22. Realita

Pagi itu para penghuni di The Swindle sudah sibuk bekerja.

Soren Adam tetap bangun pukul enam seperti biasa. Perang bukan alasan dia bangun lebih lambat—atau lebih cepat. Meski seluruh kota dicekam perasaan waswas, dia tetap ikut dalam segala hiruk-pikuk persiapan acara pernikahan Esmé Esperanza dan pasangannya, Emre Hamza, yang berasal dari Turki.

Awalnya Soren tidak ikut dengan sukarela.

Esmé tidak merencanakan acara pernikahan yang meriah, tetapi karena Eva sudah turun tangan, semuanya wajib meriah. Gadis itu bersemangat sekali. Dia nekat mengetuk setiap pintu di The Swindle dan meminta semua orang untuk ikut bergotong royong. Mrs. Esperanza adalah salah satu penghuni paling lama The Swindle, dan menurut Eva, dia pantas dibantu apalagi dalam situasi seperti ini. Jadi semua orang ikut turun tangan, berjibaku menyiapkan dekorasi pesta, memasak makanan, sampai menyiapkan gaun pengantin yang pantas untuk Esmé.

Bahkan Meg yang bukan penghuni The Swindle, ikut membantu. Eva meminta Meg datang, dengan alasan dia bakal "sibuk sekali." Karena Meg adalah gadis yang baik dan setia kawan, si komikus berambut merah jambu itu sudah muncul di apartemen Soren selang sepuluh menit setelah ditelepon Eva. Anehnya kali ini Meg tidak banyak protes. Biasanya Meg suka komplain kalau mendadak dimintai tolong, karena jadwal menggambarnya bisa terganggu.

"Kita kan sudah menjaga Anne kemarin," Eva mengedip pada Soren saat Meg datang bersama Lilo. "Makanya Meg tak enak hati menolak permintaanku."

"Kau minta Meg balas budi?" tukas Soren yang tak enak hati pada Meg.

Eva mengangkat bahu. "Teman harus saling membantu, kan?"

Acara yang semula direncanakan sederhana itu, berubah jadi spektakuler. Para rekan kerja Esmé dari Bletchley juga akan datang—sebetulnya wanita itu tidak tinggal di London dan hanya sesekali mampir ke The Swindle untuk mengecek ibunya. Karena Mitchell's tidak cukup untuk menampung semua orang, acara itu harus dipindahkan ke aula SD Saint Helena Valley di belakang The Swindle, tempat istri Han Tsui bekerja sebagai petugas kafetaria. Untunglah sekolah sedang diliburkan karena kondisi perang.

"Kenapa harus di aula?" protes Soren, yang tidak sanggup membayangkan dirinya terperangkap di sebuah ruangan bersama lima puluh orang. "Bagaimana kalau tiba-tiba kita dibom? Semua orang bisa mati!"

"Tidak akan ada bom," kata Eva enteng. "Menurutmu pemerintah Inggris akan membiarkan London diserang lagi setelah serangan yang kemarin itu?"

Soren merasa tolol karena ternyata hanya dia yang memprotes. Semua orang tampak senang bisa merayakan sesuatu yang indah seperti pernikahan di tengah-tengah situasi kelam seperti ini. Mereka tidak keberatan berpesta, meski dibayang-banyangi ancaman kematian tragis karena tertimpa plafon aula akibat bom.

Jadi pukul tiga sore, mereka semua berbondong-bondong menuju SD Saint Helena Valley. Seorang pendeta dari gereja lokal sudah setuju untuk memberkati kedua calon mempelai. Ibadah itu berlangsung khusyuk. Orang-orang bersorak dan bertepuk tangan saat Esmé dan Emre berciuman di akhir ibadah. Pasangan suami istri baru itu sungguh serasi: Esmé berkulit sawo matang dan cantik seperti wanita gipsi, sementara Emre putih kemerah-merahan dan mempesona, khas lelaki Timur Tengah. Lalu sekitar pukul lima, resepsi pernikahannya dimulai.

Kue pengantin hasil kerja keras Eva jadi primadona dalam resepsi itu. Eva menghabiskan semalaman membuat kue tiga tingkat itu, dan hasilnya luar biasa. Esmé sampai menitikkan air mata karena haru. Mereka memotong kue itu dan membagikannya untuk para tamu. Pujian akan rasa kue itu membuat Eva cengengesan karena bangga.

