XIX. Temple of Artemis

“Anyone who has lost something they thought was theirs forever finally comes to realise that nothing really belongs to them” — Paulo Coelho

.
.
.

Temple of Artemis, Turkey, 15.10

"Kau kepanasan?" tanya Jaemin dengan lembut.

Wanita itu hanya tersenyum lebar  seraya menggenggam tangan kakaknya. Sesekali, Bella menunduk, memperhatikan tangannya yang telah menghitam.

Saat berada di pesawat menuju ke negara ini, Bella memang telah menggunakan sarung tangan dan kaos kaki untuk menutupi warna kulitnya yang bagi banyak orang terlihat menjijikkan.

Setelah tiba di tempat tujuan, Jaemin menyuruh untuk melepaskan sarung tangan itu dan ia sama sekali tak jijik melihat tangan Bella. Tentu saja, bahkan saat ini Jaemin telah menggenggamnya dengan erat.

"Tidak."

"Oh, ya? Tapi aku merasa kau kepanasan. Buktinya, keningmu mulai basah," ucap Jaemin.

Bella terkekeh, "Tidak, Kakak. Ayo, terus berjalan. Ini masih jauh." Bella kemudian menarik tangan Jaemin.

Hingga akhirnya mereka tiba tepat di depan satu tiang terakhir Kuil Artemis. Bella memutar tubuh seraya mengedarkan pandangannya.

"Ini... dulunya sangatlah indah. Namun, sayang. Hancur begitu saja," sedih wanita berkulit putih itu.

"Ini akan selalu jadi tempat terindah. Lihat!" tunjuk Jaemin ke arah depan. Bella mengikuti jari Jaemin dan melihat Kuil Artemis berdiri kembali.

Untuk sesaat, Bella hanya termangu. Ia menatap kuil di depannya dengan takjub. Tak ada lagi puing-puing sisa banjir, terbakar, ataupun dihancurkan oleh suku Goth. Jalan yang semula bergelombang, kini menjadi rata dan teratur. Semuanya berdiri kokoh, menghadap ke arahnya.

"Bagaimana Kakak melakukannya?" tanya Bella dengan sorot mata yang berbinar.

Jaemin mengangkat kedua bahu sambil mengulum senyum, "Tak tahu." Mendengar itu, Bella memukul lengan kakaknya ringan.

Tentu saja Jaemin tidak benar-benar melakukannya. Ia hanya meminjam kemampuan Dewa Hypnos. Ah, ini kedua kalinya Dewa Hypnos membantu demigod.

Nimfa itu setengah berlari menuju dalam kuil. Ia berputar-putar dan bernyanyi dengan begitu bahagia. Setiap batu yang berada di hadapanya  -siap membuat sang adik tersandung- Jaemin berhasil menghancurkannya dalam sekejap mata, sehingga Bella tak menyadari jika semua ini hanya ilusi belaka.

"Kakak, kemarilah!" ajak Bella, menunjuk pada beberapa reruntuhan.

"Ini... di sini, mirip sekali dengan kuil yang ada di Olympus. Nah, di sana, itu tempat kami membasuh tubuh," jelasnya dengan semangat.

Jaemin menautkan alisnya, "Kami?"

"Ya, ya. Para nimfa!"

"Apakah kalian menggunakan kain saat mandi?" pancing Jaemin.

"Kami telanjang!" spontan Bella.

Jaemin terkekeh pelan. Ia menutup mulutnya dengan tangan kiri, membuat Bella membuang pandangannya. Ah, malu sekali. Ia tak menyangka jika kata-kata sepolos itu dapat keluar dengan mudah dari mulutnya.

"Maafkan aku, Yang Mulia," malu sang wanita.

Jaemin memeluk tangan adiknya, "Tenang saja, aku tak akan mengatakannya pada siapapun!"

Bella menoleh. "Mengapa wajahmu mesum seperti itu? Hei, apa yang kau pikirkan?" omelnya. Wanita itu mengerucutkan bibir dengan kedua tangan yang terlipat di dada.

"Aku tak memikirkan apapun!"

"Bohong! Pikiranmu hitam sekali, Kakak!"

Sontak, Jaemin pun tak dapat lagi menahan tawanya. Bella yang kesal kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Jaemin.

Jaemin kembali mengejar Bella dan berjalan bersama. Demigod dari bangsa nimfa itu menjelaskan detail bangunan kepada Jaemin. Melihat itu, putra Dewi Demeter hanya mengangguk. Ia tak menyela, sebab ia juga baru mengetahui fungsi-fungsi ruangan di Kuil Artemis.

