5. Otomatisasi
Kata-kata Meg soal Gary yang memutuskan persahabatan secara sepihak mengusik pikiran Soren Adam yang sangat teratur ketika dia pergi kerja di Senin berikutnya. Setibanya di swalayan, Soren Adam tidak melihat Gary, tetapi memang biasanya seperti itu. Sebagai manajer, Gary lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya yang hangat daripada bergaul dengan para pekerja lapangan seperti Soren Adam, yang sepanjang waktu bertugas mondar-mandir di koridor-koridor dingin Tesco.
Tapi aku ingin bertemu dengan Gary, pikir Soren Adam. Aku ingin bertanya padanya apa dia betul-betul mencampakkanku dan Meg, karena kalau betul, itu perbuatan yang keji. Kita bertiga sudah berteman selama lima tahun.
Persahabatan itu bermula dari acara orientasi karyawan baru di swalayan ini. Soren Adam dan Meg sendiri sudah saling kenal sejak kuliah. Begitu lulus, mereka berdua melamar pekerjaan. Kedua Bencana Besar merombak lapangan kerja besar-besaran, nyaris tidak ada perusahaan yang perlu lulusan desain seperti Soren Adam. Sebaliknya, Meg seorang programmer, dan semua perusahaan membutuhkannya. Tapi Meg malah memilih jadi komikus, karena menurutnya "orang-orang lebih butuh hiburan daripada program komputer". Mereka berdua melamar sebagai pekerja lapangan di Tesco, dan diterima.
Saat itulah Soren Adam dan Meg bertemu Gary. Laki-laki itu terpaksa meninggalkan kampung halamannya di Edinburgh dan menjelajahi Inggris untuk mencari pekerjaan, sebelum akhirnya diterima di Tesco. Karena merasa senasib sepenanggungan (kecuali untuk Meg yang sebetulnya bisa mendapatkan pekerjaan "layak"), Soren Adam, Meg dan Gary menjadi sahabat karib. Hampir setiap hari mereka kumpul-kumpul sepulang kerja; selain Malam Minggu Film, dulu ada Senin Karaoke, Rabu Membuat Kue dan Jumat Pizza.
Lalu orang-orang mulai membayar komik Meg di internet.
Gadis itu keluar dari swalayan dan berhenti kumpul-kumpul kecuali di akhir pekan, supaya bisa fokus menyelesaikan komiknya. Hanya Soren Adam dan Gary yang tersisa. Tapi lama kelamaan Gary mulai bosan—Soren Adam yang malang merasa Gary jadi begitu karena keabsenan Meg yang periang. Akibatnya, acara kumpul-kumpul mereka nyaris seluruhnya dibatalkan.
Dan sekarang, Gary yang menghilang dari Malam Minggu Film.
Soren Adam menimbang-nimbang untuk mampir ke kantor Gary dan bertanya langsung padanya. Tapi Soren Adam ingat Gary tidak suka dikunjungi—bukannya tidak suka, sebagai manajer dia akan kena teguran kalau para pekerja lapangan tidak ada di "lapangan". Jadi satu-satunya kesempatan bertemu dengan Gary adalah kalau dia datang mengecek pekerjaan.
Untung saja hari ini aku punya kesempatan. Orientasi karyawan baru itu.
Orientasi dimulai pukul sembilan seperti biasa. Maka pagi itu Soren Adam menyelesaikan tugasnya sesegera mungkin, supaya bisa stand-by di posnya pukul delapan empat puluh lima. Ingat, dia tidak pernah terlambat.
Sambil menunggu jam sembilan, Soren Adam memikirkan apa yang akan dia tanyakan pada Gary. Sejak jadi manajer, sahabatnya itu jadi sedikit ketus (mungkin karena beban pekerjaan), jadi Soren Adam harus berhati-hati supaya jangan menyinggung Gary yang berhati halus. Seandainya Meg masih bekerja di sini! Meg punya sensor kasat mata di kepalanya untuk menangkap mood seseorang.
Atau kutelepon Meg dan memintanya menanyakan langsung ke Gary?
Tidak. Meg yakin sekali Gary dan si gadis berdada besar itu bertunangan.
"Soren, my mate!"
Gary datang dengan senyum cerah dan langkah-langkah panjang. Tiga orang laki-laki tegap mengikutinya, mereka sudah memakai jaket seragam Tesco.
"Halo, Gary!" sapa Soren Adam. "Inikah para karyawan baru itu?"
Gary membentangkan tangan lebar-lebar. "TADA!"
Soren Adam menjulurkan tangannya dan mengajak salaman. Laki-laki tegap di hadapannya menoleh dan berkedip.
"Mereka android, Gary."
"Mereka memang android!" Gary berdecak. "Wow, matamu jeli sekali!"
