25. Kejutan


"Soren?"

Soren membuka mata dan tersentak. Pemandangan yang dilihatnya terasa asing. Di mana ini? Ini bukan kamarku.

Setelah mengerjap beberapa kali, barulah dia sadar bahwa ini kamar ibunya. Aku sedang bersembunyi di Anchor Knight. Pesta nikah Esmé yang kacau balau itu... Meg membawaku dan Eva ke sini, untuk menghindari orang-orang ARC.

Soren menoleh dan melihat ibunya di sebelahnya. Wanita itu sedang berada di kursi roda. Di belakang, televisi menyiarkan serial drama zaman dulu.

"Mum..." Eva tidak kelihatan. "Di mana Eva?"

"Dia bersama Meg."

Soren duduk. Dia baru menyadari bahwa dia sedang berbaring di ranjang ibunya. "Mum, maaf. Aku ketiduran di ranjangmu."

Eleanor tersenyum maklum. Dia menunjuk poci teh yang masih beruap dan satu cangkir kosong, menawarkan teh. Soren menggeleng, dia tidak kehausan.

"Kau bermimpi buruk, ya?" tanya Eleanor. "Aku mengamatimu."

Soren mengangguk malu.

"Mimpi tentang kejadian hari itu, ya?"

"Bagaimana kau masih mengingatnya, Mum?" Soren pindah ke kursi tamu karena merasa bersalah. "Bukankah seharusnya kau sudah... melupakannya?"

"Ada hal yang ditakdirkan untuk tidak dilupakan." Eleanor bertumpu di pinggir kursi rodanya dan pindah ke kursi malas di depan putranya. "Kuharap aku bisa melupakannya, tetapi tidak bisa. Aku bisa tidak ingat kapan ulang tahunmu, ulang tahunku sendiri, atau bahkan tanggal hari ini... tetapi untuk yang satu itu, aku tidak bisa..."

Kuharap aku juga bisa melupakannya, pikir Soren. "Kau mau istirahat, Mum? Udaranya dingin."

Eleanor menggeleng. "Aku minta maaf."

"Tidak perlu." Soren membelai tangan ibunya. "Kita sudah sering membahas ini. Itu sebuah bencana. Kau juga menjadi korban. Bukan salahmu. Bukan salah siapa-siapa."

Eleanor menggeleng-geleng dengan sedih. Dia menggeser kursinya dengan susah payah ke arah Soren dan memeluk pria itu. "Aku pantas disalahkan untuk ini. Suatu hari kau akan mengerti, dan kuharap kau sudi memaafkanku."

"Mum, apa yang kau bicarakan?"

Eleanor tersedu-sedu di bahu putranya. Soren memeluk balik ibunya, dan mengusap-usap punggungnya yang mulai bungkuk. Ibunya jarang membahas tsunami itu, dan Soren mengira Eleanor sudah melupakannya. Mungkin Mum mengingat hal yang berbeda. Pasien demensia bisa terkenang akan peristiwa yang menyedihkan, dan ingatan itu tak bisa lepas dengan mudah.

Ibu dan anak itu berpelukan selama beberapa menit. Soren tidak yakin apakah ibunya sedih, kecewa atau menyesal; tampaknya ketiga perasaan itu telah bercampur menjadi satu dalam tangis Eleanor.

Dengan hati-hati Soren melepaskan pelukan ibunya dan membimbingnya kembali ke tempat tidur. Kalau begini terus, Mum bisa kelelahan.

"Mum, berbaringlah. Aku akan mencari Eva."

Eleanor masih menangis dengan pilu. Soren terpikir untuk mengalihkan pikiran ibunya dari kesedihan apa pun yang sedang dikenangnya. Dia tidak perlu mengingat-ingat apa pun. Di sini, semuanya aman.

"Kau tahu, Mum... Eva itu sebuah android. Dia robot."

Tangis Eleanor semakin keras.

"Mum, kau mendengarku? Eva berbohong padamu. Dia tidak berasal dari Islandia. Hitobot yang mengirimnya."

"Aku minta maaf..." Eleanor terisak sampai terbungkuk-bungkuk. "Aku minta maaf..."

Hanya itu yang diucapkannya berulang-ulang.


...


John Dallas turun dari mobil dan menatap bangunan di hadapannya.

Anchor Knight.

Perasaannya melambung karena senang. Rasanya seperti akan bertemu malaikat.

Para pasukannya juga sudah turun. Tidak tanggung-tanggung, hari ini John membawa seratus orang, dan semuanya bersenjata. Dia merasa ini akan jadi puncak kariernya. Saat ini orang-orang itu mungkin belum sadar, tetapi setelah mereka melihat robot macam apa yang sedang bersembunyi di sini, mereka akan berterima kasih padaku.

Semuanya akan lengkap.

"Kita serang sekarang?" tanya Lana, yang hari ini ikut terjun langsung.

