7. Berkunjung




Soren Adam tidak tahu bagaimana harus menanggapi pengumuman akbar dari Perdana Menteri kemarin sore itu. Secara harfiah, itu berita buruk: perang sudah di ambang mata, dan bisa dipastikan segera meletus. Tapi bergabungnya Inggris dengan pihak Barat bisa dibilang berita bagus—para penghuni The Swindle menyebutnya sebagai 'kembali ke gengnya yang lama'. Sebagian besar orang (setidaknya di Eropa dan Amerika) yakin pihak Barat bisa menang perang, tetapi Soren merasa terlalu dini untuk mendeklarasikan kemenangan.

Seharusnya pihak Barat berkaca dari pengalaman. Jemawa dan percaya diri itu dua hal yang berbeda.

            Sebelum kedua Bencana Besar, pihak Barat melakukan kesalahan dengan meremehkan pihak Timur. Di akhir Bencana Besar Kedua, pihak Timur bangkit sebagai pusat kekuatan di Asia, dan mulai menginvasi negara-negara yang wilayahnya sudah tenggelam. Pihak Barat awalnya menganggap lawan mereka di sisi lain Bumi cuma main-main. Namun ketika pihak Timur berhasil menduduki Jepang, Korea, Filipina dan setengah Asia Tenggara (lebih tepatnya sisa-sisa ketiga wilayah itu) dalam setahun saja, barulah pihak Barat sadar lawan mereka bukan sekedar menggertak.

            "Soren?"

            Ada yang menyentuh pundaknya. Soren menggeliat dan menguap. Tadi malam dia tidak bisa tidur. Dia bermimpi buruk: seorang gadis mendatanginya dan mengaku sedang hamil anaknya. Gara-gara mimpi itu, dia terbangun pukul setengah tiga pagi. Mimpi buruk serta pikiran tentang Perang Dunia Ketiga membuat Soren tidak bisa tidur lagi.

Soren langsung duduk.

Saat memikirkan perang, Soren sempat lupa bahwa gadis dalam mimpinya itu benar-benar nyata (kecuali untuk urusan hamil itu, tentu). Dia berbalik dan menemukan si gadis sedang duduk di belakangnya, wajahnya dekat sekali hingga nyaris menempel.

"Kau!"

Eva tersenyum. "Selamat pagi."

            Se-sebentar! Ini terlalu dekat! "Kau mengagetkanku, Eva!"

            "Maaf." Eva menggoyang-goyangkan tangannya. Kasur gulung yang tadi malam dipakainya tidur sudah tergulung rapi di sudut (dipinjami Meg kemarin). "Kupikir kau masih tidur. Soalnya alarm-mu berbunyi dan kau belum bangun juga."

            Aku justru tidak bisa tidur! "Aku baru mau mematikannya. Lain kali, tolong jangan menyentuh barang-barangku."

            "Apa kau merasa tidak enak badan?" tanya Eva sambil bertumpu di tepi tempat tidur. "Matamu berkantong."

            "Tidak." Soren beringsut menjauh. "Aku cuma... banyak pikiran."

            "Kau memikirkan apa?" Eva memanjat naik ke atas kasur. Gadis itu hanya memakai gaun tidur tipis yang agak transparan. "Stres berlebihan tidak baik untuk kesehatan, Soren. Kalau kau mau, aku bisa membuatmu lebih rileks—"

            OH, YANG BENAR SAJA!

            Soren menutup matanya, meloncat berdiri dan kabur ke kamar mandi. Gadis aneh!

            Dia sengaja berlama-lama di kamar mandi, malu berhadapan dengan Eva. Tunggu dulu. Kenapa harus malu? Ini apartemenku. Gadis asing itu hanya tamu. Kenapa aku harus bersembunyi darinya?

            Dibukanya pintu kamar mandi sedikit dan mengintip keluar. Eva sedang di dapur, sibuk menyiapkan sesuatu. Gadis itu melihatnya, tetapi dia tampak biasa saja.

"Hai lagi, Soren."

"Ehm, halo... uh, Eva."

"Kenapa kau mengintip begitu? Kau sedang bersembunyi di kamar mandi, ya?"

"Tidak. Aku tadi cuma, ehm... buang air."

Eva mengedik enteng. "Kau mau kubuatkan sarapan?"

            "Tidak, terima kasih. Aku tidak sarapan. Aku mau, ehm... senam dulu."