Kemudian tibalah saat untuk pidato dari kedua mempelai. Dengan mata berkaca-kaca, Esmé mengambil mik.

"Ini hari yang menakjubkan," kata si pengantin wanita, suaranya bergetar. "Aku tidak menyangka pernikahannya akan jadi seperti ini. Eva... kau betul-betul telah membuatku dan Emre dan semua orang di sini kehilangan kata-kata..."

"Tepuk tangan untuk Eva!" pekik Han Tsui sambil mengangkat gelas anggurnya, mengajak bersulang.

Gelas-gelas terangkat. "EVA!" Semua orang bersulang lalu bertepuk tangan dengan riuh. Eva merona.

"Dan Soren juga, tentunya..." lanjut Esmé sambil mengangguk kecil pada Soren. "Karena telah membawa Eva ke tengah-tengah kami. Ibuku selalu bercerita tentang Eva, dan meskipun baru kali ini bertemu dengannya, aku setuju dengan ibuku—dia wanita yang luar biasa. Kami semua sudah tidak sabar menunggu kalian menyusulku naik ke pelaminan. Kalian berdua pasti akan hidup bahagia."

Naik ke pelaminan? Soren tersentak. Jadi selama ini mereka mengira aku dan Eva sudah berpacaran karena tinggal serumah!

"Untuk Eva dan Soren!" Mrs. Esperanza mengangkat gelas.

"EVA DAN SOREN!"

"Tu-tunggu! Aku dan Eva bukan—"

Aula itu kembali dipenuhi sorakan dan gemuruh tepuk tangan. Eva menatap Soren, matanya tampak malu-malu di balik poninya yang hari ini ditata menjuntai, wajahnya sudah merah sekali seperti sedang demam.

"Aku tahu bahwa menikah di tengah-tengah perang seperti ini tampak konyol," lanjut Esmé yang sudah menangis. "Tapi untuk apa menunggu kalau kau sudah menemukan pasangan hidupmu? Aku baru bertemu Emre empat minggu lalu karena sebuah ketidaksengajaan. Suamiku ini rela terbang dari Tehran menuju Bletchley, karena aku mengisi sebuah survei..."

...

Hari ini juga tidak ada.

Ichiro merasa seperti bendera yang terlepas dari tiangnya—terlunta-lunta tanpa arah. Dia dan Ren sudah bersusah payah berjalan kaki menuju ke tempat ini dan lagi-lagi tidak bertemu Meg. Kata robot petugas lobi, Meg tiba-tiba pergi kemarin malam dan belum kembali sampai hari ini.

Pasti dia ke tempat Eva. Tapi di mana?

Ren berjongkok di depan pintu gerbang apartemen sambil memandangi butir-butir hujan yang memercik di trotoar. Ichiro tahu kalau pemuda itu juga resah. Besok masa uji coba ini berakhir, dan Ichiro punya firasat kuat bahwa orang-orang ARC itu akan segera menangkapnya tak lama lagi.

"Kira-kira ada berapa banyak orang bernama Eva di London ini?" tanya Ren sambil lalu, tangannya terjulur ke depan, menampung air hujan.

"Ribuan kurasa."

"Masih belum ada kabar, ya?"

"Belum."

"Hei, aku punya ide." Ren melompat berdiri. "Bagaimana kalau kau yang mencoba mengontak Eva? Selama ini dia dan saudara-saudarimu yang lain yang menghubungimu. Kalau mereka bisa menghubungimu, seharusnya kau juga bisa menghubungi mereka, kan?"

Ichiro sudah sering memikirkan ini. Seharusnya koneksi kami bisa bekerja timbal balik. "Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."

"Harus fokus," Ren bertumpu di bahu Ichiro seperti anak kucing mengajak bermain dan menyentuh dahinya. "Kau bilang pikiran kalian semua terhubung, kan? Seharusnya tidak sulit kalau kau berkonsentrasi."

Benar juga.

Ichiro meraba dahinya dan merasakan sensor itu berdenyut pelan. Tidak ada salahnya dicoba.

Ichiro memejamkan mata dan memusatkan pikirannya pada koneksi itu. Dia merasa bodoh dan penasaran di saat yang bersamaan, tetapi tidak mau berhenti berharap. Aku ingin tahu apa yang sedang dirasakan Eva saat ini.

