnum dilindungi oleh tiga mutan terkuat; Kun, Lucas, dan Winwin.
Di lantai 62, Taeyong memandang ke luar jendela. Tatapannya jatuh di gerbang Elektra. Ia menyaksikan aparat negara masih berjaga dengan rapi, lengkap dengan shield yang berada di depannya. Mereka terlihat siap menembak siapa saja yang keluar dari Elektra tanpa izin.
Sebelum keluar dari ruangan, seorang pria datang dengan tergesa-gesa. Ia meminta Taeyong untuk menyiapkan peralatan medis untuk para pasien di lantai bawah tanah.
Tanpa pikir panjang, Taeyong menyuruh Yuta untuk mempersiapkan semua kebutuhan medis, termasuk untuk para lansia. Yuta pun mengikuti perintah Taeyong dan berlari bersama pria tersebut menuju ruangan medis.
Johnny dan Taeyong bergabung dengan Haechan serta Taeil di pintu utama Elektra.
"Akhirnya kalian tiba juga," ujar Haechan sembari melipat tangannya di dada.
Taeyong menoleh, "Ada respon Pemerintah?"
Cyborg muda tersebut mendengkus dan menggeleng lemah. Darahnya mendidih dan dadanya sesak ketika mendengar kata 'Pemerintah'. Sejak meletusnya penyerangan di Magnum, Pemerintah seolah tak memiliki wibawa lagi di mata Haechan. Terlebih, ia sudah melihat bagaimana teman-temannya disiksa di penjara Dark V akibat titah para penguasa yang duduk di Parlemen itu.
Hingga matahari mulai menampakkan sinarnya, jajaran kepolisian negara masih betah berada di luar Elektra, Paxon, dan Magnum.
Taeyong kemudian menuju ruang diskusi Elektra pagi itu. Ia menyalakan semua hologram yang terhubung pada kediaman mutan, demigod, serta Pentagon; tempat bernaung para manusia yang memiliki kuasa di bidang militer.
Ketika Jeno, Kun, dan Menteri Edward telah muncul di hologram, Taeyong memulai diskusi tak resmi itu.
"Saya tidak akan berlama-lama, Pak Menteri. Yang saya butuhkan adalah kejelasan, kapan Anda menarik para polisi ini menjauh dari Elektra dan kediaman kaum lainnya?" tanya Taeyong dengan tegas.
"Saya pikir saya tidak akan menarik mereka setelah apa yang Anda dan kaum lainnya lakukan di Area 51."
"Apa?!" seru Jeno.
"Ya, jadi saya pikir bahwa kita memang harus melakukan ini. Dan yang terpenting adalah sesuai dengan kesepakatan awal kita, serahkan Winwin kepada kami!" ujar Edward dengan lantangnya.
Taeyong menyandarkan tubuhnya di kursi, lalu menatap langit-langit ruangan. Ia pun menghela napas dan memejamkan netranya selama beberapa detik.
Menghadapi masalah seperti ini untuk pertama kalinya, Taeyong mengakui jika ia terguncang dan tak mampu mengendalikan emosi. Ini jauh berbeda dengan dirinya yang lalu. Terkadang, ada penyesalan dalam dalam hatinya ketika menyetujui project pemerintah terkait penangkapan mutan itu.
"Bagaimana jika kami menyerahkan Winwin? Apakah tawaran pertama kita tetap berlaku?" ujar Kun yang menarik atensi Taeyong dan Jeno.
"Tentu saja. Pemerintah akan menarik para polisi, cyborg akan menerima satu tahanan, dan mutan akan menerima dua tahanan. Kami tidak akan ingkar, Kun. Anda tahu kami," jelas Edward dengan tatapannya yang tajam.
Jeno mengepalkan kedua tangannya di atas meja dan menyela, "Kami tidak akan menyerahkan siapapun!"
Setelah berpikir, Taeyong memutuskan untuk mengambil tindakan lain. Ia sudah menduga jika para demigod menolak untuk mengembalikan Winwin ke penjara Dark. Sayangnya, Taeyong tidak dapat menerka langkah para mutan selanjutnya.
"Jika itu adalah keputusan Anda, Pak Edward, jangan salahkan jika saya menyatakan Elektra secara resmi off!"
