24. Ayah


"Tidak apa-apa, Soren. Kemarilah..."

Kumpulan materi berwarna biru gelap itu bergulung-gulung menghempas pasir, menyeret sebagian pasir saat mereka kembali ke asalnya seperti ingin pamer kekuatannya. Raungannya lantang, tegas, tetapi berirama, seolah-olah sang raksasa biru itu punya metronome alami di dalam dirinya.

Dad menjulurkan tangannya padaku. "Itu cuma air."

Cuma air.

Laut yang sama memecah kapal kami dua tahun yang lalu dan menyeretku ke dasarnya. Aku masih ingat sensasi dingin saat aku tenggelam; lembut tapi kejam, merasuk ke setiap pori-poriku. Di permukaan aku bisa melihat bongkahan kayu yang tercerai-berai, sisa-sisa kapal dayung kami. Sesaat semuanya tampak indah, dan aku bisa menikmatinya. Jadi ini rasanya tenggelam, begitu pikirku kala itu. Lalu gelembung-gelembung udara yang keluar dari mulutku bertambah banyak, cahaya suram di permukaan meredup, dan paru-paruku seolah mau meledak. Aku membuka mulut untuk menarik napas, tetapi malah memuntahkan lebih banyak gelembung. Rasa asin dan pahit air mencuci lidahku, mataku perih, perutku bergejolak, kakiku menggila menendang-nendang air. Aku terus melayang jatuh. Aku tahu aku akan mati.

"Soren?"

Wajah Dad muncul di depanku. Di balik alisnya yang tebal, matanya yang biru cerah seperti mataku kelihatan cemas.

"Dad, kurasa... aku mau pulang saja."

"Aku tahu ini sulit bagimu, tapi aku ingin setidaknya kau mencoba."

Aku tidak bisa. Setiap kali melihat ombak berdebur di pantai, aku merasa air itu akan turut menarikku lagi ke dasarnya.

"Maaf waktu itu aku melepaskanmu."

"Kau tidak perlu minta maaf, Dad. Kapal kita terguling, dan kau juga pingsan karena kepalamu terbentur dayung. Itu bukan salah siapa-siapa."

Di balik jenggotnya, kulihat bibir Dad bergetar. Dia mengulurkan tangannya padaku sekali lagi. "Kali ini, aku tak akan melepaskanmu."

Kutatap telapak tangan Dad. Telapak tanganku sudah sebesar tangan Dad, tetapi tangan Dad lebih tebal dan kokoh, seperti dipahat dari batang pohon. Garis-garis tangannya tergurat dengan tegas, dan ada kapalan di sudut-sudut lekukan jemarinya akibat ratusan jam bekerja dengan mesin.

"Ah." Dad mendesah dan mengepalkan tangannya. "Seorang pria muda sepertimu pasti tidak ingin berpegangan tangan dengan ayahnya. Maaf. Seharusnya aku tahu ini memalukan."

Sejujurnya aku tidak begitu keberatan. Sudah entah berapa kali tangan Dad yang kuat mendukungku ketika aku merasa tidak keruan. Dad adalah Dad—ayahku. Itu tidak akan berubah sekalipun aku berumur lima puluh tahun.

"Bagaimana kalau begini?" Dad mengalungkan lengannya di bahuku.

"Mm... ya, kurasa itu oke."

"Kita lakukan pelan-pelan, ya? Selangkah demi selangkah."

"Baiklah."

Dad membimbingku menuju pesisir pantai. Berkali-kali aku ingin mundur, tetapi tangan Dad menyangga bahuku. Tidak ada dorongan atau paksaan, hanya dukungan—keberadaan tangan yang kuat itu menyadarkanku bahwa aku boleh-boleh saja mundur, bahwa itu sama sekali bukan masalah.

Namun aku tetap maju. Selangkah demi selangkah. Air yang dingin akhirnya menyapa kakiku. Ujung bawah celanaku basah dan rasa tak nyaman akibat air yang terserap itu membuatku ragu-ragu. Dad tidak menurunkan tangannya sama sekali. Tangan yang kuat itu tetap melingkari pundakku.

Kami berdiri di sana, membiarkan kaki kami digenangi air. Sepatuku basah, tetapi kubiarkan saja. Aku menghitung berapa lama aku bisa berdiri seperti ini tanpa ketakutan. Sepuluh detik berlalu. Lima belas. Dua puluh... Aku masih bertahan.

