VI. Goyahnya Keyakinan
“A patriot must always be ready to defend his country against his government.” — Edward Abbey
.
.
.
Para cyborg kembali ke Elektra, begitu pula Chenle yang kembali ke Paxon. Ada rasa penasaran dan kekhawatiran yang menyergap Chenle. Ia ingin mengetahui kemana para mutan itu pergi.
Jeno dengan cepat masuk ke ruangan Chenle. Ia tersenyum merekah menyapa putra sang dewa Poseidon itu. "Aku tahu kau mendapatkan informasi yang sangat berharga," sebutnya tanpa basa basi.
Chenle memutar bola matanya malas. Ia yang saat ini sedang sibuk memilih bacaan di lemari buku yang terletak jauh di sudut ruangan, tidak memedulikan kehadiran Jeno sama sekali.
Chenle bahkan tak perlu repot berbalik badan untuk menyapa keturunan dewa Ares yang telah duduk santai di hadapannya itu. Ah, pertemuan beberapa waktu lalu memang masih membayanginya. Perasaan kesal masih ada di dalam hatinya.
"Kau mau bertukar informasi? Aku juga punya informasi penting," rayu Jeno.
Chenle tahu jika itu hanya akal-akalan Jeno. Tentu saja ini tak menggoyahkan hati Chenle.
"Tak ada yang ingin aku bagi, Yang Mulia. Aku sedang tak ingin diganggu," usir Chenle halus.
Tok.. tok.. tok..
Chenle dengan sekali gerakan jari, membuat pintu ruang kerjanya terbuka. Empusa pun masuk sembari menggenggam sebuah amplop.
"Surat?" tebak Chenle.
"Benar, Yang Mulia."
"Letakkan saja di meja. Nanti aku akan membacanya."
"Baik, Yang Mulia."
"Keluarlah!"
Sang Empusa pun menundukkan tubuhnya ke arah Chenle dan Jeno, lalu undur diri. Chenle menatap Jeno sejenak, "Aku tahu kau ingin membaca surat ini."
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Itu tidak sopan."
Chenle mengangkat satu sudut bibirnya, "Cih!"
"Kalau begitu, aku kembali ke kantorku," ucap Jeno. Chenle yang mendengarnya hanya mengangguk.
Setelah Jeno pergi, ia pun membuka undangan dari Elektra tersebut. Chenle kemudian mengambil ponsel miliknya dan bergegas pergi. Undangan itu seolah menjadi sinyal jika ini adalah waktu yang tepat bagi Chenle untuk mencari tahu lebih banyak lagi terkait cyborg dan strategi mereka ke depannya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 25 menit, Chenle akhirnya tiba di Elektra dan diarahkan menuju ruangan pemeriksaan total tubuh para cyborg. Ia bermaksud untuk mengunjungi Taeyong dan Haechan yang memang diketahui terluka berat. Di samping itu, ia juga memiliki tujuan untuk menanyakan langsung makna surat dari para cyborg yang berkumpul di ruangan itu.
Chenle menatap Taeyong di sebuah kamar dengan kaca transparan. Ia mendekat dan meletakkan tangannya yang terbungkus dengan sarung tangan di kaca penghalang ruangan. Dadanya terasa sesak saat melihat ketua kaum cyborg itu terluka parah.
Harus diakui, Chenle adalah demigod yang memiliki banyak teman, salah satunya Taeyong. Meskipun terkadang mereka saling beradu pendapat di pertemuan parlemen atau diskusi di gedung pemerintahan, tapi di luar dari semua itu, mereka berteman baik.
Taeyong tertidur lelap dengan kabel yang mengitari tubuhnya. Dua buah tangan robot yang berada di kanan dan kiri tempat tidur berusaha memilin dan memperbaiki beberapa kabel di tubuh Taeyong yang rusak. Jarum terlihat sesekali berhasil menembus kulit Taeyong, mengeluarkan darah perak yang segar. Sekali lagi, tangan robot itu dengan cekatan membalut dan membersihkan lukanya.
Sebenarnya, melihat itu secara langsung membuat tubuh Chenle nyeri. Ia seolah merasakan sakit di tubuh Taeyong.
Chenle kemudian menoleh ke arah tempat tidur yang berada di sebelah Taeyong. Haechan, ia juga terbaring dengan selang yang masuk lewat mulutnya. Chenle dapat mendengar suara alat pencatat detak jantung yang berada di sebelah kiri Haechan.