            "Baiklah. Kau bisa keluar. Aku tak akan menggigitmu." Gadis itu menambahkan buru-buru sambil tersenyum manis. "Maaf telah mengagetkanmu tadi."

            Soren mengangguk sambil lalu dan pindah ke ruang tengah. Dia mencoba melakukan rutinitas paginya seperti biasa: senam. Dia menyalakan musik, dan mulai bergerak. Namun di tengah-tengah senam, Soren tak bisa melanjutkan. Dia tahu Eva berada di dapur dan turut mendengar alunan musik pengiring senam itu. Eva membuatnya amat risih.

Semuanya berbeda sekarang. Dia memang tidak memandangiku, tapi tetap saja...

            "Kau boleh buat sarapan kalau kau mau," kata Soren tanpa menatap Eva. "Ada telur di kulkas. Bumbu-bumbu lainnya ada di lemari dapur."

"Oke!" sahut Eva.

            Tak berapa lama, kompor berdesis dan aroma telur memenuhi apartemen. Soren menghentikan rutinitas pagi harinya yang kacau. Dia pura-pura membaca situs berita, padahal matanya terpusat pada gadis aneh itu. Aku harus memastikan dia tidak membakar dapur atau melakukan hal-hal berbahaya seperti itu.

Namun Eva bekerja dengan cekatan. Dia membuat omelet, menjerang seteko kopi panas, lalu duduk bersama tuan rumahnya di karpet untuk makan.

            "Cuacanya cerah," Eva mendongak ke jendela. "Kau mau jalan-jalan?"

Seandainya aku tidak dipecat, jam segini aku sudah harus berjalan menuju stasiun. "Tidak."

            "Aku mau melihat-lihat London." Eva menggigit bibir bawahnya. "Kota ini sepertinya asyik, berbeda sekali dengan Reykjavik."

            "Kau berasal dari Islandia?"

            "Mm-hmm. Dibandingkan Reykjavik saat ini, London mirip surga."

Mata hijau itu, pikir Soren sambil diam-diam mengerling pada Eva. Khas orang Utara.

"Aku ingin melihat upacara pergantian pengawal di Istana Buckingham," lanjut Eva.

"Sudah tidak dilakukan lagi. Sekarang pengawalnya diganti robot."

"Oh," Eva terkesiap, tampangnya agak kecewa. "Sayang sekali. Kalau begitu, apa kau punya saran? Bagaimana kalau mengunjungi museum? Banyak museum bagus di London, kan?"

"Entahlah..." Jalan-jalan tidak pernah ada dalam jadwalku. "London cuma begitu-begitu saja."

Eva menyikut rusuk Soren. "Apa kau berniat menghabiskan hari ini dengan tinggal di apartemen dan tidak melakukan apa-apa?"

Aku belum terbiasa jadi pengangguran. Lagipula apa enaknya jalan-jalan di tengah hujan begini? "Mungkin saat cuacanya cerah, kita bisa, ehm... jalan-jalan."

"Cuaca cerah, ya..." Eva termangu menatap piring kosongnya. "Tiap hari selalu hujan, kan?"

Soren mencelus. Alasan itu memang payah, sih. Sejak Bencana Besar Kedua berakhir, tidak ada hari tanpa hujan. Seakan-akan Bumi ingin membasuh habis seluruh kerusakan yang telah dilakukan manusia selama berabad-abad pada dirinya melalui hujan tanpa henti ini.

Eva tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya menerawang ke luar jendela dengan tatapan mendamba. Soren tertunduk dan meneruskan membaca situs berita seperti biasa. Tapi dibanding tinggal seharian di apartemen dengan gadis ini...

            Ponsel di atas nakas berdering. Soren meraihnya. Ada reminder otomatis dari Anchor Knight. Melihat reminder itu, Soren mendapat ide.

            "Eva, kau mau jalan-jalan ke luar kota?"


...


Anchor Knight bisa jadi adalah salah satu tempat dengan jumlah manusia lanjut usia terbanyak di seluruh Inggris.

            Dulunya itu sebuah biara dan panti asuhan. Sekelompok kecil biarawati dari ordo yang cukup konservatif tinggal dan berkarya di kompleks itu sejak tahun 1900-an, tetapi Bencana Besar Pertama mengubah segalanya. Orang-orang jadi meragukan Tuhan akibat penderitaan, dan sumbangan-sumbangan yang biasanya rutin mengalir dari para penderma berkurang drastis. Tanpa biaya yang cukup, para biarawati itu terpaksa menutup panti asuhan dan biara mereka. Pemerintah mengambil alih, dan menyerahkan kompleks bangunannya pada Anchor Knight setelah Bencana Besar Kedua. Sejak saat itu, tempat ini menjadi suaka bagi para penyintas senior, terutama yang sudah kehilangan anggota keluarga mereka.