Di kepala Soren Adam yang serba teratur, pertanyaan-pertanyaan tumpang tindih seperti tabrakan beruntun. "Kenapa Tesco mempekerjakan android pembantu? Apa Bob dan Anouk sudah tahu tentang ini?"
"Soren, ini bukan masalah pribadi, oke? Aku tahu kau tidak suka robot."
"Tolong jawab aku, Gary."
"Baiklah!" Gary merangkul leher Soren Adam, aroma deodorannya amat menyengat. Merk Bask, di bagian Perawatan Tubuh, rak nomor tiga sebelah kiri. "Aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu itu dalam satu kata: efisiensi!"
"Efisiensi?" Soren Adam bergelut untuk melepaskan diri dari Gary, tetapi lengan si manajer yang berotot mengunci lehernya. "Selama ini aku, Bob dan Anouk sudah bekerja dengan sangat efisien, Gary! Kau tahu persis itu!"
Gary mengedik ke ketiga android itu. "Mereka bisa mengangkat beban sampai dua ton, tak pernah sakit, tidak butuh istirahat, cuti, atau pergi ke toilet."
"Kami bertiga hanya beristirahat lima belas menit, dan aku tak pernah cuti sehari pun selama bekerja di sini!" protes Soren Adam. Dia termasuk orang yang tidak suka memprotes, tetapi dalam situasi khusus seperti ini, dia terpaksa melakukannya. "Kita juga tidak pernah menerima pesanan sampai dua ton!"
Gary mengerucutkan bibirnya. Dia melepaskan Soren Adam yang bingung harus marah atau kecewa, dan mengamati si petugas lapangan yang serba teratur itu dari atas ke bawah, seperti tidak pernah melihatnya dengan jelas sebelumnya.
"Kau masih butuh ke toilet, Soren."
Soren Adam ingin membantah, tapi tidak bisa. Jadi satu-satunya kekuranganku dibandingkan para android ini adalah karena aku punya sistem pencernaan?
"Dan mereka ini," Gary mengedik ke para android itu, sorot matanya bak ayah yang memandang putranya yang baru pulang perang. "Tidak akan pernah protes soal cuaca dingin. Mereka hebat, kan?"
Soren Adam menelan kekesalannya. Menjadi manusia adalah sebuah kesalahan fatal saat ini. "Jadi, orientasi macam apa yang kau harapkan dariku? Bukankah kau tinggal memasukkan training files itu ke memori mereka?"
"Ya ampun, kupikir Meg-lah yang paling cerdas di antara kita bertiga!" Gary memukul dahinya dengan kekuatan yang agak berlebihan. "Tapi ternyata kau jauh lebih cerdas, Soren! Kau betul sekali! Para android ini tidak perlu orientasi!"
"Lantas apa maumu, Gary?"
"Aku ingin kau mengembalikan jaket seragam dan kartu karyawanmu," kata Gary sambil tersenyum. "Kau dipecat, Soren."
...
Pesan yang diketiknya sudah layak dijadikan sebuah novela.
Soren Adam sedang panik. Dia nyaris tidak pernah panik—kepanikan hanya menyerang orang-orang yang tidak bersiap diri, dan Soren Adam bukan jenis orang yang seperti itu. Meg tidak menjawab panggilan telepon darinya. Soren Adam menebak sahabatnya itu sedang tidur pulas setelah begadang semalaman mengerjakan bab terbaru komiknya.
Soren Adam memencet tombol 'Kirim'. Ayo bangun, Meg! Cepat balas pesanku! Soren Adam sedang membutuhkan sahabatnya itu. Meg selalu tahu harus berbuat apa dalam situasi semacam ini.
Soren Adam merasa aneh sekali karena dia keluar dari swalayan ketika hari masih terang. Lebih aneh lagi karena dia satu-satunya petugas lapangan yang dikeluarkan. Menurut Gary, Bob dan Anouk masih muda sehingga mereka masih "layak" bekerja bersama para android (sialan) itu. Sementara Soren Adam yang berusia dua puluh lima ini dianggap nyaris semaput. Secara teknis, Gary benar. Angka harapan hidup rata-rata menurun drastis menjadi empat puluh tahun saja setelah Bencana Besar Kedua, dan menurut standar itu, Soren Adam sudah menjalani setengah hidupnya yang teratur tanpa cacat cela itu.
Sekarang aku mengerti kenapa si tua Jim Thompson begitu pongah setiap kali dia datang ke swalayan untuk komplain, pikir Soren Adam. Di usianya yang sudah tujuh puluh tahun, pasti dia merasa abadi seperti Tuhan.
Dari gerbang stasiun, Soren Adam berjalan sejauh dua ratus lima puluh enam langkah menuju rumah. Dunia seperti berubah menjadi sesuatu yang berbeda—masih dingin diterpa hujan tiada henti, hanya saja suasananya terasa lain. Dia berpapasan dengan orang-orang yang berbeda. Toko-toko masih buka, dan banyak pengunjung yang berseliweran, merasa belum terlalu terancam oleh hawa dingin yang kian menusuk ketika malam datang.
