4. Malam Minggu
DING DONG!
Suara bel mengalun dari pintu. Soren Adam mengambil ponselnya untuk mengecek. Sebetulnya dia sudah tahu siapa yang akan datang.
"Buka pintunya! Di luar sini dingin sekali, tahu!"
"Ya, ya! Aku tahu!"
Wajah kesal dan basah Meg tertangkap kamera di bel pintu. Soren Adam menekan tombol 'Buka Pintu', dan pergi ke pintu depan.
"Hei!"
Meg masuk. Hari ini Meg memakai topi baret warna merah ceri dengan seutas bulu merak imitasi, mantel panjang warna khaki yang agak kebesaran, sweter berpola kotak-kotak jingga-ungu-putih, rok kipas semata kaki bermotif bunga, dan sepatu bot kulit selutut bertabur ratusan manik-manik. Bros lebah emas favoritnya terpasang di kerah blusnya. Rambutnya yang merah jambu seperti gula-gula kapas dibiarkan tergerai, dan hari ini Meg memakai kacamata bulat besar yang membuat wajah ovalnya jadi semakin bulat. Ada sepasang anting-anting lingkaran yang besar sekali, sampai-sampai menyentuh bahunya. Rupa-rupa cincin dan gelang di kedua tangannya bergemerincing saat dia bergerak.
Soren Adam ternganga melihat penampilan gadis itu. Meg menganggap serius penampilan, dia menjadikan tubuhnya sendiri seperti karya seni—apa saja yang dia pakai, seaneh apa pun (dan memang selalu aneh), pasti membuatnya tampak luar biasa. Busana Meg hari ini menempel sempurna di tubuhnya, karena tubuh Meg dipenuhi lekukan-lekukan lembut yang mengingatkan Soren Adam pada bantal, selimut hangat, atau kue yang baru dipanggang.
Meg mencopot sepatu botnya dengan susah payah. Di baliknya, dia memakai stoking warna lemon. "Aku bawa pizza. Dan teman baru."
"Teman baru? Siapa?"
Meg menjentik. Sesuatu menyalak di luar lalu berlari masuk.
Soren Adam terpana. "Ooh!"
"Namanya Lilo. Soalnya dia mengingatkanku pada lilo—bola pantai."
Makhluk itu sama sekali tidak terlihat seperti bola pantai. Tapi Soren Adam langsung maklum. Meg punya cara tersendiri dalam mengasosiasikan sesuatu. Menurut Meg, kulkas milik Soren Adam mengingatkannya pada peti mati. Cangkir kopi favorit Soren Adam mirip pantat bayi, warna cat dinding apartemennya seperti kulit gajah tua (yang asli, bukan robot), dan puing-puing bianglala London Eye seperti tart yang gagal mengembang karena kurang ragi.
Lilo menyalak dan menggoyang-goyangkan ekornya yang pendek sekali. Bulu-bulu sintetisnya tampak agak kasar, sepertinya dia produk keluaran lama.
Soren Adam refleks merapat ke dinding.
Meg mengerutkan hidung. "Soren. Ya ampun, masa sih kau masih—"
Soren Adam memotong. "Di mana kau mendapatkannya?"
"Aku menemukannya di tempat pembuangan sampah apartemenku. Kurasa dia dibuang karena pemiliknya sudah punya yang seri terbaru." Meg memiringkan kepalanya dan memandangi Lilo. "Kurasa dia imut."
Robot, kata suara di kepala Soren Adam. Mereka tidak mungkin imut.
Dia memeriksa bagian belakang leher Lilo, untuk memastikan Meg tidak membuat kesalahan. Sensasi aneh berpusar di perut Soren, seperti bayi monster. Biasanya di sini pemilik robot peliharaan menaruh identitas mereka. Kalung leher sudah tak digunakan lagi sejak para binatang mati.
Tidak ada identitas apa-apa.