Indranya menangkap sesuatu yang mengambang, seperti kabut tipis. Lalu perlahan-lahan kabut itu memadat—tetapi tetap ringan dan melayang-layang. Bulu angsa. Sayap? Samar-samar Ichiro melihat sepasang sayap yang melekat pada seorang bayi gemuk yang sedang tertawa. Dia kenal pada sosok itu.

"Cupid."

"Cinta," sahut Ren yakin. "Tapi... apa artinya?

Kenapa Eva memikirkan ini? Citra cupid itu kelihatan konyol. Apa Eva sedang jatuh cinta? Tapi pada siapa?

Kabut itu menipis, dan Ichiro melihat hal-hal lainnya. Ada satu ruangan penuh orang. Mereka semua sedang mendengarkan seseorang berpidato. Seorang wanita berkulit sawo matang berdiri di panggung. Dia memakai gaun putih yang indah, seperti seorang pengantin. Di sebelah wanita itu, ada seorang pria. Wajahnya tegas dan jantan, khas laki-laki Timur Tengah. Wanita dan pria. Mereka berdua tampak bahagia dan saling berpengangan tangan.

Cupid itu. Cinta.

"Pesta nikah."

"Pesta nikah?" Ren bertanya bingung. "Siapa yang menikah?"

Ichiro membuka matanya lebar-lebar. Perasaan cinta itu menguar dari diri Eva—manis dan suci, seperti minyak wangi yang tumpah—dan begitu kuat, sampai-sampai Ichiro bisa merasakannya di udara.

"Aku tahu di mana Eva berada." Ichiro menarik tangan Ren. "Ayo!"

...

"Kenapa kau tidak bergabung di dalam?"

Eva menoleh dan tersenyum tipis. Dia hanya mengangkat bahu.

"Kau kan suka pesta."

"Dan kau keluar karena kau tidak suka pesta."

"Aku mencarimu."

Senyum Eva melebar. Gadis itu menunjuk ayunan kosong di sebelahnya. Soren sedang tidak ingin main ayunan, tapi rasanya sudah lama sekali sejak dia menaiki salah satunya.

"Itu cuma ayunan, Soren. Tidak ada bom di alas duduknya."

Aku tahu.

Soren duduk dan mulai mengayun pelan-pelan. Eva mengikutinya, dia juga berayun mengikuti gerakan Soren. Di balik kubah taman bermain yang terbuat dari kaca, langit masih kelabu seperti biasanya. Soren tidak ingat kapan terakhir kalinya mendongak ke atas dan melihat langit yang berwarna biru.

"Sebaiknya kau segera masuk ke dalam." Entah kenapa pemandangan ini membuat Soren merasa sesak. "Orang-orang mencarimu."

"Tak bolehkah aku di sini, bersamamu?"

Sebetulnya... seperti ini juga tidak apa-apa. Soren tidak menjawab. Dia membatalkan niatnya untuk kembali ke dalam.

"Esmé dan Emre sangat bahagia, ya."

"Esmé bilang dia kenal Emre dari sebuah survei empat minggu lalu. Apa artinya mereka sama seperti kita?"

Eva menyelipkan rambutnya ke telinga dan tertunduk. "Tidak."

"Tapi kalau Emre juga dikirim untuk uji coba itu, berarti dia—"

"Tidak, mereka tidak sama."

"Tidak sama di mananya?"

Eva berhenti berayun. Dia melepaskan lengannya dari rantai ayunan dan meluruskan kedua tungkainya yang jenjang. "Mereka menikah, Soren."

Menikah. Jawaban itu membuat Soren agak terguncang. Tidak ada yang mempermasalahkan siapa Emre dari Turki. Tampaknya yang dipikirkan semua orang adalah kebahagiaan kedua sejoli itu. Eva juga.

"Apa kau sadar..." Suara Eva terdengar lirih. "Bahwa masa uji coba ini akan berakhir besok, Soren?"

Soren kaget, dia cepat-cepat menghitung dalam hati. Sudah berapa lama Eva tinggal bersamaku? Empat minggu sudah berlalu. Tiga puluh hari.

"Aku gagal," Eva mengakui dengan blak-blakan, lalu tertunduk lagi. "Itulah yang membedakanku dengan Erme."

Soren menangkap nada menuduh dalam suara Eva, dan dia tidak mau dipersalahkan. "Seharusnya sebelum ikut uji coba ini, kau tahu bahwa mustahil jatuh cinta dalam tiga puluh hari, Eva."