"Di mana sopan santunmu, Lana? Kalau kita menggerebek sekarang, kita hanya akan bikin para oma opa di dalam sana kena serangan jantung," kata John, setengah bercanda. "Kita tunggu kabar dari Lonnie, barulah kita mengetuk pintu."

John sudah menyuruh tangan kanannya itu untuk membuntuti Eva, dan hari ini Lonnie berhasil. Selama ini Lonnie sudah bekerja dengan maksimal, hanya saja rencananya selalu gagal di saat-saat terakhir. Acara ulang tahun lah, serangan bom dadakan lah, pesta nikah lah... Namun hari ini Lonnie sudah berhasil. Aku akan menaikkan pangkatnya menjadi wakilku, pikir John bangga.

Lana menunjuk ke seberang jembatan. "Itu Lonnie!"

Lonnie sedang berlari ke arah mereka. Pakaiannya agak berantakan, seakan Lonnie baru saja menukarnya saat John datang.

"Nah, bagaimana?" tanya John saat Lonnie tiba.

"Sistem pengamanannya lumayan ketat," kata Lonnie. "Tak bisa langsung menerobos. Alarm akan menyala dan jembatan ini akan diputus."

John mengerti apa yang dikatakan Lonnie. Anchor Knight terletak di atas sebuah bukit yang dikelilingi danau. Satu-satunya akses masuk lewat darat adalah melalui jembatan ini, sisanya lewat udara atau danau. Kalau jembatan ini diputus, maka kita akan terkurung di sana.

"Apa saranmu, Lonnie?"

"Ada satu jalan rahasia lewat bawah danau," Lonnie menunjuk ceruk kecil di lereng bukit yang tertutup batu karang dan ilalang. "Kau dan aku bisa masuk lebih dulu, John. Aku akan mematikan alarmnya, dan kau bisa meringkus si robot."

"Aaah!" Lana mengerang sebal. "Kenapa cuma John? Nggak seru! Padahal kita sudah ramai-ramai ke sini! Aku ingin memenggal kepala robot!"

"Cuma itu caranya," kata Lonnie serba salah. "Aku akan mengontak kalian kalau alarmnya sudah dimatikan."

John memikirkan usul itu. Alarm itu pasti akan memanggil polisi. Kalau kita terkurung di sana, kita semua akan tertangkap. ARC akan tamat.

"Aku setuju. Tunjukkan jalannya, Lonnie!"

Lonnie mengangguk cepat-cepat dan memimpin jalan menuju ceruk itu. John mengikutinya. Mereka mencari-cari pijakan di tepi jembatan batu itu, dan mulai turun menuju semak-semak ilalang setinggi bahu. Saat menginjak tanah yang basah dan licin, John mendongak ke atas. Para pasukannya di atas jembatan tidak terlihat lagi dari situ.

Lonnie mengisyaratkan John untuk mengikutinya.

"Dari mana kau tahu tentang jalan rahasia ini, Lonnie?"

"Internet. Kau kan memintaku menyelidiki."

"Kerjamu bagus."

"Trims, sobat!"

Ceruk itu berada lima puluh meter dari pangkal tiang jembatan. Bentuknya seperti jurang yang menganga, tetapi ternyata tidak dalam.

"Di sini." Lonnie menunjuk sebuah tangga karatan yang menurun. John mengangguk. Dia mengikuti Lonnie menuruni tangga itu.

Di dalam ceruk ternyata ada sebuah terowongan. Tempat itu gelap, lembab dan apak, layaknya ruang yang sudah lama tidak berpenghuni. Tidak ada penerangan apa pun dan John tidak mau ambil risiko dengan menyalakan lampu. Jadi dia hanya memakai suara langkah Lonnie sebagai panduan. John harus membungkuk karena langit-langitnya rendah, dan berhati-hati supaya kepalanya tidak terbentur. Lonnie sendiri bergerak cepat seperti ular.

Setelah lima menit perjalanan, mereka sampai di sebuah selasar berdinding batu. Jalannya bercabang dua, dan menanjak ke atas, mengarah ke dua pintu baja.

"Kita sudah persis di bawah mereka," Lonnie menunjuk pintu di sebelah kiri. "Pintu itu akan mengantarmu ke koridor yang tembus ke kamar-kamar. Robot incaranmu ada di kamar nomor dua puluh empat. Aku akan ke kanan. Pintu kanan mengarah ke ruang kantor. Sistem pengamannya ada di sana. "

"Oke." John menepuk pistol di pinggangnya.

"Nah, kalau begitu... sampai bertemu, John."

John mengangguk dan mulai berjalan menuju pintu sebelah kiri. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Lonnie, jam berapa kita bertemu kemba—"

Sesuatu yang keras menusuk dadanya, disusul letupan tanpa suara yang hanya bisa dirasakan John. Dia melihat Lonnie mengacungkan sebuah pistol, dan merasakan sebuah peluru yang menerjang ke dalam tubuhnya, tepat ke dalam jantungnya, dan merobek-robeknya.