"Sudah kuperiksa, tapi seperti yang kau lihat, tidak ada data pemilik," sahut Meg santai. "Sudah kubilang, dia dibuang. Tapi baterainya masih bagus, jadi kuambil saja. Mata kirinya macet sedikit, tapi sudah diperbaiki."
"Akhirnya kau memakai keahlianmu!"
"Hanya sepuluh baris kode," Meg mengangkat bahu, lagaknya merendah. "Siapa pun bisa melakukannya. Nah, kau akan mengundangku masuk atau kita hanya akan terus berbasa-basi seperti ini?"
Soren Adam terkekeh dan menyilakan Meg masuk. Meg melemparkan mantel khaki itu ke atas mesin cuci, dan terus ke ruang duduk sambil ber-ahh lega. Lilo mengikutinya, menyalak-nyalak senang seperti anak kecil yang berisik.
"Apa dia akan terus-terusan menyalak?" tanya Soren Adam.
"Oh, aku bisa mengaktifkan Sleep Mode-nya kalau kau terganggu."
"Nanti saja."
Meg duduk di atas karpet dan membuka kotak pizza yang dibawanya. "Kau mau? Ini ekstra keju."
"Terima kasih, aku tidak lapar," kata Soren Adam. "Ngomong-ngomong, Gary tak jadi datang Sabtu besok."
"Aku sudah tahu," kata Meg sambil menutup kembali kotak pizza itu. "Kalau begitu, ayo."
Soren menggeser posisi duduknya ke depan Meg. Gadis itu berlutut dan mengeluarkan sebuah clipper dari dalam tasnya. Lalu dia mulai bekerja.
"Aku sudah membujuk Gary," keluh Soren, selagi Meg memotong rambutnya. "Tapi Cathy masih sakit dan—"
"Astaganaga, Soren! Cathy tidak sakit! Apa kau belum sadar juga?"
"Tidak. Gary bilang begitu," bantah Soren Adam. "Usia Cathy sembilan tahun. Itu sama dengan lima puluh dua tahun umur manusia. Kau tahu, kita sangat beruntung kalau bisa hidup melewati empat puluh tahun, sedangkan kucing itu—"
"Cathy sudah mati," potong Meg tanpa emosi.
"Mati?" Soren Adam tercengang. Lilo sedang memperhatikan gantungan baju, kepalanya berputar miring seperti anjing betulan. "Belum mati. Cuma sakit."
"Kau betul-betul percaya kucing itu sudah sakit selama empat minggu dan belum mati juga?" Meg mengerang. "Apalagi untuk kucing setua Cathy? Jangan goyang-goyang."
Soren Adam memantapkan posisi duduknya lalu menghitung-hitung sejak kapan Gary bilang Cathy sakit sehingga tak bisa ikut Malam Minggu Film.
Meg benar. Cathy sudah sakit selama sebulan.
"Gary sudah punya pacar," lanjut Meg sambil terus bekerja.
"Pacar? Gary tidak bilang apa-apa ke kita." Soren Adam jadi ragu pada keseriusan Meg. "Apa ini semacam lelucon April Mop yang terlambat?"
"Aku melihatnya tiga minggu lalu, saat mampir ke Tesco kalian untuk memberi kejutan," Meg mendesah. "Gadis tinggi pirang dengan dada sebesar bola basket. Gary dan gadis itu pergi makan siang bersama. Aku bertemu mereka lagi dua minggu lalu di Harrods, sedang melihat-lihat perhiasan. Mereka membeli sepasang cincin."
"Bukan berarti Gary dan gadis ini berpacaran, kan?" Soren Adam masih tidak mau mempercayainya. Sebagai sahabatnya, bukankah Gary seharusnya memberitahu aku dan Meg kalau dia punya pacar? "Kau bisa saja keliru."
"Aku memakai logikaku!" desis Meg, clipper-nya bergoyang-goyang lihai. "Ini seperti menulis kode. A tambah A sama dengan—"
"B."