Taeyong menekan tombol merah di hadapannya dan berhasil memutus jalur komunikasi tersebut. Ia kemudian menghubungi Anthony yang berada di pusat kendali Elektra secepat mungkin. "Tutup Elektra hari ini!" titahnya.
"Siap, Tuan!"
Taeyong pun menyandarkan kembali tubuhnya di kursi. Kedua tangannya terlipat di perut dan mulai tertidur. Ketua kaum setengah robot itu benar-benar letih sebab ia tak beristirahat sejak kembali dari Area 51. Taeyong berharap keputusannya kali ini tepat dan membuahkan hasil positif.
Dengan ditutupnya Elektra, maka semua mesin yang diproduksi oleh kaum cyborg itupun berhenti total.
Hal ini membuat para pengusaha kecil, menengah, dan besar berang kepada pemerintah. Para pelaku usaha takut jika hasil produksi mereka terlambat untuk diselesaikan tepat waktu sehingga berdampak pada arus ekonomi di negara tersebut. Mereka pada akhirnya menghujani Kementerian terkait dengan telepon yang mengandung hujatan dan protes. Pemerintah kemudian memberikan janji akan menangani ini semua dengan cepat dan benar, sehingga kerugian negara tidak terlalu besar. Para pengusaha pun menyepakati hal tersebut
Tak hanya itu, suara pengumuman juga bergema di seluruh jalan terkait para pengendara Flying Car.
Moda transportasi ini merupakan produksi pertama Elektra dan menjadi salah satu alat transportasi resmi di negara tersebut, meskipun tak semua warga memilikinya. Sama halnya dengan mesin yang lain, Flying Car secara otomatis tidak dapat terbang jika Elektra tutup.
Pemerintah memang memberikan akses khusus bagi mesin Elektra untuk tetap terhubung dengan pabrik produksi. Hal ini menjadi salah satu kelebihan Elektra dibanding kaum lainnya.
"Aku benar-benar... butuh... tidur..." sebut Taeyong, lemah.
Kini, dengkuran halus pun mulai terdengar di ruangan tersebut dan Taeyong siap menelusuri setiap jejak mimpinya.
***
Magnum, US
"Apa yang kau katakan? Menyerahkan diri?" bentak Kun di hadapan Winwin dan Lucas.
Ya, Lucas sang mutan bersayap itu kini telah sehat. Tak ada lagi sisa luka di sayap putihnya yang besar.
"Kau buat kami merasa sia-sia saja melakukan berbagai hal selama ini jika kau menyerahkan diri!" lanjut Kun.
Winwin menggigit bibir bawahnya, lalu mulai bersuara. "Aku tahu, tapi ti-"
"Apa? Sekarang apa?!"
Melihat Kun yang sudah mulai naik pitam, Lucas menepuk bahu sang pemimpin yang sedang berdiri di depan jendela itu. Sedangkan Winwin, ia hanya duduk di sofa sembari membuang tatapannya.
"Kita bisa bicarakan dengan tenang, Kun."
"Tapi aku tidak bisa berpikir dengan tenang!"
Winwin menyela, "Ini demi keselamatan bersama, Kun. Please..."
"Aku tahu kau memiliki dua Alerium di jas yang kau kenakan saat ini," lanjut Winwin dengan penuh kehati-hatian. Dengan cepat, Winwin kembali membuang tatapannya ke arah lemari buku di ruangan itu.
Sontak, Lucas pun mundur beberapa langkah. "Serius?"
Kun merogoh saku kemejanya dan memperlihatkan Alerium yang ia curi dari Area 51. Untuk pertama kalinya Lucas melihat bentuk Alerium tersebut, hanya bisa melongo.
Winwin kemudian bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke arah Kun. "Aku mohon, Yangyang dan Xiaojun lebih membutuhkan ini. Aku masih bisa bertahan lama di penjara Dark, tapi tidak dengan mereka. Setidaknya kau menyelamatkan dua nyawa mutan sekaligus. Dan kau juga harus tahu, Kun. Aku masih memiliki banyak keturunan Teleportasi dibandingkan Vitakinesis dan Nekrokinesis di Magnum."
Winwin pun melangkah keluar dari ruangan tersebut tanpa sempat mendengar penjelasan ketuanya, meninggalkan Lucas dan Kun dalam keadaan kalut.