Letupan kedua menyusul. Masih tetap diam, tanpa suara. Hanya saja kali ini John sudah tidak merasakan apa-apa lagi.

Lonnie menonton bosnya yang gagah itu ambruk ke lantai, kedua matanya masih terbuka lebar-lebar. Senyum bangga karena mengira telah berhasil mencapai tujuan masih tersungging di wajahnya.

Lonnie melangkahi mayat John dan menuju ke pintu sebelah kiri. Dia menembak kuncinya memakai pistol yang telah dilapisi peredam, lalu membuka pintunya. Seketika suara alarm keamanan bergema di seluruh bangunan.


...


Soren mendengar suara alarm itu. Para penghuni kamar beserta tamu-tamunya berhamburan keluar, wajah mereka tampak bingung dan kaget.

"Kebakaran?" tanya seorang laki-laki bungkuk. "Di mana apinya?"

"Kita diserang ARC!" Suara Siobhan bergema lewat pengeras suara. "Semuanya menuju ke ruang rekreasi untuk evakuasi. Berjalanlah dengan teratur, jangan berdesak-desakkan."

Seorang wanita menjerit. Para penghuni Anchor Knight tak perlu diberitahu siapa itu ARC—mereka rutin menonton berita sehingga tahu persis sepak terjang organisasi kriminal yang beringas itu.

Soren langsung siaga. Perasaan dejavu yang begitu akrab menyerangnya. Tsunami itu. Dad...

Tanpa memedulikan instruksi Siobhan, orang-orang itu bergegas berduyun-duyun menuju ke aula. Soren berputar ke kamar nomor dua puluh empat untuk menjemput ibunya, tetapi dia terhadang kerumunan yang bergerak ke arah sebaliknya. Susah payah dia menyelinap, tubuhnya tertabrak-tabrak tongkat jalan, kepala-kepala, dan tubuh-tubuh lainnya. Sebuah kursi roda meluncur dan melindas kelingking kakinya.

Dalam sekejap saja, suasana telah berubah kacau.

"MUM?" Soren berteriak, berharap ibunya bisa mendengarnya. Kali ini harus selamat. Tak boleh ada yang meninggal! "MUM?"

Dari kamar nomor dua puluh empat, Soren melihat ibunya tertatih-tatih keluar. Dia menerobos lautan manusia itu dan menggendong ibunya.

"Kau dengar itu, Soren? ARC ada di sini!"

"Mereka mencari Eva, Mum."

"Kau harus sembunyi, Soren!" kata Eleanor tidak jelas. "Tinggalkan aku. Bersembunyilah!"

Soren tidak mengacuhkan ibunya. Dia bergabung bersama dengan para penghuni panti dan tamu-tamu lainnya di ruang rekreasi yang waktu itu dipakai untuk perayaan Hari Orangtua. Tempat itu padat. Siobhan berdiri di atas meja dan meminta orang-orang untuk tetap tenang. Beberapa lansia sampai sesak napas dan perlu memakai masker oksigen karena ketakutan.

Soren berjinjit tinggi-tinggi untuk mencari Meg. Di mana Meg? Sejauh mata yang tampak hanyalah rambut-rambut kelabu. Tidak ada rambut merah jambu. Dia juga tidak melihat Eva. Jangan-jangan Eva sudah tertangkap...

Tiba-tiba terdengar derap langkah dari koridor. Berbeda dengan langkah-langkah penghuni panti yang serabutan, yang ini kedengaran teratur, seperti tentara. Semua orang menahan napas karena tegang. Soren memeluk ibunya erat-erat. Apa orang-orang John Dallas sudah menerobos masuk?

Tiga orang pria berseragam polisi muncul di pintu. Kemunculannya seolah mengalirkan kembali oksigen ke dalam ruangan, yang sebelumnya sempat tertahan karena ketegangan.

"Ikuti kami!" kata polisi berbintang pangkat yang agaknya kepala pasukan itu. "Gerbang masuk sudah diblokade ARC. Kita keluar lewat pintu belakang!"

"Kita selamat!" pekik salah satu perawat dengan haru. "Terima kasih Tuhan!"

Lebih banyak polisi yang datang. Mereka membimbing orang-orang itu keluar. Dari tengah-tengah pasukan itu, seseorang yang berpakaian serba hitam menyeruak dan berlari ke arah Soren. Soren tidak menyadari kalau sosok asing itu seorang wanita, sampai dia berbicara.

"Mr. Clarkson, saya Aya Takeuchi, direktur Hitobot..." teriak wanita itu untuk mengatasi hiruk-pikuk di sekelilingnya. "Tolong ikut saya sekarang juga. Saya akan membawa Anda ke tempat yang aman."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top