"Itu tidak mustahil." Eva meremas ujung jaketnya. "Erme berhasil. Begitu juga Tracy. Dan Ichiro... aku tidak tahu siapa teman hidupnya, tetapi aku bisa merasakan bahwa dia juga bahagia."

Kebahagiaan macam apa yang dia harapkan dariku? "Maaf, tapi kita tidak mungkin berpacaran."

Eva terdiam sejenak. Dia menatap ujung sepatu botnya yang dihiasi bunga dan pita, khusus untuk acara hari ini. "Apa aku tidak cukup baik untukmu, Soren?"

"Bukan begitu. Semua orang sepakat kau itu pasangan yang luar biasa."

"Apa kau menganggapku pasangan yang luar biasa?"

Soren terdiam. Awalnya kurasa dia memang menyebalkan. Tapi setelah itu... tidak lagi. Sifatnya memang seperti itu, kan? Dan itu tidak mengangguku. Aku tidak keberatan. Apakah aku sudah membiasakan diri?

"Pastilah begitu," Eva menjawab sendiri pertanyaannya. Dia mengusap-usap hidungnya dengan ujung lengan jaketnya.

"Kau menangis?"

"Aku kecewa." Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan. "Pada diriku sendiri. Mungkin karena aku tidak berusaha keras, makanya aku gagal. Aku hanya menjadi diriku sendiri. Kupikir, aku bisa dicintai dengan tulus kalau jadi diriku apa adanya. Tapi sepertinya itu salah."

"Kalau itu dirimu yang sebenarnya..." Dada Soren mulai menghangat. Kemunculan perasaan asing itu amat tiba-tiba, sehingga Soren merasa disergap. "Aku tidak membencinya."

Eva menutupi matanya dengan rambut. "Tapi kau tak menyukainya juga."

"Aku..." Perasaan itu mengalir dengan lembut ke seluruh diri Soren, memenuhinya dengan lembut seperti alunan musik yang damai. Menyukainya. Aku menyukainya. Hanya saja ini tidak boleh.

Suara ayahnya yang pelan menggema dari sudut-sudut kepala Soren yang belum dijamah aliran musik yang menentramkan itu.

'Mereka tidak betul-betul 'bernyawa' seperti kita. Hanya listrik dan mesin.'

Mesin tidak akan bisa memahami manusia.

"Maaf, Eva. Aku tidak bisa."

"Tidak apa-apa." Eva berbalik menatap Soren. Matanya yang hijau itu digenangi air, wajahnya merah dan basah, tetapi gadis itu tersenyum. "Setidaknya kau bisa bilang padaku alasanmu tidak bisa menyukaiku."

"Aku tidak mau."

"Besok kita akan berpisah, kemungkinan besar untuk selama-lamanya. Apa pun jawabanmu, itu tidak akan mempengaruhiku, Soren."

"Tidak. Aku tetap tidak mau."

"Kenapa?" Eva bangkit dan berdiri di depan Soren. "Apa aku ini sebegitu menyebalkannya sampai-sampai kau tidak mau memberitahuku?"

"A-aku..."

"Aku berusaha, Soren." Eva meremas sweternya di bagian dada, seperti ingin menunjukkan hatinya. "Selama tiga puluh hari ini, aku berusaha sebaik-baiknya untuk membuatmu bahagia. Kupikir kau akan terkesan, atau setidaknya, merasa lebih baik. Tapi rupanya semua yang telah kulakukan tidak ada apa-apanya bagimu. Kau tidak menganggapku sama sekali."

"Eva, kau salah paham!"

"Apa yang tidak kumengerti?" Eva membuka tangannya lebar-lebar. "Apa kau sadar bahwa orang-orang menganggapmu aneh, Soren? Setelah melihat sikap dan cara berpikirmu, aku mengerti kenapa mereka mengecapmu aneh. Kau tidak pernah terlambat, kau selalu bangun pukul enam, kau memakai pakaian yang sudah diatur setiap harinya. Kau menggosok gigi dengan urutan dan jumlah gosokan yang sama. Kau menghitung langkahmu ke mana-mana. Kau selalu berjalan di atas garis jalan. Kau membeli produk-produk yang sama di supermarket selama bertahun-tahun. Dengan segala kebiasaan dan sikapmu yang tidak biasa itu, aku sudah mencoba memahamimu, Soren! Tapi kenapa kau bahkan tidak mau bilang—"

"KARENA KAU ROBOT, EVA!"