Soren Adam tidak suka ini.
Di tengah jalan, dia mengecek jam tangannya dan kaget sendiri melihat angka tiga dan lima belas di sana. Soren Adam tidak tahu apa yang harus dilakukannya jam tiga lima belas sore di luar seperti ini. Seharusnya dia berada di swalayan, mengecek stok barang yang perlu diisi ulang keesokan harinya.
Soren Adam sampai di lobi The Swindle—gedung apartemennya, dan masuk ke dalam. Seorang gadis memakai jaket warna ungu gelap, syal sutra putih dan sepatu bot hitam sedang berdiri di depan kotak surat. Dia berponi, dan sisa rambut panjangnya diekor kuda di belakang. Kulitnya berwarna gading, dan mulus sekali, seperti porselen. Tangannya yang ramping menggenggam sebuah koper.
Soren Adam belum pernah melihat gadis itu di tempat ini. Sang gadis sedang mengobrol dengan Jamie Curtis dari apartemen 30B.
"Ah!" Jamie melihat Soren Adam dan mencebik. "Ini dia orangnya!"
Orangnya? "Ada yang bisa kubantu, Jamie?"
Jamie mengedik ke si gadis asing. "Temanmu ini mencarimu."
...
Matanya lebih biru dari di foto.
Aku langsung mengenalinya begitu melihatnya. Soren Adam.
Dia jangkung, persis seperti dugaanku, tetapi agak bungkuk. Sepertinya dia punya kebiasaan menunduk, entah itu untuk menghindari kontak mata dengan orang lain atau sekedar pemalu. Rambut ikalnya pirang lusuh seperti jerami tua, dan disisir ke depan, hingga menjuntai di depan dahinya dan sedikit menutupi mata. Wajah berbintik-bintik membuatnya terlihat sedikit kekanakkan, dengan hidung lurus dan cuping tipis—aku pernah baca katanya itu ciri-ciri orang sensitif. Kulitnya pucat atau terlalu putih—hmm, aku tak punya sebutan untuk warna kulitnya, tetapi kurasa dia butuh berjemur (mustahil sih mengingat cuaca belakangan ini). Dia kurus, aku tidak menemukan tonjolan lemak yang tidak seharusnya di tubuhnya.
Soren Adam menatapku, matanya yang biru berkelebat beberapa saat sebelum dia cepat-cepat membuang muka. "Teman?" katanya.
"Aku mencari Mr. Soren Adam yang tinggal di The Swindle 34," kataku.
Soren Adam bergerak-gerak risau. "Itu aku."
Aku tahu. "Senang bertemu denganmu. Namaku Eva."
Kujulurkan tanganku untuk mengajaknya bersalaman, tetapi Soren Adam berkelit. Ah. Peraturan itu, ya. Tidak boleh bersentuhan dengan orang asing.
"Tak perlu khawatir, aku sudah divaksin," kataku.
Soren Adam menjabat tanganku. Tangannya ramping dan keras, efek bekerja selama bertahun-tahun di Tesco, tetapi jabatannya lemah. "Senang bertemu juga denganmu, ehm... Eva."
"Nah," Jamie berdecak. Sejak menyapaku tadi, aku tahu wanita itu sudah kepingin kabur. "Sebaiknya kalian menyelesaikan urusan kalian di apartemen."
"Urusan?" kata Soren Adam. "Maaf, tapi aku tidak kenal dengan Eva."
"Masa?" dengus Jamie sangsi. "Gadis ini tahu segala sesuatu tentang dirimu, Soren. Dia menghabiskan setengah jam bercerita padaku bagaimana kau nyaris tenggelam saat memancing sewaktu kau lulus SMA."
Sejenis ekspresi aneh merembes di wajah Soren Adam. Oh, ternyata dia sangat ekspresif! Aku nyaris bisa menebak seluruh isi kepalanya hanya dengan mengamati wajahnya. Beberapa orang memang dianugerahi kepolosan seperti itu.
"Aku tidak mengerti." Soren Adam mencoba tersenyum, tapi aku tahu dia sedang gugup. "Dari mana kau, ehm... tahu cerita itu, Eva?"
"Aku menyelidikimu." Lakukan dengan sesantai mungkin. Jangan sampai dia ketakutan dan malah menolakmu. "Aku harus tahu semua hal tentang dirimu."
Jamie menjilat bibir dan pura-pura memperhatikan pintu depan.
"Kau..." Soren Adam berjengit. "Menguntitku?"
"Bukan menguntit. Tapi menyelidiki."
"Kenapa?"
Kupasang senyum terbaikku untuknya. "Karena aku akan jadi pendamping hidupmu, Soren Adam."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top