6. Pendamping Hidup
Meg mengelap hidungnya dengan selembar tisu dan melempar tatapan keji ke kamar mandi. Suara merdu Eva mengalun dari dalam biliknya. "Kau memesan pacar online?"
"Bukan." Nada bicara Meg membuat Soren Adam merasa seperti laki-laki mesum. "Aku mengisi sebuah survei minggu lalu. Tentang pendamping hidup."
"Dan mereka mengirimimu gadis itu?"
"Aku tidak tahu kalau survei itu serius, oke?"
"Kau bilang mereka membayarmu sepuluh ribu pound." Meg mendengus keras-keras. "Orang-orang tidak bercanda dengan uang sebesar itu, Soren."
"Aku tidak tahu apa-apa, Meg! Gadis itu tiba-tiba muncul di lobi tadi sore dan mengaku akan jadi pendamping hidupku!"
"Kenapa tidak kau usir saja dia?" Meg mencak-mencak. "Kita tidak tahu siapa dia! Bisa saja dia orang gila yang ingin menjebakmu... membiusmu saat kau tertidur, melakukan hal-hal menjijikkan dan merekamnya. Tahu-tahunya kau sudah digiring polisi. Pelecehan seksual dan sejenisnya. Kau bodoh sekali!"
"Dia tahu banyak hal tentang aku." Soren Adam merasa kepalanya terbuat dari timah. Meg yang mondar-mandir membuatnya makin pusing. "Dia tahu segalanya, mulai dari ukuran celana dalamku sampai masa laluku!"
"Wow!" Meg membeliak ngeri. "Kok bisa?"
"Aku tidak tahu bagaimana caranya dia mendapat semua informasi itu," kata Soren putus asa. "Yang pasti, mana mungkin kubiarkan dia berkeliaran? Bisa-bisa dia cerita ke orang jahat!"
"Kenapa kau tidak melaporkan dia ke polisi saja?" desak Meg.
"Sudah. Tapi polisi tahu tentang survei itu." Soren Adam memelintir seikal rambut di dahinya—kebiasaan (langka) yang hanya dilakukannya ketika dia panik (yang juga langka). "Survei itu dilakukan untuk sebuah proyek bernama Proyek Deus. Tujuannya untuk membantu manusia bersosialisasi lagi."
"Proyek Deus?" Meg memicing. "Nama yang mencurigakan."
"Proyeknya legal. Dari sejenis organisasi nirlaba. Para polisi itu bahkan menjamin keamananku bersama Eva. Menurut para polisi itu, sudah saatnya kita, ehm... berkembang biak lagi. Untuk mengembalikan populasi."
Meg mengumpat heboh. Soren Adam terpaksa berdesis menyuruhnya diam, karena khawatir Eva akan mendengar.
"Meg, kau mau menginterogasi dia?"
"Interogasi? Tidak, tidak. Itu terlalu kejam. Aku tidak—oh, hai Eva!"
Nada suara Meg berubah drastis, jadi sengaja diriang-riangkan. Eva keluar dari kamar mandi. Dia memakai blus terusan tipis dari bahan yang ringan, wajahnya cerah dan rambutnya lembab.
"Halo, Margaret," balas Eva. "Kau masih di sini?"
"Ya," sahut Meg, agak masam. "Apa karena kau jadi pendamping hidup Soren, aku tidak boleh mampir lama-lama?"
"Oh, jangan salah paham dulu." Eva tertawa. "Jadi tidaknya aku sebagai pendamping hidup Soren Adam baru akan diputuskan setelah tiga puluh hari."
"Maaf, Eva." Soren Adam meringis. "Bisakah kau memanggilku 'Soren' saja? Nama lengkap seperti itu terasa formal sekali."
"Tentu," kata Eva riang. "Maksudku... tentu, Soren."
"Oh. Ada masa percobaannya juga, ya? Wow!" pekik Meg, sengaja tidak menggubris Soren. "Aku tidak tahu kalau sekarang kita punya deadline untuk menemukan pendamping hidup. Soren pasti sudah gebet ingin menidurimu, Eva. Umurnya dua puluh lima, dan di zaman sekarang itu jelas sudah kedaluwarsa..."
Soren mendesah dan bangkit. "Meg, bisa kita bicara di luar sebentar?"
Meg memelototi Soren dengan menantang. Kedua sahabat itu hanya saling tatap selama beberapa menit. Akhirnya Meg mengembus panjang, pertanda menyerah. Soren menunjuk hairdryer dan meminta Eva mengeringkan rambutnya. Si pendamping hidup itu langsung setuju. Soren membimbing Meg menuju teras balkon dan menutup pintu sekatnya.
Di luar, hujan lebat memukul-mukul kanopi. Bagus, pikir Soren. Artinya suara kami akan teredam dan Eva tidak akan bisa menguping. Dia dan Meg terpaksa merapat di sudut supaya tidak terkena cipratan air.
