32. Taman
"Kurasa yang itu mirip dinosaurus."
Dinosaurus? "Memangnya kau tahu dinosaurus itu seperti apa?"
"Ya. Aku pernah lihat di ensiklopedia interaktif," kata Ella sambil menunjuk-nunjuk ke angkasa. Tudung jas hujannya agak kebesaran sehingga terjatuh saat dia menengadah. "Mum membelikanku. Lihat, itu kepalanya, dan itu keempat kakinya."
"Wah, kau benar! Triceratops, ya?"
"Iya! Kau melihatnya juga, kan?"
"Aku lihat, kok! Dan yang kecil itu cula hidungnya, kan?"
"Betul! Kata Mum, dinosaurus itu hidup di zaman dulu, sebelum kedua Bencana Besar. Apa kau pernah melihat dinosaurus, Eva?"
Aku teringat Soren dan kepingin tertawa. Soren agak mengingatkanku pada dinosaurus. Dia kuno dalam banyak urusan. "Belum pernah."
"Mum bilang mereka sudah punah. Tapi kenapa tidak dijadikan robot saja?"
"Robot?"
"Ya. Spesies kita juga hampir punah, lalu kita bikin robot-robot itu, kan?"
"Iya, ya. Kau gadis kecil yang cerdas! Kau yakin usiamu baru enam tahun?"
Ella tersenyum malu-malu. Kubelai kepalanya, lalu mendongak lebih jauh, mencari awan-awan lain yang lebih menarik. "Kalau yang di sana itu, yang di atas salib gereja, menurutmu mirip apa?"
"Hmm..." Bibir Ella berkomat-kamit. "Kue donat?"
"Bagaimana kalau hula hoop?"
"Oooh. Hula hoop juga bisa!"
Ella terkikik. Dia memutar-mutar pinggulnya seperti sedang main hula hoop. Aku berdiri dan menirunya. Kami tertawa bersama. Air bercipratan dari jas hujan kami. Soren suka melakukan gerakan ini saat senam pagi, hanya saja dia tidak memakai hula hoop. Aku tidak tahu apa gunanya Soren senam kalau jalannya selalu bungkuk.
"Hei, aku sudah kembali!" kata Iris. Tangan kanannya memegang payung dan tangan kirinya ada sekantong kue. "Ini untukmu, Eva. Terima kasih sudah mau menjaga Ella."
"Tak perlu repot-repot, Iris. Aku juga senang, kok."
"Mum!" Ella menghambur memeluk ibunya. "Aku dan Eva sedang melihat awan-awan. Yang itu mirip Triceratops dan yang di sana itu mirip hula hoop."
"Ah, benar!" Iris memberikan senyum terima kasih untukku. "Untung hari ini cuacanya cukup cerah sehingga awan-awannya terlihat. Nah, ucapkan selamat tinggal pada Eva, Sayang. Kita harus pergi."
Ella kelihatan tidak rela. Aku jadi tak tega. "Tak perlu terburu-buru, Iris."
"Kurasa ada yang ingin bertemu denganmu," Iris mengedik ke belakangku.
Aku menoleh dan melihat seorang pria tinggi kurus dan pucat di pintu masuk taman. Di sebelahnya ada seorang gadis berambut merah jambu seperti gula-gula kapas. Gadis itu melambai padaku. Kubalas lambaiannya.
"Kalau begitu... sampai jumpa, Eva!" Ella memelukku erat-erat. "Terima kasih untuk segalanya. Kami semua tidak akan melupakanmu!"
Iris juga turut memelukku. Aku mengecup pipi Ella, dan cipika-cipiki dengan Iris. Lalu ibu dan anak itu pergi sambil melambaikan tangan.
Kuhentakkan sepatu botku untuk meniriskan cipratan air hujan di ujungnya. Si pria kurus itu mendekatiku dan duduk di sebelahku.
"Meg minta maaf karena belum bisa bertemu denganmu. Dia harus ke Selfridges untuk membeli sesuatu."
"Oh, tahanan rumahnya berakhir hari ini, ya?"
"Ya, makanya dia buru-buru. Meg merasa tidak enak karena kau sudah membuatkannya sweter untuk hadiah Tahun Baru, tetapi dia belum memberimu apa-apa. Dia bilang kalau tidak sempat, dia akan mengirimkannya."
"Ah, tak perlu sungkan begitu. Aku ikhlas, kok."
"Aku tahu. Kau senang berbagi. Berbagi membuatmu bahagia."
