9. Menginap


DHUAAAR!

Bumi bergetar. Meg menjerit dan Soren menarikku hingga kepalaku menabrak rusuknya. Aku bisa mendengar kaca, logam dan potongan-potongan tembok terserak ke udara, bunyinya keras sekali sampai telingaku berdenging.

Meg memegangi kakiku. "Kita harus menolong mereka!"

"Kau gila?" Soren memantapkan pelukannya di tubuhku yang nyaris merosot jatuh. "Itu perbuatan ARC! Kita harus segera pergi sebelum polisi muncul! Nanti kita akan dijadikan saksi dan sebagainya!"

"Tapi orang-orang terluka, Soren!"

Rasanya aneh sekali mendengar semua percakapan ini, tetapi tidak bisa bereaksi apa pun. Kelopak mataku seperti direkat, aku tak bisa membukanya. Mulutku juga. Sengatan tiba-tiba di kepalaku sudah berangsur-angsur pulih, dan kurasa aku akan bangun dalam beberapa menit lagi. Sebaiknya aku menyusun penjelasan, karena kalau aku sadar nanti—mungkin istilah lebih tepatnya adalah terbangun—Soren dan Meg pasti akan bertanya macam-macam padaku.

"Mereka belum tentu manusia. Bisa jadi cuma android!" Soren melepas satu tangannya untuk mengapit Meg menjauh. Dia mencondongkan tubuh pada dasbor mobil dan berteriak. "Putar balik ke The Swindle sekarang!"

"Ba-bagaimana dengan Eva?" gagap Meg. "Dia masih belum sa—aduh!"

Akhirnya. Aw. Aduh.

"Maafkan aku, Meg!"

Aku tidak tahu kalau proses terbangunnya akan mendadak begini. Karena tiba-tiba duduk, dahiku menabrak dagu Meg dan membuatnya terjengkang.

"Eva!" Soren terbelalak dan pucat pasi. "Kau sudah sadar!"


...


Tempat ini membuatku ingin punya mata tambahan.

Apartemen Meg seperti keluar dari buku dongeng. Dekorasinya penuh warna, di setiap sudut ada pernak-pernik kecil yang membuat tempat itu terasa magis. Padahal kupikir tempat ini akan penuh sesak dengan kertas, mengingat Meg seorang komikus. Namun ternyata Meg menggambar secara digital. Kami mampir ke sini karena jalan yang kami lewati tadi satu arah, sehingga taksi kami tidak bisa berputar balik ke The Swindle.

"Di atas kulkas, Soren," Meg memberitahu. "Ada rak stainless steel."

"Aku tidak paham bagaimana kau bisa hidup di tempat ini," protes Soren. Pria itu sedang kebingungan di depan rak dapur. "Setiap kali aku mampir ke sini, semuanya berubah total."

"Mendekor ulang itu seru!" kata Meg. "Kau harus mencobanya sesekali."

"Tidak, terima kasih."

"Apartemenmu membosankan."

"Apartemenku rapi."

Meg terkekeh mengejek. Dia membimbingku duduk di meja tengah dan menyajikan teh memakai porselen warna pink cantik yang seolah terbuat dari serbuk peri. Aku mengambil teh itu dan menghirupnya lambat-lambat. Meg duduk di sampingku dan menyalakan televisi. Siaran berita.

'ARC MENYERANG LAGI', begitu bunyi tajuk utama yang ditulis dengan huruf besar, disertai liputan kantor cabang Hitobot yang dilalap si jago merah.

"Jadi benar," Meg mengeluh dan tertunduk. "Mereka berulah lagi."

"Untunglah kita selamat," aku menimpali. "Padahal tadi nyaris sekali."

"Kau tahu soal ledakan itu?" Soren terperanjat. Dia baru bergabung dengan kami sambil membawa kotak P3K. "Bukankah tadi kau pingsan, Eva?"

"Aku tidak pingsan." Ini dia. "Aku tahu semuanya. Kalian memesan taksi online, lalu membawaku keluar dari The Swindle menuju rumah sakit."

