VII. Penyerangan Magnum

"People shouldn't be afraid of their government. Governments should be afraid of their people." - Alan Moore

.
.
.

Paxon, 14.23

Renjun berlari menuju ruang kantor Jisung. "Kau memanggilku?" tanya Renjun setelah muncul di balik pintu. Ia terlihat terengah-engah.

"Aku tak menyuruhmu berlari, Yang Mulia," ujar Jisung dengan nada datarnya.

Renjun mengernyitkan kening, "Hei! Aku mengira jika itu adalah hal yang penting."

"Tentu saja penting. Namun, kau tak perlu tergesa-gesa seolah sedang dikejar oleh Harpies."

Renjun mendengkus kesal mendengar pernyataan keturunan Dewa Zeus itu. Ia pun masuk ke kantor Jisung dan merebahkan tubuhnya di sofa.

Ruangan milik Jisung merupakan ruangan kantor paling besar dan sejuk di Paxon. Di bagian sudut kiri ruangan terdapat air mancur berukuran kecil yang diisi oleh ikan-ikan hias. Berbeda halnya dengan sudut bagian kanan. Di bagian ini, terdapat kolam berukuran 5 meter dengan kedalaman 20 meter. Kolam tersebut berisi tiga putri duyung peliharaan Jisung, hadiah dari Dewa Zeus.

Jisung mendekati kolam putri duyung itu. Jarinya menyentuh air, dan seketika satu putri duyung muncul ke permukaan. Warna siripnya pun indah, berwarna biru berkilauan.

"Yang Mulia," sebut putri duyung tersebut, sembari menundukkan kepalanya.

Jisung tersenyum tipis. Ia menangkup wajah putri duyung yang bernama Clarissa itu dengan satu tangan.

Clarissa merupakan putri duyung dengan surai berwarna ash grey bergelombang hingga ke pinggang, manik menawan layaknya pemandangan laut di Samudra Pasifik, serta kulit pucat kesi.

"Aku mendengarmu sedang bernyanyi. Suaramu sangat indah," puji Jisung, membuat Clarissa mengangkat wajahnya.

Memang benar, sepanjang hari ini, Jisung telah mendengar berbagai senandung merdu dari dalam kolam. Jisung sudah dapat menebak jika itu adalah Clarissa. Sebab, hanya Clarissa yang mampu bernyanyi dengan durasi yang terbilang lama. Suaranya pun memiliki ciri khas tersendiri sehingga Jisung sangat mengenalnya.

"Sungguh kebahagiaan yang tak terhingga menerima pujian darimu, Yang Mulia," sebut Clarissa sembari memamerkan senyum tipis. "Ada apa, Yang Mulia?" lanjutnya.

"Aku ingin meminta air matamu. Nampaknya, aku akan membutuhkan itu," sebut Jisung.

Clarissa menggeleng. "Tapi aku sedang tak bersedih, Yang Mulia. Bagaimana caranya agar aku dapat mengeluarkan air mataku?"

Jisung kembali mengangkat satu tangannya, menyentuh kulit wajah putri duyung tersebut. Ia pun mendekatkan wajahnya hingga akhirnya satu kecupan mendarat di kening Clarissa. Jisung menatap putri duyung itu dengan lekat.

"Dewa Zeus menyukai nyanyianmu," ucap anak dewa pemimpin Olympus tersebut.

Mendengar itu, Clarissa sangat bahagia. Untuk kesekian kalinya, ia menerima pujian dari dewa Zeus terkait suaranya.

Tak lama kemudian, Clarissa mengeluarkan air mata bahagia. Jisung dengan cepat meletakkan kedua tangannya di bawah dagu putri duyung itu. Air mata bahagia dari Clarissa memang unik. Air mata itu dengan cepat berubah menjadi mutiara berwarna. Lain halnya jika ia sedang bersedih, maka mutiara yang ia keluarkan akan berwarna abu-abu.

"Terima kasih, Clarissa. Aku menunggu nyanyian indahmu lagi. Beritahu kedua temanmu yang lain jika kau telah mendapat pujian tertinggi dari dewa."