Mutan berkekuatan teleportasi itu berjalan menuju bagian belakang gedung, tepatnya di taman bunga. Ia tersenyum saat melihat anak berusia empat tahun sedang bermain sendirian dengan riangnya. Ya, itu adalah mutan berkekuatan teleportasi. Sama halnya dengan Winwin.
Saat melihat kehadiran Winwin, mutan kecil yang semula duduk di atas rumput pun berdiri dan berlari ke arah pemuda bersurai gelap tersebut.
Winwin menggendongnya, memperhatikan dress berwarna putih dengan motif bunga yang ia kenakan. Rambutnya hitam lurus, bola mata berwarna biru, serta kulit yang putih, membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona. Ia juga memiliki lesung pipi yang menawan layaknya Kun.
"Kau bermain dengan siapa?" selidik Winwin.
"Ssshhhh... Aku bermain dengan anak lainnya," ujar sang anak sembari mengangkat satu jari yang ia rekatkan di bibir mungil.
"Tapi aku tak melihat siapapun."
Sang anak hanya memutar matanya malas. "Ada apa?" tanya Winwin lagi.
"Kau membuatku ketahuan!"
"Hah? Bagaimana bisa?"
"Kau tak melihat portal kecil yang berada di belakangmu? Ah, mereka menemukan keberadaanku. Kau terlalu berisik sehingga aku ketahuan," ucapnya polos, membuat Winwin terkekeh pelan.
Ketika anak mutan bermain, maka mereka memiliki dunianya sendiri. Misalnya saat ini, anak mutan berkekuatan teleportasi akan benar-benar menghilang dan sangat sulit untuk menemukan keberadaannya. Hide and seek memang permainan andalan mereka.
Lain halnya dengan mutan telekinesis yang berlomba untuk membuat sesuatu yang berat atau membuat karya dari barang bermaterial besi. Atau, mutan dengan sayap yang berlomba untuk menembus lapisan atmosfer. Tak sedikit yang akan pulang dalam keadaan luka kecil ataupun mengalami gangguan pernapasan. Apakah itu masalah? Tentu saja tidak. Itu alamiah dalam dunia anak mutan dan mereka akan kembali sehat tanpa obat dan penanganan apapun.
"Mengapa kau imut sekali?" tanya Winwin pada Aurora, nama sang anak. Mereka berdua memilih sebuah tempat duduk panjang dari kayu yang berada di tengah taman.
"Semua orang mengatakan aku imut karena lesung pipi ini," terang Aurora sembari menunjuk pipinya.
"Kau yakin kau bukan anak Kun? Dia juga memiliki lesung pipi."
Aurora menggeleng dengan cepat, "Tidak, tidak! Aku bukan anaknya."
Winwin tersenyum tipis, "Tapi, bagaimana jika ia adalah ayahmu?"
"Tidak! Sudahlah, aku tak ingin mendengarnya. Sekarang, ajarkan padaku cara mencuri boneka beruang lagi. Atau, cara untuk mengambil kue yang telah dibuat oleh Nona Diandra."
"Hei, kau tak boleh melakukan hal seperti itu lagi. Itu bukanlah tingkah laku yang baik."
"Tapi kau melakukannya."
Winwin mendengkus, lalu tersenyum tipis. "Aku memang pernah melakukannya, tapi sekarang tidak lagi. Aku benar-benar berhenti."
Aurora mengerutkan kening. Ia memandang netra Winwin dengan lekat. Dengan cepat, kedua tangannya memegang pipi sang pemuda.
"Kau ketakutan?"
"Tidak!"
"Lalu, mengapa dalam kepalamu penuh dengan amarah dan getaran?"
Winwin menggeleng lemah. Ia memandang anak perempuan itu dengan sendu. "Aurora, bolehkah aku memelukmu?"
"Tentu!" jawab Aurora cepat.
Aurora membuka kedua tangannya dan memeluk leher Winwin dengan erat. Untuk sesaat, Winwin hanya mampu mengeluarkan air mata yang sedari tadi ia tahan tanpa suara. "Kali ini aku akan pergi. Jangan tunggu aku, karena aku tak akan kembali!" ujar pemuda itu dengan berbisik.
"Kau mau ke mana?"
"Jauh... jauh sekali. Tempat yang tidak akan bisa kau kunjungi."
