28. Jati Diri

Irving mengecek ponselnya dan melihat lima titik merah yang sedang bergerak menuju markas Hitobot. Dia tidak bisa membaca pikiran para produk itu seperti bosnya, tetapi radar itu cukup memberitahunya bahwa dia harus bergerak cepat.

Ikatan itu terlalu kuat.

Awalnya Irving meragukan ikatan antara kesepuluh produk itu. Sebagai tangan kanan Aya Takeuchi, Irving tahu semua detail tentang Proyek Deus. Namun dia tidak mengira bahwa sensor yang sengaja ditanamkan di dahi kesepuluh produk itu sanggup membentuk ikatan yang sangat kuat sampai-sampai mereka bisa saling baca pikiran masing-masing.

Untung O'Sullivan memberitahuku soal kemampuan telepati itu. Apa ini yang direncanakan Takeuchi?

Bosnya itu selalu berhati-hati dalam memutuskan dan cenderung tidak mau mengambil risiko. Namun kejadian di Anchor Knight membuat risau bosnya, dan seorang Aya Takeuchi selalu punya rencana B.

Ponselnya berdering. Irving tersentak dan menekan suatu tombol kecil di belakang telinganya. Dia mengecek ponselnya.

Ternyata cuma pesan singkat.

'Irv, apa kau melihat kartu ID-ku? Sudah seharian aku tidak melihatnya.'

Si jalang ini pasti lupa lagi di mana menaruh kartu ID-nya! Irving membalas, 'Apa perlu saya ambilkan yang baru, Ma'am?'

'Tidak perlu. Pasti tercecer di suatu tempat. Akan kucari lagi.'

Baguslah! Irving menekan balik tombol tadi.

Dia mengamati wajahnya di cermin. Sisi kiri wajahnya berbeda dengan sisi kanannya: di sebelah kiri adalah wajah seorang pria bermata biru, dengan hidung besar dan tulang pipi yang tinggi; sementara di sebelah kanan, seorang pria bermata hitam dan berhidung bengkok balas menatapnya. Wajah si pria bermata biru mulus dan terawat, sementara kulit si pria bermata cokelat penuh dengan bekas luka.

Macet lagi. Irving memencet tombol di belakang telinganya beberapa kali. Sial! Aku harus menggantinya dengan yang baru.

Pintu kamar kecil itu terbuka, dan dua orang pria masuk. Irving bergegas membenamkan wajahnya di ceruk westafel dan menyalakan keran, berpura-pura mencuci muka. Dia menunggu sampai dua pria itu selesai, lalu menengadah ke arah cermin lagi. Wajahnya sudah tidak setengah-setengah seperti tadi. Saat ini yang terpantul di cermin adalah si pria bermata biru dengan kulit mulus.

Halo, Irving.

Ponselnya berbunyi lagi. Irving menyambarnya sebelum deringnya menarik perhatian orang-orang. Kali ini sebuah reminder.

'Perayaan kemenangan di lantai 3. John yang traktir.'

Irving mematikan layar ponselnya. Padahal seluruh data sudah dihapus, tetapi sepertinya kalender di ponselku masih tersambung. Dia mengemasi barang-barangnya dan masuk ke sebuah bilik kosong sambil menahan tawa mengingat ekspresi terakhir John Dallas. ARC terlalu yakin serangan di Anchor Knight itu bakal berhasil sampai-sampai sudah merencanakan pesta kemenangan. Namun mereka gagal. John Dallas tewas.

Aku sendiri yang memastikan dia tidak bernapas lagi.

Yah, salah John juga, sih. Dia terlalu mudah percaya pada orang lain.

Sambil duduk di atas tutup kloset, Irving mengecek ponselnya sekali lagi, untuk memastikan tidak ada sisa-sisa informasi tentang ARC yang tertinggal. Bisa gawat kalau sampai ketahuan. Mereka akan menangkapku.

Setelah betul-betul yakin ponselnya sudah aman, Irving bersandar di tangki kloset dan mengembus. Kalau dipikir-pikir, pekerjaannya ini melelahkan dan amat berisiko, tetapi semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan keuntungan yang bisa dikeruknya. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Itu kan yang selalu mereka bilang?