Teriakan Soren bergaung di kubah kaca taman bermain itu. Seluruh tubuhnya berguncang karena telah melontarkan satu kalimat itu. Gadis ini yang memaksaku. Aku sudah mati-matian menolaknya tadi.

"Robot?" Eva menatap Soren, matanya terbelalak lebar-lebar. "Itu mustahil."

"Organisasi yang mengirimmu adalah Hitobot!" Soren hampir tercekik karena emosi yang menggelegak di dadanya. "Kau adalah produk android terbaru dari Hitobot, dan sedang diuji coba sebelum diproduksi massal. Mereka pasti berniat memproduksi robot-robot sepertimu untuk menjadi teman hidup manusia. Tracy, Ichiro, Erme dan sosok-sosok lain yang kau lihat dalam mimpimu itu... mereka adalah robot-robot lain yang terhubung denganmu karena kalian berada di jaringan yang sama! Dan ketika salah satu robot rusak atau terganggu, robot lain di jaringan itu juga akan ikut terganggu. Itu alasan kenapa kau pingsan saat robot-robot yang lain dihabisi oleh ARC!"

"Tapi..." Eva ternganga, tangannya bergerak-gerak seperti orang linglung. "Aku bukan robot, Soren."

"Kau memang robot dengan kecerdasan buatan di atas rata-rata. Aku bisa memanggil Meg saat ini juga untuk membuktikannya!" Ada ribuan kata-kata yang ingin dicurahkan Soren, tetapi mulutnya tidak cukup cepat untuk mengucapkan semuanya. "Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah tahu, Eva. Meskipun kau menyangkalnya, tetapi kau tak bisa membohongiku. Aku bisa mengenali robot dengan baik, tak peduli semirip apa penampilan dan sikapnya dengan manusia!"

"Soren..." Eva menangis lagi, tangannya terjulur untuk menyentuh Soren, tetapi pria itu menepisnya. "Kau betul-betul keliru. Aku manusia."

"Kalian hanya listrik dan mesin. Kalian tidak punya nyawa. Ayahku yang memberitahuku." Napas Soren tersengal-sengal saking cepatnya dia bicara. "Aku minta maaf karena kau terpaksa mempercayai apa yang diprogramkan Hitobot padamu, tetapi itulah kenyataannya. Orang lain mungkin tidak keberatan, tetapi aku tak bisa berpacaran dengan robot. Kalian tidak punya hati. Salah satu jenismu..."

Soren terhenti. Sekonyong-konyong dia tidak bisa mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya. Terlalu menyakitkan. Aku tak mau mengingatnya lagi.

"Salah satu jenisku? Apa yang sedang kau bicarakan, Soren?"

"Ayahku..." Soren menguatkan diri untuk menatap Eva. "Lima tahun lalu ayahku meninggal karena robot."

Eva mendekatinya, tetapi Soren menjauh lagi. "Apa yang terjadi?"

"Aku tidak bisa mempercayai robot lagi." Tubuh Dad yang perlahan-lahan menjadi dingin dalam pelukanku, tanpa ada seorang pun yang membantu. "Kalian tidak mengerti bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dikasihi."

"Soren..." Air mata Eva tumpah semakin banyak. Gadis itu tampak pilu. "Aku sudah cerita padamu soal kedua orangtuaku. Mereka juga meninggal."

"Itu semua hanya memori palsu yang ditanamkan Hitobot! Kau itu—"

Tiba-tiba mata Eva terpejam dan seperti kena serangan jantung, gadis itu seketika melayang jatuh. Soren segera menangkapnya sebelum Eva menghantam lantai semen yang keras.

Dia pingsan lagi. Apa jangan-jangan...

Seseorang menjerit dari aula. Ada bunyi letusan, disusul jeritan-jeritan yang lain. Soren membeku. Sambil membopong Eva, dia berbalik menuju aula, tetapi melihat Meg yang sedang berlari ke arahnya sambil bertelanjang kaki. Rok Meg robek dan bernoda makanan.

"ARC," jeritnya. "Mereka ada di sini. Mereka membunuh Erme! Kita harus segera pergi, Soren!"

...

Di markas ARC, John Dallas menerima sebuah pesan singkat dari Lonnie.

'Aku sudah mendapatkan Eva.'

John tersenyum puas membaca pesan itu. Akhirnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top