Demi para dewa yang mendiami Olympus, Chenle akan berdoa untuk kesembuhan Taeyong dan Haechan setelah kembali ke Paxon.
"Yang Mulia," tegur Johnny, "apa tidak sebaiknya kita keluar saja dari sini?"
Chenle bergeming.
Taeil mendekati Chenle, memegang salah satu bahu putra Poseidon itu dengan erat.
"Aarrrggg.." erang Taeil. Tangannya yang terbuat dari robot tiba-tiba saja terasa kaku. Chenle dengan cepat menoleh, "Jangan memegangku, atau kau akan kesakitan."
Chenle dengan air wajah yang muram berjalan keluar dari ruangan pemeriksaan. Ia bersama Johnny, Yuta, dan Taeil menuju ruang diskusi di lantai 47.
Berbeda dari ruang desain, ruang diskusi terlihat lebih futuristik dengan dominasi warna putih dan tidak memiliki banyak perabotan. Di sudut ruang terdapat minibar yang menyediakan berbagai minuman. Selain itu, ruangan ini juga memamerkan beragam lukisan dari pelukis dunia.
Mereka berempat kemudian duduk di sofa sembari menikmati segelas es kopi.
"Aku ingin bertanya terkait surat dari kalian. Itu hasil pemeriksaan fisik Taeyong, 'kan?
Yuta mengangguk, "Benar sekali! Kami memang sedari awal berniat untuk mengirimkannya padamu."
"Kau bisa membaca hasil pemeriksaan itu, bukan?" tanya Johnny berhati-hati.
Chenle mengangguk, "Tentu saja. Namun aku masih bingung. Tentang pemerintah... Ah, kalian menuliskannya tepat di bawah hasil pemeriksaan."
Taeil menurunkan gelasnya dan menatap Chenle -yang berada di hadapannya- dengan lekat.
"Malware yang Taeyong terima saat kita berada di Madrid," Taeil menatap Yuta dan Johnny bergantian, "itu dari pemerintah!"
Mata Chenle membulat mendengar pernyataan Taeil. Tentu saja itu tak mungkin. Ia tidak percaya jika pemerintah melakukan hal sekeji itu pada Taeyong. Tak mungkin!
Chenle menggeleng, "Kalian berbohong!"
"Tidak, Yang Mulia," ujar Johnny. Ia berjalan dan duduk tepat di sebelah Chenle. Johnny membuka laptop yang sedari tadi ia genggam, dan membiarkan Chenle menelusuri tiap data bagian tubuh Taeyong.
Lidah Chenle seakan keluh. Ia ingin sekali mempercayai data para cyborg. Namun, ia juga yakin sepenuhnya jika pemerintah tak mungkin melakukan hal memalukan seperti ini.
"Terserah jika kau tak percaya pada kami. Toh, itu hakmu. Tapi kau harus tahu jika itu adalah data yang validitasnya teruji. Ketika kau membawa dan menelitinya di Paxon, kami bisa menjamin," jelas Taeil.
Johnny memandang Chenle. "Kami, kaum cyborg, mendeklarasikan rasa tidak percaya kami pada pemerintah!"
"Tidak! Kalian tak bisa seperti itu. Jika kaum kalian tidak percaya pada pemerintah, itu berarti demokrasi di negara kita hanya sia-sia saja," sergah Chenle, "itu berarti pemerintah gagal."
Yuta, Johnny, dan Taeil tersenyum mengejek. "Mengapa kau begitu membela pemerintah, Yang Mulia? Apa yang mereka berikan padamu sehingga kau membela mereka seperti ini?" tanya Yuta dengan menyeringai. Ekspresi wajahnya benar-benar menjengkelkan.
"Lagipula, sedari awal memang demokrasi negara kita telah hancur, Yang Mulia," lanjut Taeil. Ia kemudian menenggak es kopi miliknya, lalu memamerkan senyum indah.
"Apa maksudmu?"
Chenle menatap Taeil lekat. Napasnya memburu dan keringat mulai membasahi keningnya. Sesekali, Chenle terlihat memegang pelipis. Ia pusing sekali memikirkan hal ini.
Para demigod diketahui mengemban amanah dari pada dewa untuk menjaga perdamaian di Bumi. Demigod pun menyetujui hal tersebut dan bekerja sama dengan pemerintah hingga kini.
Namun, jika terdapat salah satu kaum yang kontra terhadap pemerintah, dapat dipastikan bahwa negara tidak dalam keadaan baik-baik saja. Para demigod takut akan terjadi perang dunia atau perang sejenisnya yang akan menyebabkan kehancuran di muka Bumi.