Tapi setelah ini aku hanya akan bersenang-senang, pikir Irving sambil mengisi pistol di ikat pinggangnya dengan peluru. Ini adalah bagian terakhirnya. Setelah ini tidak ada lagi penyamaran. Tidak ada lagi Lonnie atau Irving. Yang ada hanyalah Lou Irving.

Atau sebaiknya aku mengganti nama?

Bagian ini jadi agak problematik, karena Irving menyukai kedua namanya. Lou berakar dari bahasa Jerman kuno, yang berarti pejuang ternama. Dan Irving adalah nama keluarga yang sudah diturunkan dari nenek moyangku di Skotlandia. Dia begitu cinta dengan namanya sehingga memakainya untuk kedua identitasnya; sebagai Lou saat bergabung dengan ARC, dan sebagai Irving Smith saat melamar sebagai asisten pribadi Aya Takeuchi. Dia terpaksa memodifikasinya sedikit untuk Hitobot, karena mereka menyelidiki calon karyawan dengan teliti. Tapi toh mereka percaya. Padahal Smith itu marga paling umum se-Inggris. John Dallas sendiri tidak banyak komplain dengan namanya. Di tahun pertama bergabung dengan ARC, John memanggilnya Lou, tetapi setelah melihat kinerja Lou yang luar biasa dalam membantai robot, dia mendapat julukan Lonnie—si sinting.

Kalau dipikir-pikir, Lou dan Irving menjalani dua kehidupan yang berbeda, pikir pria itu sambil mengarahkan pistolnya ke langit-langit, berpura-pura menembak. Lonnie seorang maniak tukang jagal robot, sementara Irving bekerja membuat robot. Kedua sosok itu hidup dengan selaras dalam diri Lou "Lonnie" Irving, muncul berganti-gantian sesuai keperluan. Dan tombol di belakang telinganya itu mampu mengubah-ubah wajahnya dari Lonnie menjadi Irving hanya dengan sekali tekan. Alat yang bagus. Idenya dari ARC, tetapi Hitobot punya teknologinya, jadi kenapa tidak digabungkan saja?

Bukan berarti Irving peduli pada integrasi robot dalam kehidupan manusia. Dia hanya tidak mengerti kenapa ARC dan Hitobot harus berseteru; menurutnya para robot itu tidak perlu terlalu diambil pusing. Bukankah kita membuat mereka untuk membantu kita sendiri? John Dallas yang benci setengah mati pada robot membuat Irving tak habis pikir—kehidupan akan lebih sulit jika tak ada robot. Sebaliknya, Aya Takeuchi yang terlalu mengagung-agungkan robot juga terkesan delusional—kenapa harus menjadikan mesin sebagai Tuhan?

Irving bangga menyebut dirinya sebagai sang diplomat dalam perseteruan kekanakan antara ARC dan Hitobot ini. Dia tahu persis mustahil John Dallas dan Aya Takeuchi berbaikan, jadi diam-diam Irving berinisiatif jadi "penengah". Ambil bagian terbaik dari keduanya, lalu manfaatkan untuk keuntungan pribadi, begitu kira-kira prinsip Lou Irving. Hitobot memproduksi robot, dan ARC menghancurkan robot, itu tugas resmi keduanya. Lalu siapa yang bertugas mengurus bangkai para robot itu? Seseorang harus "membereskannya," kan?

Pasar gelap spare parts robot di luar negeri adalah ladang emas. Sudah lima tahun Irving berhubungan baik dengan para penadah Pihak Timur, menyuplai mereka dengan teknologi robotik terbaru yang dipretelinya dari bangkai para robot. Irving tahu Pihak Timur berambisi menguasai dunia—kesakitan di hati Xi Jinbing sang pemimpin Pihak Timur sudah tak tertahankan lagi melihat dominasi Pihak Barat selama berabad-abad. Dan untuk menjadi penguasa, mereka perlu pasukan yang tepat. Para robot itu jawabannya.

Irving bahkan menerima pesanan khusus. Misalnya ketika Xi Jinbing butuh robot yang tidak perlu di-charge seminggu sekali, Irving akan mengusulkan ide itu pada Aya Takeuchi. Kita butuh produk yang lebih hemat energi, Ma'am. Ongkos listrik meningkat, pengisian daya seminggu sekali itu sangat tidak efisien.... Aya Takeuchi selalu mendengarkan timnya, jadi dua minggu kemudian, muncul robot yang hanya perlu di-charge sekali sebulan. Selanjutnya Irving akan pergi ke John Dallas (sebagai Lonnie, tentu), dan mengkisiki pemimpin ARC itu tentang robot baru Hitobot. Ini ancaman, John! Bayangkan, robot yang hanya perlu di-charge sekali sebulan! Hitobot betul-betul berambisi menjadikan robot sebagai raja atas manusia! Kita harus mengebom mereka lagi!