            "Wah, bukankah Anda seharusnya datang hari Sabtu, Mr. Adam?"

            Siobhan, si petugas resepsionis yang berambut merah, menyambut Soren dan Eva ketika keduanya masuk dari pintu utama.

            "Hari ini hujannya tidak terlalu parah," kata Soren. "Apa kabar, Siobhan?"

            "Terus bertahan, Mr. Adam," Siobhan manggut-manggut. Pandangannya berpindah pada Eva, dan dia sumringah. "Halo, Ma'am. Saya baru pertama kali melihat Anda. Kalau Miss O'Sullivan, sudah beberapa kali kemari."

            "Ini Eva," serobot Soren sebelum Eva menyahut. "Dia... kolega saya."

            Senyum Siobhan menyiratkan ketertarikan berlebih. "Kolega, ya."

            "Baru datang dari Islandia."

"Ooh. Tak bisa kubayangkan dinginnya. Sebelum Bencana Besar—"

"Aku ingin bertemu ibuku," potong Soren. Kenapa aku harus menjalani basa-basi menjemukan ini setiap kali mampir? "Eva punya sesuatu untuknya."

            "Tentu." Si resepsionis merentangkan tangan dengan agak kecewa, dan menyilakan kedua tamu itu terus ke dalam.

            Koridor-koridor di Anchor Knight seperti labirin, tetapi Soren sudah hafal arah menuju tujuannya. Selang beberapa meter, mereka berpapasan dengan para perawat. Semua petugas itu tersenyum ramah. Beberapa memberanikan diri untuk menyetop mereka sekedar untuk bertukar sapa, tetapi Soren hanya berjalan lebih cepat supaya tidak ditanyai.

            "Tidak ada salahnya berbasa-basi," tegur Eva ketika satu lagi teguran sama perawat diabaikan oleh Soren. "Mereka bilang 'apa kabar'."

            "Dan menurutmu aku harus bilang apa?"

            "Kau bisa bilang hari ini sedikit lebih baik. Di luar cuma gerimis, kita bisa dapat tempat duduk yang nyaman di bus, dan tidak basah kuyup sampai di sini."

            Soren terkekeh getir. Menjawab sapaan 'apa kabar' dengan 'baik-baik saja' adalah penyangkalan yang memalukan. "Kau kan tahu keadaannya tak akan kembali seperti semula sejak kedua Bencana Besar."

            "Tapi kita mencoba memperbaiki keadaan, kan?"

            "Kau berbicara seakan-akan hidup kalian tak terusik di Islandia."

            "Oh, kami mengalaminya juga." Eva nekat menarik sweter Soren untuk menghentikan pria itu. "Ketika vaksin sampai ke Reykjavik, seperlima penduduk sudah tewas. Keadaan lebih parah saat Bencana Besar Kedua. Badai-badai salju itu menggagalkan semua panen dan memutus jalur distribusi. Lebih banyak yang mati, tetapi kami tidak bisa menggali kubur karena tanahnya membeku. Jenazah menumpuk setiap harinya, orang-orang kelaparan, sementara kami tidak punya stok makanan..."

            Soren hanya mengangguk sambil lalu dan berjalan terus. Dia menonton berita sewaktu Bencana Besar Kedua menyerang, jadi tidak perlu diberitahu parahnya situasi di negara lain. Inggris sedikit lebih beruntung. Setidaknya kami tak perlu sampai harus memakan kerabat yang sudah meninggal.

            Tak berapa lama, mereka sampai di kamar nomor dua puluh empat. Papan digital di pintunya bertuliskan: Eleanor Clarkson.

Soren mengetuk pelan dan membuka pintunya.

            Di dalam kamarnya, seorang wanita paruh baya sedang menonton televisi. Rambutnya dihiasi uban di sana-sini, dan dia tidak sadar ada yang datang.

"Mum?"

            Wanita itu menoleh. "Soren!"

            Eleanor berdiri dari kursi malasnya dan memeluk Soren. Gaun tidurnya beraroma pewangi pakaian. "Apa sekarang hari Sabtu?"