"Tunggu sebentar!" Meg mengangkat tangan seperti murid sekolahan. "Jadi yang tadi itu kau kenapa, Eva?"

"Kepalaku sakit sekali dan tahu-tahunya aku tidak bisa mengendalikan tubuhku." Kutunjuk dahiku, di titik yang sakitnya seperti dihajar palu tadi. "Tapi aku sadar. Aku panik dan mencoba bergerak, tetapi tidak bisa. Aku mendengar pekikan-pekikan ketakutan saat taksi kita terjebak kemacetan gara-gara ledakan itu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun, dan tiba-tiba saja, kuncian di tubuhku seperti terlepas."

Meg menggosok-gosok dagunya. "Apa itu artinya tadi kau... mati suri?"

"Entahlah."

"Atau mungkin epilepsi? Mulutmu tidak berbuih, sih."

"Aku juga tidak tahu. Semuanya terjadi begitu saja."

"Soren," bisik Meg ketakutan. "Seharusnya kita terus ke rumah sakit!"

"Aku merasa baik-baik saja sekarang." Aku tak ingin membuat Meg dan Soren cemas. "Kurasa aku hanya kelelahan karena terlalu banyak merajut."

Soren diam saja. Sejak kami tiba di apartemen ini, dia tidak banyak bicara. Kupelajari gerak-geriknya. Apa dia merasa tidak betah karena dekorasi tempat ini yang terlalu ramai? Apartemen di The Swindle nyaris tidak berperabot, sementara di sini kita harus berjalan menyamping jika tidak ingin menabrak sesuatu.

Aku harus meyakinkan mereka. "Aku baik-baik saja."

"Meg," panggil Soren tiba-tiba. "Apa kau bisa memeriksa Eva?"

"Aku bukan dokter," tolak Meg tegas. "Kita ke rumah sakit saja!"

"Kau bisa memeriksa Eva sekarang," Soren ngotot. Dia mengayunkan tangannya di depan wajahku. "Aku akan keluar kalau kalian butuh privasi."

"Aku baik-baik saja," ulangku.

Meg menggertakan gigi. Soren tidak gentar. Meg menarikku ke sisinya dan menunjuk dada Soren. "Kau mau aku berbuat apa, Soren? Menelanjanginya dan menginterogasinya? Aku-bukan-dokter!"

"Aku sudah sehat lagi kok!" Astaga, kenapa mereka jadi berkelahi begini? "Soren, sebaiknya kita pulang saja ke apartemenmu."

Soren memikirkan ide itu sejenak. Matanya memicing menatapku. Baru sekarang dia memandangku seperti ini. Entah apa yang dia pikirkan.

"Aku akan kembali, tapi kau tinggal di sini dulu," katanya sambil bangkit berdiri. "Aku akan menjemputmu besok pagi."


...


"Tidak bisa tidur?"

Meg bersandar di tembok sambil bersedekap. Cahaya lampu menyinari sosoknya yang memakai gaun tidur model kuno, dengan rok bawah mengembang dan dihiasi renda-renda putih. Di luar busana nyentrik yang biasa dipakainya, Meg tampak normal. Dan muda. Kurasa dia sedikit lebih muda dariku.

Aku bergumam mengiyakan.

"Kau kesal karena Soren meninggalkanmu?"

"Sedikit."

"Dia hanya belum terbiasa dengan kehadiranmu," kata Meg bijaksana. Entah kenapa, malam ini Meg kedengaran lebih ramah. Aku pernah baca, beberapa orang tertentu baru bisa menjadi diri mereka sendiri selepas tengah malam. "Belum pernah ada orang yang pingsan mendadak di apartemennya, apalagi seorang gadis. Dan kau tiba-tiba sadar kembali begitu saja, itu membuatnya kalang kabut. Soren tidak terbiasa dengan, ehm... ketidakberaturan. Dia hanya perlu waktu untuk menenangkan diri."

"Maksudmu, Soren butuh 'me time'?" Padahal dia menghabiskan sebagian besar waktunya seorang diri. "Dia bisa bilang terus terang padaku. Aku tak akan mengganggunya."