Irving membekap mulutnya dan tertawa. Dua orang idiot.

Ada lagi yang masuk ke kamar kecil. Irving menghentikan tawanya dan menghibur diri dengan membayangkan peperangan antara Pihak Timur dan tentara robot Hitobot di Laut Cina Selatan sana. Dia tak peduli jika Pihak Timur memakai teknologi hasil curiannya untuk perang. Toh Bumi sudah hancur. Manusia punya kebiasaan buruk yang tanpa mereka sadari, sebetulnya menghancurkan diri mereka sendiri, kan? Jadi untuk apa berusaha memperbaiki kerusakan, seperti Aya Takeuchi? Spesies kita sudah tidak bisa ditolong lagi. Kalau sudah hancur sedikit, lebih baik dihancurkan saja semuanya, kan?

Terkadang Irving merasa sebagai oportunis, tetapi baginya tak ada yang salah dengan sebutan itu. Sama seperti para penyintas kedua Bencana Besar lainnya, Irving hanya ingin hidup yang sederhana, tanpa banyak huru-hara. Tapi hidup seperti itu tidak akan bisa terwujud tanpa aliran dana yang pasti. Lima tahun lalu, dia hanyalah seorang mantan mekanik yang kepayahan mencari pekerjaan. Sampai suatu hari di tengah bulan Desember yang membekukan, dia melihat beberapa tunawisma dengan sengaja menjerat sebuah robot dan mencabut resistornya untuk dijadikan penghangat. Pembunuhan robot di depan matanya itu menginspirasinya.

Ini hukum ekonomi. Jika ada demand, maka akan selalu ada supply. Aku hanya perlu menemukan pembeli yang tepat.

Sejak saat itu, Irving memtuskan untuk bekerja pada dua pihak yang paling bertanggung jawab soal robot: Hitobot dan ARC. Dia punya ide untuk jadi agen ganda, dan ide itu akan sangat sukses jika penyamarannya tidak terbongkar. Dan dia membuktikan bahwa menjadi pemain di kedua kubu itu lebih menguntungkan ketimbang hanya memihak salah satunya.

Sejauh ini hidup Irving yang bolak-balik di antara dua dunia itu baik-baik saja, sampai enam bulan lalu, saat Aya Takeuchi mengumumkan Proyek Deus. Saatnya kita mencoba lagi, Irving ingat Takeuchi bilang seperti itu. Mari membuat robot yang lebih manusiawi. Kita buat mereka mampu mempelajari emosi manusia.

Seandainya pencetus ide itu bukanlah seorang Aya Takeuchi, pasti dia sudah dicemooh habis-habisan. Robot tidak bisa merasakan, Irving tahu persis soal itu. Mereka bisa memprediksi bahaya, tetapi tidak merasakan takut. Mereka tahu apa yang membuat manusia senang, tetapi tidak bisa ikut larut dalam kebahagiaan. Mereka diprogram untuk melayani dengan patuh, tetapi buta sama sekali soal ketulusan hati atau kesetiaan. Dan mereka paham tentang nyawa makhluk hidup, tetapi tidak bisa memaknai eksistensinya.

"Tapi mereka sanggup mempelajari apa pun," begitu kata Takeuchi saat Irving mengutarakan keberatannya, "termasuk emosi manusiawi. Selama ini kita berusaha membuat robot yang mampu merasakan, dengan memprogram perasaan itu ke dalam otak si robot. Emosi tidak bisa diprogram. Kita berikan para robot itu kesempatan untuk mempelajari emosi, dengan memasangkannya pada manusia. Guru piano terbaik sudah tentu adalah seorang pemain piano, bukan ahli membuat piano."

Robot-robot yang sanggup mempelajari emosi ini mengancam pemasukan Irving. Kalau mereka bisa merasakan ketakutan, kesedihan, belas kasih, amarah, dan duka, mereka tidak bisa jadi pasukan yang andal. Presiden Xi tak akan suka. Dia butuh pasukan robot yang patuh sepanjang waktu, yang siap bertarung tanpa banyak cincong, yang mau membunuh siapa pun tanpa keraguan.