            "Ini hari Senin, Mum."

            "Senin?" Eleanor mengernyit. Matanya yang kelabu memelototi putra semata wayangnya. "Kenapa kau tidak bekerja, Soren? Kau dipecat?"

            "Aku memang sudah ingin keluar dari Tesco, Mum."

            "Kupikir kau menyukai pekerjaan itu."

            "Tidak juga. Aku sudah mendapatkan... ehm, pekerjaan lain."

            Dari belakang Soren, Eva mendelik tak setuju. Dia mendapat tatapan tajam yang memperingati. Eleanor mengikuti tatapan putranya dan menemukan Eva.

            "Wah, halo Miss! Maaf, saya tidak menyadari kehadiran Anda. Biasanya Soren mengajak Meg—maksudku Margaret. Gadis baik, aku suka komiknya..."

            "Meg tak bisa datang di hari Senin," sambung Soren. "Ini Eva."

            "Eva," ulang Eleanor. "Senang bertemu denganmu. Namaku Eleanor."

            "Selamat siang, Mrs. Clarkson," Eva menjabat tangan Eleanor. "Aku—"

            "Mum," Soren menyela. "Apa kau mau jalan-jalan di teras?"

            "Tidak. Aku ingin mengobrol," tolak Eleanor dan mendengarnya membuat Soren mencelus. "Panggil aku Eleanor saja, Eva, Menurutku kau cantik sekali."

            "Mum, aku akan minta izin pada Siobhan untuk mengajakmu makan siang di luar. Ada restoran sushi yang terkenal di dekat sini."

            "Soren." Eleanor memakai nada khas para ibu yang selalu berhasil membuat anak mereka yang sudah dewasa merasa berumur tiga tahun. "Aku sudah makan siang."

            "Tapi Mum, aku sudah mampir ke sini. Aku bisa mengantarmu ke teras taman. Kita bisa minum teh di sana. Kau yakin tidak mau keluar?"

            "Duduklah di sofa itu, Eva," kata Eleanor, tidak mengacuhkan putranya. "Pasti perjalanannya melelahkan. Aku tidak punya makanan yang layak di sini. Yah, seperti yang kau lihat, ini panti jompo. Tapi ada teh dan biskuit."

            "Terima kasih," kata Eva sambil duduk di sofa. "Kau baik sekali, Eleanor. Kenapa kau tinggal di sini? Apa kau sakit?"

            "Demensia," tukas Soren singkat. Kalau sudah melibatkan teh dan biskuit, urusan ini sudah tak tertolong lagi namanya. "Mum, kurasa lebih baik aku kembali lagi Sabtu nanti."

            Eleanor memicing. "Wah, kenapa?"

            Gadis ini hanya pacar uji coba, pikir Soren, tidak tega membohongi ibunya lebih jauh setelah kebohongan soal Tesco tadi. Dan aku tidak akan jatuh hati pada gadis ini, jadi kau tidak perlu repot-repot mengenalnya, Mum. Lagipula, minggu depan pasti kau sudah melupakan kunjungan ini. "Aku tak bisa menjelaskannya, Mum. Ini... sulit."

            "Oh!" Eleanor memekik dan menutup mulutnya dengan tangan. "Oh, Soren!"

            "Tidak ada bayi, oke Mum?" Melihat reaksi ibunya, seketika Soren tahu apa yang dipikirkan wanita itu. "Kami tidak bisa lama-lama karena Eva sedang tidak enak badan. Dia... ehm, masuk angin. Semalam anginnya kencang sekali."

            Eleanor mengernyit. "Kalian tidur bersama?"

            "Bisa dibilang begitu," jawab Eva. "Secara teknis."

            "Secara teknis?"

            Sial. Soren mendesah. "Begini, Mum... Eva pacarku."


...


"Kau bohong pada ibumu, Soren."

            Mungkin saat ini dia menganggap aku telah berubah menjadi sejenis burung beo. Tapi bodo amat. Kenapa juga dia harus membohongi Eleanor? Wanita itu begitu manis dan hanya kepingin punya cucu. Maksudku, anak mana yang tega membohongi ibunya untuk urusan sepenting itu?

            Soren berhenti menghitung langkah dan berlari kecil. Ha, dia pikir dia bisa lari dariku. Kususul dia. Aku bangga melihat tungkai kaki kami sama panjangnya.

            "Kenapa, Soren?"