Aurora mencoba untuk melepaskan pelukan Winwin. Namun sayang, itu tak dapat ia lakukan. Winwin tak ingin anak kecil itu ikut bersedih setelah ia berhasil menumpahkan air matanya di pipi.
"Jangan... pergi! Jangan tinggalkan kami lagi," sedih Aurora.
Winwin juga tak ingin meninggalkan Magnum, meninggalkan sepuluh anak mutan teleportasi lainnya yang akan menjadi penerusnya. Namun, apa daya. Winwin tetap harus pergi agar para polisi di luar sana kembali dan kedua mutan lainnya dapat dibebaskan.
"Maafkan aku!" ucap Winwin lemah, lalu membelai surai Aurora lembut. Rasanya anak perempuan itu ingin tertidur saja. Namun, belum sempat ia lakukan, Winwin telah menghilang. Meninggalkan Aurora yang masih terkejut dengan kepergian Winwin yang mendadak.
Anak perempuan itu berteriak dengan keras, menarik atensi semua mutan yang ada di Magnum. Tak lama kemudian, Lucas dan Kun datang menghampirinya. Lucas meraih Aurora dalam pelukannya dan melindungi dengan sayap dari banyak pasang mata yang menjadikan Aurora tontonan.
"Dia benar-benar pergi," kata Kun singkat.
***
Paxon, US
Renjun menghampar karpet di teras depan Paxon sembari menata sandwich dan pizza. Ia mengamati para polisi yang hanya bisa berdiri ketakutan dalam barikadenya. Ini tentu saja menjadi tontonan yang menarik bagi putra Dewa Hephaestus tersebut. Sebab, di hadapan para polisi sedang berjaga dua Cerberus dan dua Hydra berukuran raksasa yang terlihat haus akan darah manusia. Untung saja, Renjun dengan cepat mengikat kaki para hewan tersebut agar tak melukai polisi.
"Nampaknya tontonanmu sedang seru," seloroh Jisung yang datang dengan kotak jelly di tangan. Ia pun duduk dengan menyilangkan kaki di karpet permadani.
Renjun menyeringai, "Aku tak tahu dari mana mereka memiliki keberanian untuk menyerang Paxon. Apa aku perlu meminta bantuan Medusa untuk menjadikan mereka mannequin di pasar malam?"
Mendengar perkataan Renjun, Jisung tertawa lepas, hingga ia tak menyadari jika Chenle telah berada di sampingnya dengan tiga buah kaleng soda di tangan.
"Oh, hei," kata Jisung menyapa Chenle, lalu kembali tertawa.
Renjun dan Chenle hanya menggeleng melihat Putra Zeus itu tertawa terbahak-bahak, seolah tak ada lagi hari esok.
"Ke mana Putra Ares?" tanya Renjun pada Chenle.
"Dia masih berkomunikasi dengan Elektra."
"Kau tidak menemaninya?"
Chenle menggeleng, "Aku sedang malas berurusan dengan kebobrokan negara dan seisinya."
Jisung menoleh dengan cepat. "Untung saja aku bukan ketua demigod. Seandainya aku yang menduduki posisi Jeno, mungkin aku tak dapat menyaksikan tontonan seru di depan sana," sela Jisung sembari menunjuk dagu ke arah pagar Paxon. Mendengar itu, Chenle dan Renjun mengangkat kedua sudut bibirnya.
"Oh, ya, ke mana Jaemin? Aku tak melihatnya sedari tadi," jelas Chenle.
Renjun memandang Chenle dan Jisung bergantian, lalu menundukkan pandangannya. Ia mengambil sepotong pizza dan melahapnya dengan pelan.
"Dia ke Turki," jawab Renjun.
Chenle menautkan kedua alisnya dan menatap Renjun lekat. Menyadari tatapan Chenle, Renjun menurunkan potongan pizza dan membersihkan kedua tangannya dengan tisu. Ia kemudian mengambil sekaleng soda yang berada di depan Chenle dan meneguknya hingga habis.
"Dia... menyiapkan pemakaman Bella," lanjut Renjun, tak berani menatap balik Chenle dan Jisung yang terdiam akibat pernyataan mengejutkan tersebut.
To be continued
***
© Ignacia Carmine (2020)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top