"Ini bukan masalah pribadi, Meg." Soren memulai dengan hati-hati. "Aku harus melakukan ini."
"Melakukan apa?" Meg mengerucutkan bibirnya. "Menghamilinya dalam tiga puluh hari?"
"Aku akan diberi imbalan kalau aku bisa menyelesaikan masa percobaan tiga puluh hari ini. Seratus ribu pound."
Meg mengumpat lagi. Dia bahkan tidak menutup mulutnya dengan tangan. "Aku tidak menyangka kau sebegini putus asanya, Soren!"
"Dengar, kau sendiri tahu aku baru saja dipecat. Aku butuh uang. Seratus ribu pound itu cukup untuk biaya hidupku selama setahun!"
"Tapi kenapa caranya harus seperti ini?"
"Ini cuma sejenis proyek uji coba. Kau pikir aku akan betul-betul jatuh cinta pada gadis asing dalam tiga puluh hari?"
"Kau pembohong yang payah, kau tahu itu, kan?" Meg membenamkan telunjuknya di dada Soren. Kuku palsunya yang dicat motif zigzag menghunus sweater pria itu. "Kau masih bisa mencari pekerjaan lain untuk mendapat uang!"
"Kita berdua tahu persis mustahil mendapat pekerjaan baru di usia dua puluh lima tahun. Aku sudah terlalu tua." Sebagai sosok pecinta keteraturan, Soren tak suka pertikaian. Pertikaian merusak harmoni, apalagi dengan sahabat sendiri. "Seluruh tagihanku harus dibayar, aku tidak punya pengalaman kerja lain selain sebagai karyawan Tesco! Itu bukan pengalaman kerja yang hebat, kan?"
Kata-kata yang baru saja meluncur dari mulutnya membuat Soren sadar betapa putus asa dirinya. Pemecatan itu terasa seperti mimpi buruk. Dia tidak pernah menyangka akan dipecat dari Tesco, apalagi digantikan oleh android. Selama lima tahun ini, satu-satunya yang keahlian yang Soren punya adalah mengatur rak-rak dan mengisi kantong-kantong belanjaan. Dipecat di usia segini berarti tamat. Tidak akan ada pekerjaan lain.
Aku benci harus tersudut seperti ini.
"Ini demi uang, Meg. Hanya tiga puluh hari saja." Soren menambahkan buru-buru karena Meg masih cemberut, "dan ini tidak mengubah persahabatan kita. Kita tetap akan bikin Malam Minggu Film dan acara-acara lain."
"Kau akan tetap mengizinkanku memotong rambutmu?"
"Dua minggu sekali. Seperti biasa."
Meg menarik napas dalam-dalam. Dia berbalik dan tatapannya jatuh pada Eva. Gadis itu melambai riang. Meg memicing dan masuk ke dalam dengan berang. "Ini omong kosong."
Soren hanya bisa pasrah melihat Meg mengamasi tasnya dan pergi tanpa pamit. Saat gadis itu membanting pintu, Soren merasa seperti ditinggal mati. Sekarang dia betul-betul tidak punya teman.
"Aku mau keluar sebentar," kata Soren. Dia tidak tahan lagi dikekang perasaan tak berdaya ini. "Aku harus ehm... membeli bahan makanan."
"Aku akan menemanimu," kata Eva. "Kau kelihatan sedang... bad mood."
"Tidak perlu. Kau di rumah saja."
"Aku senang sekali jika kau mengizinkan aku ikut denganmu," kata Eva manis. "Boleh, ya?"
...
Setengah mati kutahan hasrat untuk menempelkan tanganku di punggungnya dan menekan tulang belakangnya yang melengkung ke depan itu. Nanti kau bisa kena osteoporosis. Berjalanlah yang tegak!
Dia punya kebiasaan unik: berjalan tepat di atas garis pembatas jalan. Kupikir itu hanya sebuah ketidaksengajaan, tetapi ketika dia diam di tempat saat ada orang lain dari arah berlawanan yang juga berjalan di atas garis itu, aku tahu bahwa dia sengaja melakukannya. Jadi kuikuti saja kebiasaan unik ini. Awalnya terasa membosankan, tetapi kucoba membuat situasinya lebih menarik. Kubayangkan di luar garis ini ada kolam penuh hiu ganas, dan Soren Adam menuntunku supaya tidak terjatuh dan dimakan hiu.
"Soren, orang itu mengamatimu."
Bibirnya yang berkomat-kamit karena menghitung jumlah langkahnya terhenti. Namun dia tidak mengangkat kepala dan terus tertunduk. "Oh, ya?"
"Iya." Dari balik jaket, kutunjuk laki-laki kumuh yang sedang duduk di pojok gerbang stasiun. Kardus bertuliskan 'PUNYA KOIN RECEH? AKU BUTUH MAKAN' di hadapannya sudah melempem diterpa hujan.
"Oh, dia hanya butuh uang receh." Soren memeriksa saku-sakunya. Dia menemukan sekeping koin di saku jaket dan mengulurkannya pada laki-laki kumuh itu. "Ini, ambillah."