"Iya, Yang Mulia. Terima kasih."

"Kembalilah!"

Clarissa kemudian menenggelamkan tubuhnya. Ia menghilang dari pandangan Jisung dan Renjun saat itu juga.

Putra Hephaestus menghela napas. "Jadi, kau memanggilku ke sini hanya untuk melihatmu sedang melakukan lakon ala opera sabun? Yang benar saja!" cibir Renjun.

Jisung berjalan menuju mejanya, meletakkan tujuh butir mutiara ke dalam kotak, lalu menutupnya erat. Ia kemudian menatap Renjun yang sekarang berada dalam posisi duduk.

"Tidak, aku hanya kesepian. Maka dari itu aku memanggilmu."

Tatapan Renjun kemudian meneliti kotak di meja Jisung. "Kau masih ingin mengumpulkan mutiara duyung?"

"Ya. Aku sangat kesal ketika harus memberikannya pada Pemerintah. Itu adalah koleksi berhargaku. Tapi, harus bagaimana lagi. Demi lahan."

Renjun mengangguk lalu tersenyum tipis.

Brak...

Sontak, Jisung dan Renjun terkejut luar biasa.

"Hei! Tak sopan sekali kau Empusa!" teriak Renjun.

"M-Maafkan aku, Yang Mulia. Aku siap mendapatkan hukuman atas ketidaksopananku ini," ujar Katy, sekretaris pribadi Jisung.

"Ada apa, Katy? Mengapa dirimu begitu panik?"

Katy menengadahkan kepalanya, melihat Jisung dengan jelas. "Yang Mulia, Magnum diserang!"

Kening Jisung dan Renjun berkerut. Mereka tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

"S-siapa yang melakukannya?"

"Pemerintah!"

***

Magnum, 14.45

Renjun, Jisung, Jaemin, dan Jeno bergegas menuju Magnum. Chenle sendiri masih berada di Elektra hingga saat ini.

Keempat demigod itu mengaburkan aroma tubuh dengan menggunakan cairan dari Dewa Zeus. Mereka memakai cairan tersebut sebanyak mungkin. Pasalnya, mereka akan bertemu dengan banyak mutan dengan berbagai kekuatan.

Mobil mereka berhenti di samping kanan gedung Magnum, sebab bagian depan telah ditutupi oleh barikade kepolisian. Entah apa yang terjadi, namun ini terasa aneh.

Kepolisian bersenjata lengkap, telah menodongkan pistol yang mengarah langsung ke mutan di pagar terluar Magnum. Para aparat negara itu kini berhadapan langsung dengan anak-anak mutan. Tak sedikit dari mereka menangis tanpa suara dan bergetar hebat sembari memeluk satu sama lain.

Jaemin tak menerima tindakan semena-mena ini. Dia pun turun dari mobil, menghancurkan dinding di sebelah kanan, dan berdiri di antara para mutan dan manusia berseragam itu.

"Kami tak ada urusan dengan Anda, Yang Mulia!" teriak salah satu petugas.

Renjun, Jeno, dan Jisung telah berada di sisi Jaemin. Mereka bersiap jika saja aparat keamanan ini mulai melakukan aksinya.

"Lalu, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Jeno dengan tegas.

"Kami hanya mengikuti perintah!" ujar petugas itu lagi.

Jaemin menoleh pada salah satu perempuan, Diandra.

"Ke mana Lucas dan Kun?"

Diandra menggeleng, "Aku tidak tahu, Yang Mulia. Mereka belum kembali sejak kepergian mereka beberapa hari lalu." Diandra menangis sambil memeluk dua anak mutan berusia lima tahun. Anak-anak itu memegang baju dan menyembunyikan wajahnya pada tubuh Diandra.

"Ini tak bisa ditolerir!" geram Renjun.

"TEMBAK!" perintah ketua kepolisian pada jajarannya.

Satu tembakan dari sebuah bazooka, menghancurkan sisi depan Magnum.