Kami berdua terdiam sejenak. Sudah cukup lama kami tidak bertemu. Aku mengingat-ingat. Kurang lebih sebulan. Sejak Hakim menyatakan aku sudah bebas tugas dari Hitobot, aku ditempatkan di sebuah hotel. Untung saja teman-temanku selalu rutin mampir sehingga aku tidak kesepian. Apalagi sekarang ada saudara-saudariku, mereka juga sudah dibebaskan. Hanya Ichiro yang pergi. Ren ikut dengannya, dan mereka baru tiba di Jepang minggu lalu. Karena kami sudah tidak bisa saling baca pikiran lagi, Ichiro mengirimkanku foto. Dari foto yang dia kirimkan, aku tahu dian dan Ren sangat bahagia.
"Kenapa kau tidak ikut dengan Meg?" Kuamati pria di sebelahku ini, mencoba mencari sesuatu yang berbeda dari penampilannya sejak pertama kali kami bertemu. Apa Meg masih rutin menggunting rambutnya? "Kau kan suka jalan-jalan ke swalayan. Sedang ada diskon besar-besaran untuk merayakan berakhirnya perang, lho. Untung Hukum Keempat berhasil diresmikan tepat waktu. Para pasukan robot itu menolak untuk berperang."
"Aku lebih suka di taman ini." Tiba-tiba dia mengangkat tangan dan menyapukan telunjuknya ke sekeliling taman. "Aku baru tahu kalau ternyata rumput ini sintetis. Begitu juga pohon-pohon dan semak di sekelilingnya."
"Banyak tanaman yang sudah punah," anggukku. "Tapi meskipun mereka bukan tanaman sungguhan, tempat ini tetap terasa seperti taman, kan?"
Laki-laki itu tersenyum kecil dan tertunduk. "Apa kau tetap akan kembali ke Islandia?"
"Di tiketnya tertulis aku harus naik pesawat itu nanti sore."
"Apa kau betul-betul harus pergi?"
"Sama seperti Ichiro, aku dideportasi, Soren."
"Tapi kau tidak punya siapa-siapa lagi di sana, kan?"
"Ya. Semua teman yang kukenal ada di sini, di London."
Soren mendesah, dan desahannya sangat alami, seolah dia betulan bernapas. Fakta bahwa pria di sebelahku ini terbuat dari logam dan digerakkan listrik sama sekali tidak mengubah pendapatku tentangnya.
Aku terkekeh dan menggeleng-geleng.
"Kenapa, Eva?"
"Kau tahu... aku masih tidak bisa percaya kau ini robot, Soren."
"Tidak bisa atau tidak mau mempercayainya?" Soren mengusap perutnya, tempat dia ditembak waktu itu. Lubang itu sudah diperbaiki dan tidak berbekas sama sekali. "Meg kan sudah menunjukkan semuanya padamu. Miss Takeuchi juga."
"Tidak bisa," ulangku. "Bagiku, kau tetap Soren Adam."
"Aku ini android, Eva. Aku cuma mesin."
"Yang mesin itu cuma tubuhmu, kan?" Kukaitkan lenganku di lengannya. Dia hangat, tidak dingin seperti mesin. "Tapi di dalam hati dan kepalamu, kau ini seorang Soren Adam, masih tetap sama seperti Soren Adam yang kukenal sejak awal April lalu. Jadi apa bedanya?"
Soren menggenggam tanganku dan tertunduk. "Orang-orang memperlakukanku berbeda setelah tahu siapa aku sesungguhnya," katanya. "Hanya kau, orang-orang di The Swindle dan ibuku yang tidak menganggapku berubah."
"Kau melupakan Meg, Leah, Iris, Ella, keluarga Tsui, keluarga Esperanza, Deidre, dan Anne." Kusenggol pundaknya agar dia tidak tertunduk begitu. Tulang punggungnya boleh-boleh saja terbuat dari titanium, tetapi tetap saja... laki-laki yang selalu tertunduk itu tidak enak dilihat, kan? "Banyak orang yang tidak keberatan dengan siapa dirimu, Soren. Itu karena mereka tahu siapa kau sesungguhnya. Menurutku, yang membuat seseorang pantas dihargai sebagai manusia bukan hanya karena fisiknya saja, tetapi yang terutama karena hatinya."
"Hati, ya..." Tangan Soren mendekap dadanya. "Tapi... aku tidak punya jantung."
"Jantung itu hanya organ fisik." Kutempelkan tanganku di dadanya. "Para ilmuwan yang menciptakan virus CORVAX... para pengusaha yang seenaknya membabat hutan dan menimbulkan polusi... para pemimpin yang sibuk berebut kekuasaan sehingga menimbulkan perang... Mereka manusia, tetapi tidak punya hati, sehingga bikin manusia lain menderita bahkan kehilangan nyawa. Menurutku, kau jauh lebih manusiawi daripada mereka. Kau tidak mau terlambat, tidak mau berjalan di luar garis, selalu berderma, apalagi bikin pesta yang gaduh karena mengganggu tetangga. Kau hanya ingin menjalani hidupmu tanpa merugikan orang lain, dan tidak ada yang salah dengan itu."