"2A," koreksi Meg. "Jalan-jalan tambah sepasang cincin sama dengan pacaran. Atau bahkan tunangan."
"Tapi kenapa Gary tidak bilang apa-apa ke kita?"
"Karena Gary membuang kita, oke? Dia tidak mau lagi bergaul dengan orang-orang menyedihkan seperti kita, yang belum pernah berpacaran, tidak punya pekerjaan yang bermakna, menonton film-film jadul yang sama setiap minggu, dan jelas-jelas akan mati sebagai perawan!"
Gary adalah sahabatku, pikir Soren Adam. Sahabat kami. Aku senang kalau Gary sudah bertunangan, seandainya dia bilang padaku.
"Terima saja kenyataannya," timpal Meg ketus. "Gary sudah hengkang!"
"Kau sendiri..." Soren Adam butuh waktu untuk memproses ini. Ada sekelumit rasa sakit di hatinya, tetapi dia enggan mengakuinya. "Kenapa baru bilang padaku sekarang?"
Meg mengumpat keras-keras. Lilo mengedus kotak pizza dan menjulurkan lidah minta makan, padahal makhluk itu tak punya sistem pencernaan. "Karena kupikir kau sudah tahu! Kau bersama Gary lima hari seminggu di swalayan itu. Tapi sekarang sudah jelas bahwa aku salah!"
Rasa sakit itu kian menyengat. Karena tidak tahu harus bilang apa, Soren Adam hanya bergumam, "Menurutku kita tidak menyedihkan."
Meg membisikkan sesuatu dalam bahasa Irlandia—bahasa orangtuanya, dan dari nadanya sepertinya umpatan lagi. Gadis itu mengaktifkan mode Sleep untuk Lilo (lima kali belaian di telinga kiri), sehingga makhluk itu terlelap di dekat kaki meja. Perutnya kembang kempis seperti sedang tidur betulan.
Setelah selesai, Meg menyedot sisa-sisa rambut yang tercecer dan membuka kotak pizza. Soren Adam menyalakan televisi. Sesuai jadwal, hari ini dia dan Meg akan maraton Harry Potter. Meg selalu terkagum-kagum melihat aktor pemeran Dumbledore yang menurutnya sudah uzur sekali. Soren Adam berkali-kali menjelaskan pada Meg bahwa itu jenggot palsu, tetapi Meg tetap tidak percaya.
Kedua sahabat itu baru sampai di adegan surat-surat menyerbu rumah keluarga Dursley (satu lagi hal yang harus dijelaskan Soren Adam karena Meg belum pernah melihat amplop surat dan percaya manusia zaman dulu memakai burung hantu untuk berkorespondensi), ketika film itu dipotong oleh tayangan breaking news.
"Sebuah ledakan baru saja terjadi di kantor cabang Hitobot di Wembley. Warga diminta berhati-hati dan menghindari TKP," kata si pembaca berita dengan aksen yang begitu Inggris. Liputan sebuah kantor yang terbakar hebat memenuhi layar. Api jingga raksasa menari-nari di bagian bawah gedung, tampak amat realistis akibat efek hologram dari televisi. Dua pasukan robot pemadam sedang berjibaku untuk memadamkan api.
"Pihak ARC mengaku sebagai dalang dari tindakan ini. Sebuah video yang diduga memperlihatkan pemimpin ARC sekaligus buronan berbahaya: John Dallas, diterima kantor walikota London beberapa saat setelah ledakan..."
Tayangan kini digantikan sebuah rekaman video. Satu sosok yang memakai helm hitam sedang berbicara, suaranya tidak disamarkan sama sekali.
"Manusia tidak bisa memulai kembali kehidupan lewat bersosialisasi dengan robot. Bencana Besar Pertama dan Kedua sudah cukup memusnahkan populasi kita. Jika kita ingin memulai awal yang baru, manusia harus berhubungan dengan manusia lainnya. Anti-Robot Community menolak keras integrasi robot ke kehidupan sosial. Kami menuntut pemerintah Inggris untuk mencabut izin usaha Hitobot dan membatalkan Undang-Undang Produksi Robot."