Refleks, keempat demigod itu tercengang. Itu adalah amunisi yang besar!

"Apakah ada di antara kalian yang memiliki kekuatan pelemah indra?" tanya Jeno pada sekelompok mutan itu.

Lima orang yang berusia sekitar 15 hingga 18 tahun, mengangkat tangan mereka. "Kami berlima, Yang Mulia."

"Apakah kalian dapat mengembalikannya lagi setelah ini berakhir?"

"Tentu saja."

"Baiklah. Lemahkan semua indra penglihatan dan pendengaran para mutan. Aku yakin ini akan membuat mereka jauh lebih tenang. Kami mengandalkan kalian," pinta Jeno.

Kelima pemuda tersebut melakukan apa yang Jeno perintahkan. Sesekali, tangan mereka bergetar dan air mata mengalir di pipi ketika mulai melakukan pelemahan indra. Mungkin saja setelah semua berakhir, mereka adalah lima orang yang akan mengalami trauma luar biasa.

Demi kebaikan bersama...
Demi hidup para mutan...

Mereka melakukannya dengan sukarela!

Para demigod dengan sigap terpejam dan sedetik kemudian mata mereka menyala.

Jeno kemudian berlari menuju polisi. Kedua tangannya mengeluarkan besi tajam layaknya pedang.

Jisung melayang di udara dan mengeluarkan petir yang mulai menyambar. Awan berwarna abu-abu pekat terlihat menutupi langit di Magnum hari itu.

Renjun tak diam saja. Ia memunculkan bola api yang besarnya dua kali ukuran amunisi bazooka tersebut dari kedua tangannya. Tatapan tajam dan rahang mengeras, kini terlihat jelas pada Renjun.

Jaemin melakukan hal yang sama dengan Jisung. Ia melayang sembari mengangkat tanah beberapa meter di depan para demigod, untuk menciptakan jarak. Gundukan tanah tersebut ia lemparkan ke arah polisi.

Namun, itu tak berhasil! Tanah yang ia lempar, luruh begitu saja.

Jeno juga tak dapat menembus pertahanan kepolisian. Ia berhenti, seolah ada dinding yang melindungi aparat negara itu.

"Apa yang terjadi?" heran Jaemin.

"Kalian harus lihat ini," ucap Jisung sembari mengusap udara di hadapannya. Dan benar saja, sebuah protector berwarna biru transparan terbentang luas di depan polisi. Protector ini hanya dapat dilihat oleh demigod yang diakui seperti mereka.

"S-sejak kapan manusia memiliki ini?!" seru Renjun, tak percaya.

Jeno melangkah mundur. "Tidak mungkin!"

Netra Jaemin memandang sejauh protector itu terlihat. Ia dan demigod yang lain pesimis dapat mengalahkan pasukan kepolisian jika kondisinya seperti ini. Semua kekuatan yang mereka kerahkan dirasa sia-sia saja.

"TEMBAK!" titah Ketua Kepolisian untuk kedua kalinya.

Kali ini, sasaran tembakan berada di sayap kanan gedung Magnum. Jeno, Jaemin, Renjun, dan Jisung mati kutu. Melihat kekuatan bazooka yang sangat besar, mereka mengakui jika itu mengerikan. Terlebih, mereka harus melindungi ratusan mutan anak-anak.

Deru napas para demigod semakin cepat, peluh mulai menghiasi pelipis dan kening mereka. Jika demigod tetap seperti ini, maka Magnum akan segera hancur kurang dari satu jam. Semua pengorbanan mereka untuk membangun Magnum menjadi tak berguna.

Sekali lagi, dengan kekuatan penuh, mereka mencoba menerobos pasukan polisi. Mulai dari badai kecil, getaran bumi berukuran sedang, hingga sambaran petir, semua berhasil dihalau oleh segerombolan manusia itu. Kekuatan mereka yang terpental begitu saja, membuat tenaga para demigod terkuras sedikit demi sedikit.

"Ini... gila... hah.. hah.." Renjun menundukkan tubuh, menopang kedua tangannya pada lutut. Ia menghirup dan membuang napas, mencoba kembali menetralkan keseimbangan tubuhnya.