"Jangan dimasukkan ke hati. Soren memang seperti itu." Meg membuka pintu kulkas dan menuang susu ke atas panci, lalu memanaskannya di kompor. "Dulu dia tidak seperti itu."

"Dulu?"

Meg mengangguk dalam-dalam.

Aku merapat ke kompor untuk menyerap panasnya. "Apa yang terjadi?"

"Untuk detailnya, aku sudah bersumpah untuk tidak bilang ke siapa pun," kata Meg sambil lalu. "Tapi dulu Soren tidak seaneh sekarang."

"Menurutku Soren tidak aneh." Aneh rasanya mendengar Meg, yang selalu berpakaian seperti seorang cosplayer, menyebut orang lain aneh.

"Maaf," koreksi Meg mawas diri. "Tapi kau tidak bisa memungkiri bahwa Soren berbeda, Eva. Lihat saja isi tempat tinggalnya. Terlalu teratur, apalagi untuk ukuran laki-laki. Kalau kau berani menggeser satu buku di raknya sesenti saja, dia akan tahu. Dan dia mengatur hidupnya sama seperti dia mengatur apartemennya. Dia tidak pernah menyimpang dari aturan yang ditetapkan atas hidupnya. Kedatanganmu mengacaukan ritme hidupnya, Eva."

Kurasa itu tidak benar. Soren mengisi survei itu. Dia ditanya apa butuh pasangan hidup, dan dia menjawab 'iya'. Kemudian ketika aku tiba, Soren menerimaku di apartemennya. "Apa ini ada hubungannya dengan Theo Clarkson?"

Meg memicing. Dia mengamatiku selama beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Kau ini mahir mengalihkan topik, ya?"

"Theo Clarkson adalah ayah Soren Adam, kan?"

Tangan Meg yang sedang mengambil dua gelas bening dari rak membeku. Dia menoleh untuk menatapku. "Dari mana kau tahu soal itu?"

"Aku sudah diberitahu oleh penyeliaku."

"Maksudmu... Hitobot?"

Aku tidak heran kalau Meg sudah tahu. Berani taruhan, Soren pasti sudah memberitahunya. Ditambah lagi, Meg punya nilai IQ 145. Entah Soren tahu soal ini atau belum. Gadis di hadapanku ini, Margaret O'Sullivan, sangat cerdas.

"Ya. Proyek Deus digagas seseorang dari Hitobot."

"Hitobot," ulang Meg lambat-lambat. "Mereka tahu segalanya, ya?"

"Proyek Deus hanya punya satu misi: menyelamatkan umat manusia."

Meg mendesis dan memutuskan kontak mata kami. Susu di panci sudah mendidih. Dia mematikan kompor dan membagi susu panas itu ke dua cangkir.

"Dengan cara menyediakan pasangan?" lanjutnya.

"Teman hidup," jawabku.

"Mulia sekali."

"Memang sesederhana itu."

"Tapi kau bahkan tidak mengenal Soren. Kau baru bertemu dengannya."

"Makanya kami diberi waktu tiga puluh hari untuk saling mengenal."

Meg menyunggingkan senyuman oh-tentu-saja, dan menyorongkan gelas berisi susu mendidih itu ke arahku. Dia sendiri belum menyentuh gelasnya.

"Yah, terima kasih banyak untuk kedua Bencana Besar," komentar Meg, nadanya merupakan campuran sinis dan bercanda. "Manusia zaman sekarang tidak kompeten lagi untuk sekedar berpacaran."

Meg tak mengatakan apa-apa lagi. Dia memfokuskan tatapan pada susu di gelasnya yang berbuih. Uap tipis menggelenyar dari permukaan susu di gelasku. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalaku.

"Kau sudah lama mengenal Soren. Kau pasti tahu apa yang disukainya." Ayo dong, Meg. Bantu aku! "Atau yang tidak disukainya."

"Aku bisa memberitahumu yang pasti tidak akan pernah disukainya," tukas Meg gamblang. "Soren amat benci pada robot. Kau sebaiknya tidak memberitahu Soren bahwa Hitobot yang mengirimmu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top