Awan gelap berarak di kejauhan, seperti sekumpulan orang tua lelah yang baru pulang ibadah hari Minggu. Dad mengedik ke arah awan-awan itu.

"Sepertinya sekarang tiap hari hujan, ya."

"Ya. Jadi susah keluar rumah."

"Alam sedang membalas dendam," Dad menunjuk ke sekeliling kami—ke arah bukit-bukit tandus yang konon katanya pernah menjadi hutan, tetapi ditebangi demi dijadikan area perumahan.

"Apa dulu selalu hujan seperti ini?" tanyaku, berusaha memancing satu cerita dari Dad. Ayahku sering bercerita tentang "dulu," masa-masa sebelum Bencana Besar Pertama ketika dia masih muda.

"Inggris memang sering hujan, apalagi London," kata Dad, tatapannya terpaku pada awan-awan gelap itu. "Tapi tidak setiap hari. Tak ada banjir bandang atau longsor besar-besaran seperti yang kita alami sekarang. Dulu masih ada pohon-pohon, dan mereka melindungi kita."

Aku suka cara Dad menyebut "pohon-pohon," seakan dia bertetangga dengan mereka. "Mungkin kalau kita menanam kembali pohon-pohon itu, kita bisa mengembalikan situasi seperti dulu?"

Dad terkekeh—kekeh khas yang dipakainya untuk mengungkapkan bahwa dia tidak setuju. "Sudah terlambat untuk itu."

"Kau benar, Dad. Sekarang kita terlalu sibuk membuat robot ketimbang menanam kembali pohon-pohon."

"Robot-robot itu tidak akan menyelamatkan kita."

Baru sekarang aku mendengar Dad berkomentar soal para robot. Biasanya Dad selalu diam saat kami membicarakan robot.

"Sekarang kita bisa mengandalkan para robot, tetapi kita tak akan pernah bisa bergantung pada mereka sepenuhnya. Tidak seperti pohon-pohon..." lanjut Dad. "Pohon-pohon itu hidup, dan karena itulah mereka bisa memahami kita."

"Tetapi kita bersikap semena-mena dan membabat habis hutan-hutan."

Dad bergumam setuju. "Para robot itu sekilas tampak hidup. Mereka bisa berbicara dan seakan-akan sanggup memahami kita. Namun kita seringkali lupa. Mereka tidak betul-betul 'bernyawa' seperti kita. Hanya listrik dan mesin."

Hanya listrik dan mesin.

"Yang bisa saling memahami dengan baik adalah mereka yang hidup," Dad menepuk pundakku. "Yang sama-sama memiliki jiwa."

Aku memikirkan kata-kata Dad itu. Para robot itu memang cuma mesin, aku memahaminya. Tapi apa mungkin mereka bisa memiliki jiwa?

"Sepertinya akan ada badai," Dad memutar tubuhku dan mendorongku kembali. "Kita pulang saja. Ibumu pasti cemas memikirkan kita."

"Pulang? Padahal aku sudah mulai bisa menikmati laut lagi."

"Ya. Dan aku bangga padamu karena sudah mencoba hari ini." Dad mengguncang pundakku dan membelai kepalaku. "Besok kita akan kembali lagi. Kalau tidak hujan, mungkin kau bisa mencoba berenang lagi seperti dulu."

Aku kurang yakin soal berenang, tetapi entah kenapa aku tahu semuanya akan baik-baik saja. Dad akan menemaniku. Semuanya pasti beres kalau ada Dad.

Kami berdua pulang ke rumah.

...



"Soren, kau taruh saja celanamu di pengering." Mum berteriak dari ruang makan.

"Oke, Mum."

Aku pergi ke ruang cuci di belakang, melepas celanaku yang basah karena disapu air laut, lalu menggantinya dengan celana training.

"Mum, ada kasur lipat di dalam mesin pengering."

"Oh, ya. Bisa tolong kau keluarkan kasurnya?"

Aku membuka pintu mesin pengering yang terasa seperti kulkas itu, dan menarik keluar kasur di dalamnya. Dad membuat sendiri mesin ini—dia memodifikasi alat tanning (pencokelat kulit) bekas yang dipungutnya dari tempat pembuangan mesin rusak. Meski ukurannya konyol, tetapi mesin itu bisa dipakai mengeringkan macam-macam, mulai dari baju, karpet hingga kasur lipat. Alat itu toh terbukti berguna di saat cuaca tidak jelas seperti ini. Kami jadi tidak pernah kekurangan pakaian bersih.