Dia suka berderma.
"Hei, mate!" Suara tunawisma itu begitu serak sehingga kedengaran nyaris mistis. Soren sendiri kaget ketika disapa. Kurasa ini pertama kalinya tunawisma itu mengajak Soren bicara, setelah entah berapa ribu koin yang diberikan Soren untuknya setiap hari. "Dari mana kau dapat cewek itu?"
"Cuma teman," kata Soren.
Tunawisma itu bersiul. "Cuma teman, heh? Kau beruntung sekali!"
"Maaf, mate. Harus pergi. Ada janji."
Tunawisma itu terkekeh-kekeh kasar dan menunjuk-nunjukku dengan telunjuknya yang kotor dan bengkok. Soren menyambar tanganku dan menarikku pergi. Kali ini pegangannya terasa kuat. Ada sedikit kemarahan juga, mengalir di lekuk-lekuk ototnya. Namun kemarahan itu tidak tersirat di wajahnya. Ekspresi Soren tetap kosong, seperti halaman baru buku catatan.
"Pria itu cuma bertanya tentang aku, Soren. Kau tidak menyukainya, ya?"
"Dengar..." Soren membalikkan tubuhku dengan begitu tiba-tiba, hingga menghadapku. "Pria itu akan menggodamu, Eva. Dia siap bersiul tadi."
"Kau tidak tahu pasti. Kenapa kau membohonginya?"
"Pokoknya aku tahu."
Soren mengapit lenganku dan meneruskan perjalanan. Para pejalan kaki yang lain mulai memandangi kami.
"Jangan menatapku seperti itu," tegur Soren. "Itu hanya kebohongan kecil. Semua orang berbohong, oke? Pasti kau juga pernah."
Wah, maaf saja. Kalau soal itu... "Aku tidak pernah berbohong."
"Kalian jelas berbohong. Salah satu jenismu bilang Dad—"
Kuperhatikan wajah Soren. Dia menutup mulutnya dengan tangan, sisa kalimatnya tertambat di lehernya. Tidak mau keluar.
Kutempelkan pundakku ke pundaknya. "Apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa. Ayo pulang."
Kupercepat langkahku untuk mengimbangi langkah-langkah lebar Soren, meski air berkecipak makin heboh di trotoar dan mulai membasahi ujung bawah sepatu botku. Soren tidak lagi menghitung langkahnya, tetapi masih berjalan di atas garis pembatas. Khayalanku tentang kolam penuh hiu itu jadi menguap.
Di belokan, kulihat ada sekitar sepuluh orang sedang mengerubungi layar plasma pengumuman. Perdana Menteri Tallulah Tornbridge sedang siaran langsung—siaran kedua dalam minggu ini, dan itu jelas bukan pertanda baik.
"Ayo, Eva!" Soren menarik tanganku. "Kita ke sana."
Aku menyetujui perubahan rencana dadakan ini. Kami bergabung dengan kelompok yang resah itu dan menonton pengumuman.
"Tindakan pihak Timur yang menduduki paksa wilayah Asia yang belum tenggelam, membuat pemerintah harus segera bertindak..."
"Memang sudah seharusnya, kan?" teriak salah satu pria gemuk bertopi wol. "Berapa banyak lagi yang harus mati, Perdana Menteri?"
"Dalam situasi seperti ini, maka Inggris tidak bisa lagi bersikap non-blok," kata Perdana Menteri, seperti menjawab tuntutan si pria gemuk. "Sikap pihak Timur yang terus melakukan invasi dan mencaplok wilayah-wilayah yang belum tenggelam merupakan pelanggaran serius atas Traktat Perdamaian yang sudah mereka setujui sebelumnya. Kolonialisasi adalah perbuatan yang tidak bisa diterima. Saat ini seluruh dunia sedang berjuang mempertahankan spesies kita. Perjuangan ini sudah cukup menantang, kita tidak seharusnya dikhawatirkan oleh kolonialisme!"
"Cewek, sih!" Teman si pria gemuk mengeluh sambil mengedik ke arah wajah Perdana Menteri yang diperbesar ratusan kali lipat dari ukuran aslinya di layar. "Makanya lelet dalam mengambil keputusan."
"Inggris akan bergabung dengan pihak Barat," lanjut Perdana Menteri. Suara wanita itu agak bergetar, tetapi dia menatap kamera dengan mantap. "Bersama-sama, kita akan melakukan segala cara untuk menghentikan sepak terjang pihak Timur. Jika pihak Timur terus melakukan provokasi dan menolak negosiasi, maka tidak ada jalan lain selain konfrontasi terbuka..."
Tidak ada yang berkomentar. Semua orang yang menonton siaran itu saling pandang. Bahkan aku yang kurang begitu paham tentang kebijakan luar negeri Inggris, tahu persis apa arti kata-kata itu.
Perdana Menteri baru saja mengumumkan Perang Dunia Ketiga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top