Jaemin melangkah kakinya lebih dulu dari Bella, meninggalkannya sedikit di belakang. Ketika Jaemin memutar tubuh, ia terkejut melihat Bella telah menunduk. Nafasnya memburu, terlihat jelas asap tipis yang keluar dari mulutnya.

Bergegas Jaemin memapah Bella menuju salah satu tempat duduk panjang yang terbuat dari keramik.

Jaemin menyandarkan Bella di bahunya. Sang adik mendongak, menatap Jaemin dengan tatapan sendu.

"Aku ingin bercerita..." ucap Bella lemah.

Jaemin kemudian membantunya duduk dengan nyaman. "Kau ingin mengatakan apa?"

"Aku berbohong!"

Jaemin terdiam. Untuk beberapa saat, ia merasa jika dunianya baru saja berhenti.

"Kakak, lihat aku!" pinta Bella lemah. Ia meraih tangan sang kakak dan menepuknya lembut. Sayang, Jaemin justru tak ingin menatap Bella.

"Maafkan aku. Kakak kecewa sama aku, 'kan? Aku bisa paham itu."

Bella menelan salivanya dengan sulit. Ia beberapa kali menghapus air mata yang jatuh di pipi dengan tangannya yang semakin lama semakin menghitam hingga ke bagian bahu.

Jaemin akhirnya menurunkan ego, beralih menatap manik Bella lekat dengan senyum tipis.

"Aku ingin mengakui dosaku." Bella menghela napas. "Aku memang dibuang oleh Dewi Artemis karena kesalahan. A-aku mencintai seorang demigod, di mana Dewi Artemis sangat menentang kami berdua."

"Tak hanya Dewi Artemis, Dewa-Dewi lainnya di Olympus juga tidak menyetujuinya. Sebab, kami berbeda. Tapi aku mencintainya. Setiap kali dia datang ke Olympus, kami melakukannya, hingga pada suatu ketika aku hamil."

Jaemin mengerutkan kening. Ia bahkan tak bisa mengeluarkan sepatah dua patah kata, seolah mulutnya terekat dengan kuat.

"Lalu, setelah lahir, bayi itu diambil dan dibawa menuju langit oleh para Dewa. Entah apa yang mereka lakukan. Setelah itu, aku dibuang ke air terjun Havasu," lirih sang wanita.

"Tapi Kakak jangan salahkan dia. Demigod itu sangat baik dan dia ingin bertanggung jawab. Dia ingin anaknya, tapi para Dewa tak setuju," ucap Bella dengan senyum menawan.

Pria tersebut membelai surai wanita yang duduk di sampingnya. "Lalu?"

Bella menggeleng lemah. "Dia sering mengunjungiku di Havasu, mendatangkan makhluk lain untuk bernyanyi denganku, membacakanku cerita, dan masih banyak lagi. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk."

"Dia siapa?" tanya Jaemin lagi. Ia mengangkat kedua sudut bibirnya, menampilkan raut wajah yang tenang, meskipun itu tak terasa di dalam dadanya.

Bella menatap Jaemin dengan mata yang berkaca-kaca. Netranya berhasil membuat netra Jaemin tak berpaling darinya. Untuk sesaat, Bella merasa bahagia menerima tatapan Jaemin, seolah Bella menjadi satu-satunya dan tak tergantikan di pikiran kakaknya itu.

"Yang Mulia Putra Dewa Zeus, Jisung!"

***

Setelah pengakuan Bella yang mengejutkan itu, ia akhirnya pergi dengan tenang dalam pelukan Jaemin.

Sang Kakak menggendongnya, memasukkan dalam peti diiringi oleh tatapan para nimfa yang berada tak jauh dari Kuil Artemis. Tak sedikit dari para nimfa yang berlinang air mata, memberikan Bella bunga yang indah, dan tentu saja ditata rapi dalam peti itu.

Jaemin berulang kali mengucapkan terima kasih pada para nimfa yang hadir dan akhirnya menguburkan peti itu tepat di dalam Kuil Artemis yang di masa lalu sangat dipuja oleh warga setempat.

Ini memang permintaan Bella, dikubur di kuil tempat ia dibesarkan. Walaupun bukan di Olympus, namun kuil di negara ini sudah menyerupai Kuil Artemis. Jaemin tidak dapat membawanya kembali ke Olympus, sebab Bella sudah tak diakui lagi.