Maka Irving pun bertindak. John Dallas agak mirip Aya Takeuchi soal tantangan baru—Irving yakin pemimpin ARC itu akan berhati-hati menyikapi para robot itu. Jadi Irving membisiki para partisipan ARC soal Proyek Deus, sekaligus membocorkan lokasi dan identitas kesepuluh produknya. Menghancurkan robot adalah tugas ARC, Irving tidak sudi mengotori tangannya. Lalu orang-orang ARC yang pada dasarnya berdarah panas itu mulai bergerak, membantai Arthur, Tracy dan yang lainnya, sampai berita itu sampai ke telinga John.

Sialnya, John malah terobsesi pada Eva!

John pernah keceplosan menyebut Eva sebagai gadis malaikat. Irving tak bisa membiarkan itu. Kalau John Dallas sampai terlena, pekerjaanku bisa terancam.

Jadi kemarin sore, saat menyusul Eva ke Anchor Knight, Irving menyusun rencana untuk menghabisi John Dallas. Aku sudah tidak memerlukannya. Dia terpaksa harus memfitnah Margaret O'Sullivan sebagai agen ARC supaya Aya Takeuchi tidak curiga. Saat menembakkan dua peluru ke jantung John Dallas yang sudah menganggapnya sebagai saudara kandung, Irving tidak merasakan apa-apa. Dia hanya melakukan apa yang perlu dilakukan.

Dan sekarang, tersisa tujuh robot lagi.

Kabar baiknya, keenam produk Proyek Deus yang lain sedang menuju kemari. Mereka pasti menyusul Eva. Aku hanya perlu mengumpulkan mereka ke suatu ruangan, dan memasang peledak. Lagi-lagi kali ini Irving punya calon sempurna untuk dikambinghitam. Soren Adam, pria yang membosankan itu. Dia benci pada robot. Aku tinggal bilang Soren yang melakukan semua itu.

Irving tertawa dalam hati membayangkan rencananya itu. Semuanya berjalan sempurna sejauh ini. Tinggal bagian terakhirnya saja.

Pria keluar dari bilik kamar kecil sambil bersiul-siul, kemudian menuju ke kafetaria, tempat Eva sedang menunggu.

...

Lewat pantulan kaca di tempat cuci tangan, aku melihat Irving datang lagi. Kali ini dia bersiul-siul, sepertinya sedang gembira. Wah, ada apa, ya? Apa dia sudah berhasil membujuk Soren untuk bertemu denganku?

"Hei, Eva." Irving menepuk pundakku. "Ada berita bagus."

Nah, ini dia. "Apa?" tanyaku sambil memasang tampang bloon.

"Aku sudah bicara dengannya. Soren tidak keberatan bertemu denganmu sebelum mengantar ibunya ke Anchor Knight. Tapi cuma sebentar saja."

"Oh!" Tuh, kan. Apa kubilang? "Itu bagus sekali!"

"Kalau begitu, ayo!" Irving bangkit berdiri dan menyilakanku keluar pintu. "Aku akan mengantarmu ke lantai dasar. Soren menunggumu di sana."

Aku mengiyakan ajakan itu, dan berjalan ke arah pintu. Lewat sudut mataku, kuperhatikan beberapa orang di kafetaria juga ikutan berdiri. Oke, ini tidak bagus.

Kami tiba di koridor. Irving melambaikan kartu ID-nya di lift yang butuh akses khusus. "Pakai lift yang ini saja supaya ekspres. Kau pasti sudah tak sabar bertemu dengan Soren, kan?"

"Terima kasih. Kau perhatian sekali."

Dua pria yang mengekorku dari kafetaria juga masuk ke dalam lift. Kuatur ekspresi wajahku supaya tetap tenang. Mereka tidak boleh melihatku panik. Tanpa kentara, kuperhatikan pinggang Irving dan dua pria itu. Ikat pinggang mereka masih terpasang, dan aku tahu persis apa yang terselip di sana.

Tidak ada yang berbicara sepanjang perjalanan ke lantai dasar. Irving masih bersiul-siul, sementara dua orang pria yang lain kelihatan tidak begitu peduli.

"Apa Miss Takeuchi ada di lantai dasar juga, Irv?"