Kumasukkan celanaku yang basah ke dalam pengering. Saat menutup pintunya, aku menoleh sekilas ke jendela belakang yang menghadap laut. Ada yang berbeda. Aku tidak melihat langit yang mendung, awan-awan gelap, atau cakrawala di sore hari. Yang tampak sejauh mata memandang adalah air—air yang sama seperti yang kulihat di pantai sepuluh menit yang lalu, dan air itu bergerak cepat ke arahku, seperti ingin menjemputku.

Aku berteriak untuk memperingatkan Mum dan Dad, tetapi tembok air itu menghantamku. Terjangannya begitu dahsyat—semuanya meledak, hancur, dan basah—seketika aku merasa seperti dua tahun lalu, ketika perahu kami dilibas ombak dan tubuhku tenggelam.

Air memenuhiku. Di mana-mana, yang ada hanyalah air.

...

Aku terbangun karena rasa dingin dan pengap yang amat menusuk. Pertama-tama yang kulihat hanyalah kegelapan, lalu sesuatu yang berwarna merah dan biru. Air? Darah? Air yang bercampur darah?

"Di sini! Ada satu!"

Seseorang berteriak. Aku tersadar bahwa aku sedang bertelungkup, dan ada benda lain yang menahanku sehingga aku tidak bisa berbalik. Tiba-tiba ada bunyi berkeretak yang keras, lalu sesuatu runtuh, dan beban yang menindihku itu menjadi tak terasa sama sekali. Sepasang tangan menyelinap di antara paha dan leherku, lalu dengan kekuatan yang begitu luwes dan terukur, membalikkan tubuhku. Langit sudah gelap, dan titik-titik air berjatuhan, membasahi wajahku. Aku refleks mengangkat tanganku untuk melindungi wajahku.

"Manusia. Apa kau bisa mendengarku?"

Mulutku penuh dengan sesuatu yang kasar, lengket dan tidak enak sehingga aku harus meludahkannya dulu. Rasanya seolah ada yang menyuapiku dengan campuran semen pasir. "Ya."

"Siapa namamu?"

"Soren Adam Clarkson."

Ada bunyi bip-bip-bip, dan cahaya merah biru itu. Otot-otot mataku tegang sehingga aku tidak bisa melihat ke arah lain selain lurus ke atas.

"Tanda-tanda vital aman," kata suara yang tadi menyapaku. Suara itu terasa janggal dan tidak alamiah, seperti sup yang tidak diberi garam. "Manusia, apa kau bisa berdiri?"

Aku mengangkat leherku sedikit untuk melihat penolongku itu. Anehnya aku tidak merasa kesakitan sama sekali. "Kurasa bisa."

"Bagus. Ikut aku."

Tangan-tangan yang tadi membalikkanku kini menopang punggungku untuk duduk. Aku melakukannya. Sosok penolongku itu kini terlihat. Seorang android medis. Dia memakai lampu darurat di dahinya—cahaya merah biru yang tadi kulihat berasal dari sana.

Aku bangkit berdiri. "Apa yang terjadi?"

"Tsunami," kata si robot. "Lima belas meter. Kau selamat."

Aku menoleh ke belakang dan terpana. Lampu-lampu darurat sudah dinyalakan. Semua rumah di pesisir pantai itu telah rata dengan tanah—tak ada lagi satu pun bangunan yang tersisa. Namun mesin pengering ciptaan Dad sudah melindungiku, alat besar itu terguling dalam posisi terbalik di tempatku bertelungkup tadi, seperti cangkang keong raksasa.

Tangan Dad.

"Ayah dan ibuku, Theo dan Eleanor Clarkson... apa mereka selamat?"

Robot itu memimpin jalan dan aku terseok-seok mengikutinya. Tidak ada permukaan yang rata untuk dipijaki. Kami melewati puluhan robot-robot lainnya yang masih mencari korban, lampu darurat di kepala mereka yang meluncurkan sinar merah-biru kelihatan seperti pertunjukan cahaya. Kami menuju ke sekumpulan ambulans. Para robot medis serupa dengan yang menyelamatkanku sibuk hilir mudik, memberikan pertolongan bagi para manusia. Tangisan pilu bergema di udara.