"Sejak negara menganut demokrasi, kaum kami tidak pernah merasakan dampaknya. Kaum kami tak pernah berada di dalamnya," ucap Taeil geram.
"Tapi pemerintah selalu mengajak kalian untuk berdiskusi, meminta pendapat kalian terkait kebijakan yang mereka buat dan sebagainya," ujar Chenle dengan berapi-api.
Yuta memejamkan matanya, "Tapi apakah kau mengetahuinya, Yang Mulia? Penawaran dan permintaan kami tidak pernah mereka dengar. Pertemuan yang kemarin terjadi adalah kesepakatan pertama yang mereka setujui. Sebelumnya? Tak pernah!"
Johnny terkekeh. Ia mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. Untuk beberapa saat, mereka semua terdiam. Suhu di ruangan itu seharusnya lebih sejuk dengan pendingin ruangan yang suhunya diatur sedemikian rupa. Namun, hal itu tidaklah terjadi. Ruangan terasa sangat panas saat ini.
"Biarkan aku mengakhirinya di sini, Chenle," seloroh Johnny. "Selama ini, dunia memang sangat damai. Tak ada peperangan apapun selama berabad-abad dan itu suatu pencapaian yang luar biasa."
Johnny mengembuskan napas. "Tapi apakah kau tahu? Satupun kaum cyborg dan mutan tak pernah ada yang memimpin negara ini. Dua kaum itu bahkan tak ada dalam struktur tatanan negara. Begitu pun dengan demigod. Hanya manusia, manusia, manusia, dan manusia. Aku muak, Chenle! Muak!
"Bangunan semegah Elektra ini tak mungkin ada jika saja Jaemin dan Jeno tak memintanya ke pemerintah. Itu pun mereka harus merajuk layaknya anak kecil. Apakah kau melupakan itu? Tentu tidak, bukan?"
Ya, Chenle mengakuinya. Semua yang Johnny katakan adalah kebenaran. Ia masih ingat bagaimana Renjun, Jisung, dan dirinya menyusun berbagai dokumen untuk diberikan pada pemerintah sebagai bahan pertimbangan membangun Elektra. Selama hampir tiga bulan tak mendapat kabar, Jeno dan Jaemin pun maju menghadap pemerintah.
Begitu pula dengan Magnum. Sebagian besar para mutan adalah homeless, dengan terpaksa membangun perumahan kumuh di pinggir kota. Dengan tingginya tingkat kriminalitas akibat ketimpangan sosial yang terjadi, Renjun dan Jisung pun meminta kepada pemerintah sebuah lahan untuk dijadikan rumah baru bagi para mutan.
Sempat mendapat penolakan luar biasa, hati Renjun dan Jisung amat remuk. Mereka lebih banyak terdiam dan sesekali mengeluarkan air mata di hadapan Empusa. Jelas ini mengundang kekhawatiran para dewa. Hingga akhirnya, Dewa Zeus pun marah besar dan berulang kali mengeluarkan bencana. Sebagian besar manusia meninggal. Ini dianggap teguran besar dari para dewa untuk kaum manusia yang dianggap semena-mena.
Pemerintah pada akhirnya menyetujui pembangunan Magnum dengan syarat adanya pemberian mutiara yang berasal dari air mata duyung. Jisung pun sepakat dan memberikan koleksinya yang berjumlah lebih dari 127 butir pada negara.
Kelima demigod itu memutuskan untuk tak lagi menerima bantuan dari dewa. Mereka mengatakan jika urusan demigod, cyborg, mutan, dan manusia bukanlah tugas dewa manapun. Para dewa Olympus setuju dan sebagai gantinya mereka memberikan kekuatan kepada para demigod itu sesuai dengan kekuatan orang tua mereka, yang mereka gunakan hingga saat ini.
Johnny memegang pundak Chenle dengan tangan manusia yang ia miliki. "Ini saatnya kita harus perlihatkan kekuatan masyarakat yang sebenarnya."
Chenle menatap balik Johnny dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Keturunan Dewa Poseidon itu mengangguk lemah, antara yakin dan tidak yakin untuk membalas Pemerintah. Di satu sisi ia ingin percaya pada Pemerintah. Di sisi lain, ia juga meragukannya.
Kini, cyborg dan demigod mulai menyusun strategi baru tanpa melupakan tugas awal mereka.
Menangkap Winwin!
To be continued
***
© Ignacia Carmine (2020)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top