Setelah semua proses tersebut berakhir, Jaemin pun melangkah menjauhi kuil dengan tatapan kosong. Kemampuan ilusi yang ia peroleh dari Dewa Hypnos seketika menghilang. Reruntuhan masa kejayaan Dewi Artemis terlihat di segala penjuru, menyadarkannya bahwa semua adalah fana, kecuali sesosok Dewi yang kini berdiri di hadapannya dengan manik yang berkilauan.

Tak ada sambutan, pelukan, atau salam hormat yang biasa Jaemin lakukan ketika berada di Olympus. Ia hanya berdiri, menatap nanar sang Dewi Demeter.

"Aku, Bella, Persephone, Dionysus, Despoina, Arion, Plutus, dan Philomelus; tidak ada bedanya, Ibu. Kami semua memang tidak dapat memilih dilahirkan oleh siapa. Tapi, bisakah kami memilih untuk hidup bahagia, meskipun tanpa kasih sayang dan pengampunan darimu? Apakah kau tahu jika kau telah menghancurkan hidup kami?" ucap sang putra.

Jaemin dengan cepat menyeka air matanya. Ia pun berlalu, meninggalkan Dewi Demeter yang jatuh bersimpuh. Kedua tangan dewi kesuburan itu menutupi wajah dan menangis dalam diam.

Langkah Jaemin terhenti tepat setelah pemandangan di sekitarnya menjadi mengerikan. Semua tanaman layu, air di sungai mengering, dan angin bertiup dengan kencang.

Spontan, ia menolah ke belakang dan melihat Dewi Demeter sedang terisak. Dengan langkah cepat, Jaemin memeluknya, menenangkan sang Dewi agar tak mengancam kehidupan lain yang sedang berpijak di Bumi.

"Ibu, maafkan aku," singkat Jaemin mengeratkan pelukannya. Namun sayang, semuanya sudah terlambat.

***

Paxon, Astrya, 00.04

Negara dilanda angin topan dahsyat, petir yang menyambar, serta suhu lingkungan yang tiba-tiba saja menjadi sangat dingin. Ini dirasa sangat aneh mengingat bulan ini bukanlah musim dingin. Dengan keadaan yang tidak kondusif serta perginya Winwin dari Magnum, akhirnya memaksa pihak kepolisian yang berjaga di kediaman para makhluk untuk kembali ke markasnya.

Elektra dan Magnum dibuat kebingungan dengan perubahan iklim yang ekstrim. Aktivitas para mutan, cyborg, dan manusia berhenti seketika malam itu. Para makhluk saling berkumpul bersama keluarga, merekatkan pelukan satu sama lain. Suasana yang mencekam membuat sebagian besar makhluk berpikir bahwa kiamat akan segera tiba.

Namun, hal ini justru ditanggapi berbeda oleh pihak Paxon. Jeno, Renjun, dan Chenle bergegas menuju ruangan Jisung. Setibanya mereka di pintu, Jeno menarikan tuas. Sayangnya, pintu itu terkunci rapat.

"Jisung, aku mohon keluarlah! Katakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi!" teriak Jeno sembari mengetuk pintu dengan keras.

Mendengar itu, putra Dewa Zeus hanya menangis dalam diam. Ia duduk di tempat tidur sembari memeluk kedua kakinya.

"Aku mohon padamu, Yang Mulia. Di luar benar-benar kacau. Jika ini terus terjadi maka kehidupan manusia dan makhluk lainnya terancam. Aku mohon hentikan!" bujuk putra Ares.

"Jika kau tak membuka, maka aku yang akan mendobraknya, Jisung!" sela Chenle dengan nada yang sedikit dinaikkan.

Tak ada respon dari dalam kamar, membuat Chenle tak sabar ingin membukanya. Namun, hal itu urung dia lakukan setelah sekretaris Jisung menahannya.

"Yang Mulia hanya ingin sendiri," sebutnya.

Mendengar hal tersebut; Renjun, Chenle, dan Jeno pun mendengkus, lalu pergi meninggalkan ruangan putra Dewa Zeus yang gelap itu.

"Chenle, jadwalkan pertemuan antarkaum besok!" titah Jeno.

"Tapi, Yang Mulia, ini tidak kondusif," ujar Chenle panik.

"Justru keadaan tidak kondusif ini kita manfaatkan untuk kembali menyusun strategi, sembari menunggu Jisung dan Jaemin juga."

Tak ada pilihan bagi Chenle selain mengucapkan, "Baik, Yang Mulia."

To be continued

***


© Ignacia Carmine (2020)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top