"Eleanor Clarkson kritis," kata si robot. Dia menunjuk salah satu ambulans. "Kami sedang merawatnya."

"Aku ingin melihatnya!"

"Tidak bisa." Robot itu menahanku. "Dia belum sadar."

"Kau akan menyelamatkannya, kan?"

Robot medis itu mengangguk. "Eleanor Clarkson akan selamat."

"Bagaimana dengan ayahku? Di mana dia?"

Robot itu berputar dan menunjuk tubuh-tubuh lain yang bergelimpangan di tepi sebuah ambulans. Beberapa sudah dibungkus kantong plastik kuning.

Tidak. Tidak mungkin. "DAD!"

Aku hampir tak bisa mengenali ayahku sendiri di antara orang-orang itu. Dad terbaring di atas sebuah tandu, seluruh tubuhnya ditutupi lumpur sampai-sampai tidak tampak seperti manusia lagi.

Dad menjulurkan tangannya. "Soren."

"Dad!" Kuraih tangannya. Genggaman Dad terasa lemah—sangat lemah, begitu berbeda dengan yang kukenal.

"Soren..." Hanya mata Dad yang biru yang membuatnya kelihatan masih hidup. "Kau selamat."

"Mesin pengering itu. Aku terkurung di bawahnya."

Dad tertawa. Tawanya serak dan pendek-pendek, aku ngeri mendengarnya. "Ciptaanku tak pernah gagal, kan?"

Bisa-bisanya dia bercanda di saat seperti ini. "Kau akan baik-baik saja, Dad. Aku ada di sini."

Kuremas tangan Dad sekuat mungkin untuk menyemangatinya, sama seperti yang dia lakukan untukku selama ini. Aku berbalik dan melihat robot penolongku itu sedang berdiri di belakangku, tanpa melakukan apa-apa.

"Kenapa kau diam saja? Cepat tolong ayahku!"

"Angka harapan hidup Theo Clarkson di bawah tiga persen."

"Di bawah tiga persen?" Jawaban si robot membuatku marah dan kecewa. "Apa maksudmu? Kau robot medis. Kau harus menolong ayahku!"

"Angka harapan hidup Theo Clarkson di bawah tiga persen," ulang si robot, dengan nada suara yang sama seperti ketika dia menanyaiku. "Aku sudah memindainya. Tanda-tanda vitalnya melemah. Tak ada gunanya ditolong."

Tak ada gunanya ditolong?

"APA-APAAN KAU INI? TOLONG AYAHKU SEKARANG JUGA!"

"Meskipun ditolong..." Robot itu hanya menatap ayahku, wajahnya datar tanpa ekspresi. "Theo Clarkson tetap akan meninggal."

"Daripada hanya menonton, seharusnya kau mengusahakan supaya ayahku tetap hidup! Itu tugasmu!"'

"Aku turut menyesal."

Aku bangkit berdiri dan menerjang robot itu, tetapi dia menahan tanganku. "Maaf," katanya, masih dengan nada yang sama. "Aku harus menolong korban yang lainnya. Kusarankan kau tetap tinggal di sini bersama Theo Clarkson."

Lalu dia berbalik dan meninggalkan kami begitu saja. Aku berlari ke arah robot medis lain dan memohon sampai jatuh tersungkur di hadapan mereka, tetapi mereka hanya mengatakan hal yang persis sama, dengan nada yang sama pula. Theo Clarkson tetap akan meninggal. Maaf, kami harus menolong korban yang lainnya. Mereka tidak memedulikan teriakan minta tolongku, mereka tidak mengacuhkan ketakutanku.

Saat itu barulah aku memahami apa yang tidak biasa dalam suara para robot itu. Kata-kata mereka tidak mengandung emosi sama sekali. Mereka tidak menyesal sewaktu meminta maaf. Bagi mereka, nyawa ayahku hanyalah angka tiga dari seratus, sebuah nilai yang begitu kecil sehingga tidak patut diperhitungkan.

Jadi aku melakukan apa yang dilakukan seorang anak di situasi seperti itu. Aku berlutut di samping ayahku dan memengangi tangannya, sampai kehangatan meninggalkan tubuhnya, menyisakan rasa dingin yang hampa dan mencekam.

Dan suara tanpa emosi itu terus terngiang-ngiang di kepalaku, seperti rekaman rusak yang menolak untuk dilupakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top