"Anti-Robot Community apanya," dengus Meg sambil mencibir. "Lebih mirip Anti-Robot Criminals—Kriminal Anti-Robot."
"Mereka seperti teroris," kata Soren Adam.
"Kenapa kau belum juga bergabung dengan ARC, Soren?"
"Aku cinta damai."
"Kau benci robot."
Soren Adam sengaja tidak menjawab Meg. Dia menunjuk televisi untuk mengalihkan perhatian gadis itu. Meg meringis dan melanjutkan menonton.
"Kalau pemerintah mengabaikan permintaan ini, kami akan terus berjuang," ancam si pria berhelm. "Kami akan menghancurkan seluruh pabrik robot sampai tak ada satu pun robot yang tersisa. Kami juga akan memburu semua robot yang sudah difungsikan, supaya mesin-mesin ini bisa segera dinonaktifkan."
Meski wajah John Dallas tidak terlihat, tetapi kata-katanya sukses membuat Soren Adam merinding. ARC selalu memegang kata-kata mereka. Ledakan ini bukanlah yang pertama. Tiga bulan terakhir, sudah terjadi sepuluh serangan.
"Manusia adalah inti kehidupan!" John Dallas mengangkat kepalan tangan kanan—simbol perlawanan ARC—dan berseru lantang ke kamera. "Musnahkan mesin sekarang juga! Kembalikan hakikat hidup sesungguhnya!"
Video itu digantikan oleh liputan di lokasi kejadian. Lusinan tubuh-tubuh robot yang belum diaktifkan bergelimpangan di trotoar, hangus terbakar.
"Menanggapi serangan ini, pemerintah menambah hadiah uang bagi siapa pun yang berhasil menangkap John Dallas—hidup atau mati. Perdana Menteri Tornbridge telah mengkonfirmasi angka sepuluh juta poundsterling..."
"Dia android," Meg menunjuk si pembaca berita dengan hidungnya. "Dia seperti ketakutan melihat mayat-mayat rekan robotnya itu."
"Mereka mesin," kata Soren Adam, teringat kata-kata ayahnya. "Secanggih apa pun, mereka tetap tidak punya jiwa seperti kita."
"Dalam level tertentu, kecerdasan buatan mereka bisa dianggap seperti jiwa," bantah Meg. Pantulan hologram api yang berkobar di televisi berkilat-kilat di matanya yang hijau terang. "Para robot ini... mereka bisa belajar apa pun, Soren. Mereka diprogram untuk terus belajar. Dengan kapasitas otak tak terbatas dan fisik yang bisa diperbaiki bahkan ditingkatkan, para robot ini bisa menyerupai Tuhan. Mereka pasti akan mengungguli kita suatu hari nanti."
Soren Adam memikirkan pendapat Meg selama beberapa saat. "Menurutmu mereka bisa mencintai, para robot ini?"
Meg memutar-mutar cincin perunggu berbentuk kerang di jari manis kirinya. Matanya masih terpaku di televisi. "Mungkin," jawabnya.
"Kau kedengaran ragu."
"Aku—entahlah, itu terlalu mengerikan." Meg menyandarkan kepalanya ke kasurku. "Bayangkan robot yang bisa merasakan. Kurasa ARC ada benarnya."
"Tapi tanpa para robot itu, hidup kita akan sangat sulit sekarang."
"Kitalah sumber malapetakanya. Kau tahu itu, Soren."
Soren Adam menelan ludah. "Apa kau pernah membayangkan bagaimana jadinya jika Bencana Besar Pertama dan Kedua itu tidak pernah terjadi?"
Meg mengembus panjang. "Tidak," katanya sambil mengambilpotongan pizza kedua. "Aku tak bisa membayangkannya. Kedua Bencana Besarmembunuh milyaran manusia. Bagaimana kau bisa mengabaikan hal semengerikanitu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top