            "Bukankah kau memang mau jadi pacarku? Aku tidak membohongi ibuku," tukas Soren. Nadanya agak tajam. "Itu kan tujuanmu mendatangiku?"

Sekonyong-konyong aku merasa ragu. "Begini, saat ini kita belum resmi berpacaran. Masih di tahap saling kenal. Jadi secara resmi sebetulnya kau bukan pacarku."

            "Apa bedanya kalau kau jadi pacarku hari ini atau sebulan lagi? Toh ibuku tak akan bisa mengingatnya. Mum jadi begitu setelah Bencana Besar Pertama."

            "Aku turut prihatin. Bagaimana dengan ayahmu?"

            "Bukan urusanmu."

            Dia sedang bad mood. Kutahan lidahku dan berjalan di sebelahnya.

            Suasananya berubah drastis setelah kami meninggalkan kompleks Anchor Knight. Kota tempat panti jompo itu berada sangat sepi, nyaris seperti kota mati. Kami melewati deretan toko-toko yang ditutup, menuju terminal bus. Setelah Bencana Besar Pertama, banyak bisnis yang gulung tikar. Kurasa satu-satunya alasan orang yang berkunjung ke sini adalah untuk menengok kerabat mereka di Anchor Knight.

            Akhirnya kami sampai di terminal bus. Tempat ini tidak layak disebut terminal, karena hanya ada tiga bus yang bolak-balik dalam sehari. Bus yang akan kami tumpangi—sekaligus bus terakhir hari ini, akan tiba lima menit lagi. Kami berdiri di halte yang kosong sambil memeluk diri. Hujan menjadi deras lagi.

            "Aku tidak jago dalam urusan cinta," kata Soren tiba-tiba.

            "Kenapa?"

            "Entahlah. Mungkin karena jumlah manusia tinggal sedikit."

            "Tapi Bencana Besar tidak membuat orang berhenti jatuh cinta." Aku berusaha kedengaran tidak terlalu menggurui. "Aku tak mengerti kenapa kau jadi tidak jago dalam urusan cinta gara-gara Bencana Besar. Apa artinya sebelum kedua malapetaka itu, kau jago?"

            "Tidak juga." Tampaknya Soren menyesal karena sudah mengobrol. "Ada orang yang memang ditakdirkan sendirian sampai mati."

            "Dan kau merasa menjadi salah satu orang tersebut?"

            "Sudah jelas, kan?"

            "Tapi bukankah manusia mampu mengubah takdirnya masing-masing?"

            Soren tidak menjawab. Dia menyepak-nyepak lantai beton yang sudah retak dan lusuh, kedua tangannya menempel rapat di sisi tubuh, berusaha menjaga kehangatan tetap di dalam jaketnya.

            "Bagaimana dengan Meg?" usulku. "Kalian kenal baik, dan sama-sama single. Meg bisa memberikan cucu untuk Eleanor."

            "Aku tidak akan memacari Meg cuma demi memberikan cucu untuk ibuku, oke?"

"Yah, maksudku... sebetulnya kau punya kesempatan, kan?"

            "Eva..."  Soren menatapku dari balik poninya yang berantakan. Baru kali ini dia menatapku lurus-lurus. "Kenapa kau mau melakukan ini?"

            "Maksudmu, ikut serta dalam Proyek Deus ini?"

            "Ya. Mendatangi orang asing dan memaksa jadi pasangan hidup mereka."

Mendengar itu, aku merasa geli. Tapi memang begitulah kenyataannya. Itulah yang aku lakukan. "Entahlah. Aku tidak pernah betul-betul memikirkan alasannya."

"Apa karena kau juga payah dalam urusan percintaan dan putus asa mencari pasangan? Atau karena uang? Apa kau dibayar untuk ikut dalam uji coba ini?"

"Aku—"

"Lupakan saja," Soren menjawab sendiri pertanyaannya. Dia mendengus. "Apa pun alasannya, aku tidak ingin tahu. Maaf sudah bertanya."

            Wah. Aku jadi kebingungan harus berkata apa.

            Soren meregangkan punggung dan menguap. "Busnya sudah datang."

            "Oke." Kami berpindah ke tepi halte. "Soren?"

            "Hmm?"

            "Kau mau kugandeng?"

            "Menggandengku? Untuk apa?"

            "Bukankah itu yang dilakukan para pasangan di saat hujan begini?"

Soren mengabaikanku. "Setiap hari hujan turun,"katanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top