"Tapi kau sering bilang, hidupku itu membosankan."
"Itu karena kau terjebak dalam loop. Meg sudah menjelaskan padaku, kok."
Soren tertawa. "Kau tidak pernah menganggap serius apa pun, ya?"
"Aku hanya tidak memusingkan hal-hal yang tidak perlu. Kenapa terlalu mempermasalahkan urusan fisik? Bagiku, kau cukup manusiawi." Aku berdiri dan mengangkat tanganku ke awan-awan. "Hei, Soren. Menurutmu awan yang di sana itu bentuknya seperti apa?"
Soren memiringkan kepalanya sedikit. "Dinosaurus. Triceratops."
"Kalau yang di atas salib gereja itu?"
"Hula hoop. Atau kue donat."
Giliranku yang tertawa. Soren kelihatan bingung, tetapi kubiarkan dia. Kami memandangi awan-awan itu lagi. Hari ini bentuk-bentuknya terlihat jelas, karena hujannya begitu tipis, nyaris seperti benang.
Aku bangkit berdiri. "Aku harus kembali ke hotel."
"Tu-tunggu!" Soren meraih tanganku. "Kau sudah mau pergi? Bagaimana kalau kita makan siang dulu?"
"Pesawatku berangkat empat jam lagi, Soren."
"Tapi..."
"Kenapa?" Aku membungkuk ke arahnya. "Kau minta hadiah perpisahan?"
Dia cepat-cepat memalingkan wajahnya. "Aku tidak bilang begitu."
Kukecup pipinya yang menghadapku. Soren tersentak, tetapi dia tidak menjauh. Dia menatapku, matanya yang biru seperti laut itu melebar.
"Jangan menatapku seperti itu, Soren. Kalau kau mau kucium di bibir, aku tidak akan melakukannya. Aku bisa kesetrum nanti."
"Aku tidak nyetrum! Meg bilang aku aman, kok!"
"Oh, baiklah."
Kucium dia. Bibirnya lembut dan kenyal. Aku mengintip sedikit. Soren sedang membelalakkan matanya lebar-lebar. Dia tampak kesetrum.
Aku melepas ciuman itu dan tertawa. "Itu ciuman terima kasih karena sudah menampungku selama sebulan..." kutambahkan dengan sedikit sindiran, "Tanpa banyak komplain. Kuharap aku tidak mengusik hidupmu waktu itu."
Soren tidak mengatakan apa-apa. Kutinju pundaknya dengan lembut, lalu membuka payungku. "Nah, kalau begitu, selamat tinggal. Jangan lupa bahagia, Soren Adam. Sekarang kau sudah mengerti artinya, kan?"
Aku melangkah menembus hujan, sepatuku terbenam di rumput sintetis yang lembut dan lembab itu. Tanpa sadar tanganku yang bebas terangkat, bukan untuk menyentuh dahiku, tetapi bibirku. Ciuman tadi terasa wajar dan melegakan. Setelah semua yang terjadi di antara kami, Soren pantas mendapatkannya.
"EVA! TUNGGU!"
Aku berbalik. Soren sedang mengejarku.
"Apa menurutmu masih ada satu kursi kosong di pesawat itu?"
Pertanyaan itu membuatku kaget sekaligus tergelitik. "Kau mau meninggalkan London? Kau yakin? Kau bahkan tidak suka meninggalkan apartemenmu, Soren."
"Aku sudah bisa membuat keputusanku sekarang."
"Kau tidak pernah terikat pada ketiga hukum itu, Soren. Theo dan Eleanor menciptakanmu dengan berbeda."
"Benar, tapi maksudku... kali ini... aku sudah... betul-betul memutuskan," Soren berkata tergagap-gagap karena gugup. "Aku bisa membeli tiketnya sekarang juga... Ichiro sudah pergi bersama Ren..." Dia mengangguk dalam-dalam, seperti meyakinkan dirinya sendiri. Air hujan menetesi bulu matanya yang panjang. "Aku penasaran Reykjavik itu seperti apa..."
"Dingin dan sepi. Semuanya serba mahal di sana. Kau mungkin tak akan suka."
"Entahlah..." Soren mengusap-usap lengannya. "Kurasa tidak ada salahnya mencoba hal baru."
Aku tersenyum mendengar itu dan menyorongkan payungku ke atas kepalanya, seperti yang pernah kulakukan waktu itu. Melihat itu, Soren membalas senyumku. Kebahagiaan memancar dari senyumnya itu.
Sekonyong-konyong aku tahu, semuanya akan baik-baik saja.
- TAMAT -
6 Desember 2021
https://youtu.be/wrNTOo4KH8c
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top