"Tidak, dia masih menelepon di kantornya. Ada apa, Eva?"

Dia satu-satunya yang bisa membantuku! "Bukan apa-apa."

Kami tiba di lantai dasar. Lift berdenting terbuka, dan lagi-lagi Irving menyilakanku keluar duluan. "Ladies first," katanya sopan.

Aku mengangguk sambil pura-pura tersenyum ramah. Siapa pun, tolong kami!

Tiba-tiba di persimpangan koridor, Irving menyerobotku. Dia menunjuk sebuah ruangan di sebelah kiri dan membuka pintunya. Apa dia tahu aku berencana lari ke luar dan meminta bantuan polisi?

"Ah," Irving mencebik. "Rupanya Soren masih di lantai enam. Bagaimana kalau kau tunggu dia di sini? Aku akan memanggilnya."

"Bagaimana kalau aku saja yang menyusulnya ke atas?"

"Entahlah, Eva." Irving meringis. "Kau bilang padaku kalau Soren itu moody, kan? Jangan-jangan dia berubah pikiran kalau kau mendatanginya."

Kau ingin menahanku di sini. "Baiklah. Kurasa kau benar. Tolong pakai lift ekspres yang tadi, ya? Aku sudah tak sabar bertemu dengan Soren."

"Tentu. Aku tak akan lama."

Irving mohon diri sambil tersenyum lebar. Aku pura-pura duduk di sofa dan mengamati lukisan di dinding saat pria itu keluar. Ada bunyi ceklikan halus saat pintu itu dikunci dari luar.

Sudah kuduga.

Aku mengendap-endap mendekati pintu dan mengintip lewat celah kaca di daunnya. Dua pria yang mengikuti kami berjaga di depan pintu itu, masing-masing di sebelah kanan dan kiri.

Oke, kau harus tenang, Eva.

Perjalanan dari kafetaria di lantai tujuh menuju lantai dasar memakan waktu tiga menit dengan lift bebas hambatan itu. Berarti dari lantai enam menuju ke sini butuh waktu yang lebih singkat, kira-kira dua setengah menit. Berjalan kaki dari lift ke persimpangan koridor butuh lima belas detik.

Artinya dalam dua menit lima belas detik, Soren akan lewat di koridor ini.

Aku mulai menghitung.

Detik-detik berlalu dengan menegangkan. Begitu hitunganku melewati satu menit, aku mengeluarkan kartu ID yang kusimpan di saku celanaku. Kartu itu bertuliskan 'Aya Takeuchi.' Aku mencurinya saat wanita itu mampir di kamarku tadi malam. Kartu ini akan membuka semua pintu yang terkunci di gedung ini. Aku memerlukannya untuk pelarianku.

Kutempelkan kartu itu ke sensor kunci di pintu. Kuncinya menceklik terbuka. Kubuka pintu itu dengan sekuat tenaga. Kedua pria yang menjaganya terlonjak kaget. Mereka tidak menyangka aku akan kabur.

"Hei, kau! Mau ke mana?"

Aku lari tunggang langgang. Soren seharusnya sudah sampai di ujung koridor. Aku hanya perlu menghampirinya.

Terima kasih Tuhan!

Soren baru muncul di ujung koridor, Irving mengikutinya dari belakang. Jackpot! Aku tidak melihat Eleanor. Irving terbelalak melihatku, dan dia bergerak cepat. Soren juga kaget melihatku berlari ke arahnya, tetapi tidak ada waktu untuk menjelaskan. Irving mencabut sesuatu dari ikat pinggangnya.

"SOREN, AWAS!"

Gerakan Irving sangat luwes, bukan seperti seorang sekretaris. Tiba-tiba pistol yang bersarang di ikat pinggangnya itu sudah teracung ke belakang kepala Soren. Aku menerjang Soren supaya dia tiarap, tetapi Irving terlalu cepat.

DHUAR!

Aku terjatuh ke lantai, menimpa Soren. Irving juga oleng ke belakang karena terjangan kami. Rasa sakit yang menyebar dari pundakku ke sekujur tubuhku membuatku tersadar.

Irving tidak menembak Soren.

Pria itu baru saja menembakku.

Soren menggeliat membebaskan diri. Dia membalikkan tubuhku dan terngaga. "Eva..." Tangannya yang menahan pundakku berlumuran cairan merah kental. "Kau berdarah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top