"Ini... harus berakhir... " ujar Jaemin, memejamkan mata. Ia berjalan sempoyongan menuju polisi. Entah, apa yang akan Jaemin lakukan.

Jisung menoleh pada Jeno. "Tak bisakah para mutan diarahkan keluar Magnum? Tempat ini sudah tak kondusif lagi!" katanya tak sabaran.

Jeno menggeleng lemah. "Tak boleh ada satu pun dari para mutan yang keluar dari Magnum! Jika ada yang melanggar, maka aku akan membunuhnya!"

Tentu saja para mutan ini tak diperkenankan keluar. Sebab, mutan yang berusia muda dapat menjadi santapan mutan dewasa yang berkeliaran bebas di luar sana. Terlebih, dengan kemampuan yang minim, mereka belum dapat melindungi diri sendiri.

Jaemin menurunkan kedua tangannya di tanah. Matanya kembali bersinar terang. Ia merasa putus asa, sehingga ia berniat untuk membuat gempa sebesar sembilan skala richter. Entah mengapa, ia merasa bahwa kaum manusia harus dihancurkan saat ini juga.

"Demi Dewa-" kalimat dari Jaemin menggantung sesaat setelah ia melihat pusaran air setinggi gedung tiga puluh lantai berjalan menuju bagian belakang aparat kepolisian yang tak dilindungi oleh protector.

Wush... Seketika, gelombang itu menyapu barikade polisi, membuatnya hancur lebur.

"Maafkan keterlambatanku, saudaraku," sebut Chenle yang terlihat melayang di udara.

Jaemin, Jeno, Jisung, dan Renjun tersenyum tipis. Mereka merasa lega setelah kedatangan keturunan Poseidon itu.

Chenle tak sendiri, ia menuju Magnum bersama Taeil, Yuta, dan Johnny. Ketiga cyborg tersebut mengendarai board dan melayang menuju protector. Ya, para cyborg dengan kemampuan tinggi ini juga dapat melihat protector tersebut.

Menyadari jika para polisi mulai bangkit kembali, Chenle terus menerus membuat gelombang besar. Ia memasukkan para polisi dalam pusaran air hingga mereka berhenti bernapas. Tak hanya itu, Chenle juga mengubah air menjadi es berbentuk tombak yang tajam.

"Aku akan membiarkan kalian membusuk di Dunia Bawah bersama Dewa Hades yang terhormat," ucap Chenle sembari menghujani polisi dengan tombak tersebut. Seketika, para aparat negara kehilangan nyawa.

Para cyborg memegang lapisan protector. Mereka melakukan transfer energi elektrik dan malware yang mereka dapatkan dari Taeyong dengan maksimal. Protector itu menghasilkan warna yang beragam, lalu pecah tak berbentuk.

Protector akhirnya hancur!

Jisung memandang ketiga cyborg, tak percaya. "Aku berulang kali melancarkan aliran listrik pada protector. Namun, itu tak hancur sama sekali. Mengapa kalian dapat menghancurkannya?" tanya Jisung.

"Kita butuh malware, Yang Mulia. Pemerintah memberi kami malware beberapa waktu lalu dan ini saatnya kami mengembalikan pada pemiliknya," tutur Johnny bangga.

Mendengar itu, Jisung yang semula memperlihatkan kilatan mata yang tajam, kemudian terganti dengan senyum yang mengembang.

Chenle, Taeil, Johnny, dan Yuta kini bergabung bersama Jaemin, Jeno, Renjun, dan Jisung. Jeno sekarang memegang kuasa tertinggi sebagai pemimpin tiga kaum. Meskipun ini bukanlah penunjukan secara resmi, namun semua memberikan kepercayaan di pundak Jeno.

Keturunan Dewa Ares itu memandang satu per satu makhluk yang ada di hadapannya.

"Mulai sekarang, perang dengan Pemerintah kita mulai!"

To be continued

***

© Ignacia Carmine (2020)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top